Sebuah rasa yang terlahir dalam hatiku, sejak enam tahun yang lalu
hingga kini masih tetap setia kujaga. Rasa yang kusebut cinta, rasa yang
menumbuhkan bunga-bunga semangat dalam hidupku dan rasa yang mampu
membuat diriku bertahan selama ini. Bukan waktu yang singkat untuk
mendekam rasa ini di dalam hati. Aku pun tak tahu sampai di mana cinta
ini sanggup berlabuh. Akankah sampai pada pelabuhan yang kutuju atau
malah harus mengalah pada titik kelemahan hingga tak bisa melabuhkannya
pada hati yang telah lama kudamba.
Pagi ini masih seperti biasanya. Hanya aku sendirian yang sudah duduk
manis di dalam ruangan A105, menunggu mata kuliah pertama di senin pagi
yang cukup dingin. Kubuka lembaran buku tebal yang baru saja
kukeluarkan dari tas, lalu membacanya perlahan untuk mengisi waktu.
Setelah sepuluh menit berlalu, kulirik jam mungil berwarna kecoklatan di
pergelangan tanganku. Tepat pukul delapan pagi, itu berarti aku harus
menunggu setengah jam lagi, baru perkuliahan akan dimulai.
“Satu, dua, tiga, empat, …” kuhitung detik demi detik dan tepat pada
detik ke sepuluh, sang pujaan hatiku dengan manisnya melangkah masuk ke
dalam. Lagi-lagi hari ini ia bersama sang bidadari pilihan hatinya.
Tentu saja bukan aku, tapi seorang gadis yang amat cantik, amat manis,
amat anggun, amat menarik dan segala amat yang mewakili kesempurnaan
dari seorang Cherry..
Sudah menjadi kegiatan rutinku, memperhatikan kedatangan Andro. Ia
bersama kekasihnya, Cherry, pasti datang pada pukul delapan pagi lewat
beberapa detik saja. Kemarin lewat lima belas detik dan hari ini hanya
sepuluh detik. Seminggu yang lalu Andro datang pada pukul delapan tepat,
waktu tercepat ia datang. Kegiatan rutin ini sudah kulakukan sejak
pertama kali menuntut ilmu di kampusku sampai sekarang, sudah hampir
tiga tahun karena kami sudah semester enam saat ini. Sebenarnya aku tak
tahu untuk apa melakukannya, namun ada rasa bahagia tersendiri jika
kutahu Andro masuk kuliah dan terlihat baik-baik saja.
Andro dan Cherry melewati tempat dudukku dan seperti biasanya mereka
memilih di kursi paling belakang dan duduk berdekatan. Aku tersenyum
getir melihat kemesraan mereka. Lalu kembali kubaca buku yang sejak tadi
kudiamkan saja di atas meja.
“Kayla!” teriak Mimi dekat pada telingaku.
Aku kaget dan cemberut menatap Mimi yang tertawa. “Bisa tidak kalau
memanggil orang itu tidak pakai teriak-teriak!” kataku kesal pada Mimi
sambil mencubit lengannya.
“Hahaha! Salah kamu, Kay. Aku datang tapi pura-pura tidak tahu, padahal
hari ini aku memakai baju baru, loh!” Mimi berdiri di depanku lalu ia
memutar badannya, menunjukkan baju berwarna merah muda yang dipakainya.
“Cantik, Mi!” pujiku sungguh-sungguh.
“Terima kasih, Kayla sayang! Akhirnya kamu mengakui juga kalau aku ini memang cantik, hehehe…,” ucap Mimi dengan mata berbinar.
“Aduh, yang cantik bajunya, Sayang. Bukan kamu! Haha…!” Setelah mengejek
Mimi, aku langsung melarikan diri keluar. Mimi cemberut dan mengejarku
yang tertawa-tawa riang.
Mimi berhasil menyusulku dan menarik lenganku. “Jika tidak mengatakan
aku cantik, tak akan kulepaskan tanganmu!” seru Mimi mengancam dengan
mimik muka dibuat garang.
“Iya, iya. Aku bercanda. Mimi cantik, kok!” kataku menyerah.
“Nah, begitu dong!”
Lalu kami berdua duduk-duduk di kursi panjang depan ruangan kuliah,
menanti kedatangan Pak Harata. Tepat pada pukul delapan lewat tiga puluh
menit, Pak Harata terlihat berjalan menuju ruangan A105. Aku dan Mimi
segera masuk.
“Pak Harata sudah datang!” teriak Mimi pada teman-teman yang masih asyik mengobrol.
“Selamat pagi!” sapa Pak Harata pada kami. Ia tersenyum dan duduk di kursinya.
“Selamat Pagi, Pak!” jawab kami serentak.
—
Bintang banyak sekali malam ini. Menghias langit di angkasa, seperti
berlian yang berhamburan di atas permadani luas membentang. Aku sedang
menggenggam buku harian saat masih di SMA. Buku dengan sampul hijau muda
kini menjadi kenangan semata karena saat ini aku tak pernah lagi
menggoreskan pena di buku tersebut.
Kubuka salah satu lembar yang berwarna merah muda.
Dia masih sama saja. Tetap cakep dan ramah pada siapapun. Andro, kamu
nanti kuliah di mana? Aku harap kita bisa satu universtas lagi dan bisa
belajar dalam satu ruangan denganmu… ^_^
Aku tersenyum membaca tulisanku sendiri. Dari tanggalnya, aku dapat
mengingat saat itu kami sedang merayakan pesta kelulusan di SMA. Ketika
kudengar dari salah seorang teman, Andro akan ikut tes masuk Universitas
Sriwijaya, aku bertekad untuk belajar sungguh-sungguh agar bisa lulus
tes dan satu kampus dengan Andro. Hasilnya sungguh memuaskan, selain
satu kampus ternyata tiga tahun selama kuliah pun selalu satu ruangan
dengannya.
Kini aku membaca lembaran berwarna hijau muda.
Ah, Andro keren sekali hari ini! Permainan basketnya memukau dan
semua anak perempuan di sekolah ini berkumpul di lapangan untuk melihat
Andro. Tapi, kenapa sampai detik ini Andro belum memiliki pacar, ya?
(Mengharapkan sesuatu yang kurang mungkin, hehe :D)
Sesaat aku tertegun sejenak membaca catatan di kelas dua SMA. Hari
itu sedang diadakannya pertandingan basket antar SMA sekota Palembang
dan SMA-ku menjadi tuan rumah. Andro salah satu tim basket andalan di
SMA dan sering menjuarai perlombaan basket. Kabar-kabar yang kudengar,
Andro belum pernah menyukai cewek sehingga ia belum pernah memiliki
pacar. Aku pernah bermimpi suatu saat nanti bisa berjodoh dengan Andro
walau kemungkinannya sangatlah kecil.
Lembaran pertama kali dalam buku harianku, berwarna biru muda, dengan seksama aku membacanya.
Baik sekali cowok itu! Dia memberikanku topi bolanya saat MOS agar
aku tidak dihukum senior. Untung saja Andro juga tak dihukum karena para
senior cewek membelanya. Andro ganteng sih, jadi kakak-kakak senior
mengurungkan niat untuk menghukumnya. Sudah cakep, baik lagi! Aku
menyukainya. <3
Kututup buku harian dan memandangi bintang lewat jendela kaca di
kamarku. “Bintang, Andro kini sudah bisa jatuh cinta. Dia sudah memiliki
dan dimiliki Cherry. Apakah aku masih boleh mencintainya?” aku berbisik
pada bintang-bintang yang bercahaya terang. Mereka seolah tersenyum dan
menatapku yang tengah merenung.
—
“Jika memang tidak sanggup, tidak perlu dipaksa, Honey! Hanya saja
Papi dan Mami menginginkan aku menikah secepatnya,” kata Cherry menahan
kesal.
“Bukan aku tidak sanggup memenuhi permintaan kamu, Honey. Tapi aku belum
siap sama sekali jika kita harus menikah. Papa dan Mama tentu belum
mengizinkan, mereka ingin kita jadi sarjana dulu,” jawab Andro dengan
wajah pias. Dia menatap kekasihnya itu dengan sedih.
“Oke, kamu bisa pilih! Mengikuti kata orangtuamu atau aku!” seru Cherry yang membuat Andro terdiam.
Cherry meninggalkan Andro sendirian di kantin. Andro tidak
menyusulnya. Ia hanya tertunduk dan mengacak-acak rambutnya sendiri.
Andro pasti kebingungan dan bersedih tidak bisa memenuhi keinginan
Cherry yang mengajaknya untuk menikah dalam waktu cepat ini.
Aku duduk sendirian di sudut kantin. Tak sengaja kulihat Andro dan
Cherry yang sedang makan tak jauh dariku. Aku mengamati dan mendengarkan
percakapan mereka. Kini aku ikut merasakan kesedihan dan kebingungan
Andro yang dihadapkan pada masalah rumit hingga membuat Andro tak mampu
berkata-kata lagi.
Satu minggu kemudian.
Di pesta pernikahan Cherry. Tapi pengantin prianya bukanlah Andro
melainkan laki-laki yang sudah sarjana, pilihan papi mami Cherry. Pesta
super mewah di gedung Novotel, hotel berbintang terbaik di Palembang,
yang menurut tebakanku menghabiskan biaya ratusan juta ini sangat ramai
di hadiri para tamu undangan. Para pejabat dan artis ibukota turut
merayakan resepsi pernikahan Cherry.
“Gila! Suami Cherry itu anak pejabat ya, Kay?” decak kagum Mimi
sambil mencicipi hampir semua makanan dan minuman yang disediakan di
beberapa stan.
Aku menggeleng. “Tidak tahu, Mi. Tapi mungkin juga, ya.”
Mimi sibuk mengunyah. Anak ini belum kenyang juga, padahal sudah berbagai jenis makanan masuk ke dalam perutnya.
“Mi, masih mau makan lagi?” tanyaku bercanda saat mata Mimi
memperhatikan stan yang khusus menyediakan pempek, makanan khas
Palembang.
Mimi mengangguk dan langsung menarik tanganku. Aku menggeleng-geleng
heran memandangi Mimi yang sekarang sibuk mengambil beberapa pempek dan
menaruhnya di atas piring. Aku mengajak Mimi makan bersama teman-teman
yang lain. Andro? Apa aku tak salah melihat? Ah, benar-benar Andro. Ia
sedang berkumpul bersama teman-teman cowok di dekat hiasan air mancur.
Aku tersentak, Mimi pun begitu.
“An, kamu datang?” tanya Mimi dengan wajah heran bercampur kagum karena
Andro terlihat sangat ganteng dengan pakaiannya yang amat rapi.
“Andro, pria sejati! Dia menghormati mantan kekasihnya, jadi datang
walau hati teriris-iris. Sakit, uuuhh!” jawab Krisna asal sembari
bertingkah lucu yang mengundang tawa kami semua.
Andro hanya tersenyum dan menjawab pertanyaan Mimi, “Datang dong, Mi.”
“Ah, Andro diputuskan Cherry karena tidak mampu memenuhi permintaan
Cherry yang menginginkan pesta super mewah, hahaha…!” ujar Ricko
seenaknya.
“Bukan tidak sanggup! Aku bisa saja membiayai pesta pernikahan lebih
mewah dari ini kok!” seru Andro kesal atas kata-kata Ricko yang
menghinanya.
“Padahal sudah pacaran satu tahun, kalian sudah amat serasi, dan kamu
sanggup memenuhi permintaannya. Terus kenapa kamu melepaskan Cherry,
Bro? Sayang sekali, gadis secantik dan seseksi Cherry itu susah
mendapatkannya!” Kini giliran Nicky yang berceloteh.
Andro hanya terdiam menahan emosi atas hujatan teman-temannya yang
kecewa karena Andro melepaskan Cherry, cewek nomor satu di kampus.
“Pasti ada hal lain yang membuat Andro mengambil keputusan ini,
teman-teman. Jangan membuat Andro lebih bersedih lagi dong!” kata Safira
menengahi karena suasana mulai memanas.
Andro melihatku sekilas namun langsung membuang wajah. Aku melihat ada
luka di balik senyuman tegarnya. Aku mengerti perasaan Andro, pasti
sakit dan ia berpura-pura sedang baik-baik saja. Aku tahu hatinya
menangis, akan tetapi ia tetap berusaha bahagia atas pernikahan Cherry,
satu-satunya perempuan yang ia cintai.
“Diharapkan teman-teman dari Universitas Sriwijaya naik ke atas
pelaminan untuk berfoto bersama pengantin!” panggil pembawa acara.
Perempuan yang benar-benar mendekati sempurna menurutku saat
memandangi Cherry yang berbalut pakaian pengantin. Suaminya pun tak
kalah, sangat gagah dan ganteng walau masih lebih ganteng Andro. Selesai
berfoto, kami semua menyalami sepasang pengantin yang sedang
berbahagia. Andro menatap Cherry dan Cherry mengacuhkannya. “Kasihan
sekali kamu, An.” gumamku di dalam hati.
—
Selama kuliah, baru kali ini ada orang yang mendahului kedatanganku
dan sudah berada di ruangan kuliah pagi hari ini. Aku tersentak kaget
saat tahu jika orang itu adalah Andro. Dia sedang sibuk menulis. Apa
karena ada tugas yang belum diselesaikannya jadi Andro datang pagi? Ah,
sepertinya tidak. Biasanya walau ada tugas yang menumpuk pun dia tak
akan datang di bawah jam delapan.
Aku meletakkan tas di atas kursi dan bermaksud untuk keluar. Jantung
ini kurasakan berdebar-debar saat berdua saja bersama Andro seperti
sekarang. Baru mau melangkahkan kaki, Andro memanggil namaku. “Kayla…,”
Aku menoleh dan tersenyum. “Ada apa, An?” kataku sambil berusaha tak
terlihat gugup. Jarang-jarang Andro menegurku apalagi mengajak bicara.
“Jika tidak ada kerjaan, di sini saja temani aku!” jawab Andro sambil
menarik bibirnya membentuk senyuman terindah yang pernah kulihat. Dan
senyum itu kali ini benar-benar untukku. Ah, ingin rasanya aku memotret
senyuman Andro barusan.
Aku mengangguk dan menuju ke arah tempat duduk Andro. “Lagi nulis apa? Tugas, ya?” tanyaku basa-basi.
“Tugas sudah kukerjakan kemarin setelah pulang dari pesta pernikahan
Cherry. Sekarang lagi nulis puisi patah hati saja, Kay. Hehehe,” Andro
menjawab pertanyaanku dengan tertawa kecil.
Aku terdiam. Membiarkan Andro terus menulis selama beberapa menit.
“Kayla, aku masih sangat mencintai Cherry. Apa aku masih boleh
mencintainya padahal ia sudah menjadi milik orang lain?” Andro bertanya
serius padaku.
“Cinta itu adalah anugerah. Boleh-boleh saja mencintai seseorang yang
sudah dimiliki orang lain. Namun, tidak untuk memiliki, An!” jawabku
yang seolah menjawab pertanyaanku sendiri.
Andro menatapku dan aku menatapnya. Cukup lama kami saling bertatapan
dan Andro yang terlebih dahulu sadar lalu memalingkan wajahnya. Aku
menjadi malu. Wajahku biasa-biasa saja, tidak secantik dan semenarik
Cherry. Mungkin itu yang membuat Andro tersadar dan segera memalingkan
wajahnya.
Sekarang tak lagi kudapati seorang Andro yang ceria. Keceriaannya
seolah tertelan dukanya karena Cherry. Andro juga jarang sekali masuk
kuliah dalam beberapa minggu ini. Aku benar-benar khawatir, takut
terjadi apa-apa dengan orang yang kucintai itu. Untung aku masih
mengingat jalan ke rumah Andro. Sepulang kuliah siang ini, aku akan ke
rumahnya untuk mencari tahu penyebab Andro tidak masuk kuliah
berhari-hari.
Selama setengah jam aku terpaku di hadapan mama Andro. Dengan berurai
airmata, mama Andro bercerita dalam dua minggu ini Andro ternyata
mengkonsumsi obat tidur dosis tinggi dan yang mengerikan ternyata Andro
mengkonsumsinya dalam jumlah yang sangat berlebihan sehingga membuatnya
harus diopname di rumah sakit sejak kemarin.
“Tante sangat menyesal, Kayla. Seandainya kami mengizinkan Andro
menikah, tentu dia tak akan begini. Ini semua salah kami!” kata mama
Andro menyesali diri.
“Semua adalah takdir dari Tuhan, Tante. Tidak ada yang salah. Terpenting
sekarang, bagaimana mengembalikan Andro seperti semula,” kataku lembut
sambil mengusap pipi mama Andro pelan.
Sudah satu minggu lamanya Andro dirawat di rumah sakit. Tubuhnya
semakin kurus dan tidak mau berbicara banyak padaku dan pada
orangtuanya. Dengan rasa cinta di dalam hatiku, setiap hari sepulang
kuliah aku ke rumah sakit untuk menemani Andro. Bagaimanapun kondisinya
sekarang, bagaimanapun keadaannya fisiknya sekarang, aku masih tetap
cinta. Cinta yang tetap putih seputih pertama kali aku mencintai Andro
di kelas satu SMA dahulu.
Sore ini, kuajak Andro berjalan-jalan mengelilingi area rumah sakit.
Andro disuruh suster menggunakan kursi roda saja karena badannya masih
lemas. Aku mendorong kursi roda Andro perlahan dan mengajaknya ke sebuah
taman kecil. Di taman ini terdapat pohon-pohon besar yang rindang dan
rerumputan nan hijau yang menyejukkan mata, lengkap dengan
bunga-bunganya yang dihinggapi kupu-kupu cantik.
“Andro, lihat anak kucing itu! Dia hanya sendirian tanpa induk dan
tanpa teman. Tapi coba perhatikan, ia tetap ceria bermain bersama rumput
dan kupu-kupu di sana!” kataku sembari menunjuk ke arah anak kucing
yang sedang melompat-lompat mengejar kupu-kupu dan memainkan rumput yang
bergoyang tertiup angin.
Andro memperhatikan anak kucing itu. Perlahan dia tersenyum. Aku bahagia
sekali melihat senyuman Andro. “Kamu juga pasti bisa lebih bahagia dari
anak kucing itu, An! Kamu masih memiliki orangtua yang amat
menyayangimu dan masih memiliki teman. Pantaskah kamu larut dalam
kesedihan dan hampir mencelakai dirimu sendiri?” kataku bertanya lembut
pada Andro yang langsung tertunduk.
“Aku tidak pantas untuk bersedih seperti ini, Kay. Aku sungguh menyesal!” jawab Andro dengan terbata.
Aku tersenyum dan berbungkuk di hadapan Andro. “Mulai sekarang, kamu
harus lupakan masa lalu yang hanya akan melukis kesedihan. Tataplah masa
depan, Andro! Itu akan membuatmu lebih baik. Semangat!” Aku berkata
sambil mengepalkan tangan dan mengangkatnya untuk memberikan semangat
pada Andro yang kukasihi.
“Oke, Kayla! Mulai saat ini aku akan kembali menjadi Andro yang dahulu.
Aku akan melupakan Cherry dan memulai hidup dari awal lagi demi masa
depan yang lebih cerah!” seru Andro semangat dengan sumringah sambil
menatap mataku.
Aku pun tersenyum. Ingin menangis rasanya.
Terima kasih, ya Allah. Andro sudah kembali seperti dulu dengan
senyuman manisnya. Aku berjanji akan tetap menjaga cinta putih ini
untuknya namun tetap tidak akan mengalahkan cintaku pada-Mu, Sang
Pemilik Hati dan Jiwa.
No comments:
Post a Comment