Wednesday, 30 April 2014

CERPEN : CINTA PUTIH KAYLA

Sebuah rasa yang terlahir dalam hatiku, sejak enam tahun yang lalu hingga kini masih tetap setia kujaga. Rasa yang kusebut cinta, rasa yang menumbuhkan bunga-bunga semangat dalam hidupku dan rasa yang mampu membuat diriku bertahan selama ini. Bukan waktu yang singkat untuk mendekam rasa ini di dalam hati. Aku pun tak tahu sampai di mana cinta ini sanggup berlabuh. Akankah sampai pada pelabuhan yang kutuju atau malah harus mengalah pada titik kelemahan hingga tak bisa melabuhkannya pada hati yang telah lama kudamba.
Pagi ini masih seperti biasanya. Hanya aku sendirian yang sudah duduk manis di dalam ruangan A105, menunggu mata kuliah pertama di senin pagi yang cukup dingin. Kubuka lembaran buku tebal yang baru saja kukeluarkan dari tas, lalu membacanya perlahan untuk mengisi waktu. Setelah sepuluh menit berlalu, kulirik jam mungil berwarna kecoklatan di pergelangan tanganku. Tepat pukul delapan pagi, itu berarti aku harus menunggu setengah jam lagi, baru perkuliahan akan dimulai.
“Satu, dua, tiga, empat, …” kuhitung detik demi detik dan tepat pada detik ke sepuluh, sang pujaan hatiku dengan manisnya melangkah masuk ke dalam. Lagi-lagi hari ini ia bersama sang bidadari pilihan hatinya. Tentu saja bukan aku, tapi seorang gadis yang amat cantik, amat manis, amat anggun, amat menarik dan segala amat yang mewakili kesempurnaan dari seorang Cherry..
Sudah menjadi kegiatan rutinku, memperhatikan kedatangan Andro. Ia bersama kekasihnya, Cherry, pasti datang pada pukul delapan pagi lewat beberapa detik saja. Kemarin lewat lima belas detik dan hari ini hanya sepuluh detik. Seminggu yang lalu Andro datang pada pukul delapan tepat, waktu tercepat ia datang. Kegiatan rutin ini sudah kulakukan sejak pertama kali menuntut ilmu di kampusku sampai sekarang, sudah hampir tiga tahun karena kami sudah semester enam saat ini. Sebenarnya aku tak tahu untuk apa melakukannya, namun ada rasa bahagia tersendiri jika kutahu Andro masuk kuliah dan terlihat baik-baik saja.
Andro dan Cherry melewati tempat dudukku dan seperti biasanya mereka memilih di kursi paling belakang dan duduk berdekatan. Aku tersenyum getir melihat kemesraan mereka. Lalu kembali kubaca buku yang sejak tadi kudiamkan saja di atas meja.
“Kayla!” teriak Mimi dekat pada telingaku.
Aku kaget dan cemberut menatap Mimi yang tertawa. “Bisa tidak kalau memanggil orang itu tidak pakai teriak-teriak!” kataku kesal pada Mimi sambil mencubit lengannya.
“Hahaha! Salah kamu, Kay. Aku datang tapi pura-pura tidak tahu, padahal hari ini aku memakai baju baru, loh!” Mimi berdiri di depanku lalu ia memutar badannya, menunjukkan baju berwarna merah muda yang dipakainya.
“Cantik, Mi!” pujiku sungguh-sungguh.
“Terima kasih, Kayla sayang! Akhirnya kamu mengakui juga kalau aku ini memang cantik, hehehe…,” ucap Mimi dengan mata berbinar.
“Aduh, yang cantik bajunya, Sayang. Bukan kamu! Haha…!” Setelah mengejek Mimi, aku langsung melarikan diri keluar. Mimi cemberut dan mengejarku yang tertawa-tawa riang.
Mimi berhasil menyusulku dan menarik lenganku. “Jika tidak mengatakan aku cantik, tak akan kulepaskan tanganmu!” seru Mimi mengancam dengan mimik muka dibuat garang.
“Iya, iya. Aku bercanda. Mimi cantik, kok!” kataku menyerah.
“Nah, begitu dong!”
Lalu kami berdua duduk-duduk di kursi panjang depan ruangan kuliah, menanti kedatangan Pak Harata. Tepat pada pukul delapan lewat tiga puluh menit, Pak Harata terlihat berjalan menuju ruangan A105. Aku dan Mimi segera masuk.
“Pak Harata sudah datang!” teriak Mimi pada teman-teman yang masih asyik mengobrol.
“Selamat pagi!” sapa Pak Harata pada kami. Ia tersenyum dan duduk di kursinya.
“Selamat Pagi, Pak!” jawab kami serentak.
Bintang banyak sekali malam ini. Menghias langit di angkasa, seperti berlian yang berhamburan di atas permadani luas membentang. Aku sedang menggenggam buku harian saat masih di SMA. Buku dengan sampul hijau muda kini menjadi kenangan semata karena saat ini aku tak pernah lagi menggoreskan pena di buku tersebut.
Kubuka salah satu lembar yang berwarna merah muda.
Dia masih sama saja. Tetap cakep dan ramah pada siapapun. Andro, kamu nanti kuliah di mana? Aku harap kita bisa satu universtas lagi dan bisa belajar dalam satu ruangan denganmu… ^_^
Aku tersenyum membaca tulisanku sendiri. Dari tanggalnya, aku dapat mengingat saat itu kami sedang merayakan pesta kelulusan di SMA. Ketika kudengar dari salah seorang teman, Andro akan ikut tes masuk Universitas Sriwijaya, aku bertekad untuk belajar sungguh-sungguh agar bisa lulus tes dan satu kampus dengan Andro. Hasilnya sungguh memuaskan, selain satu kampus ternyata tiga tahun selama kuliah pun selalu satu ruangan dengannya.
Kini aku membaca lembaran berwarna hijau muda.
Ah, Andro keren sekali hari ini! Permainan basketnya memukau dan semua anak perempuan di sekolah ini berkumpul di lapangan untuk melihat Andro. Tapi, kenapa sampai detik ini Andro belum memiliki pacar, ya? (Mengharapkan sesuatu yang kurang mungkin, hehe :D)
Sesaat aku tertegun sejenak membaca catatan di kelas dua SMA. Hari itu sedang diadakannya pertandingan basket antar SMA sekota Palembang dan SMA-ku menjadi tuan rumah. Andro salah satu tim basket andalan di SMA dan sering menjuarai perlombaan basket. Kabar-kabar yang kudengar, Andro belum pernah menyukai cewek sehingga ia belum pernah memiliki pacar. Aku pernah bermimpi suatu saat nanti bisa berjodoh dengan Andro walau kemungkinannya sangatlah kecil.
Lembaran pertama kali dalam buku harianku, berwarna biru muda, dengan seksama aku membacanya.
Baik sekali cowok itu! Dia memberikanku topi bolanya saat MOS agar aku tidak dihukum senior. Untung saja Andro juga tak dihukum karena para senior cewek membelanya. Andro ganteng sih, jadi kakak-kakak senior mengurungkan niat untuk menghukumnya. Sudah cakep, baik lagi! Aku menyukainya. <3
Kututup buku harian dan memandangi bintang lewat jendela kaca di kamarku. “Bintang, Andro kini sudah bisa jatuh cinta. Dia sudah memiliki dan dimiliki Cherry. Apakah aku masih boleh mencintainya?” aku berbisik pada bintang-bintang yang bercahaya terang. Mereka seolah tersenyum dan menatapku yang tengah merenung.
“Jika memang tidak sanggup, tidak perlu dipaksa, Honey! Hanya saja Papi dan Mami menginginkan aku menikah secepatnya,” kata Cherry menahan kesal.
“Bukan aku tidak sanggup memenuhi permintaan kamu, Honey. Tapi aku belum siap sama sekali jika kita harus menikah. Papa dan Mama tentu belum mengizinkan, mereka ingin kita jadi sarjana dulu,” jawab Andro dengan wajah pias. Dia menatap kekasihnya itu dengan sedih.
“Oke, kamu bisa pilih! Mengikuti kata orangtuamu atau aku!” seru Cherry yang membuat Andro terdiam.
Cherry meninggalkan Andro sendirian di kantin. Andro tidak menyusulnya. Ia hanya tertunduk dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Andro pasti kebingungan dan bersedih tidak bisa memenuhi keinginan Cherry yang mengajaknya untuk menikah dalam waktu cepat ini.
Aku duduk sendirian di sudut kantin. Tak sengaja kulihat Andro dan Cherry yang sedang makan tak jauh dariku. Aku mengamati dan mendengarkan percakapan mereka. Kini aku ikut merasakan kesedihan dan kebingungan Andro yang dihadapkan pada masalah rumit hingga membuat Andro tak mampu berkata-kata lagi.
Satu minggu kemudian.
Di pesta pernikahan Cherry. Tapi pengantin prianya bukanlah Andro melainkan laki-laki yang sudah sarjana, pilihan papi mami Cherry. Pesta super mewah di gedung Novotel, hotel berbintang terbaik di Palembang, yang menurut tebakanku menghabiskan biaya ratusan juta ini sangat ramai di hadiri para tamu undangan. Para pejabat dan artis ibukota turut merayakan resepsi pernikahan Cherry.
“Gila! Suami Cherry itu anak pejabat ya, Kay?” decak kagum Mimi sambil mencicipi hampir semua makanan dan minuman yang disediakan di beberapa stan.
Aku menggeleng. “Tidak tahu, Mi. Tapi mungkin juga, ya.”
Mimi sibuk mengunyah. Anak ini belum kenyang juga, padahal sudah berbagai jenis makanan masuk ke dalam perutnya.
“Mi, masih mau makan lagi?” tanyaku bercanda saat mata Mimi memperhatikan stan yang khusus menyediakan pempek, makanan khas Palembang.
Mimi mengangguk dan langsung menarik tanganku. Aku menggeleng-geleng heran memandangi Mimi yang sekarang sibuk mengambil beberapa pempek dan menaruhnya di atas piring. Aku mengajak Mimi makan bersama teman-teman yang lain. Andro? Apa aku tak salah melihat? Ah, benar-benar Andro. Ia sedang berkumpul bersama teman-teman cowok di dekat hiasan air mancur. Aku tersentak, Mimi pun begitu.
“An, kamu datang?” tanya Mimi dengan wajah heran bercampur kagum karena Andro terlihat sangat ganteng dengan pakaiannya yang amat rapi.
“Andro, pria sejati! Dia menghormati mantan kekasihnya, jadi datang walau hati teriris-iris. Sakit, uuuhh!” jawab Krisna asal sembari bertingkah lucu yang mengundang tawa kami semua.
Andro hanya tersenyum dan menjawab pertanyaan Mimi, “Datang dong, Mi.”
“Ah, Andro diputuskan Cherry karena tidak mampu memenuhi permintaan Cherry yang menginginkan pesta super mewah, hahaha…!” ujar Ricko seenaknya.
“Bukan tidak sanggup! Aku bisa saja membiayai pesta pernikahan lebih mewah dari ini kok!” seru Andro kesal atas kata-kata Ricko yang menghinanya.
“Padahal sudah pacaran satu tahun, kalian sudah amat serasi, dan kamu sanggup memenuhi permintaannya. Terus kenapa kamu melepaskan Cherry, Bro? Sayang sekali, gadis secantik dan seseksi Cherry itu susah mendapatkannya!” Kini giliran Nicky yang berceloteh.
Andro hanya terdiam menahan emosi atas hujatan teman-temannya yang kecewa karena Andro melepaskan Cherry, cewek nomor satu di kampus.
“Pasti ada hal lain yang membuat Andro mengambil keputusan ini, teman-teman. Jangan membuat Andro lebih bersedih lagi dong!” kata Safira menengahi karena suasana mulai memanas.
Andro melihatku sekilas namun langsung membuang wajah. Aku melihat ada luka di balik senyuman tegarnya. Aku mengerti perasaan Andro, pasti sakit dan ia berpura-pura sedang baik-baik saja. Aku tahu hatinya menangis, akan tetapi ia tetap berusaha bahagia atas pernikahan Cherry, satu-satunya perempuan yang ia cintai.
“Diharapkan teman-teman dari Universitas Sriwijaya naik ke atas pelaminan untuk berfoto bersama pengantin!” panggil pembawa acara.
Perempuan yang benar-benar mendekati sempurna menurutku saat memandangi Cherry yang berbalut pakaian pengantin. Suaminya pun tak kalah, sangat gagah dan ganteng walau masih lebih ganteng Andro. Selesai berfoto, kami semua menyalami sepasang pengantin yang sedang berbahagia. Andro menatap Cherry dan Cherry mengacuhkannya. “Kasihan sekali kamu, An.” gumamku di dalam hati.
Selama kuliah, baru kali ini ada orang yang mendahului kedatanganku dan sudah berada di ruangan kuliah pagi hari ini. Aku tersentak kaget saat tahu jika orang itu adalah Andro. Dia sedang sibuk menulis. Apa karena ada tugas yang belum diselesaikannya jadi Andro datang pagi? Ah, sepertinya tidak. Biasanya walau ada tugas yang menumpuk pun dia tak akan datang di bawah jam delapan.
Aku meletakkan tas di atas kursi dan bermaksud untuk keluar. Jantung ini kurasakan berdebar-debar saat berdua saja bersama Andro seperti sekarang. Baru mau melangkahkan kaki, Andro memanggil namaku. “Kayla…,”
Aku menoleh dan tersenyum. “Ada apa, An?” kataku sambil berusaha tak terlihat gugup. Jarang-jarang Andro menegurku apalagi mengajak bicara.
“Jika tidak ada kerjaan, di sini saja temani aku!” jawab Andro sambil menarik bibirnya membentuk senyuman terindah yang pernah kulihat. Dan senyum itu kali ini benar-benar untukku. Ah, ingin rasanya aku memotret senyuman Andro barusan.
Aku mengangguk dan menuju ke arah tempat duduk Andro. “Lagi nulis apa? Tugas, ya?” tanyaku basa-basi.
“Tugas sudah kukerjakan kemarin setelah pulang dari pesta pernikahan Cherry. Sekarang lagi nulis puisi patah hati saja, Kay. Hehehe,” Andro menjawab pertanyaanku dengan tertawa kecil.
Aku terdiam. Membiarkan Andro terus menulis selama beberapa menit.
“Kayla, aku masih sangat mencintai Cherry. Apa aku masih boleh mencintainya padahal ia sudah menjadi milik orang lain?” Andro bertanya serius padaku.
“Cinta itu adalah anugerah. Boleh-boleh saja mencintai seseorang yang sudah dimiliki orang lain. Namun, tidak untuk memiliki, An!” jawabku yang seolah menjawab pertanyaanku sendiri.
Andro menatapku dan aku menatapnya. Cukup lama kami saling bertatapan dan Andro yang terlebih dahulu sadar lalu memalingkan wajahnya. Aku menjadi malu. Wajahku biasa-biasa saja, tidak secantik dan semenarik Cherry. Mungkin itu yang membuat Andro tersadar dan segera memalingkan wajahnya.
Sekarang tak lagi kudapati seorang Andro yang ceria. Keceriaannya seolah tertelan dukanya karena Cherry. Andro juga jarang sekali masuk kuliah dalam beberapa minggu ini. Aku benar-benar khawatir, takut terjadi apa-apa dengan orang yang kucintai itu. Untung aku masih mengingat jalan ke rumah Andro. Sepulang kuliah siang ini, aku akan ke rumahnya untuk mencari tahu penyebab Andro tidak masuk kuliah berhari-hari.
Selama setengah jam aku terpaku di hadapan mama Andro. Dengan berurai airmata, mama Andro bercerita dalam dua minggu ini Andro ternyata mengkonsumsi obat tidur dosis tinggi dan yang mengerikan ternyata Andro mengkonsumsinya dalam jumlah yang sangat berlebihan sehingga membuatnya harus diopname di rumah sakit sejak kemarin.
“Tante sangat menyesal, Kayla. Seandainya kami mengizinkan Andro menikah, tentu dia tak akan begini. Ini semua salah kami!” kata mama Andro menyesali diri.
“Semua adalah takdir dari Tuhan, Tante. Tidak ada yang salah. Terpenting sekarang, bagaimana mengembalikan Andro seperti semula,” kataku lembut sambil mengusap pipi mama Andro pelan.
Sudah satu minggu lamanya Andro dirawat di rumah sakit. Tubuhnya semakin kurus dan tidak mau berbicara banyak padaku dan pada orangtuanya. Dengan rasa cinta di dalam hatiku, setiap hari sepulang kuliah aku ke rumah sakit untuk menemani Andro. Bagaimanapun kondisinya sekarang, bagaimanapun keadaannya fisiknya sekarang, aku masih tetap cinta. Cinta yang tetap putih seputih pertama kali aku mencintai Andro di kelas satu SMA dahulu.
Sore ini, kuajak Andro berjalan-jalan mengelilingi area rumah sakit. Andro disuruh suster menggunakan kursi roda saja karena badannya masih lemas. Aku mendorong kursi roda Andro perlahan dan mengajaknya ke sebuah taman kecil. Di taman ini terdapat pohon-pohon besar yang rindang dan rerumputan nan hijau yang menyejukkan mata, lengkap dengan bunga-bunganya yang dihinggapi kupu-kupu cantik.
“Andro, lihat anak kucing itu! Dia hanya sendirian tanpa induk dan tanpa teman. Tapi coba perhatikan, ia tetap ceria bermain bersama rumput dan kupu-kupu di sana!” kataku sembari menunjuk ke arah anak kucing yang sedang melompat-lompat mengejar kupu-kupu dan memainkan rumput yang bergoyang tertiup angin.
Andro memperhatikan anak kucing itu. Perlahan dia tersenyum. Aku bahagia sekali melihat senyuman Andro. “Kamu juga pasti bisa lebih bahagia dari anak kucing itu, An! Kamu masih memiliki orangtua yang amat menyayangimu dan masih memiliki teman. Pantaskah kamu larut dalam kesedihan dan hampir mencelakai dirimu sendiri?” kataku bertanya lembut pada Andro yang langsung tertunduk.
“Aku tidak pantas untuk bersedih seperti ini, Kay. Aku sungguh menyesal!” jawab Andro dengan terbata.
Aku tersenyum dan berbungkuk di hadapan Andro. “Mulai sekarang, kamu harus lupakan masa lalu yang hanya akan melukis kesedihan. Tataplah masa depan, Andro! Itu akan membuatmu lebih baik. Semangat!” Aku berkata sambil mengepalkan tangan dan mengangkatnya untuk memberikan semangat pada Andro yang kukasihi.
“Oke, Kayla! Mulai saat ini aku akan kembali menjadi Andro yang dahulu. Aku akan melupakan Cherry dan memulai hidup dari awal lagi demi masa depan yang lebih cerah!” seru Andro semangat dengan sumringah sambil menatap mataku.
Aku pun tersenyum. Ingin menangis rasanya.
Terima kasih, ya Allah. Andro sudah kembali seperti dulu dengan senyuman manisnya. Aku berjanji akan tetap menjaga cinta putih ini untuknya namun tetap tidak akan mengalahkan cintaku pada-Mu, Sang Pemilik Hati dan Jiwa.

CERPEN: ELEGI EMBUN PAGI

Di dalam kelas yang sepi.
“Yeta, dicoba aja dulu! Masa sih udah tujuh belas tahun belum punya pacar juga, malu tuh sama wajah cantik kamu! Hahaha…,” kata Mentari membujukku sambil bercanda. Ia tertawa saat melihat wajahku langsung cemberut.
“Mentari, sahabatku tersayang… jika kamu masih aja nyuruh aku pacaran sama dia, gak akan kupinjami komik lagi loh!” kataku mengancam lalu memalingkan wajahku dari Mentari.
Fenta dan Adinda yang baru saja dari kantin menghampiri kami sembari menyerahkan bungkusan burger pesananku dan Mentari.
“Ada apa dengan kalian? Kok kayaknya lagi diam-diaman aja?” tanya Adinda heran sambil menatapku dan Mentari secara bergantian.
“Yeta nih, masa Gilang yang udah jelas-jelas cakep dan kaya, masih aja ditolak. Heran deh! Cowok yang kayak gimana yang kamu mau, Ta?” Mentari berkata seolah ia sangat terheran dengan sikapku.
“Gilang nembak kamu, Ta?” tanya Fenta ingin tahu.
Aku hanya terdiam.
“Benar Gilang udah nembak kamu? Lalu kamu tolak?” Kini Adinda yang bertanya padaku dengan tatapan mata yang menyiratkan kekaguman.
Aku mengangguk lemah. Dan…
“Fayeta! Cowok nomor satu di SMA kita aja bisa jatuh hati sama kamu dan seharusnya kamu terima,” teriak Adinda dan itu membuatku jadi risih.
“Kalau kamu jadian sama Gilang, ‘kan pasti diajak jalan dengan BMW-nya, terus kami juga bisa ikut nebeng dong, haha…!” kata Fenta heboh dengan tawanya yang khas jika ia sedang gembira.
“Fen, Din… sahabat kita ini udah nolak Gilang. Beberapa waktu yang lalu juga udah nolak dua cowok yang lumayanlah menurut kita. Kalian curiga gak sih?” Mentari berkata dengan nada menyelidik seraya menatap mataku tajam.
“Jangan-jangan kamu gak suka cowok, sukanya sama cewek ya?” tebak Adinda bercanda lalu mengembungkan kedua pipinya lucu.
“Huuh! Aku normal. Jangan mikir yang aneh-aneh deh!” jawabku merengut tidak suka. Mereka memang tidak pernah tahu jika aku sudah pernah jadian sama cowok yang amat spesial bagiku. Tapi cowok itu akan dipandang sebelah mata oleh mereka dan yang pasti oleh kedua orangtuaku juga.
Adinda, Fenta dan Mentari hanya tertawa mendengar jawabanku. Lalu kutinggalkan mereka dan membawa langkahku menuju perpustakaan.
Di perpustakaan.
Sedang asyik-asyiknya membaca kata-kata cinta karya Kahlil Gibran, seseorang yang sangat tak ingin kutemui saat ini telah duduk di hadapanku. Ia berusaha tersenyum dan dengan cekatan tangannya mengambil jemariku. Aku sama sekali tak bisa menghindar atau marah padanya, karena aku tak ingin membuat keributan di perpustakaan ini.
“Tolong kali ini aja kamu dengerin aku, Yeta!” pintanya dengan wajah memelas seraya memandangi mataku.
Ah, aku sangat lemah jika memandang kedua bola mata teduhnya. Dan aku menjadi tak tega melihat wajahnya yang memohon seperti itu. Tapi, aku harus tegas. Ini semua demi kebaikan. Terutama untuk kebaikanku.
“Van, kayaknya gak ada lagi yang perlu aku dengerin dari kamu. Kita udah putus. Dan aku mohon lupakan janji itu! Lupakan juga kalau kita pernah jadian! Dengan begitu aku atau kamu gak akan merasa terbebani lagi atas janji bodoh yang pernah kita sepakati.”
“Gak semudah itu untuk lupa, Yeta! Aku hanya ingin kamu menemaniku satu jam aja, sesuai janji kita dulu. Meski dengan terpaksa kutelan kenyataan ini, bahwa kamu bukan milikku lagi. Sampai saat ini pun aku belum mengerti kenapa kamu memutuskan hubungan kita dengan tiba-tiba. Padahal aku udah memenuhi syarat dari kamu, yang tak ingin orang lain tahu jika kita udah jadian.”
Aku hanya terdiam dan menunduk. Jemariku dalam genggaman tangan Revan terasa lemas namun terasa hangat dan nyaman. Rasanya aku ingin menangis. Menangis mengingat sebuah kenyataan pahit yang mengharuskanku meninggalkan Revan dan membunuh cintaku padanya.
“Jika kamu mengatakan alasannya, aku berjanji akan menjauh dari kamu. Aku gak akan ganggu kehidupan kamu lagi. Aku juga gak akan menuntut janji itu untuk kamu penuhi,”
Dengan lidah kelu, aku berusaha berbicara. “Alasannya… karena aku udah gak cinta sama kamu. Tolong kamu bisa ngertiin perasaan aku!”
Revan menatapku tak percaya. Beberapa detik kemudian matanya langsung berkaca-kaca. Genggaman tangannya yang semula amat erat kini mulai melemah dan akhirnya terlepas. Ia berdiri lalu tersenyum padaku.
“Terima kasih, Yeta. Semoga kamu selalu berbahagia.” Revan meninggalkanku dan aku hanya bisa memandangi punggungnya. Aku tak pernah menyangka, ternyata genggaman tangannya tadi adalah genggaman tangan terakhirnya untukku.
Satu bulan yang lalu, di sebuah taman belakang sekolah.
“Apakah aku bermimpi, Yeta?” tanya Revan padaku dengan penuh kebahagiaan.
Aku hanya menggeleng lalu tersenyum manis. Senyuman termanis yang pernah aku berikan untuk seorang cowok.
Dengan refleks, Revan langsung memelukku. Beberapa detik kemudian, dia melepaskan pelukannya.
“Emm… maaf, aku… aku… gak sengaja. Kamu gak marah, ‘kan?”
“Gak apa-apa, Van.” kataku lembut dengan wajah memerah.
Sumpah, aku gugup saat dipeluk Revan tadi. Jantungku berdetak kencang dan Revan pun begitu. Aku tahu karena tadi merasakan degupan jantungnya ketika memelukku.
Kini kami duduk di kursi panjang bercat biru, di samping pohon cemara yang tidak terlalu tinggi. Sekarang masih pukul tujuh pagi tapi entah kenapa keningku berkeringat. Padahal aku tahu udara sekarang sangat sejuk. Angin pun berembus lembut membelai wajah dan rambutku. Ah, apakah karena sekarang aku terlalu gugup berdekatan dengan seseorang yang berhasil mencuri hatiku sejak beberapa bulan yang lalu.
“Yeta…,” panggil Revan lembut padaku.
Aku menoleh ke arah Revan dan berkata, “Iya, Van?”
“Kamu lihat ke pohon cemara ini! Embunnya masih cukup banyak, ya?”
“Eh, iya. Emangnya ada apa, Van?”
“Aku suka banget sama embun. Embun itu rapuh karena jika kita sentuh sedikit aja, pasti ia akan hancur, gak berbentuk bulat lagi lalu menghilang. Tapi embun adalah noktah bening yang suci dan sejuk. Kamu tahu gak, jika dari embun kita bisa belajar tentang suatu ketegaran loh,”
“Ketegaran?” tanyaku bingung.
Revan terdiam sesaat. Kemudian menarik napasnya dalam dan berkata dengan suara lirih namun penuh ketegasan. “Embun, meski dia rapuh, ia masih tetap tegar. Ia tahu keberadaannya gak lama, tapi ia tetap berusaha memberikan kesejukan pada dunia meski hanya sebentar. Lalu ia akan datang lagi pada hari-hari berikutnya untuk memberi kesejukan itu kembali,”
“Benar katamu, Van! Embun penuh ketegaran dan dia juga percaya diri karena ia yakin jika ia akan kembali pada hari esok meski hari ini ia telah terpecah, ya.”
Revan tersenyum sambil menatap mataku dalam. “Yeta, aku mencintaimu sejak kita satu kelas di kelas dua. Dan sekarang, aku baru memiliki keberanian untuk menyatakannya padamu, di saat waktu kita bersama di sekolah sudah hampir berakhir. Aku takut kehilangan kamu, padahal baru beberapa menit aku merasa memilikimu.”
Aku terkejut mendengar kata-kata Revan. “Van, dari kelas dua? Dan kamu memendamnya udah hampir dua tahun?”
Revan mengangguk. “Aku malu padamu, Yeta. Aku bukanlah anak orang kaya. Bukan pula cowok keren berwajah tampan. Aku merasa tak pantas untukmu. Tapi aku pikir, aku akan menyesal jika gak pernah menyatakan cintaku padamu. Sungguh merupakan karunia terindah ternyata kamu menerima cintaku. Terima kasih banyak, Yeta! Aku merasa ini seperti mimpi.”
“Revan, aku gak pernah menilai cowok dari kekayaan atau ketampanannya. Kamu tentu tahu bukan jika aku belum pernah sekalipun berpacaran. Entah kenapa, aku bisa menerima kamu. Entah kenapa juga aku mulai merasa jatuh cinta sama kamu sejak kita mulai dekat kenaikan kelas tiga kemarin. Tapi aku bahagia, ternyata kamu pun memiliki rasa yang sama,”
Kami berdua saling berpandangan lalu tertawa.
“Oh iya, Van. Hubungan kita dirahasiain aja ya. Gak apa-apa, ‘kan?” pintaku pelan-pelan takut menyinggung Revan.
“Oke, Sayang. Aku janji akan merahasiakan hubungan kita. Dan aku gak akan nanya alasannya apa. Aku yakin kamu punya pemikiran untuk kebaikan kita. Tapi, aku juga boleh minta sesuatu?”
“Apa itu?”
“Setelah pengumuman kelulusan, besoknya temeni aku mengumpulkan embun di taman ini ya! Kita datang ke sini pada pukul setengah enam aja. Aku yakin embun di dedaunan masih utuh pada jam segitu,”
“Iya, Sayang.” Aku tersenyum bahagia dan seketika kurasakan jantungku makin berdegup kencang. Ya, karena Revan menggenggam jemariku dan mengecup keningku.
Hari ini. Hari pengumuman kelulusan.
Lapangan sekolah yang biasa dipakai untuk upacara, sekarang penuh sesak oleh teriakan gembira siswa dan siswi yang sudah melihat namanya ada di daftar kelulusan tahun ini.
“Akhirnya kita lulus, nih. Hore! Bentar lagi kita jadi mahasiswi dong, keren!” teriak Adinda heboh dengan wajah amat bahagia.
“Iya, iya… Kita bisa pakai baju bebas kalau kuliah, kan? Ah, seru!” timpal Fenta tak kalah hebohnya.
“Eh, satu lagi. Kita gak harus bikin PR matematika lagi. Hahaha!” kata Mentari sembari tertawa senang. Tentu saja ia sangat senang karena matematika adalah pelajaran yang paling dibencinya.
Aku hanya tersenyum. Bukan tak bahagia atas kelulusan ini, tapi aku hanya tak ingin terlalu heboh seperti mereka. Tiba-tiba HP-ku bergetar, ada pesan di inbox-ku. Setelah membacanya aku berniat mengacuhkannya. Namun hati kecilku berkata lain. Dengan alasan mau ke toilet, aku pamit sebentar dengan sahabat-sahabatku.
Dengan cepat kulangkahkan kaki menuju taman belakang sekolah. Di sebuah kursi, di samping pohon cemara yang tidak terlalu tinggi, Revan duduk dengan menundukkan wajahnya.
“Van…”
Dia mendongakkan wajah dan tersenyum. “Fayeta, terima kasih kamu mau menemuiku. Aku kira kamu udah gak mau lagi ketemu aku,”
Aku ikut tersenyum. Bagaimana mungkin aku tidak ingin bertemu dengan dia lagi. Sedangkan setiap malam, dia selalu hadir di mimpiku.
“Besok ya, setengah enam kutunggu di kursi ini. Aku telah menyiapkan sebuah cawan untuk tempat si embun pagi yang kita kumpulkan. Nanti embun itu akan menjadi saksi jika kita pernah memiliki kisah. Aku ingin menjadi embun untukmu, Yeta. Selalu memberikanmu kesejukan. Meski kutahu, aku gak bisa selalu ada untukmu layaknya sang embun.”
Aku terdiam jika Revan sudah berbicara dengan nada sedih seperti itu..
“Aku udah tahu alasan kamu memutuskan hubungan kita. Aku mengerti dan emang wajar jika orangtua kamu melarang. Namun sebenarnya, tanpa kita putus pun aku akan tetap harus meninggalkan kamu, Yeta. Suatu saat nanti kamu akan tahu sesuatu tentang aku.” kata Revan mengakhiri kata-katanya sambil beranjak dari duduknya dan berlalu pergi.
Keesokan paginya di taman belakang sekolah.
Udara sangat sejuk. Dingin. Tercium aroma tanah yang lembap. Langit masih sedikit gelap karena jam mungil di pergelangan tanganku menunjukkan masih pukul setengah enam kurang lima menit. Aku tersenyum melihat sosok yang amat kukenal sedang duduk menanti di kursi tempat biasa kami bertemu. Tangannya memegang sebuah cawan.
“Hai, Van! Udah lama?” sapaku sambil melihat ke wajah Revan yang terlihat sangat pucat.
“Hai, Yeta! Eh, gak kok. Aku juga baru sampai,” jawabnya riang tapi dengan suara yang terdengar bergetar.
“Kamu sedang sakit? Wajah kamu pucat banget, Van!” aku bertanya dengan khawatir.
Revan hanya menggeleng lemah dan tiba-tiba tubuhnya ambruk. Cawan yang dipegangnya terjatuh dan pecah.
“Revan!!!” Aku berteriak keras dan menangis menyaksikan Revan tergeletak tak berdaya dengan mulut yang mengeluarkan banyak darah. Samar-samar seakan aku mendengar lantunan elegi. Elegi embun pagi.
Berakhirnya kisahku.
Aku sudah menjadi mahasiswi sekarang. Dua tahun ini aku masih belum bisa melupakan Revan. Padahal aku tahu seharusnya aku tak memikirkan dia lagi karena ia telah berbahagia di surga. Namun kenangan tentang Revan, cinta pertama sekaligus pacar pertamaku, adalah kenangan yang akan selalu abadi di dalam memoriku.
Setelah kematian Revan akibat kanker hati yang telah lama bersarang di tubuhnya, aku hanya mampu bercanda bersama sang embun di setiap pagi. Melihat dan merasakan kesejukan embun seperti merasakan kehadiran Revan yang memang selalu menyejukkan hatiku.
Hingga kini, aku belum menemukan pengganti Revan. Ah, aku memang belum berniat mencari pengganti Revan untuk saat ini. Entah sampai kapan aku betah bersama kesendirianku. Kesendirian yang menyejukkan. Sesejuk embun pagi.

CERPEN : SEBENTUK HATI

Jumat, 01 Februari 2013.
Cinta… kehadiranmu bagai bintang di hatiku. Meski hanya sesaat dapat kumiliki, kekuatanmu mampu mengajarkanku arti sebuah pengorbanan yang tulus dan kepedihan yang tak selayaknya dibalas dengan kepedihan. Cinta… kaudatang bersama angin, dan berlalu pun bersama angin. Aku tak tahu harus marah atau kesal dengan sebuah angin yang telah membuatku harus berpisah denganmu. Mungkin perpisahan kita adalah hal terpedih yang pernah kurasakan. Namun aku tahu, perpisahan kita adalah hal yang membahagiakan untukmu.
Satu demi satu kata kugoreskan ke dalam lembaran buku kecil berwarna hijau, saat itu pula tetes demi tetes airmata berjatuhan membasahi lembaran buku itu. Ya, hari ini kisah antara aku dan pacarku telah berakhir. Baru saja, sekitar satu jam yang lalu!
Sambil menyeka lelehan air bening hangat yang keluar dari kedua pelupuk mata ini, kembali kuingat bagaimana aku dan dia bisa menjadi sepasang kekasih. Ketika itu, tepatnya sebulan yang lalu, saat acara malam tahun baru bersama teman-teman kampus, tanpa sadar aku mengatakan suka padanya. Dia tersenyum lalu bertanya apakah aku bersungguh-sungguh. Dengan menahan malu, aku menganggukkan kepala. Dan dalam sekejap, kami jadian. Aku hampir menangis karena bahagia dan dia hanya tersenyum manis sembari menatap mataku.
Hari-hari bersamanya terasa amat menyenangkan. Aku makin menyukainya, bahkan mulai menyayanginya. Namun setelah 28 hari kebersamaan kami, terjadilah suatu hal yang tak pernah kusangka sebelumnya. Dan hari ini, di awal bulan Februari yang kata orang-orang adalah bulan cinta dan kasih sayang, aku harus melepaskan dirinya, di saat aku mulai mencintainya. Menyakitkan memang, tapi aku lebih memilih mengalah demi kebahagiaan Satria. Ya, namanya Satria! Pacar pertama sekaligus cinta pertama di usiaku yang sudah memasuki 20 tahun.
Senin, 04 Februari 2013.
Cukup! Hari ini tidak akan kukeluarkan lagi airmataku. Sebisa mungkin aku akan menahannya meski kemesraan sepasang kekasih yang tak sengaja kulihat barusan, bisa saja membobol benteng pertahananku. Dengan terus menunduk, kuhabiskan isi piring makan siangku dengan super cepat.
“Kirana! Lapar atau doyan sih? Hihii…,” komentar Lala tertawa geli melihatku.
“Ada tugas yang belum kukerjakan, La. Sepuluh menit lagi Pak Rangga masuk nih, dan aku tidak ingin dosen killer itu menyuruhku belajar di luar ruangan. Aku duluan ya! Bye, La!”
Lala hanya terbengong melihat sikapku. Aku cukup yakin Lala tidak akan percaya kalau seorang Kirana belum mengerjakan tugas. Lala dan teman-teman satu jurusanku sudah sangat tahu jika aku adalah salah satu mahasiswi yang rajin dan pintar. Namun aku berharap agar Lala bisa mengerti keadaanku saat ini. Aku hanya tak ingin melihat Satria dan pacar barunya, Meisya. Kenapa? Karena aku belum cukup kuat untuk berdiri di atas luka ini.
Di dalam ruangan kuliah yang masih kosong, kubenamkan wajah di atas meja dan menangis. Hari ini, aku masih belum cukup kuat ternyata. Tapi aku masih bersyukur karena tidak menangis di kantin dan tidak juga di hadapan Lala. Beberapa menit kemudian, cepat-cepat kuhapus airmata di pipi karena sudah ada beberapa orang yang masuk ke ruangan ini.
“Nana, boleh pinjam tugas kamu? Aku belum buat nih, tolong ya!” kata sebuah suara yang masih terdengar merdu di telingaku, sekali pun dia telah membuat hatiku sakit.
Aku tersenyum. Berusaha tersenyum maksudnya. “Agak ngebut nulisnya, Sat! Bentar lagi Pak Rangga masuk,” pesanku pada Satria sambil menyodorkan lembaran kertas tugasku.
Satria mengangguk dan tersenyum. Masih dengan senyuman manisnya yang amat kusuka. Dengan tergesa, ia langsung menuju kursi paling belakang dan mulai sibuk mengerjakan tugas. Aku menatap cowok itu dengan sendu. Hati ini tak bisa membencinya, meski ia telah menimbulkan perih yang cukup dalam di hatiku.
“Ah, udah satu jam kita nunggu. Kenapa Pak Rangga belum datang juga?” keluh Lala yang terlihat mulai bosan memainkan game di HP-ku.
“Mungkin Pak Rangga gak bisa ngajar kali, ya? Gak biasanya ia terlambat seperti ini,” kataku menanggapi keluhan Lala tanpa melepas pandangan pada barisan kata di sebuah novel yang sedang kubaca sekarang.
Tepat pada saat itu, Radika berkoar-koar di depan kami dan mengatakan kalau Pak Rangga tidak bisa mengajar dikarenakan istrinya sedang sakit. Seketika terdengar sorak bahagia teman-temanku. Jelas saja bahagia, siang ini kami tidak akan dibuat tegang oleh pertanyaan Pak Rangga di mata kuliah Akuntansi Lanjutan, yang ‘amat sangat’ memusingkan kepala.
Satria menghampiri tempat dudukku lalu menyeret sebuah kursi. Kini sosok yang sangat kusayangi hingga detik ini pun, telah berada di hadapanku. Aku sangat gugup dan salah tingkah. Satria mau apa ya? Ah, buru-buru kutepis imajinasi indahku. Ingat, Na! Dia adalah mantanmu. Dia tidak mencintai kamu! Jerit hati kecilku.
“Nana…,” suara Satria terdengar lembut. Ya, Satria suka sekali memanggilku dengan sebutan ‘Nana’ setelah kami jadian satu bulan yang lalu. Tapi kenapa sampai saat ini dia masih memanggilku seperti itu, padahal kami telah berpisah.
“Iya, Sat?” ujarku singkat dan seolah-olah sibuk membereskan isi tasku.
“Setelah ini kamu ada kerjaan gak?”
“Gak ada. Aku langsung pulang, Sat.”
“Bisa temani aku?”
“Meisya suka banget sama warna pink, Na! Di sini banyak boneka warna pink, aku jadi bingung nih. Kamu tahu Meisya suka boneka apa?” Satria bertanya padaku dengan semangat, sesemangat ia mencarikan boneka untuk Meisya.
Dan aku tahu sesuatu. Satria amat mencintai Meisya, sampai-sampai rela bersatu sama benda yang ‘cewek banget’ di galeri yang juga ‘cewek banget’. Dan aku? Ya, aku ikut terjebak di sini. Sedikit menyesal juga saat tadi kuiyakan untuk membantu Satria. Kalau aku tahu jika Satria minta bantuan memilih hadiah ultah untuk Meisya, tidak akan kuiyakan permintaan Satria di kampus tadi.
Tapi lumayan, aku bisa kembali merasakan dibonceng Satria meski status kami sekarang hanyalah seorang teman. Lagian aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tetap berteman dengan Satria, juga tidak membenci dan tidak memusuhi dirinya.. Bukan salah Satria, jika perasaan cintanya padaku telah memudar. Aku tahu, Meisya lebih segalanya dariku dan tentu jika aku jadi Satria, aku akan memilih Meisya juga.
“Sat, Meisya suka Hello Kitty. Ini aja deh!” tawarku pada Satria sambil memegang boneka Hello Kitty yang lucu dengan kedua tanganku. Boneka ini lucu dan lumayan besar. Aku pun menginginkannya. Ah, aku akan menabung dulu!
Satria mengamati boneka itu dan melihat tarif harganya. Dia tersenyum dan berkata, “Oke! Kita ambil yang ini!”
Minggu, 10 Februari 2013.
Pagi ini aku malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur nyamanku. Sudah pukul tujuh pagi, tapi aku masih berteman dengan bantal dan boneka Teddy Bear kesayanganku. Pikiranku menerawang seraya memandangi langit-langit kamarku yang diwarnai dengan cat hijau, warna kesukaanku. Dan pikiran memaksa otakku untuk memutar kembali ingatan tentang kejadian kira-kira dua minggu yang lalu, awal dari luka yang harus kuterima.
Meisya datang ke rumah dan membawa brownies panggang pesanan mama. Mama Meisya dan mamaku sahabat lama, oleh karena itu mereka sering bertukar hasil masakan. Kebetulan Satria sedang main ke rumah dan kami mengobrol di ruang tamu. Setelah Meisya bertemu mama dan menyerahkan brownies tadi, aku meminta Meisya untuk gabung bersama kami dan mengenalkannya pada pacarku.
“Sya, kenalin ini Satria!” kataku pada Meisya yang terlihat telah memasang senyum manis untuk Satria.
“Hai, aku Meisya, teman sekaligus tetangga Kirana. Kamu teman kuliah Kirana, ya?” sapa Meisya riang sembari mengulurkan tangannya pada Satria. Ya, Meisya adalah cewek cantik dan manis, ditambah lagi ia sangat mudah bergaul dengan orang baru.
Kulihat Satria agak salah tingkah menerima tangan Meisya. Setelah tangan mereka bersatu dengan cukup lama, dengan refleks aku berdehem. Seketika Satria menarik tangannya dan tertunduk. Meisya hanya tersenyum. Hampir satu jam kami mengobrol bersama. Sebenarnya hanya Meisya dan Satria saja yang mengobrol, aku hanya jadi pendengar yang baik. Dan kali ini aku baru merasakan bagaimana resahnya rasa cemburu itu.
Keesokan harinya di kampus, aku begitu terkejut karena melihat Meisya sedang berdiri di samping taman Fakultas Ekonomi. Segera kuhampiri dia.
“Hai, Na! Kamu ketemu Satria gak?” ujar Meisya bertanya padaku dengan suara lembut. Heran, sejak kapan Meisya bersuara lembut seperti ini?
“Dia tadi bilang mau ke ruang dosen bentar untuk nyerahin tugas. Kok kamu ada di sini, Sya? Bukannya kamu males banget kalau kuminta datang ke fakultasku?” tanyaku sedikit curiga. Tiba-tiba perasaan tak enak mengalir di hati kecil ini.
“Eh, ternyata jarak Fakultas Kedokteran ke Fakultas Ekonomi cukup dekat juga ya kalau udah dicoba gini? Hehe…”
Aku menatap Meisya bingung dan masih curiga.
“Kirana, jangan mandangin aku kayak tersangka gitu deh! Aku ke sini karena janjian sama Satria. Aku dan dia mau ke Gramedia bareng,”
“Kok bisa janjian?”
“Aduh, maafin aku ya, Na! Kemarin aku ambil nomor HP Satria di kontak HP kamu. Iseng aku sms dia dan dibalas. Terus kami ngebahas hobi masing-masing. Gak nyangka dia hobi baca novel juga. Jadinya kami ngebahas novel-novel terbitan DIVA Press. Hari ini kami berdua mau ngeborong novel, Na.”
Hatiku seperti tersayat ujung pisau ketika mendengar penjelasan Meisya. Aku terdiam sesaat sampai Meisya mengibaskan tangan kanannya ke depan wajahku.
“Ehh, iya… gak apa-apa kok. Oh ya, aku duluan ya, Sya! Selamat ngeborong novel aja deh.” Dengan terburu-buru aku menjauh dari Meisya karena aku tak ingin ia melihat perubahan rona di wajahku.
Besoknya aku pun meminta penjelasan pada Satria kenapa dia tidak cerita kalau sms-an dengan Meisya dan janjian dengannya untuk ke Gramedia. Tapi yang ada bukan Satria memberi penjelasan. Namun…
“Semalam aku udah berpikir matang, Na. Kayaknya hubungan kita sampai di sini aja ya. Sepulang dari Gramedia kemarin, aku dan Meisya jadian. Dia duluan yang nyatain cinta dan aku gak punya alasan untuk menolak. Aku bahagia banget bisa jadian sama Meisya. Jujur dari awal kamu ngenalin dia ke aku, aku udah merasa tertarik sama Meisya. Maafin aku, Na!
Aku menatap mata Satria dalam-dalam dengan nanar. Berusaha menemukan kebohongan di sana. Tapi aku melihat kebohongan itu tidak ada. Satria bersungguh-sungguh dengan perkataannya barusan.
“Na, tolong jangan bilang ke Meisya ya kalau kita pernah pacaran. Dia tahunya kita hanya berteman. Kamu mau, kan?”
Aku terdiam. Aku tertunduk. Dan aku mengangguk. Lalu mengangkat wajah dan tersenyum. “Oke, Sat. Kita sekarang kembali kayak dulu. Hanya berteman biasa.”
“Tapi kamu baik-baik aja kan, Na? Jangan marah sama Meisya ya! Dia gak salah,”
“Aku baik-baik aja, Sat. Tenang! Aku gak mungkin marah sama Meisya. Kalian berdua sama-sama temanku, kok. Jika kalian bahagia, aku ikut bahagia. Selamat ya! Semoga kalian langgeng. Kalian emang pasangan yang serasi. Sekali lagi selamat ya!”
Sukses! Aku memang pintar berakting untuk jadi manusia yang pura-pura berbahagia saat itu. Aku baik-baik saja, tapi hatiku tidak baik-baik saja. Dan airmata kembali membasahi pipiku. Di pagi minggu yang cerah, aku masih saja berteman deraian airmata.
Rabu, 13 Februari 2013.
“Nana, Meisya gak suka sama cowok yang suka futsal ya?” tanya Satria saat aku dan Lala sedang menikmati semangkuk bakso panas.
“Hei, cowok brengsek! Bisa gak berhenti ngebahas pacar kamu itu di depan Kirana! Gak berperasaan banget sih jadi orang!” bentak Lala marah.
Satria terdiam dan aku cepat mengendalikan suasana tegang ini. “Sat, aku duluan ya!” kataku sambil menarik tangan Lala.
“Kalau aku jadi kamu, aku gak akan mau lagi ngasih contekan tugas ke cowok brengsek itu! Aku juga gak akan mau menemaninya membeli hadiah untuk cewek yang telah merusak hubungan kalian! Aku juga gak akan mau bersikap manis lagi sama mantan yang gak tahu terima kasih!” Lala menggerutu kesal atas sikapku.
“Aku hanya ingin Satria bahagia, La. Aku baik-baik aja kok,”
“Iya, Satria bahagia! Tapi kamu menderita! Baik apa? Kamu nangis terus gitu, dibilang baik-baik aja?”
Aku memeluk Lala. Aku tahu dia begini karena dia menyayangiku. “La, makasih ya! Tapi aku ngerasa baik-baik aja dengan semua ini. Lama kelamaan aku pasti bisa menata hatiku. Tapi biarkan aku tetap bersikap manis pada Satria dan Meisya ya. Aku gak ingin ngerusak hubungan pertemanan hanya oleh cinta.”
Lala membalas pelukanku dan berkata pasrah, “Kalau kamu pengennya gitu, ya udah. Tapi ingat, jangan dipaksain bila kamu emang gak sanggup. Dan usahakan untuk membuka hati buat cinta yang baru ya, Say!”
Aku tersenyum bahagia karena masih memiliki sahabat terbaik seperti Lala. Biarkan di saat ini, sebentuk hati di dalam tubuhku masih untuk Satria. Aku yakin suatu saat nanti aku pasti bisa memberikan sebentuk hatiku untuk nama yang baru, karena ’hidup akan terus berlanjut!’

Saturday, 12 April 2014

MEKAR LAGI BUNGA ITU!

Mekar lagi bunga itu!

Padahal musim semi belum tiba.
Mungkinkah karena keterpaksaan?
Ah, sepertinya tidak!

Namun ini akan menimbulkan pandangan heran bagi yang memandang.

Haruskah mekarnya kupetik saja?
Biar tak ada yang tahu.

Atau biarlah?
Akan kutunggu saja sapuan hujan yang lebat atau tarian angin yang hebat untuk menghapusnya.
Atau bahkan kutunggu saja sinar teramat terik yang akan melayukan mekaran itu.

Tapi tunggu dulu!
Apa mungkin hal yang kupikirkan tadi bisa berhasil?

Bukankah mekarnya bunga itu karena alami, pun layunya harus alami.

Tapi sampai kapan?

Popular Posts