"Aku masih menunggu ombak datang di pesisir. Ingin kusentuh buih putihnya. Akan kusambut dengan belaian renjana. Sambil kuceritakan tentang dongeng kehidupan."
Karena....
"Aku ingin menjadi pagimu. Di mana saat kaubuka mata, kaurasakan segarnya udara.
Aku ingin menjadi siangmu. Di mana ketika kau beraktivitas dengan semangat yang luar biasa.
Dan aku ingin menjadi malammu. Tempat kau melabuhkan lelah dan bermimpi tentang kita."
Sunday, 11 May 2014
Wednesday, 30 April 2014
CERPEN : CINTA PUTIH KAYLA
Sebuah rasa yang terlahir dalam hatiku, sejak enam tahun yang lalu
hingga kini masih tetap setia kujaga. Rasa yang kusebut cinta, rasa yang
menumbuhkan bunga-bunga semangat dalam hidupku dan rasa yang mampu
membuat diriku bertahan selama ini. Bukan waktu yang singkat untuk
mendekam rasa ini di dalam hati. Aku pun tak tahu sampai di mana cinta
ini sanggup berlabuh. Akankah sampai pada pelabuhan yang kutuju atau
malah harus mengalah pada titik kelemahan hingga tak bisa melabuhkannya
pada hati yang telah lama kudamba.
Pagi ini masih seperti biasanya. Hanya aku sendirian yang sudah duduk
manis di dalam ruangan A105, menunggu mata kuliah pertama di senin pagi
yang cukup dingin. Kubuka lembaran buku tebal yang baru saja
kukeluarkan dari tas, lalu membacanya perlahan untuk mengisi waktu.
Setelah sepuluh menit berlalu, kulirik jam mungil berwarna kecoklatan di
pergelangan tanganku. Tepat pukul delapan pagi, itu berarti aku harus
menunggu setengah jam lagi, baru perkuliahan akan dimulai.
“Satu, dua, tiga, empat, …” kuhitung detik demi detik dan tepat pada
detik ke sepuluh, sang pujaan hatiku dengan manisnya melangkah masuk ke
dalam. Lagi-lagi hari ini ia bersama sang bidadari pilihan hatinya.
Tentu saja bukan aku, tapi seorang gadis yang amat cantik, amat manis,
amat anggun, amat menarik dan segala amat yang mewakili kesempurnaan
dari seorang Cherry..
Sudah menjadi kegiatan rutinku, memperhatikan kedatangan Andro. Ia
bersama kekasihnya, Cherry, pasti datang pada pukul delapan pagi lewat
beberapa detik saja. Kemarin lewat lima belas detik dan hari ini hanya
sepuluh detik. Seminggu yang lalu Andro datang pada pukul delapan tepat,
waktu tercepat ia datang. Kegiatan rutin ini sudah kulakukan sejak
pertama kali menuntut ilmu di kampusku sampai sekarang, sudah hampir
tiga tahun karena kami sudah semester enam saat ini. Sebenarnya aku tak
tahu untuk apa melakukannya, namun ada rasa bahagia tersendiri jika
kutahu Andro masuk kuliah dan terlihat baik-baik saja.
Andro dan Cherry melewati tempat dudukku dan seperti biasanya mereka
memilih di kursi paling belakang dan duduk berdekatan. Aku tersenyum
getir melihat kemesraan mereka. Lalu kembali kubaca buku yang sejak tadi
kudiamkan saja di atas meja.
“Kayla!” teriak Mimi dekat pada telingaku.
Aku kaget dan cemberut menatap Mimi yang tertawa. “Bisa tidak kalau
memanggil orang itu tidak pakai teriak-teriak!” kataku kesal pada Mimi
sambil mencubit lengannya.
“Hahaha! Salah kamu, Kay. Aku datang tapi pura-pura tidak tahu, padahal
hari ini aku memakai baju baru, loh!” Mimi berdiri di depanku lalu ia
memutar badannya, menunjukkan baju berwarna merah muda yang dipakainya.
“Cantik, Mi!” pujiku sungguh-sungguh.
“Terima kasih, Kayla sayang! Akhirnya kamu mengakui juga kalau aku ini memang cantik, hehehe…,” ucap Mimi dengan mata berbinar.
“Aduh, yang cantik bajunya, Sayang. Bukan kamu! Haha…!” Setelah mengejek
Mimi, aku langsung melarikan diri keluar. Mimi cemberut dan mengejarku
yang tertawa-tawa riang.
Mimi berhasil menyusulku dan menarik lenganku. “Jika tidak mengatakan
aku cantik, tak akan kulepaskan tanganmu!” seru Mimi mengancam dengan
mimik muka dibuat garang.
“Iya, iya. Aku bercanda. Mimi cantik, kok!” kataku menyerah.
“Nah, begitu dong!”
Lalu kami berdua duduk-duduk di kursi panjang depan ruangan kuliah,
menanti kedatangan Pak Harata. Tepat pada pukul delapan lewat tiga puluh
menit, Pak Harata terlihat berjalan menuju ruangan A105. Aku dan Mimi
segera masuk.
“Pak Harata sudah datang!” teriak Mimi pada teman-teman yang masih asyik mengobrol.
“Selamat pagi!” sapa Pak Harata pada kami. Ia tersenyum dan duduk di kursinya.
“Selamat Pagi, Pak!” jawab kami serentak.
—
Bintang banyak sekali malam ini. Menghias langit di angkasa, seperti
berlian yang berhamburan di atas permadani luas membentang. Aku sedang
menggenggam buku harian saat masih di SMA. Buku dengan sampul hijau muda
kini menjadi kenangan semata karena saat ini aku tak pernah lagi
menggoreskan pena di buku tersebut.
Kubuka salah satu lembar yang berwarna merah muda.
Dia masih sama saja. Tetap cakep dan ramah pada siapapun. Andro, kamu
nanti kuliah di mana? Aku harap kita bisa satu universtas lagi dan bisa
belajar dalam satu ruangan denganmu… ^_^
Aku tersenyum membaca tulisanku sendiri. Dari tanggalnya, aku dapat
mengingat saat itu kami sedang merayakan pesta kelulusan di SMA. Ketika
kudengar dari salah seorang teman, Andro akan ikut tes masuk Universitas
Sriwijaya, aku bertekad untuk belajar sungguh-sungguh agar bisa lulus
tes dan satu kampus dengan Andro. Hasilnya sungguh memuaskan, selain
satu kampus ternyata tiga tahun selama kuliah pun selalu satu ruangan
dengannya.
Kini aku membaca lembaran berwarna hijau muda.
Ah, Andro keren sekali hari ini! Permainan basketnya memukau dan
semua anak perempuan di sekolah ini berkumpul di lapangan untuk melihat
Andro. Tapi, kenapa sampai detik ini Andro belum memiliki pacar, ya?
(Mengharapkan sesuatu yang kurang mungkin, hehe :D)
Sesaat aku tertegun sejenak membaca catatan di kelas dua SMA. Hari
itu sedang diadakannya pertandingan basket antar SMA sekota Palembang
dan SMA-ku menjadi tuan rumah. Andro salah satu tim basket andalan di
SMA dan sering menjuarai perlombaan basket. Kabar-kabar yang kudengar,
Andro belum pernah menyukai cewek sehingga ia belum pernah memiliki
pacar. Aku pernah bermimpi suatu saat nanti bisa berjodoh dengan Andro
walau kemungkinannya sangatlah kecil.
Lembaran pertama kali dalam buku harianku, berwarna biru muda, dengan seksama aku membacanya.
Baik sekali cowok itu! Dia memberikanku topi bolanya saat MOS agar
aku tidak dihukum senior. Untung saja Andro juga tak dihukum karena para
senior cewek membelanya. Andro ganteng sih, jadi kakak-kakak senior
mengurungkan niat untuk menghukumnya. Sudah cakep, baik lagi! Aku
menyukainya. <3
Kututup buku harian dan memandangi bintang lewat jendela kaca di
kamarku. “Bintang, Andro kini sudah bisa jatuh cinta. Dia sudah memiliki
dan dimiliki Cherry. Apakah aku masih boleh mencintainya?” aku berbisik
pada bintang-bintang yang bercahaya terang. Mereka seolah tersenyum dan
menatapku yang tengah merenung.
—
“Jika memang tidak sanggup, tidak perlu dipaksa, Honey! Hanya saja
Papi dan Mami menginginkan aku menikah secepatnya,” kata Cherry menahan
kesal.
“Bukan aku tidak sanggup memenuhi permintaan kamu, Honey. Tapi aku belum
siap sama sekali jika kita harus menikah. Papa dan Mama tentu belum
mengizinkan, mereka ingin kita jadi sarjana dulu,” jawab Andro dengan
wajah pias. Dia menatap kekasihnya itu dengan sedih.
“Oke, kamu bisa pilih! Mengikuti kata orangtuamu atau aku!” seru Cherry yang membuat Andro terdiam.
Cherry meninggalkan Andro sendirian di kantin. Andro tidak
menyusulnya. Ia hanya tertunduk dan mengacak-acak rambutnya sendiri.
Andro pasti kebingungan dan bersedih tidak bisa memenuhi keinginan
Cherry yang mengajaknya untuk menikah dalam waktu cepat ini.
Aku duduk sendirian di sudut kantin. Tak sengaja kulihat Andro dan
Cherry yang sedang makan tak jauh dariku. Aku mengamati dan mendengarkan
percakapan mereka. Kini aku ikut merasakan kesedihan dan kebingungan
Andro yang dihadapkan pada masalah rumit hingga membuat Andro tak mampu
berkata-kata lagi.
Satu minggu kemudian.
Di pesta pernikahan Cherry. Tapi pengantin prianya bukanlah Andro
melainkan laki-laki yang sudah sarjana, pilihan papi mami Cherry. Pesta
super mewah di gedung Novotel, hotel berbintang terbaik di Palembang,
yang menurut tebakanku menghabiskan biaya ratusan juta ini sangat ramai
di hadiri para tamu undangan. Para pejabat dan artis ibukota turut
merayakan resepsi pernikahan Cherry.
“Gila! Suami Cherry itu anak pejabat ya, Kay?” decak kagum Mimi
sambil mencicipi hampir semua makanan dan minuman yang disediakan di
beberapa stan.
Aku menggeleng. “Tidak tahu, Mi. Tapi mungkin juga, ya.”
Mimi sibuk mengunyah. Anak ini belum kenyang juga, padahal sudah berbagai jenis makanan masuk ke dalam perutnya.
“Mi, masih mau makan lagi?” tanyaku bercanda saat mata Mimi
memperhatikan stan yang khusus menyediakan pempek, makanan khas
Palembang.
Mimi mengangguk dan langsung menarik tanganku. Aku menggeleng-geleng
heran memandangi Mimi yang sekarang sibuk mengambil beberapa pempek dan
menaruhnya di atas piring. Aku mengajak Mimi makan bersama teman-teman
yang lain. Andro? Apa aku tak salah melihat? Ah, benar-benar Andro. Ia
sedang berkumpul bersama teman-teman cowok di dekat hiasan air mancur.
Aku tersentak, Mimi pun begitu.
“An, kamu datang?” tanya Mimi dengan wajah heran bercampur kagum karena
Andro terlihat sangat ganteng dengan pakaiannya yang amat rapi.
“Andro, pria sejati! Dia menghormati mantan kekasihnya, jadi datang
walau hati teriris-iris. Sakit, uuuhh!” jawab Krisna asal sembari
bertingkah lucu yang mengundang tawa kami semua.
Andro hanya tersenyum dan menjawab pertanyaan Mimi, “Datang dong, Mi.”
“Ah, Andro diputuskan Cherry karena tidak mampu memenuhi permintaan
Cherry yang menginginkan pesta super mewah, hahaha…!” ujar Ricko
seenaknya.
“Bukan tidak sanggup! Aku bisa saja membiayai pesta pernikahan lebih
mewah dari ini kok!” seru Andro kesal atas kata-kata Ricko yang
menghinanya.
“Padahal sudah pacaran satu tahun, kalian sudah amat serasi, dan kamu
sanggup memenuhi permintaannya. Terus kenapa kamu melepaskan Cherry,
Bro? Sayang sekali, gadis secantik dan seseksi Cherry itu susah
mendapatkannya!” Kini giliran Nicky yang berceloteh.
Andro hanya terdiam menahan emosi atas hujatan teman-temannya yang
kecewa karena Andro melepaskan Cherry, cewek nomor satu di kampus.
“Pasti ada hal lain yang membuat Andro mengambil keputusan ini,
teman-teman. Jangan membuat Andro lebih bersedih lagi dong!” kata Safira
menengahi karena suasana mulai memanas.
Andro melihatku sekilas namun langsung membuang wajah. Aku melihat ada
luka di balik senyuman tegarnya. Aku mengerti perasaan Andro, pasti
sakit dan ia berpura-pura sedang baik-baik saja. Aku tahu hatinya
menangis, akan tetapi ia tetap berusaha bahagia atas pernikahan Cherry,
satu-satunya perempuan yang ia cintai.
“Diharapkan teman-teman dari Universitas Sriwijaya naik ke atas
pelaminan untuk berfoto bersama pengantin!” panggil pembawa acara.
Perempuan yang benar-benar mendekati sempurna menurutku saat
memandangi Cherry yang berbalut pakaian pengantin. Suaminya pun tak
kalah, sangat gagah dan ganteng walau masih lebih ganteng Andro. Selesai
berfoto, kami semua menyalami sepasang pengantin yang sedang
berbahagia. Andro menatap Cherry dan Cherry mengacuhkannya. “Kasihan
sekali kamu, An.” gumamku di dalam hati.
—
Selama kuliah, baru kali ini ada orang yang mendahului kedatanganku
dan sudah berada di ruangan kuliah pagi hari ini. Aku tersentak kaget
saat tahu jika orang itu adalah Andro. Dia sedang sibuk menulis. Apa
karena ada tugas yang belum diselesaikannya jadi Andro datang pagi? Ah,
sepertinya tidak. Biasanya walau ada tugas yang menumpuk pun dia tak
akan datang di bawah jam delapan.
Aku meletakkan tas di atas kursi dan bermaksud untuk keluar. Jantung
ini kurasakan berdebar-debar saat berdua saja bersama Andro seperti
sekarang. Baru mau melangkahkan kaki, Andro memanggil namaku. “Kayla…,”
Aku menoleh dan tersenyum. “Ada apa, An?” kataku sambil berusaha tak
terlihat gugup. Jarang-jarang Andro menegurku apalagi mengajak bicara.
“Jika tidak ada kerjaan, di sini saja temani aku!” jawab Andro sambil
menarik bibirnya membentuk senyuman terindah yang pernah kulihat. Dan
senyum itu kali ini benar-benar untukku. Ah, ingin rasanya aku memotret
senyuman Andro barusan.
Aku mengangguk dan menuju ke arah tempat duduk Andro. “Lagi nulis apa? Tugas, ya?” tanyaku basa-basi.
“Tugas sudah kukerjakan kemarin setelah pulang dari pesta pernikahan
Cherry. Sekarang lagi nulis puisi patah hati saja, Kay. Hehehe,” Andro
menjawab pertanyaanku dengan tertawa kecil.
Aku terdiam. Membiarkan Andro terus menulis selama beberapa menit.
“Kayla, aku masih sangat mencintai Cherry. Apa aku masih boleh
mencintainya padahal ia sudah menjadi milik orang lain?” Andro bertanya
serius padaku.
“Cinta itu adalah anugerah. Boleh-boleh saja mencintai seseorang yang
sudah dimiliki orang lain. Namun, tidak untuk memiliki, An!” jawabku
yang seolah menjawab pertanyaanku sendiri.
Andro menatapku dan aku menatapnya. Cukup lama kami saling bertatapan
dan Andro yang terlebih dahulu sadar lalu memalingkan wajahnya. Aku
menjadi malu. Wajahku biasa-biasa saja, tidak secantik dan semenarik
Cherry. Mungkin itu yang membuat Andro tersadar dan segera memalingkan
wajahnya.
Sekarang tak lagi kudapati seorang Andro yang ceria. Keceriaannya
seolah tertelan dukanya karena Cherry. Andro juga jarang sekali masuk
kuliah dalam beberapa minggu ini. Aku benar-benar khawatir, takut
terjadi apa-apa dengan orang yang kucintai itu. Untung aku masih
mengingat jalan ke rumah Andro. Sepulang kuliah siang ini, aku akan ke
rumahnya untuk mencari tahu penyebab Andro tidak masuk kuliah
berhari-hari.
Selama setengah jam aku terpaku di hadapan mama Andro. Dengan berurai
airmata, mama Andro bercerita dalam dua minggu ini Andro ternyata
mengkonsumsi obat tidur dosis tinggi dan yang mengerikan ternyata Andro
mengkonsumsinya dalam jumlah yang sangat berlebihan sehingga membuatnya
harus diopname di rumah sakit sejak kemarin.
“Tante sangat menyesal, Kayla. Seandainya kami mengizinkan Andro
menikah, tentu dia tak akan begini. Ini semua salah kami!” kata mama
Andro menyesali diri.
“Semua adalah takdir dari Tuhan, Tante. Tidak ada yang salah. Terpenting
sekarang, bagaimana mengembalikan Andro seperti semula,” kataku lembut
sambil mengusap pipi mama Andro pelan.
Sudah satu minggu lamanya Andro dirawat di rumah sakit. Tubuhnya
semakin kurus dan tidak mau berbicara banyak padaku dan pada
orangtuanya. Dengan rasa cinta di dalam hatiku, setiap hari sepulang
kuliah aku ke rumah sakit untuk menemani Andro. Bagaimanapun kondisinya
sekarang, bagaimanapun keadaannya fisiknya sekarang, aku masih tetap
cinta. Cinta yang tetap putih seputih pertama kali aku mencintai Andro
di kelas satu SMA dahulu.
Sore ini, kuajak Andro berjalan-jalan mengelilingi area rumah sakit.
Andro disuruh suster menggunakan kursi roda saja karena badannya masih
lemas. Aku mendorong kursi roda Andro perlahan dan mengajaknya ke sebuah
taman kecil. Di taman ini terdapat pohon-pohon besar yang rindang dan
rerumputan nan hijau yang menyejukkan mata, lengkap dengan
bunga-bunganya yang dihinggapi kupu-kupu cantik.
“Andro, lihat anak kucing itu! Dia hanya sendirian tanpa induk dan
tanpa teman. Tapi coba perhatikan, ia tetap ceria bermain bersama rumput
dan kupu-kupu di sana!” kataku sembari menunjuk ke arah anak kucing
yang sedang melompat-lompat mengejar kupu-kupu dan memainkan rumput yang
bergoyang tertiup angin.
Andro memperhatikan anak kucing itu. Perlahan dia tersenyum. Aku bahagia
sekali melihat senyuman Andro. “Kamu juga pasti bisa lebih bahagia dari
anak kucing itu, An! Kamu masih memiliki orangtua yang amat
menyayangimu dan masih memiliki teman. Pantaskah kamu larut dalam
kesedihan dan hampir mencelakai dirimu sendiri?” kataku bertanya lembut
pada Andro yang langsung tertunduk.
“Aku tidak pantas untuk bersedih seperti ini, Kay. Aku sungguh menyesal!” jawab Andro dengan terbata.
Aku tersenyum dan berbungkuk di hadapan Andro. “Mulai sekarang, kamu
harus lupakan masa lalu yang hanya akan melukis kesedihan. Tataplah masa
depan, Andro! Itu akan membuatmu lebih baik. Semangat!” Aku berkata
sambil mengepalkan tangan dan mengangkatnya untuk memberikan semangat
pada Andro yang kukasihi.
“Oke, Kayla! Mulai saat ini aku akan kembali menjadi Andro yang dahulu.
Aku akan melupakan Cherry dan memulai hidup dari awal lagi demi masa
depan yang lebih cerah!” seru Andro semangat dengan sumringah sambil
menatap mataku.
Aku pun tersenyum. Ingin menangis rasanya.
Terima kasih, ya Allah. Andro sudah kembali seperti dulu dengan
senyuman manisnya. Aku berjanji akan tetap menjaga cinta putih ini
untuknya namun tetap tidak akan mengalahkan cintaku pada-Mu, Sang
Pemilik Hati dan Jiwa.
CERPEN: ELEGI EMBUN PAGI
Di dalam kelas yang sepi.
“Yeta, dicoba aja dulu! Masa sih udah tujuh belas tahun belum punya
pacar juga, malu tuh sama wajah cantik kamu! Hahaha…,” kata Mentari
membujukku sambil bercanda. Ia tertawa saat melihat wajahku langsung
cemberut.
“Mentari, sahabatku tersayang… jika kamu masih aja nyuruh aku pacaran
sama dia, gak akan kupinjami komik lagi loh!” kataku mengancam lalu
memalingkan wajahku dari Mentari.
Fenta dan Adinda yang baru saja dari kantin menghampiri kami sembari menyerahkan bungkusan burger pesananku dan Mentari.
“Ada apa dengan kalian? Kok kayaknya lagi diam-diaman aja?” tanya Adinda heran sambil menatapku dan Mentari secara bergantian.
“Yeta nih, masa Gilang yang udah jelas-jelas cakep dan kaya, masih aja
ditolak. Heran deh! Cowok yang kayak gimana yang kamu mau, Ta?” Mentari
berkata seolah ia sangat terheran dengan sikapku.
“Gilang nembak kamu, Ta?” tanya Fenta ingin tahu.
Aku hanya terdiam.
“Benar Gilang udah nembak kamu? Lalu kamu tolak?” Kini Adinda yang
bertanya padaku dengan tatapan mata yang menyiratkan kekaguman.
Aku mengangguk lemah. Dan…
“Fayeta! Cowok nomor satu di SMA kita aja bisa jatuh hati sama kamu dan
seharusnya kamu terima,” teriak Adinda dan itu membuatku jadi risih.
“Kalau kamu jadian sama Gilang, ‘kan pasti diajak jalan dengan BMW-nya,
terus kami juga bisa ikut nebeng dong, haha…!” kata Fenta heboh dengan
tawanya yang khas jika ia sedang gembira.
“Fen, Din… sahabat kita ini udah nolak Gilang. Beberapa waktu yang lalu
juga udah nolak dua cowok yang lumayanlah menurut kita. Kalian curiga
gak sih?” Mentari berkata dengan nada menyelidik seraya menatap mataku
tajam.
“Jangan-jangan kamu gak suka cowok, sukanya sama cewek ya?” tebak Adinda bercanda lalu mengembungkan kedua pipinya lucu.
“Huuh! Aku normal. Jangan mikir yang aneh-aneh deh!” jawabku merengut
tidak suka. Mereka memang tidak pernah tahu jika aku sudah pernah jadian
sama cowok yang amat spesial bagiku. Tapi cowok itu akan dipandang
sebelah mata oleh mereka dan yang pasti oleh kedua orangtuaku juga.
Adinda, Fenta dan Mentari hanya tertawa mendengar jawabanku. Lalu kutinggalkan mereka dan membawa langkahku menuju perpustakaan.
Di perpustakaan.
Sedang asyik-asyiknya membaca kata-kata cinta karya Kahlil Gibran,
seseorang yang sangat tak ingin kutemui saat ini telah duduk di
hadapanku. Ia berusaha tersenyum dan dengan cekatan tangannya mengambil
jemariku. Aku sama sekali tak bisa menghindar atau marah padanya, karena
aku tak ingin membuat keributan di perpustakaan ini.
“Tolong kali ini aja kamu dengerin aku, Yeta!” pintanya dengan wajah memelas seraya memandangi mataku.
Ah, aku sangat lemah jika memandang kedua bola mata teduhnya. Dan aku
menjadi tak tega melihat wajahnya yang memohon seperti itu. Tapi, aku
harus tegas. Ini semua demi kebaikan. Terutama untuk kebaikanku.
“Van, kayaknya gak ada lagi yang perlu aku dengerin dari kamu. Kita udah
putus. Dan aku mohon lupakan janji itu! Lupakan juga kalau kita pernah
jadian! Dengan begitu aku atau kamu gak akan merasa terbebani lagi atas
janji bodoh yang pernah kita sepakati.”
“Gak semudah itu untuk lupa, Yeta! Aku hanya ingin kamu menemaniku satu
jam aja, sesuai janji kita dulu. Meski dengan terpaksa kutelan kenyataan
ini, bahwa kamu bukan milikku lagi. Sampai saat ini pun aku belum
mengerti kenapa kamu memutuskan hubungan kita dengan tiba-tiba. Padahal
aku udah memenuhi syarat dari kamu, yang tak ingin orang lain tahu jika
kita udah jadian.”
Aku hanya terdiam dan menunduk. Jemariku dalam genggaman tangan Revan
terasa lemas namun terasa hangat dan nyaman. Rasanya aku ingin menangis.
Menangis mengingat sebuah kenyataan pahit yang mengharuskanku
meninggalkan Revan dan membunuh cintaku padanya.
“Jika kamu mengatakan alasannya, aku berjanji akan menjauh dari kamu.
Aku gak akan ganggu kehidupan kamu lagi. Aku juga gak akan menuntut
janji itu untuk kamu penuhi,”
Dengan lidah kelu, aku berusaha berbicara. “Alasannya… karena aku udah
gak cinta sama kamu. Tolong kamu bisa ngertiin perasaan aku!”
Revan menatapku tak percaya. Beberapa detik kemudian matanya langsung
berkaca-kaca. Genggaman tangannya yang semula amat erat kini mulai
melemah dan akhirnya terlepas. Ia berdiri lalu tersenyum padaku.
“Terima kasih, Yeta. Semoga kamu selalu berbahagia.” Revan
meninggalkanku dan aku hanya bisa memandangi punggungnya. Aku tak pernah
menyangka, ternyata genggaman tangannya tadi adalah genggaman tangan
terakhirnya untukku.
Satu bulan yang lalu, di sebuah taman belakang sekolah.
“Apakah aku bermimpi, Yeta?” tanya Revan padaku dengan penuh kebahagiaan.
Aku hanya menggeleng lalu tersenyum manis. Senyuman termanis yang pernah aku berikan untuk seorang cowok.
Dengan refleks, Revan langsung memelukku. Beberapa detik kemudian, dia melepaskan pelukannya.
“Emm… maaf, aku… aku… gak sengaja. Kamu gak marah, ‘kan?”
“Gak apa-apa, Van.” kataku lembut dengan wajah memerah.
Sumpah, aku gugup saat dipeluk Revan tadi. Jantungku berdetak kencang
dan Revan pun begitu. Aku tahu karena tadi merasakan degupan jantungnya
ketika memelukku.
Kini kami duduk di kursi panjang bercat biru, di samping pohon cemara
yang tidak terlalu tinggi. Sekarang masih pukul tujuh pagi tapi entah
kenapa keningku berkeringat. Padahal aku tahu udara sekarang sangat
sejuk. Angin pun berembus lembut membelai wajah dan rambutku. Ah, apakah
karena sekarang aku terlalu gugup berdekatan dengan seseorang yang
berhasil mencuri hatiku sejak beberapa bulan yang lalu.
“Yeta…,” panggil Revan lembut padaku.
Aku menoleh ke arah Revan dan berkata, “Iya, Van?”
“Kamu lihat ke pohon cemara ini! Embunnya masih cukup banyak, ya?”
“Eh, iya. Emangnya ada apa, Van?”
“Aku suka banget sama embun. Embun itu rapuh karena jika kita sentuh
sedikit aja, pasti ia akan hancur, gak berbentuk bulat lagi lalu
menghilang. Tapi embun adalah noktah bening yang suci dan sejuk. Kamu
tahu gak, jika dari embun kita bisa belajar tentang suatu ketegaran
loh,”
“Ketegaran?” tanyaku bingung.
Revan terdiam sesaat. Kemudian menarik napasnya dalam dan berkata dengan
suara lirih namun penuh ketegasan. “Embun, meski dia rapuh, ia masih
tetap tegar. Ia tahu keberadaannya gak lama, tapi ia tetap berusaha
memberikan kesejukan pada dunia meski hanya sebentar. Lalu ia akan
datang lagi pada hari-hari berikutnya untuk memberi kesejukan itu
kembali,”
“Benar katamu, Van! Embun penuh ketegaran dan dia juga percaya diri
karena ia yakin jika ia akan kembali pada hari esok meski hari ini ia
telah terpecah, ya.”
Revan tersenyum sambil menatap mataku dalam. “Yeta, aku mencintaimu
sejak kita satu kelas di kelas dua. Dan sekarang, aku baru memiliki
keberanian untuk menyatakannya padamu, di saat waktu kita bersama di
sekolah sudah hampir berakhir. Aku takut kehilangan kamu, padahal baru
beberapa menit aku merasa memilikimu.”
Aku terkejut mendengar kata-kata Revan. “Van, dari kelas dua? Dan kamu memendamnya udah hampir dua tahun?”
Revan mengangguk. “Aku malu padamu, Yeta. Aku bukanlah anak orang kaya.
Bukan pula cowok keren berwajah tampan. Aku merasa tak pantas untukmu.
Tapi aku pikir, aku akan menyesal jika gak pernah menyatakan cintaku
padamu. Sungguh merupakan karunia terindah ternyata kamu menerima
cintaku. Terima kasih banyak, Yeta! Aku merasa ini seperti mimpi.”
“Revan, aku gak pernah menilai cowok dari kekayaan atau ketampanannya.
Kamu tentu tahu bukan jika aku belum pernah sekalipun berpacaran. Entah
kenapa, aku bisa menerima kamu. Entah kenapa juga aku mulai merasa jatuh
cinta sama kamu sejak kita mulai dekat kenaikan kelas tiga kemarin.
Tapi aku bahagia, ternyata kamu pun memiliki rasa yang sama,”
Kami berdua saling berpandangan lalu tertawa.
“Oh iya, Van. Hubungan kita dirahasiain aja ya. Gak apa-apa, ‘kan?” pintaku pelan-pelan takut menyinggung Revan.
“Oke, Sayang. Aku janji akan merahasiakan hubungan kita. Dan aku gak
akan nanya alasannya apa. Aku yakin kamu punya pemikiran untuk kebaikan
kita. Tapi, aku juga boleh minta sesuatu?”
“Apa itu?”
“Setelah pengumuman kelulusan, besoknya temeni aku mengumpulkan embun di
taman ini ya! Kita datang ke sini pada pukul setengah enam aja. Aku
yakin embun di dedaunan masih utuh pada jam segitu,”
“Iya, Sayang.” Aku tersenyum bahagia dan seketika kurasakan jantungku
makin berdegup kencang. Ya, karena Revan menggenggam jemariku dan
mengecup keningku.
Hari ini. Hari pengumuman kelulusan.
Lapangan sekolah yang biasa dipakai untuk upacara, sekarang penuh sesak
oleh teriakan gembira siswa dan siswi yang sudah melihat namanya ada di
daftar kelulusan tahun ini.
“Akhirnya kita lulus, nih. Hore! Bentar lagi kita jadi mahasiswi dong, keren!” teriak Adinda heboh dengan wajah amat bahagia.
“Iya, iya… Kita bisa pakai baju bebas kalau kuliah, kan? Ah, seru!” timpal Fenta tak kalah hebohnya.
“Eh, satu lagi. Kita gak harus bikin PR matematika lagi. Hahaha!” kata
Mentari sembari tertawa senang. Tentu saja ia sangat senang karena
matematika adalah pelajaran yang paling dibencinya.
Aku hanya tersenyum. Bukan tak bahagia atas kelulusan ini, tapi aku
hanya tak ingin terlalu heboh seperti mereka. Tiba-tiba HP-ku bergetar,
ada pesan di inbox-ku. Setelah membacanya aku berniat mengacuhkannya.
Namun hati kecilku berkata lain. Dengan alasan mau ke toilet, aku pamit
sebentar dengan sahabat-sahabatku.
Dengan cepat kulangkahkan kaki menuju taman belakang sekolah. Di
sebuah kursi, di samping pohon cemara yang tidak terlalu tinggi, Revan
duduk dengan menundukkan wajahnya.
“Van…”
Dia mendongakkan wajah dan tersenyum. “Fayeta, terima kasih kamu mau menemuiku. Aku kira kamu udah gak mau lagi ketemu aku,”
Aku ikut tersenyum. Bagaimana mungkin aku tidak ingin bertemu dengan dia
lagi. Sedangkan setiap malam, dia selalu hadir di mimpiku.
“Besok ya, setengah enam kutunggu di kursi ini. Aku telah menyiapkan
sebuah cawan untuk tempat si embun pagi yang kita kumpulkan. Nanti embun
itu akan menjadi saksi jika kita pernah memiliki kisah. Aku ingin
menjadi embun untukmu, Yeta. Selalu memberikanmu kesejukan. Meski
kutahu, aku gak bisa selalu ada untukmu layaknya sang embun.”
Aku terdiam jika Revan sudah berbicara dengan nada sedih seperti itu..
“Aku udah tahu alasan kamu memutuskan hubungan kita. Aku mengerti dan
emang wajar jika orangtua kamu melarang. Namun sebenarnya, tanpa kita
putus pun aku akan tetap harus meninggalkan kamu, Yeta. Suatu saat nanti
kamu akan tahu sesuatu tentang aku.” kata Revan mengakhiri kata-katanya
sambil beranjak dari duduknya dan berlalu pergi.
Keesokan paginya di taman belakang sekolah.
Udara sangat sejuk. Dingin. Tercium aroma tanah yang lembap. Langit
masih sedikit gelap karena jam mungil di pergelangan tanganku
menunjukkan masih pukul setengah enam kurang lima menit. Aku tersenyum
melihat sosok yang amat kukenal sedang duduk menanti di kursi tempat
biasa kami bertemu. Tangannya memegang sebuah cawan.
“Hai, Van! Udah lama?” sapaku sambil melihat ke wajah Revan yang terlihat sangat pucat.
“Hai, Yeta! Eh, gak kok. Aku juga baru sampai,” jawabnya riang tapi dengan suara yang terdengar bergetar.
“Kamu sedang sakit? Wajah kamu pucat banget, Van!” aku bertanya dengan khawatir.
Revan hanya menggeleng lemah dan tiba-tiba tubuhnya ambruk. Cawan yang dipegangnya terjatuh dan pecah.
“Revan!!!” Aku berteriak keras dan menangis menyaksikan Revan tergeletak
tak berdaya dengan mulut yang mengeluarkan banyak darah. Samar-samar
seakan aku mendengar lantunan elegi. Elegi embun pagi.
Berakhirnya kisahku.
Aku sudah menjadi mahasiswi sekarang. Dua tahun ini aku masih belum bisa
melupakan Revan. Padahal aku tahu seharusnya aku tak memikirkan dia
lagi karena ia telah berbahagia di surga. Namun kenangan tentang Revan,
cinta pertama sekaligus pacar pertamaku, adalah kenangan yang akan
selalu abadi di dalam memoriku.
Setelah kematian Revan akibat kanker hati yang telah lama bersarang di
tubuhnya, aku hanya mampu bercanda bersama sang embun di setiap pagi.
Melihat dan merasakan kesejukan embun seperti merasakan kehadiran Revan
yang memang selalu menyejukkan hatiku.
Hingga kini, aku belum menemukan pengganti Revan. Ah, aku memang belum
berniat mencari pengganti Revan untuk saat ini. Entah sampai kapan aku
betah bersama kesendirianku. Kesendirian yang menyejukkan. Sesejuk embun
pagi.
CERPEN : SEBENTUK HATI
Jumat, 01 Februari 2013.
Cinta… kehadiranmu bagai bintang di hatiku. Meski hanya sesaat dapat
kumiliki, kekuatanmu mampu mengajarkanku arti sebuah pengorbanan yang
tulus dan kepedihan yang tak selayaknya dibalas dengan kepedihan. Cinta…
kaudatang bersama angin, dan berlalu pun bersama angin. Aku tak tahu
harus marah atau kesal dengan sebuah angin yang telah membuatku harus
berpisah denganmu. Mungkin perpisahan kita adalah hal terpedih yang
pernah kurasakan. Namun aku tahu, perpisahan kita adalah hal yang
membahagiakan untukmu.
Satu demi satu kata kugoreskan ke dalam lembaran buku kecil berwarna
hijau, saat itu pula tetes demi tetes airmata berjatuhan membasahi
lembaran buku itu. Ya, hari ini kisah antara aku dan pacarku telah
berakhir. Baru saja, sekitar satu jam yang lalu!
Sambil menyeka lelehan air bening hangat yang keluar dari kedua
pelupuk mata ini, kembali kuingat bagaimana aku dan dia bisa menjadi
sepasang kekasih. Ketika itu, tepatnya sebulan yang lalu, saat acara
malam tahun baru bersama teman-teman kampus, tanpa sadar aku mengatakan
suka padanya. Dia tersenyum lalu bertanya apakah aku bersungguh-sungguh.
Dengan menahan malu, aku menganggukkan kepala. Dan dalam sekejap, kami
jadian. Aku hampir menangis karena bahagia dan dia hanya tersenyum manis
sembari menatap mataku.
Hari-hari bersamanya terasa amat menyenangkan. Aku makin menyukainya,
bahkan mulai menyayanginya. Namun setelah 28 hari kebersamaan kami,
terjadilah suatu hal yang tak pernah kusangka sebelumnya. Dan hari ini,
di awal bulan Februari yang kata orang-orang adalah bulan cinta dan
kasih sayang, aku harus melepaskan dirinya, di saat aku mulai
mencintainya. Menyakitkan memang, tapi aku lebih memilih mengalah demi
kebahagiaan Satria. Ya, namanya Satria! Pacar pertama sekaligus cinta
pertama di usiaku yang sudah memasuki 20 tahun.
Senin, 04 Februari 2013.
Cukup! Hari ini tidak akan kukeluarkan lagi airmataku. Sebisa mungkin
aku akan menahannya meski kemesraan sepasang kekasih yang tak sengaja
kulihat barusan, bisa saja membobol benteng pertahananku. Dengan terus
menunduk, kuhabiskan isi piring makan siangku dengan super cepat.
“Kirana! Lapar atau doyan sih? Hihii…,” komentar Lala tertawa geli melihatku.
“Ada tugas yang belum kukerjakan, La. Sepuluh menit lagi Pak Rangga
masuk nih, dan aku tidak ingin dosen killer itu menyuruhku belajar di
luar ruangan. Aku duluan ya! Bye, La!”
Lala hanya terbengong melihat sikapku. Aku cukup yakin Lala tidak akan
percaya kalau seorang Kirana belum mengerjakan tugas. Lala dan
teman-teman satu jurusanku sudah sangat tahu jika aku adalah salah satu
mahasiswi yang rajin dan pintar. Namun aku berharap agar Lala bisa
mengerti keadaanku saat ini. Aku hanya tak ingin melihat Satria dan
pacar barunya, Meisya. Kenapa? Karena aku belum cukup kuat untuk berdiri
di atas luka ini.
Di dalam ruangan kuliah yang masih kosong, kubenamkan wajah di atas
meja dan menangis. Hari ini, aku masih belum cukup kuat ternyata. Tapi
aku masih bersyukur karena tidak menangis di kantin dan tidak juga di
hadapan Lala. Beberapa menit kemudian, cepat-cepat kuhapus airmata di
pipi karena sudah ada beberapa orang yang masuk ke ruangan ini.
“Nana, boleh pinjam tugas kamu? Aku belum buat nih, tolong ya!” kata
sebuah suara yang masih terdengar merdu di telingaku, sekali pun dia
telah membuat hatiku sakit.
Aku tersenyum. Berusaha tersenyum maksudnya. “Agak ngebut nulisnya, Sat!
Bentar lagi Pak Rangga masuk,” pesanku pada Satria sambil menyodorkan
lembaran kertas tugasku.
Satria mengangguk dan tersenyum. Masih dengan senyuman manisnya yang
amat kusuka. Dengan tergesa, ia langsung menuju kursi paling belakang
dan mulai sibuk mengerjakan tugas. Aku menatap cowok itu dengan sendu.
Hati ini tak bisa membencinya, meski ia telah menimbulkan perih yang
cukup dalam di hatiku.
“Ah, udah satu jam kita nunggu. Kenapa Pak Rangga belum datang juga?”
keluh Lala yang terlihat mulai bosan memainkan game di HP-ku.
“Mungkin Pak Rangga gak bisa ngajar kali, ya? Gak biasanya ia terlambat
seperti ini,” kataku menanggapi keluhan Lala tanpa melepas pandangan
pada barisan kata di sebuah novel yang sedang kubaca sekarang.
Tepat pada saat itu, Radika berkoar-koar di depan kami dan mengatakan
kalau Pak Rangga tidak bisa mengajar dikarenakan istrinya sedang sakit.
Seketika terdengar sorak bahagia teman-temanku. Jelas saja bahagia,
siang ini kami tidak akan dibuat tegang oleh pertanyaan Pak Rangga di
mata kuliah Akuntansi Lanjutan, yang ‘amat sangat’ memusingkan kepala.
Satria menghampiri tempat dudukku lalu menyeret sebuah kursi. Kini
sosok yang sangat kusayangi hingga detik ini pun, telah berada di
hadapanku. Aku sangat gugup dan salah tingkah. Satria mau apa ya? Ah,
buru-buru kutepis imajinasi indahku. Ingat, Na! Dia adalah mantanmu. Dia
tidak mencintai kamu! Jerit hati kecilku.
“Nana…,” suara Satria terdengar lembut. Ya, Satria suka sekali
memanggilku dengan sebutan ‘Nana’ setelah kami jadian satu bulan yang
lalu. Tapi kenapa sampai saat ini dia masih memanggilku seperti itu,
padahal kami telah berpisah.
“Iya, Sat?” ujarku singkat dan seolah-olah sibuk membereskan isi tasku.
“Setelah ini kamu ada kerjaan gak?”
“Gak ada. Aku langsung pulang, Sat.”
“Bisa temani aku?”
—
“Meisya suka banget sama warna pink, Na! Di sini banyak boneka warna
pink, aku jadi bingung nih. Kamu tahu Meisya suka boneka apa?” Satria
bertanya padaku dengan semangat, sesemangat ia mencarikan boneka untuk
Meisya.
Dan aku tahu sesuatu. Satria amat mencintai Meisya, sampai-sampai rela
bersatu sama benda yang ‘cewek banget’ di galeri yang juga ‘cewek
banget’. Dan aku? Ya, aku ikut terjebak di sini. Sedikit menyesal juga
saat tadi kuiyakan untuk membantu Satria. Kalau aku tahu jika Satria
minta bantuan memilih hadiah ultah untuk Meisya, tidak akan kuiyakan
permintaan Satria di kampus tadi.
Tapi lumayan, aku bisa kembali merasakan dibonceng Satria meski status
kami sekarang hanyalah seorang teman. Lagian aku sudah berjanji pada
diri sendiri untuk tetap berteman dengan Satria, juga tidak membenci dan
tidak memusuhi dirinya.. Bukan salah Satria, jika perasaan cintanya
padaku telah memudar. Aku tahu, Meisya lebih segalanya dariku dan tentu
jika aku jadi Satria, aku akan memilih Meisya juga.
“Sat, Meisya suka Hello Kitty. Ini aja deh!” tawarku pada Satria sambil
memegang boneka Hello Kitty yang lucu dengan kedua tanganku. Boneka ini
lucu dan lumayan besar. Aku pun menginginkannya. Ah, aku akan menabung
dulu!
Satria mengamati boneka itu dan melihat tarif harganya. Dia tersenyum dan berkata, “Oke! Kita ambil yang ini!”
Minggu, 10 Februari 2013.
Pagi ini aku malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur nyamanku.
Sudah pukul tujuh pagi, tapi aku masih berteman dengan bantal dan boneka
Teddy Bear kesayanganku. Pikiranku menerawang seraya memandangi
langit-langit kamarku yang diwarnai dengan cat hijau, warna kesukaanku.
Dan pikiran memaksa otakku untuk memutar kembali ingatan tentang
kejadian kira-kira dua minggu yang lalu, awal dari luka yang harus
kuterima.
Meisya datang ke rumah dan membawa brownies panggang pesanan mama.
Mama Meisya dan mamaku sahabat lama, oleh karena itu mereka sering
bertukar hasil masakan. Kebetulan Satria sedang main ke rumah dan kami
mengobrol di ruang tamu. Setelah Meisya bertemu mama dan menyerahkan
brownies tadi, aku meminta Meisya untuk gabung bersama kami dan
mengenalkannya pada pacarku.
“Sya, kenalin ini Satria!” kataku pada Meisya yang terlihat telah memasang senyum manis untuk Satria.
“Hai, aku Meisya, teman sekaligus tetangga Kirana. Kamu teman kuliah
Kirana, ya?” sapa Meisya riang sembari mengulurkan tangannya pada
Satria. Ya, Meisya adalah cewek cantik dan manis, ditambah lagi ia
sangat mudah bergaul dengan orang baru.
Kulihat Satria agak salah tingkah menerima tangan Meisya. Setelah
tangan mereka bersatu dengan cukup lama, dengan refleks aku berdehem.
Seketika Satria menarik tangannya dan tertunduk. Meisya hanya tersenyum.
Hampir satu jam kami mengobrol bersama. Sebenarnya hanya Meisya dan
Satria saja yang mengobrol, aku hanya jadi pendengar yang baik. Dan kali
ini aku baru merasakan bagaimana resahnya rasa cemburu itu.
Keesokan harinya di kampus, aku begitu terkejut karena melihat Meisya
sedang berdiri di samping taman Fakultas Ekonomi. Segera kuhampiri dia.
“Hai, Na! Kamu ketemu Satria gak?” ujar Meisya bertanya padaku dengan
suara lembut. Heran, sejak kapan Meisya bersuara lembut seperti ini?
“Dia tadi bilang mau ke ruang dosen bentar untuk nyerahin tugas. Kok
kamu ada di sini, Sya? Bukannya kamu males banget kalau kuminta datang
ke fakultasku?” tanyaku sedikit curiga. Tiba-tiba perasaan tak enak
mengalir di hati kecil ini.
“Eh, ternyata jarak Fakultas Kedokteran ke Fakultas Ekonomi cukup dekat juga ya kalau udah dicoba gini? Hehe…”
Aku menatap Meisya bingung dan masih curiga.
“Kirana, jangan mandangin aku kayak tersangka gitu deh! Aku ke sini
karena janjian sama Satria. Aku dan dia mau ke Gramedia bareng,”
“Kok bisa janjian?”
“Aduh, maafin aku ya, Na! Kemarin aku ambil nomor HP Satria di kontak HP
kamu. Iseng aku sms dia dan dibalas. Terus kami ngebahas hobi
masing-masing. Gak nyangka dia hobi baca novel juga. Jadinya kami
ngebahas novel-novel terbitan DIVA Press. Hari ini kami berdua mau
ngeborong novel, Na.”
Hatiku seperti tersayat ujung pisau ketika mendengar penjelasan Meisya.
Aku terdiam sesaat sampai Meisya mengibaskan tangan kanannya ke depan
wajahku.
“Ehh, iya… gak apa-apa kok. Oh ya, aku duluan ya, Sya! Selamat ngeborong
novel aja deh.” Dengan terburu-buru aku menjauh dari Meisya karena aku
tak ingin ia melihat perubahan rona di wajahku.
Besoknya aku pun meminta penjelasan pada Satria kenapa dia tidak
cerita kalau sms-an dengan Meisya dan janjian dengannya untuk ke
Gramedia. Tapi yang ada bukan Satria memberi penjelasan. Namun…
“Semalam aku udah berpikir matang, Na. Kayaknya hubungan kita sampai di
sini aja ya. Sepulang dari Gramedia kemarin, aku dan Meisya jadian. Dia
duluan yang nyatain cinta dan aku gak punya alasan untuk menolak. Aku
bahagia banget bisa jadian sama Meisya. Jujur dari awal kamu ngenalin
dia ke aku, aku udah merasa tertarik sama Meisya. Maafin aku, Na!
Aku menatap mata Satria dalam-dalam dengan nanar. Berusaha menemukan
kebohongan di sana. Tapi aku melihat kebohongan itu tidak ada. Satria
bersungguh-sungguh dengan perkataannya barusan.
“Na, tolong jangan bilang ke Meisya ya kalau kita pernah pacaran. Dia tahunya kita hanya berteman. Kamu mau, kan?”
Aku terdiam. Aku tertunduk. Dan aku mengangguk. Lalu mengangkat wajah
dan tersenyum. “Oke, Sat. Kita sekarang kembali kayak dulu. Hanya
berteman biasa.”
“Tapi kamu baik-baik aja kan, Na? Jangan marah sama Meisya ya! Dia gak salah,”
“Aku baik-baik aja, Sat. Tenang! Aku gak mungkin marah sama Meisya.
Kalian berdua sama-sama temanku, kok. Jika kalian bahagia, aku ikut
bahagia. Selamat ya! Semoga kalian langgeng. Kalian emang pasangan yang
serasi. Sekali lagi selamat ya!”
Sukses! Aku memang pintar berakting untuk jadi manusia yang pura-pura
berbahagia saat itu. Aku baik-baik saja, tapi hatiku tidak baik-baik
saja. Dan airmata kembali membasahi pipiku. Di pagi minggu yang cerah,
aku masih saja berteman deraian airmata.
Rabu, 13 Februari 2013.
“Nana, Meisya gak suka sama cowok yang suka futsal ya?” tanya Satria saat aku dan Lala sedang menikmati semangkuk bakso panas.
“Hei, cowok brengsek! Bisa gak berhenti ngebahas pacar kamu itu di depan
Kirana! Gak berperasaan banget sih jadi orang!” bentak Lala marah.
Satria terdiam dan aku cepat mengendalikan suasana tegang ini. “Sat, aku duluan ya!” kataku sambil menarik tangan Lala.
“Kalau aku jadi kamu, aku gak akan mau lagi ngasih contekan tugas ke
cowok brengsek itu! Aku juga gak akan mau menemaninya membeli hadiah
untuk cewek yang telah merusak hubungan kalian! Aku juga gak akan mau
bersikap manis lagi sama mantan yang gak tahu terima kasih!” Lala
menggerutu kesal atas sikapku.
“Aku hanya ingin Satria bahagia, La. Aku baik-baik aja kok,”
“Iya, Satria bahagia! Tapi kamu menderita! Baik apa? Kamu nangis terus gitu, dibilang baik-baik aja?”
Aku memeluk Lala. Aku tahu dia begini karena dia menyayangiku. “La,
makasih ya! Tapi aku ngerasa baik-baik aja dengan semua ini. Lama
kelamaan aku pasti bisa menata hatiku. Tapi biarkan aku tetap bersikap
manis pada Satria dan Meisya ya. Aku gak ingin ngerusak hubungan
pertemanan hanya oleh cinta.”
Lala membalas pelukanku dan berkata pasrah, “Kalau kamu pengennya gitu,
ya udah. Tapi ingat, jangan dipaksain bila kamu emang gak sanggup. Dan
usahakan untuk membuka hati buat cinta yang baru ya, Say!”
Aku tersenyum bahagia karena masih memiliki sahabat terbaik seperti
Lala. Biarkan di saat ini, sebentuk hati di dalam tubuhku masih untuk
Satria. Aku yakin suatu saat nanti aku pasti bisa memberikan sebentuk
hatiku untuk nama yang baru, karena ’hidup akan terus berlanjut!’
Saturday, 12 April 2014
MEKAR LAGI BUNGA ITU!
Mekar lagi bunga itu!
Padahal musim semi belum tiba.
Mungkinkah karena keterpaksaan?
Ah, sepertinya tidak!
Namun ini akan menimbulkan pandangan heran bagi yang memandang.
Haruskah mekarnya kupetik saja?
Biar tak ada yang tahu.
Atau biarlah?
Akan kutunggu saja sapuan hujan yang lebat atau tarian angin yang hebat untuk menghapusnya.
Atau bahkan kutunggu saja sinar teramat terik yang akan melayukan mekaran itu.
Tapi tunggu dulu!
Apa mungkin hal yang kupikirkan tadi bisa berhasil?
Bukankah mekarnya bunga itu karena alami, pun layunya harus alami.
Tapi sampai kapan?
Padahal musim semi belum tiba.
Mungkinkah karena keterpaksaan?
Ah, sepertinya tidak!
Namun ini akan menimbulkan pandangan heran bagi yang memandang.
Haruskah mekarnya kupetik saja?
Biar tak ada yang tahu.
Atau biarlah?
Akan kutunggu saja sapuan hujan yang lebat atau tarian angin yang hebat untuk menghapusnya.
Atau bahkan kutunggu saja sinar teramat terik yang akan melayukan mekaran itu.
Tapi tunggu dulu!
Apa mungkin hal yang kupikirkan tadi bisa berhasil?
Bukankah mekarnya bunga itu karena alami, pun layunya harus alami.
Tapi sampai kapan?
Thursday, 6 March 2014
Puisi Dadakan
Tidak.
Kupikir tidak lagi!
Tapi ternyata kusalah.
Mata itu, sikap cuek itu.
Masih sama.
Masih sama kurasa.
Bagai mengulang.
Membawa angin lalu.
Meniup dan terbangkan pertahanan kokohku.
Dan aku kalah!
Harus kuakui, rasa ini belum usai.
Haduh!
Kupikir tidak lagi!
Tapi ternyata kusalah.
Mata itu, sikap cuek itu.
Masih sama.
Masih sama kurasa.
Bagai mengulang.
Membawa angin lalu.
Meniup dan terbangkan pertahanan kokohku.
Dan aku kalah!
Harus kuakui, rasa ini belum usai.
Haduh!
Kataku....
"Tempatkanlah
cintamu di tempat yang tepat. Agar hati dan sukmamu tetap selamat.
Persembahkanlah cinta hanya untuk dia yang amanat. Dan dia yang mampu
menjaga cintamu dunia akhirat."
"Jika sedang kesal, marah atau benci pada seseorang, cobalah ingat kebaikan yang pernah dilakukannya, maka kita akan menjadi seseorang yang pemaaf. Dan jika tidak ada kebaikan yang ia lakukan, ingatlah bahwa Allah Maha Pemaaf. Tentu kita pun yang hanya hamba biasa, harus bisa memaafkan."
"Ya Rabb.... Jadikanlah hamba orang yang senantiasa sabar, orang yang mampu mengendalikan amarah, orang yang bisa memaafkan. Jauhkanlah hamba dari sifat iri dan dengki, dari sifat berburuk sangka serta dari sifat kebohongan. Aamiin Ya Rabbal Alaamiin."
"Jika sedang kesal, marah atau benci pada seseorang, cobalah ingat kebaikan yang pernah dilakukannya, maka kita akan menjadi seseorang yang pemaaf. Dan jika tidak ada kebaikan yang ia lakukan, ingatlah bahwa Allah Maha Pemaaf. Tentu kita pun yang hanya hamba biasa, harus bisa memaafkan."
"Ya Rabb.... Jadikanlah hamba orang yang senantiasa sabar, orang yang mampu mengendalikan amarah, orang yang bisa memaafkan. Jauhkanlah hamba dari sifat iri dan dengki, dari sifat berburuk sangka serta dari sifat kebohongan. Aamiin Ya Rabbal Alaamiin."
SURAT UNTUK SAHABAT
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Sahabatku yang manis senyumnya....
Apa kabar imanmu hari ini? Semoga makin meningkat ya, aamiin....
Afwan karena aku merasa lega dengan keputusanmu. Tapi aku kok merasa
sepertinya kamu sedikit bersedih dengan keputusan tersebut. Kenapa, Wahai
Saudariku?
Kamu tahu mengapa semua ini bisa terjadi? Kamu tahu kenapa Allah
telah menggerakkan hatimu untuk melakukannya? Kamu tahu mengapa aku begitu gencar
berusaha meyakinkanmu? Dan kamu tahu kenapa kamu merasakannya? Semua itu karena
Allah yang Maha Agung menyayangimu. Dan aku pun sama, begitu menyayangimu.
Sahabatku yang
lembut hatinya....
Cinta Allah kepada
hamba-Nya itu teramat besar. Dia memberikan segala nikmat. Dia sangatlah baik
karena masih memberikanmu kesempatan dan kesadaran, bukan? Tentu kamu mengerti
tentang semua ini. Tentu kamu bisa lebih bijak menyikapinya. Dan tentu tak seharusnya kamu bersedih atau pun
menyesal atas pilihanmu. Kamu sudah benar! Kamu sudah memilih pilihan yang
tepat demi kebaikan. Insya Allah.
Sahabatku yang sholeha....
Kamu masih ingin
menjadi bidadari surga di hari kelak nanti, bukan? Aku yakin kamu pasti
menganggukkan kepala dan tersenyum. Ukh... aku juga ingin bahkan
sangatlah ingin. Kita sama-sama berjuang ya! Allah bersama kita. Allah akan
menuntun kita. Allah menyayangi kita. Dan aku yakin, Dia telah menyiapkan cinta
terbaik, dari hati salah seorang hambanya untuk kita. Jadi tak perlu risau,
galau apalagi sampai mengairkan sudut mata indahmu.
La Tahzan,
Ukhti!
Cinta yang
semestinya adalah cinta kita kepada Dia, Sang pemilik Hati. Allah SWT yang
telah meniupkan ruh dan memberi nyawa pada sukma kita. Tak sepantasnya cinta
suci kita diperuntukkan kepada orang yang salah. Allah yang Maha Esa akan
memuluskan jalan cinta yang terbentang jika Dia meridhoi cinta itu,
Sahabatku. Karena cinta yang agung , cinta nan suci, hanyalah cinta kepada-Nya
yang kemudian akan kita dapatkan ‘bonus cinta’ yang lain, yang akan menuntun
kita kepada-Nya, yang menambah keimanan dan ketakwaan kita, yang juga akan
membawa kita menjadi bidadari surga. Amiin ya Rabb....
Saudariku yang selalu dikasihi Allah....
Tetaplah selalu
dalam imanmu. Tetaplah istiqomah di jalan-Nya. Selagi ada kesempatan
mari kita perbaiki diri dan luruskan hati. Semoga di dunia yang fana ini kita
mampu membawa bekal yang cukup untuk akhirat kelak. Demi tujuan utama kita,
menjadi penghuni surga nan indah. Dan berjumpa Rasulullah yang selalu kita
rindukan. Aamiin ya Rabbal ‘alamin....
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Sahabatmu yang menyayangimu,
(Murni Oktarina)
Subscribe to:
Posts (Atom)
Popular Posts
-
Tanpa terasa penyelenggaraan Asian Games 2018 kurang lebih tinggal tiga bulan lagi. Tentu beberapa persiapan untuk menyambut event ola...
-
RESENSI FILM JILBAB TRAVELER LOVE SPARKS IN KOREA Oleh: Murni Oktarina Identitas Film Judul :...
-
Nama Produk: Mustika Ratu-Minyak Zaitun Olive Oil (75 ml) Harga: Rp22.000 Fungsi Produk: Kesehatan dan Kecantikan Kulit Penilaia...