Wednesday, 24 April 2013

CERPEN JEPANG :)


KOKYUU SHINAI MADE

          Taman Odori, Sapporo, Hokkaido
                Fuyu
                Aku memandang iri pada orang-orang di sekitar yang terlihat berbahagia dengan pasangannya. Ah, seandainya Yuki masih menjadi kekasihku. Tentu saja saat ini aku tak akan sendirian menyaksikan Festival Salju Sapporo. Tapi ya sudahlah, Yuki telah berbahagia bersama lelaki pilihannya. Harus kuterima kenyataan pahit jika Yuki lebih memilih dia. No problem. Aku tetap bisa baik-baik saja!
            Angin berembus dingin dan mengenai leherku. Ternyata syal yang menggulung leherku ini sedikit tak rapat. Aku membenarkan letak syal dengan cepat setelah itu kugosokkan kedua telapak tanganku supaya terasa sedikit hangat. Dinginnya salju terasa sampai di telapak kakiku. Salju… mengingatkan lagi tentang Yuki. Ya, Yuki mantan kekasihku!
Yuki sangat menyukai salju. Sudah dua kali kami datang ke Taman Odori ini untuk menikmati ratusan ukiran es dan patung salju yang berderet di sepanjang Taman Odori. Dua tahun kami pacaran, ternyata sama sekali tidak berarti baginya. Yuki mengkhianatiku. Dan aku hanya bisa menerima, meski rasanya sakit dan pedih. Seharusnya tahun ini aku tak usah datang ke sini. Tapi gejolak batinku menyuarakan agar aku datang, meski tanpa Yuki.
Langkah kakiku terhenti pada sebuah patung besar berbentuk Hello Kitty. Bukan patung itu yang membuatku tertarik, namun seseorang yang tengah menatap patung Hello Kitty dari salju itu. Dia seorang perempuan dan sepertinya seusia denganku. Iseng kudekati dirinya dan berdiri di sampingnya. Tak kusangka, wajah cantiknya telah basah oleh air yang keluar dari kedua mata indahnya.
“Ini….” Aku menawarkan saputangan padanya.
Dia bergeming. Namun wajahnya telah ditundukkan, tidak lagi menatap patung di hadapan kami.
Gomen nasai! Bukannya mau apa-apa, aku hanya menawarkan saputangan ini. Kalau saja kau membutuhkannya,” ujarku pelan sembari tetap menatap lekat pada gadis di sampingku.
Tangannya terulur dan meraih saputangan yang kutawarkan. Dengan segera diusapkannya saputangan coklat milikku ke wajahnya yang basah.
Arigatou gozaimasu, Besok datanglah ke sini lagi! Saputangannya akan kucuci dahulu,”
Setelah mengucapkan kalimat itu, dia berlarian entah mau ke mana. Aku hendak mengejarnya untuk menanyakan namanya. Namun segera kuurungkan.
***
            Hari ini aku menunggunya. Tepat di hadapan patung salju berbentuk Hello Kitty seperti kemarin. Namun sudah lebih dari satu jam, gadis yang berhasil membuatku penasaran itu belum juga datang. Sudah berkali-kali kurapatkan mantel. Siang ini udara terasa sangat menusuk hingga ke tulang. Kalau saja bukan untuk bertemu gadis itu, siang ini aku enggan untuk ke luar dari rumah.
            “Konnichiwa. Sudah lama kau menunggu? Gomen nasai!” ucap lembut si gadis dengan senyuman kecil namun terlihat sangat indah. Wajahnya lebih ceria dari kemarin, meski masih jelas tergambar jika wajah itu mengandung kesedihan.
            “Konnichiwa. Lumayan, hehe…. Daijobu desu.” Aku memasang wajah seceria mungkin agar gadis ini ikut ceria sepertiku.
            Dia tersenyum lagi. Lalu matanya memandangi patung Hello Kitty. Raut wajahnya berubah. Senyum yang tadi sempat ada di bibirnya, perlahan telah terhapus. Kini bibirnya beku dan dingin, seperti salju yang terhampar di sekelililng kami saat ini.
            Hampir sepuluh menit dia hanya terdiam murung. Aku bingung harus bagaimana. Dengan nekat kusentuh bahunya. Dia menoleh dan menatapku.
            “Eh, aku boleh tahu namamu? Aku Satoshi.”
            “Yuki.”
            Aku terbelalak kaget. Yuki? Nama itu…. Ah, kenapa harus nama itu lagi!
            “Pasti kamu sangat menyukai salju!” tebakku.
            “Emm, iya!”
            Aku tersenyum. “Yuki… artinya salju. Dan dugaanku benar, kalau kau menyukai salju.”
            Dia tersenyum. Dan kali ini terlihat lebih manis karena matanya menyipit.
            “Yuki, aku boleh bertanya sesuatu?”
            “Kau pasti ingin bertanya kenapa kemarin aku menangis?”
            Aku tertawa. “Iya, benar sekali! Hehehe!”
            “Besok kembalilah lagi ke sini, akan kujelaskan. Jika kau bersedia,”
            “Tentu saja!”
            “Aku pulang dulu, ya!” Pamit Yuki sambil menyerahkan saputangan berwarna coklat yang kemarin kupinjamkan.
            Belum sempat mengatakan sampai jumpa padanya, dia sudah berlari dengan cepat dan menghilang di antara ribuan orang yang menjejali area Taman Odori. Aku menarik napas pelan dan mengembuskannya di kedua telapak tanganku.
***
            Hari ini Yuki telah tiba terlebih dahulu. Kukejutkan gadis itu dengan menepuk pundaknya pelan.
            “Eh, Satoshi!” katanya terkejut.
            “Konnichiwa, Yuki!” sapaku lembut dan semangat.
            “Konnichiwa!” balas Yuki dengan senyumnya yang kusukai. Senyum itulah yang selalu terbayang di benakku dari hari kemarin.
            Yuki… entah kenapa sejak bertemu dengannya, aku merasakan sesuatu di hatiku. Aku tahu aku menyukai gadis dengan rambut panjang hitam dan gelombang ini, tapi kenapa bisa?
            “Satoshi! Kenapa kau diam? Memikirkan sesuatu, ya?”
            “Eh, iya. Memikirkan kau, Yuki!”
            Dia hanya tertawa menanggapi kata-kataku.
            Saat ini kami berjalan menyusuri Taman Odori yang sangat ramai. Bukan hanya orang Sapporo yang berada di sini, bukan pula orang-orang Hokkaido saja. Tapi ada juga pengunjung dari luar negeri. Festival musim dingin terbesar di Jepang ini akan berlangsung selama tujuh hari di Bulan Februari. Ini hari ke tiga, dan masih ada empat hari lagi. Semoga saja empat hari ke depan, aku masih bisa selalu bertemu dengan gadis yang sedang berjalan di sampingku ini.
            “Satoshi, kau tidak bersama kekasihmu?” Tiba-tiba Yuki bertanya sejak keterdiamannya sedari kami meninggalkan patung Hello Kitty tadi.
            “Iie! Aku dan dia sudah putus sejak awal aki kemarin.”
            “Gomen nasai!” ujar Yuki menyesal.
            “Daijobu desu. Aku sudah melupakannya sejak bertemu denganmu.”
            Aduh! Aku kelepasan bicara. Bagaimana ini kalau Yuki tidak menyukai kata-kataku.
            “Kau mau karaage, Satoshi? Atau mau takoyaki?“ Yuki menawarkan makanan khas daerah-daerah Hokkaido, yang dijual di kios dan tenda di depan kami saat ini.
            Sepertinya Yuki sengaja mengalihkan arah pembicaraan yang tidak sengaja kuucapkan tadi. “Takoyaki saja, Yuki!” kataku pada Yuki.
            Kami menikmati takoyaki dari wadah kertas sambil duduk bersantai di kursi taman. Sambil mengunyah, kuamati Yuki dari dekat. Cantik dan lembut! Namun aku merasa ada hal yang teramat menyiksa batinnya. Seandainya aku tahu dan bisa membantunya, pasti akan kulakukan. Apapun itu!
            “Yuki, kau berjanji padaku untuk bercerita hari ini!” tagihku dengan mengedipkan mata jenaka.
            “Eh, itu… iya. Aku habiskan takoyaki ini dulu, ya!” jawabnya tersenyum dan aku menganggukkan kepala.
            Tiba-tiba angin kencang sekali dan salju turun cukup banyak. Udara seketika berubah menjadi semakin dingin. Kulihat wajah Yuki sangat ketakutan. Kedua telapak tangannya dikepalkan erat dan didekatkan rapat pada mantel birunya. Topi mantelnya yang biasanya tidak dikenakan, sekarang dengan cepat ditutupkan pada kepalanya. Dia terlihat menggigit bibir bawahnya. Benar-benar seperti orang ketakutan.
            Salju semakin banyak. Seolah beterbangan dan menempel di mana-mana, termasuk di mantelku dan mantel Yuki. Dingin memang, namun aku termasuk salah satu orang yang menyukai adanya salju. Jadi aku dan Yuki tetap duduk di kursi taman ini. Tapi ada juga beberapa orang yang kulihat menghindari salju. Mereka masuk ke dalam tenda dan kios yang menawarkan aneka macam kuliner khas Jepang.
            “Satoshi, kita ke tenda saja!” pinta Yuki dengan suara bergetar.
            “Kenapa, Yuki? Bukannya kau menyukai salju?” tanyaku heran.
            “Aku…,” Bukannya menyelesaikan kata-katanya, Yuki malah menangis.
            Kekhawatiran menyergapku. Lalu kubawa tubuh Yuki ke dalam pelukanku untuk menenangkannya. Tak kuhiraukan berpuluh-puluh pasang mata menatap kami. Bagiku hanya Yuki yang penting saat ini.
***
            Hari ke empat, ke lima, ke enam dan sampai hari terakhir Festival Salju Sapporo, aku tak pernah lagi bertemu Yuki. Sungguh aku mengkhawatirkan gadis itu. Aku selalu menunggunya di depan patung salju Hello Kitty. Aku juga mengelilingi Taman Odori ini. Tapi aku tak menemukannya.
Penutupan festival ini sebenarnya sangat meriah meski dinginnya salju tak pernah lepas menyerang kulit. Namun aku merasakan kehampaan sekaligus kerinduan pada Yuki, gadis yang telah membuatku merasakan kembali sebuah perasaan yang menyegarkan hati. Sambil memandangi patung es Hello Kitty yang besar dan lucu di hadapanku, kembali kuingat cerita Yuki kenapa dia menangis ketika melihat patung es ini.
            “Hari itu… aku bersama adikku, Hanako. Kami hendak menyaksikan Festival Salju Sapporo. Hanako sangat menyukai patung es berbentuk Hello Kitty. Itu sebabnya Hanako memaksakan diri untuk pergi ke Taman Odori hari itu, meski kondisinya sangat lemah oleh penyakit asmanya. Adikku sudah menderita asma sejak usia sebelas tahun, Satoshi. Aku sangat menyayanginya. Aku tak mau kehilangan dia, sama seperti aku kehilangan kedua orangtuaku. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Hanako. Tapi takdir berkata lain, belum sempat melihat patung itu, Hanako ditabrak seseorang dan ia terjatuh. Ditambah lagi cuaca saat itu benar-benar bersalju dan amat dingin. Napas Hanako tersengal-sengal sambil memanggil namaku berulang kali. Aku mencari alat untuk membantu pernapasannya. Ternyata alat itu tertinggal di rumah. Beberapa menit kemudian napas Hanako sudah tidak ada lagi. Dan hari itu aku pun harus kehilangan adikku. Hiks….”
            Hatiku miris saat mendengar cerita yang dituturkan Yuki dengan berurai airmata. Wajar saja dia begitu. Siapa yang tidak bersedih saat kehilangan seseorang yang amat disayangi. Apalagi Yuki sudah tidak memiliki siapa-siapa. Gadis yang telah menarik hatiku itu telah benar-benar sendirian kini. Seandainya aku bisa, ingin sekali setiap saat aku menemani dirinya. Akan tetapi, aku tak tahu harus mencari dia ke mana. Aku tak pernah bertanya di mana tempat tinggalnya selama tiga kali pertemuan kami di taman ini.
            “Jika Yuki ditakdirkan untuk menjadi jodohku, aku percaya kami akan kembali bertemu….” Aku bergumam dan berharap di dalam hati.
Kutinggalkan Taman Odori ketika jarum pendek di jam tanganku menunjukkan angka delapan. Sengaja aku pulang saat langit sudah menjadi gelap seperti ini. Aku masih ingin menunggu Yuki, meski kutahu dia tidak ada di sini. Hari ini sudah lebih dari sepuluh kali aku bolak-balik ke tempat patung es Hello Kitty. Aku sangat berharap Yuki ada di sana menungguku di hari terakhir festival. Tapi sepertinya penantianku ini hanya berakhir sia-sia.
            Dengan langkah gontai, kutinggalkan salju-salju di Taman Odori. Saat langkah kakiku keluar dari area taman, kudengar sebuah suara memanggilku. Hatiku berdesir dan aku tak berani menoleh ke belakang. Aku pun tetap melangkah tanpa berniat untuk berhenti. Ya, itu karena aku takut ini hanyalah ilusiku saja. Namun, suara itu masih ada, masih meneriakkan namaku dengan sangat jelas dan indah. Seperti sebuah kidung yang menenangkan.
            “Satoshi! Satoshi…!”
            Kuhentikan langkah. Berdiri terpaku di atas salju yang sudah membeku. Dengan perlahan aku menoleh ke belakang, ingin membuktikan sebuah harapan yang tengah bermain di pikiranku. Dia… dengan rambut gelombangnya yang basah dan dihiasi putihnya salju yang menempel, berlarian menuju ke arahku.
            “Satoshi….” Dia kembali menyebut namaku dengan lirih sembari menatap lekat pada mataku.
            “Yu… Yuki, kau?” ucapku dengan suara bergetar. Ingin rasanya aku berteriak. Aku terlalu bahagia karena bisa bertemu kembali dengan gadis ini.
            Yuki tersenyum manis sekali. Aku memandangi wajahnya. Matanya memancarkan sebuah kerinduan untukku.
            “Gomen nasai, Satoshi! Tiga hari kemarin aku sengaja menghilang dan tak mau bertemu denganmu. Itu karena aku ingin melupakan perasaanku. Tapi ternyata aku tak bisa melupakan pertemuan kita begitu saja. Aku tak mampu menghapus bayang-bayang dirimu.”
            Kata-kata yang diucapkan Yuki seakan menjadi melodi terindah, juga sebagai jawaban atas keresahanku akhir-akhir ini. Segera kubawa tubuh Yuki ke dalam pelukanku.
            “Yuki, kau tak perlu melupakanku. Jangan kau lupakan aku! Kokyuu shinai made, tetap jangan kaulupakan aku! Daisuki dayo, Yuki!”
            “Benarkah itu, Satoshi?” Yuki melepaskan pelukanku dan menatapku dengan tatapan tak percaya.
            Aku mengangguk dan tersenyum. “Kau tak akan sendirian lagi, Yuki. Aku akan menemanimu selalu.”
            Dengan segera Yuki memelukku erat. “Ima made arigatou, Satoshi!”
Salju-salju yang telah membeku di sekitar Taman Odori menjadi saksi kisah kami berdua. Kisah kasih yang baru saja akan dimulai. Dan kali ini aku merasakan bahwa gadis yang memelukku saat ini adalah sebuah takdir terindah untukku. Semoga saja!

           
           
Index :
1.      Taman Odori, Sapporo, Hokkaido : Sebuah taman yang berada di Sapporo, Hokkaido. Tempat berlangsungnya pameran ukiran es dan salju berukuran sangat besar.
2.      Fuyu : Musim dingin.
3.      Festival Salju Sapporo : Festival salju terbesar di Jepang yang diadakan di kota Sapporo, Hokkaido. Berlangsung selama seminggu pada awal Februari.
4.     Gomen nasai : Maafkan aku.
5.      Arigatou gozaimasu : Terima kasih.
6.     Konichiwa : Selamat siang.
7.     Daijobu desu : Tidak apa-apa.
8.      Iie : Tidak.
9.      Aki : Musim gugur.
10.  Karaage : Jenis makanan gorengan yang digoreng dalam minyak panas.
11.  Takoyaki : Makanan berbentuk bola-bola kecil dari adonan tepung terigu dengan potongan gurita di dalamnya.
12.  Kokyuu shinai made : Hingga napas telah berhenti.
13.  Daisuki dayo : Aku benar-benar menyukaimu.
14. Ima made arigatou : Terima kasih untuk segalanya

Cerpen Jepang ^_^


About Love in Bamboo Forest

“Aduh!” Aku meringis kesakitan sambil berusaha mengangkat sepeda yang menimpa tubuhku. Sudah ditimpa sepeda, aku pun harus menikmati ‘manisnya’ lutut kaki kiriku tergores di jalanan depan Togaden ini.
“Dasar bodoh!” teriak keras seseorang di belakangku.
Aku menatap wajahnya, wajah laki-laki yang mengatakan aku bodoh. BODOH! Aaargh! Aku tidak terima.
Setelah bisa berdiri dengan sempurna, aku merapikan pita di rambut gelombangku. Ternyata rok rimpel-rimpel yang kukenakan sedikit sobek tergores aspal. Pantas saja lututku ikut tergores. Lantas kutatap dalam-dalam wajah si laki-laki yang dingin itu. “Hei! Kamu bilang apa tadi?!” ujarku menahan emosi.
“Aku bilang kamu bodoh! Masih kurang jelas? Dasar cewek ceroboh!” ujarnya sengit sambil membuang muka dan tanpa berdosa dia mengayuh sepedanya meninggalkanku.
“Hei, kamu! Dasar cowok pengecut!” teriakku keras dengan emosi yang menggebu. Lantas kukayuh sepedaku mengejarnya. Enak saja dia kabur setelah sengaja menyenggol sepedaku tanpa meminta maaf terlebih dahulu. Huh!
Ternyata laki-laki menyebalkan tadi mengayuh sepedanya dengan amat kencang. Ah, sepertinya aku akan ketinggalan jejaknya. Ya, sekarang tak lagi kulihat punggung laki-laki tersebut. Dan aku menarik napas, kecewa. Semoga di lain waktu aku bisa bertemu dengannya lagi dan memaksa dia untuk minta maaf padaku.
Pelan-pelan kutelusuri jalanan wilayah Sanjo siang ini. Orang-orang terlihat berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Wajah mereka masih secerah mentari pagi dengan senyum yang menghiasinya. Inilah yang kubanggakan dari penduduk Kyoto. Semangat dan wajah cerah mereka. Apalagi saat ini Kyoto sedang haru. Jadinya lengkap dan makin indah saja Kyoto-ku tercinta.
Sambil tetap mengayuh sepeda, kuganti lagu di walkman dan membenarkan posisi earphone di telingaku. Dan kini terdengarlah suara merdu Yui, penyanyi favoritku. Lagu yang berjudul ‘Stay with Me’, mampu membuatku melupakan kejadian yang menyebalkan tadi sekaligus melupakan rasa perih di lututku.
Setelah lima belas menit perjalanan, aku sudah sampai di depan rumah.
Tadaima!” seruku sambil membuka pintu dan langsung berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarku di lantai dua. Aku tergesa-gesa menuju kamar karena ingin membersihkan luka di sekitar lutut kaki kiriku. Saat luka lecet itu bertemu obat cair yang kuteteskan, rasanya pedih sekali. Aduh, aku jadi mengingat kembali wajah laki-laki yang menyenggolku saat mengendarai sepeda tadi. Awas saja kalau aku bertemu dengan dia lagi!
***
Ohayou gozaimasu, Miyuki!”
Ohayou gozaimasu!” jawabku membalas sapaan Yayoi, teman satu kelasku. Lalu aku tersenyum dan Yayoi pun membalas senyumanku dengan manisnya.
Selesai aku mengganti sepatu dengan uwabaki, kukunci kembali lokerku lalu menoleh ke arah Yayoi yang terlihat kebingungan sambil mengacak-acak isi tasnya.
“Ada apa, Yayoi?” tanyaku bingung.
“Miyuki, aku kehilangan kunci loker. Aduh!” jawabnya gusar sembari membongkar tasnya yang berwarna merah muda.
“Mungkin terselip saja,” kataku berkomentar sambil membuka lembaran buku di dalam tas Yayoi. Kunci loker sekolah kami memang berukuran kecil. Jadi kupikir mungkin kunci itu terselip di antara lembaran buku. Apalagi kunci loker Yayoi tidak diberinya gantungan kunci, sehingga sulit untuk menemukannya di dalam tas yang penuh.
“Setibanya di sekolah tadi aku sempat membuka tas untuk mengeluarkan komik. Mungkinkah kunci itu terjatuh ya?” Yayoi berucap dengan nada khawatir.
Aku mengerti kenapa ia jadi khawatir. Lima menit lagi pelajaran akan dimulai. Jika Yayoi belum menemukan kunci lokernya, itu berarti ia tidak bisa membuka lokernya dan mengganti sepatunya dengan uwabaki. Kalau tidak segera mengganti uwabaki, Sensei Terumasa tidak akan mengizinkan muridnya mengikuti pelajaran.
“Emm… mungkin juga kunci itu terselip di komik kamu, Yayoi. Sekarang komik itu ada di mana?” Aku bertanya setelah tak kutemukan kunci loker di antara buku-buku dalam tas Yayoi.
“Miyuki, komik itu sudah dibawa Satoru. Aku meminjamkannya karena dia mau mengantarku pergi ke sekolah hari ini,” kata Yayoi menjawab pertanyaanku. Kini Yayoi hanya terduduk di depan lokernya dengan wajah menyerah.
“Satoru?” ujarku mengulang nama yang disebutkan Yayoi.
“Dia tetangga baruku, Miyuki. Pindahan dari Osaka. Dia seusia dengan kita tapi sayangnya tidak bersekolah di sini,” kata Yayoi menjelaskan.
Aku mengangguk lalu tersenyum.
Tiba-tiba lantunan nada Fur Elise terdengar nyaring sebagai tanda waktu belajar akan dimulai. Beberapa anak terlihat sedang memakai uwabaki dan setelah itu mereka beranjak menuju kelasnya masing-masing untuk belajar. Aku masih terpaku di depan Yayoi yang menunduk. Beberapa detik kemudian dia mengangkat wajahnya.
“Miyuki masuk saja ke kelas. Aku akan mencoba menghubungi Satoru dan menanyakan apakah kunci itu terselip di komik yang dipinjamnya,”
Aku menggeleng. “Aku mau tunggu Yayoi saja,”
Yayoi tersenyum. Baru saja ia hendak menekan tombol di handphone-nya, nama Satoru sudah tertera duluan di layar. “Iya, Satoru. Arigatou gozaimasu! Tunggu ya!” kata Yayoi gembira saat ia berbicara dengan si penelepon. Setelah menutup handphone-nya, Yayoi menarik lenganku.
“Satoru ada di depan gerbang, Miyuki. Ayo temani aku! Nanti aku kenalkan kamu dengan dia.”
Aku mangangguk dan berjalan mengikuti Yayoi.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, kulihat sosok yang sudah tak asing bagiku. Dia tersenyum manis pada Yayoi tanpa melihatku. Ah, rasanya ingin kutelan bulat-bulat orang itu!
Ohayou gozaimasu, Satoru! Arigatou gozaimasu. Aku sudah khawatir tidak bisa ikut pelajaran hari ini kalau kunci lokerku sampai tidak diketemukan,” ucap Yayoi lembut pada Satoru.
Ohayou gozaimasu. Do itashimashite, Yayoi!” ujar Satoru masih dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya. Kuakui Satoru memang manis dan tampan, namun wajah itu menyebalkan bagiku.
Dan aku cukup terpesona dengan senyuman Satoru hari ini. Akan tetapi yang aku herankan ia bersikap manis pada Yayoi tapi tidak denganku. Apa karena kejadian kemarin? Eh, yang seharusnya marah itu ‘kan aku!
“Satoru, kenalkan ini Miyuki! Dia teman satu kelas yang paling dekat denganku, hehehe!” kata Yayoi mengenalkanku pada Satoru sambil mengerlingkan mata jenaka padaku.
Aku memasang senyum terpaksa. Tapi, Satoru sama sekali tidak membalas senyumanku. Ia hanya memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kakiku. Bagus deh! Jadi dia bisa melihat lutut kiriku yang di perban tipis gara-gara kelakuannya yang tidak bertanggung jawab kemarin di depan Togaden.
“Eh, aku harus kenalan sama cewek ceroboh ini? Kok bisa kau berteman akrab dengan dia, Yayoi? Lihat itu lututnya akibat dari kecerobohannya sendiri!” ujar Satoru pada Yayoi sambil membuang wajah padaku. Lalu ia melihat ke arah pohon sakura yang berbunga indah di depan kolam sekolah.
Aku hanya terdiam. Rasanya ingin kubalas kata-kata ejekan dari Satoru. Tapi aku masih ingat bahwa Yayoi ada di sampingku dan lagi pula ini masih di lingkungan sekolah.
“Kalian sudah saling mengenal ya, Satoru? Eh, Miyuki kenapa tidak cerita padaku kalau sudah mengenal Satoru? Kalian kenal di mana?” tanya Yayoi keheranan sambil menatap kami berdua bergantian.
“Emmh, aku pergi dulu ya! Yayoi, jangan sampai hilang lagi kunci lokernya! Sampai ketemu nanti,” pamit Satoru pada Yayoi dengan tiba-tiba. Lalu ia segera mengayuh sepedanya menjauh dan lama-lama tak terlihat lagi oleh pandangan mata kami.
Yayoi memandangiku dengan wajah penasaran. Aku pun berlari meninggalkannya sebab aku yakin ia akan memaksaku bercerita kenapa Satoru bisa berkata seperti tadi padaku.
“Miyuki… tunggu!” teriak Yayoi padaku. Tapi tak kuhiraukan dan aku terus berlari sambil tertawa karena berhasil membuat penasaran teman akrabku.
***
Saat haru seperti ini, matahari akan terbenam cukup lama dan setelah itu langit mulai berubah warna. Lewat jendela kamar, aku duduk santai sambil membaca komik. Walau sedang membaca, mataku bisa saja mengedarkan pandangan ke arah lain termasuk ke atas langit. Kututup komikku dan meletakkannya kembali ke lemari buku. Kini aku lebih tertarik mengamati keindahan langit saat senja. Di tambah lagi saat ini bunga-bunga masih bermekaran dengan indahnya.
“Tok tok tok…” Pintu kamarku diketuk seseorang. Pasti itu haha.
Aku beranjak dari dudukku dan membuka pintu kamar. Haha tersenyum padaku dan berkata, “Sayang, tolong belikan tofu karaagedon set di Togaden ya!”
“Oke, Haha sayang.”
Setelah haha menyerahkan uang sejumlah 800 yen, aku langsung mengambil pita bermotif polkadot dan menyematkannya di sebelah kanan rambutku.
Ittekimasu!” kataku pamit seraya menuruni tangga.
Iterasshai, Miyuki!” pesan haha. Aku menoleh sejenak pada haha lalu mengangguk tersenyum.
Kukayuh sepeda menembus jalanan. Sengaja kukendarai sepelan mungkin karena aku sangat suka suasana Kyoto di kala senja menjelang malam seperti ini. Di sepanjang perjalanan, kulihat pohon-pohon sakura berbunga dengan lebatnya. Cantik! Aku melebarkan senyumku sambil berdendang kecil
Tak terasa aku sudah sampai di depan Togaden. Restoran ini memang baru dibuka pukul lima sore. Jadi sekarang lagi ramai-ramainya pelanggan yang berdatangan.
Selesai membeli tofu karaagedon set dan keluar dari area Togaden, angin bertiup cukup kencang hingga menerbangkan rambut panjangku yang bergelombang dan berombak. Pita polkadotku bergeser dari posisinya semula. Sejenak aku berhenti mengayuh sepeda dan membetulkan letak pita rambutku.
Bruuk!
Untuk ke dua kalinya, aku terjatuh karena ada yang menabrak dari belakang. Namun aku bersyukur kali ini sepedaku tidak menimpa tubuhku. Baru saja ingin memarahi orang yang seenaknya menabrakku, mulutku tak bisa berucap apa-apa.
Dia lagi! Tapi kali ini dia ikut terjatuh dan sepedanya menimpa tubuhnya sendiri. Syukurin! Ucapku dalam hati. Dia berusaha berdiri, tapi sepertinya kesulitan menyingkirkan sepeda sport-nya.
Aku jadi tak tega karena melihat wajah Satoru yang meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya. Aku segera menghampiri Satoru dan membantunya berdiri. “Kepala kamu berdarah, Satoru!” kataku hampir berteriak saat tak sengaja melirik ke arah kanan kening Satoru.
“Biasa saja kali! Dasar cewek aneh!” cetus Satoru memasang wajah kesal. Lantas tangannya diusapkan ke keningnya untuk memastikan kata-kataku.
Satoru mencari sesuatu dari dalam saku celana jinsnya. Tapi dia menelan ludah karena tidak menemukan apa yang ia cari. Aku mengambil sapu tangan dari dalam tas kecil di keranjang sepedaku dan menyerahkannya pada Satoru. Dia hanya menatapku lalu mengacuhkan uluran tanganku yang memberinya selembar saputangan berwarna biru muda.
Entah keberanian dari mana, dengan cepat kuusapkan saputangan ke arah kening Satoru untuk membersihkan darahnya yang pelan-pelan mulai mengalir.
“Hei, siapa yang suruh kau membersihkan lukaku?!” ujar Satoru dengan suara tertahan namun terkesan kesal dan membentak.
Aku hanya diam saja dan terus membersihkan darah di kening Satoru.
“Pelan-pelan! Sakit tahu!” bentak Satoru. Meski mulutnya berkata-kata membentakku, tapi tubuhnya berdiri kaku.
“Ada yang sakit lagi tidak, Satoru? Darah di keningmu sudah tidak keluar lagi. Sampai di rumah nanti langsung diobati ya,” kataku yang tiba-tiba berubah lembut. Padahal aku ingin membalas bentakannya padaku. Juga ingin menyuruhnya meminta maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu. Tapi nyatanya aku tak bisa marah pada laki-laki yang berada di hadapanku kini.
Satoru memandangku dalam-dalam. Matanya yang indah seketika terlihat lebih teduh dari biasanya. Poninya yang berkeringat terlihat basah dan diusapkannya ke sebelah kiri. Lalu ia menunduk. Aku merasa dia salah tingkah. Entah apa penyebabnya.
Arigatou gozaimasu, Miyuki! Kamu kok jadi baik begini… ada apa?” Suaranya terdengar parau.
“Aku selalu baik pada semua orang termasuk pada orang yang menyebalkan seperti kamu,” jawabku jujur dan spontan.
Gomen nasai! Mungkin aku memang menyebalkan. Aku menyesali atas kejadian beberapa hari yang lalu. Lutut kaki kirimu sudah sembuh, kan?”
“Eh?”
“Dimaafkan tidak?”
Aku mengangguk lalu tersenyum. Dan Satoru pun tersenyum padaku. Ah, senyumannya terlihat sangat manis. Hatiku berdesir bahagia dan seperti ada kupu-kupu yang mengelitik perutku saat memandangi senyuman Satoru.
Tiba-tiba aku baru tersadar jika kami sedang berada di jalanan depan Togaden dan telah menjadi pusat perhatian beberapa orang. Sepertinya Satoru pun baru tersadar. Beberapa detik kami saling berpandangan lalu tertawa bersama.
***
Di sabtu sore, udara terasa cukup gerah. Mungkin karena haru akan berakhir dua hari lagi dan akan digantikan natsu. Berarti dengan segera pendingin ruangan harus disiapkan di rumah untuk menghalau udara panas yang akan datang berkunjung selama kurang lebih tiga bulan ke depan.
Namun aku bukan memikirkan natsu yang akan segera datang, tapi pikiranku terfokus pada pakaian dan penampilanku sore ini. Pukul lima, aku dan Satoru janjian untuk bertemu. Satoru mengajakku ke daerah Arashiyama. Tentu saja dengan senang hati aku terima ajakannya. Siapa yang bisa menolak jika diajak pergi oleh orang yang telah berhasil menarik hati kita?
Baju terusan yang anggun berwarna hijau dan putih. Kaus kaki putih dengan sepatu hitam. Rambut dikepang dua di samping, lalu diikat menjadi satu ke belakang dengan pita berwarna hijau. Begitulah penampilanku dan saat ini aku sedang berdiri di depan rumah menunggu kedatangan Satoru.
“Hai!” Satoru telah berdiri di hadapanku dan menyapaku. Matanya memperhatikanku lalu bibirnya membentuk sebuah senyuman.
Aku membalas senyuman Satoru. “Kenapa, Satoru?” tanyaku bingung karena Satoru masih terus memandangiku.
“Emmh… kau manis sekali,” puji Satoru yang membuatku jadi salah tingkah. Aduh, jantungku kenapa berdetak cepat seperti ini sih.
“Eh, Satoru juga manis kok.” kataku memuji Satoru. Ia mengenakan jins hitam dan kemeja biru langit. Rambutnya yang tebal dan poninya yang menjuntai menutupi sebagian keningnya, makin terlihat manis dan aku tak bosan-bosannya mengagumi manusia di hadapanku ini.
“Aku sih sudah manis dari lahir. Kau baru tahu ya?” candanya sambil mengedipkan mata jenaka padaku.
Aku hanya tertawa.
Sesampainya di daerah Arashiyama, Satoru mengajakku memasuki The Sagano Bamboo Forest, sebuah taman bambu yang sangat indah dan menarik karena membentuk seperti tirai yang unik. Taman bambu seluas 16 kilometer persegi ini tidak hanya indah tapi suara anginnya dapat terdengar melalui rumpun bambu yang tebal. Sore ini banyak yang datang berkunjung dan menikmati lingkungan alam yang paling indah di Jepang ini.
Tiba-tiba Satoru memegang tanganku. Perlahan jemarinya mengisi sela-sela jemariku ketika kami mulai menelusuri area taman bambu yang sejuk, sesejuk hatiku saat ini. Aku yakin wajahku sudah bersemu merah. Apalagi jemari Satoru meremas lembut jemariku. Aku tidak memiliki cukup keberanian untuk menoleh ke arah Satoru di samping kananku. Jadi yang kulakukan hanya diam dan terus melangkah.
Sesampainya di belokan yang cukup sepi, Satoru menghentikan langkahnya. Ia menarik napas lalu dengan perlahan mengembuskannya. Kemudian aku memberanikan diri untuk menatap wajah Satoru. Ia terlihat gugup dan melepaskan jemarinya dari jemariku.
“Kenapa dilepas, Satoru?”
Satoru tersenyum dan ia berkata dengan wajah yang serius, “Apa aku boleh terus memegang tanganmu?”
Aku mengangguk dan kini mata Satoru menatap dalam-dalam ke mataku. Rasanya sinar mata teduh itu menembus sampai ke dalam aliran darah di tubuhku. Kembali kurasakan jemari Satoru memenuhi sela-sela jemariku.
“Miyuki, kau dan dia begitu mirip. Terutama sikap dan rambut gelombang kalian. Oleh sebab itu, saat pertama kali aku melihat dirimu, dengan sengaja kusenggol sepedamu dan tidak menolong kau yang terjatuh akibat ulahku. Itu karena aku membenci dia yang telah berkhianat,”
Kudengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Satoru dengan penasaran. Suara angin saat ini tak terdengar. Mungkinkah sang angin pun sedang mendengarkan kata-kata Satoru?
“Namun aku sadar, kalau kamu bukan dia. Sejak kau terjatuh saat itu, aku selalu memikirkanmu. Mungkin semua ini memang sudah menjadi takdir untuk kita, Miyuki. Aishiteru!
Aku memandangi mata Satoru seolah bertanya apakah kata-katanya itu sungguh-sungguh benar. Satoru mengangguk dan ia membawa tubuhku ke dalam dekapan hangatnya. Tanpa sadar aku menitikkan bulir bening dari kedua pelupuk mataku. “Aku juga mencintaimu, Satoru!” bisikku lirih di dekat telinga Satoru.
Tiba-tiba suara angin kembali terdengar. Namun kali ini lebih lembut dan merdu. Seolah menembangkan kidung cinta nan indah yang mengiringi kisah kasih kami berdua.
Index:
__________________________________________________________________
1. Togaden: Restoran yang terletak di Wilayah Sanjo ini menyajikan menu dengan berbahan dasar tofu (tahu) dan sayuran, tanpa ada daging.
2. Sanjo: Wilayah Sanjo adalah “Shinjuku”-nya Kyoto, di mana daerah ini menjadi pusat perbelanjaan dan fashion di kota Kyoto.
3. Haru: Musim semi.
4. Tadaima: Aku pulang!
5. Ohayoo gozaimasu: Selamat pagi
6. Uwabaki: Sepatu khusus untuk di sekolah. Uwabaki adalah sebuah tradisi Jepang untuk Membedakan orang luar dan orang dalam. Dengan Uwabaki, kelas gedung sekolah jadi tidak terlalu kotor.
7. Sensei: Panggilan hormat untuk guru.
8. Arigatou gozaimasu: Terima kasih!
9. Do itashimashite: Sama-sama.
10. Haha: Ibu
11. Tofu karaagedon set: Salah satu menu yang berbahan dasar tahu di Restoran Togaden. Harganya 800 yen.
12. Ittekimasu: Aku pergi!
13. Iterasshai: Hati-hati!
14. Gomen nasai: Maafkan aku!
15. Natsu: Musim panas
16. Arashiyama: Salah satu tempat menarik di Kyoto dengan pemandangan yang indah dan terletak di kaki gunung.
17. Aishiteru: Aku cinta kamu!

MELODI HATI YANG BUKAN ILUSI


Lukiskan siluet cinta di hatimu!
Penuh… sepenuh cinta yang kaumiliki.
Susunlah mozaik sayang di jiwamu!
Hingga menyatu bersama cinta itu.

_________________________________________________________________________

Sebagai manusia, tiada yang mampu kita genggam untuk selamanya. Namun kita masih memiliki waktu. Waktu yang menciptakan kesempatan untuk kita. Menggubah kidung kasih dengan untaian nada cinta..
Kita sangat tahu, tiada mungkin memeluk sebuah hal untuk selamanya. Kita pun tahu, jika sang keabadian hanyalah sebuah ilusi yang akan memakan perlahan waktu, bila kita hanya menatap tanpa mengepakkan sayap.
Inginkah kau jika kisah ini menjadi bukan sebuah ilusi yang abadi?
Yang akan kaugenggam dengan tanganmu untuk selamanya. Yang akan kaudekap sampai kaulelah. Yang akan kauhujami dengan jutaan kalimat cinta. Yang akan kausentuh dengan hatimu hingga keletihan membayangi hitam dalam pekatnya malam..
Kasih… sesungguhnya aku hanya ingin seperti ini. Tanpa lelah untuk melangkah menggapai impian kita. Tanpa bisikan-bisikan keegoisan yang melapisi telinga. Tanpa sajian penglihatan yang menghitamkan mata. Tanpa pemikiran yang hanya akan membunuh benih bahagia yang tengah kita tuai di ladang masa depan.
Cukup hanya sebuah keyakinan! Jangan lagi kaukatakan ini hanyalah ilusi!
Mengapa?
Itu hanya akan menghambat bahkan mengecilkan sebuah cinta yang telah tumbuh. Tentu kita tak ingin melenyapkannya. Jadi untuk sementara waktu, tetaplah kau dengan impianmu. Aku pun dengan impianku. Biarkanlah cinta akan menyatukan kita pada suatu saat nanti. Dan aku telah meyakini bila impian kita akan berjumpa di persimpangan jalan, saat kita sama-sama kelelahan atau kita sama-sama telah mampu mengepakkan sayap dan bercahaya..
Karena satu cinta, hanya untuk satu hati. Dan cinta bukanlah sebuah ilusi. Sekali pun masih semu, selama bulan masih menerangi malam dan masih ada pelangi setelah hujan, kesemuan itu perlahan akan menjadi nyata. Tinggal bagaimana sebuah kekuatan dapat kita gubah demi kesanggupan untuk bertahan..

______________________________________________________________

Dan sampai di batas waktu ini, kumohon kau akan memahami sikap yang mungkin adalah keegoisan seperti yang pernah kaukatakan. Namun sesungguhnya sikap itu hanyalah sebuah kekuatanku untuk bertahan. Seperti kau yang tetap pada sikapmu, yang kuyakini juga sebagai kekuatanmu untuk bertahan..

“Aku mencintaimu… selama waktu mencintai kehidupannya.”

Popular Posts