Di dalam kelas yang sepi.
“Yeta, dicoba aja dulu! Masa sih udah tujuh belas tahun belum punya
pacar juga, malu tuh sama wajah cantik kamu! Hahaha…,” kata Mentari
membujukku sambil bercanda. Ia tertawa saat melihat wajahku langsung
cemberut.
“Mentari, sahabatku tersayang… jika kamu masih aja nyuruh aku pacaran
sama dia, gak akan kupinjami komik lagi loh!” kataku mengancam lalu
memalingkan wajahku dari Mentari.
Fenta dan Adinda yang baru saja dari kantin menghampiri kami sembari menyerahkan bungkusan burger pesananku dan Mentari.
“Ada apa dengan kalian? Kok kayaknya lagi diam-diaman aja?” tanya Adinda heran sambil menatapku dan Mentari secara bergantian.
“Yeta nih, masa Gilang yang udah jelas-jelas cakep dan kaya, masih aja
ditolak. Heran deh! Cowok yang kayak gimana yang kamu mau, Ta?” Mentari
berkata seolah ia sangat terheran dengan sikapku.
“Gilang nembak kamu, Ta?” tanya Fenta ingin tahu.
Aku hanya terdiam.
“Benar Gilang udah nembak kamu? Lalu kamu tolak?” Kini Adinda yang
bertanya padaku dengan tatapan mata yang menyiratkan kekaguman.
Aku mengangguk lemah. Dan…
“Fayeta! Cowok nomor satu di SMA kita aja bisa jatuh hati sama kamu dan
seharusnya kamu terima,” teriak Adinda dan itu membuatku jadi risih.
“Kalau kamu jadian sama Gilang, ‘kan pasti diajak jalan dengan BMW-nya,
terus kami juga bisa ikut nebeng dong, haha…!” kata Fenta heboh dengan
tawanya yang khas jika ia sedang gembira.
“Fen, Din… sahabat kita ini udah nolak Gilang. Beberapa waktu yang lalu
juga udah nolak dua cowok yang lumayanlah menurut kita. Kalian curiga
gak sih?” Mentari berkata dengan nada menyelidik seraya menatap mataku
tajam.
“Jangan-jangan kamu gak suka cowok, sukanya sama cewek ya?” tebak Adinda bercanda lalu mengembungkan kedua pipinya lucu.
“Huuh! Aku normal. Jangan mikir yang aneh-aneh deh!” jawabku merengut
tidak suka. Mereka memang tidak pernah tahu jika aku sudah pernah jadian
sama cowok yang amat spesial bagiku. Tapi cowok itu akan dipandang
sebelah mata oleh mereka dan yang pasti oleh kedua orangtuaku juga.
Adinda, Fenta dan Mentari hanya tertawa mendengar jawabanku. Lalu kutinggalkan mereka dan membawa langkahku menuju perpustakaan.
Di perpustakaan.
Sedang asyik-asyiknya membaca kata-kata cinta karya Kahlil Gibran,
seseorang yang sangat tak ingin kutemui saat ini telah duduk di
hadapanku. Ia berusaha tersenyum dan dengan cekatan tangannya mengambil
jemariku. Aku sama sekali tak bisa menghindar atau marah padanya, karena
aku tak ingin membuat keributan di perpustakaan ini.
“Tolong kali ini aja kamu dengerin aku, Yeta!” pintanya dengan wajah memelas seraya memandangi mataku.
Ah, aku sangat lemah jika memandang kedua bola mata teduhnya. Dan aku
menjadi tak tega melihat wajahnya yang memohon seperti itu. Tapi, aku
harus tegas. Ini semua demi kebaikan. Terutama untuk kebaikanku.
“Van, kayaknya gak ada lagi yang perlu aku dengerin dari kamu. Kita udah
putus. Dan aku mohon lupakan janji itu! Lupakan juga kalau kita pernah
jadian! Dengan begitu aku atau kamu gak akan merasa terbebani lagi atas
janji bodoh yang pernah kita sepakati.”
“Gak semudah itu untuk lupa, Yeta! Aku hanya ingin kamu menemaniku satu
jam aja, sesuai janji kita dulu. Meski dengan terpaksa kutelan kenyataan
ini, bahwa kamu bukan milikku lagi. Sampai saat ini pun aku belum
mengerti kenapa kamu memutuskan hubungan kita dengan tiba-tiba. Padahal
aku udah memenuhi syarat dari kamu, yang tak ingin orang lain tahu jika
kita udah jadian.”
Aku hanya terdiam dan menunduk. Jemariku dalam genggaman tangan Revan
terasa lemas namun terasa hangat dan nyaman. Rasanya aku ingin menangis.
Menangis mengingat sebuah kenyataan pahit yang mengharuskanku
meninggalkan Revan dan membunuh cintaku padanya.
“Jika kamu mengatakan alasannya, aku berjanji akan menjauh dari kamu.
Aku gak akan ganggu kehidupan kamu lagi. Aku juga gak akan menuntut
janji itu untuk kamu penuhi,”
Dengan lidah kelu, aku berusaha berbicara. “Alasannya… karena aku udah
gak cinta sama kamu. Tolong kamu bisa ngertiin perasaan aku!”
Revan menatapku tak percaya. Beberapa detik kemudian matanya langsung
berkaca-kaca. Genggaman tangannya yang semula amat erat kini mulai
melemah dan akhirnya terlepas. Ia berdiri lalu tersenyum padaku.
“Terima kasih, Yeta. Semoga kamu selalu berbahagia.” Revan
meninggalkanku dan aku hanya bisa memandangi punggungnya. Aku tak pernah
menyangka, ternyata genggaman tangannya tadi adalah genggaman tangan
terakhirnya untukku.
Satu bulan yang lalu, di sebuah taman belakang sekolah.
“Apakah aku bermimpi, Yeta?” tanya Revan padaku dengan penuh kebahagiaan.
Aku hanya menggeleng lalu tersenyum manis. Senyuman termanis yang pernah aku berikan untuk seorang cowok.
Dengan refleks, Revan langsung memelukku. Beberapa detik kemudian, dia melepaskan pelukannya.
“Emm… maaf, aku… aku… gak sengaja. Kamu gak marah, ‘kan?”
“Gak apa-apa, Van.” kataku lembut dengan wajah memerah.
Sumpah, aku gugup saat dipeluk Revan tadi. Jantungku berdetak kencang
dan Revan pun begitu. Aku tahu karena tadi merasakan degupan jantungnya
ketika memelukku.
Kini kami duduk di kursi panjang bercat biru, di samping pohon cemara
yang tidak terlalu tinggi. Sekarang masih pukul tujuh pagi tapi entah
kenapa keningku berkeringat. Padahal aku tahu udara sekarang sangat
sejuk. Angin pun berembus lembut membelai wajah dan rambutku. Ah, apakah
karena sekarang aku terlalu gugup berdekatan dengan seseorang yang
berhasil mencuri hatiku sejak beberapa bulan yang lalu.
“Yeta…,” panggil Revan lembut padaku.
Aku menoleh ke arah Revan dan berkata, “Iya, Van?”
“Kamu lihat ke pohon cemara ini! Embunnya masih cukup banyak, ya?”
“Eh, iya. Emangnya ada apa, Van?”
“Aku suka banget sama embun. Embun itu rapuh karena jika kita sentuh
sedikit aja, pasti ia akan hancur, gak berbentuk bulat lagi lalu
menghilang. Tapi embun adalah noktah bening yang suci dan sejuk. Kamu
tahu gak, jika dari embun kita bisa belajar tentang suatu ketegaran
loh,”
“Ketegaran?” tanyaku bingung.
Revan terdiam sesaat. Kemudian menarik napasnya dalam dan berkata dengan
suara lirih namun penuh ketegasan. “Embun, meski dia rapuh, ia masih
tetap tegar. Ia tahu keberadaannya gak lama, tapi ia tetap berusaha
memberikan kesejukan pada dunia meski hanya sebentar. Lalu ia akan
datang lagi pada hari-hari berikutnya untuk memberi kesejukan itu
kembali,”
“Benar katamu, Van! Embun penuh ketegaran dan dia juga percaya diri
karena ia yakin jika ia akan kembali pada hari esok meski hari ini ia
telah terpecah, ya.”
Revan tersenyum sambil menatap mataku dalam. “Yeta, aku mencintaimu
sejak kita satu kelas di kelas dua. Dan sekarang, aku baru memiliki
keberanian untuk menyatakannya padamu, di saat waktu kita bersama di
sekolah sudah hampir berakhir. Aku takut kehilangan kamu, padahal baru
beberapa menit aku merasa memilikimu.”
Aku terkejut mendengar kata-kata Revan. “Van, dari kelas dua? Dan kamu memendamnya udah hampir dua tahun?”
Revan mengangguk. “Aku malu padamu, Yeta. Aku bukanlah anak orang kaya.
Bukan pula cowok keren berwajah tampan. Aku merasa tak pantas untukmu.
Tapi aku pikir, aku akan menyesal jika gak pernah menyatakan cintaku
padamu. Sungguh merupakan karunia terindah ternyata kamu menerima
cintaku. Terima kasih banyak, Yeta! Aku merasa ini seperti mimpi.”
“Revan, aku gak pernah menilai cowok dari kekayaan atau ketampanannya.
Kamu tentu tahu bukan jika aku belum pernah sekalipun berpacaran. Entah
kenapa, aku bisa menerima kamu. Entah kenapa juga aku mulai merasa jatuh
cinta sama kamu sejak kita mulai dekat kenaikan kelas tiga kemarin.
Tapi aku bahagia, ternyata kamu pun memiliki rasa yang sama,”
Kami berdua saling berpandangan lalu tertawa.
“Oh iya, Van. Hubungan kita dirahasiain aja ya. Gak apa-apa, ‘kan?” pintaku pelan-pelan takut menyinggung Revan.
“Oke, Sayang. Aku janji akan merahasiakan hubungan kita. Dan aku gak
akan nanya alasannya apa. Aku yakin kamu punya pemikiran untuk kebaikan
kita. Tapi, aku juga boleh minta sesuatu?”
“Apa itu?”
“Setelah pengumuman kelulusan, besoknya temeni aku mengumpulkan embun di
taman ini ya! Kita datang ke sini pada pukul setengah enam aja. Aku
yakin embun di dedaunan masih utuh pada jam segitu,”
“Iya, Sayang.” Aku tersenyum bahagia dan seketika kurasakan jantungku
makin berdegup kencang. Ya, karena Revan menggenggam jemariku dan
mengecup keningku.
Hari ini. Hari pengumuman kelulusan.
Lapangan sekolah yang biasa dipakai untuk upacara, sekarang penuh sesak
oleh teriakan gembira siswa dan siswi yang sudah melihat namanya ada di
daftar kelulusan tahun ini.
“Akhirnya kita lulus, nih. Hore! Bentar lagi kita jadi mahasiswi dong, keren!” teriak Adinda heboh dengan wajah amat bahagia.
“Iya, iya… Kita bisa pakai baju bebas kalau kuliah, kan? Ah, seru!” timpal Fenta tak kalah hebohnya.
“Eh, satu lagi. Kita gak harus bikin PR matematika lagi. Hahaha!” kata
Mentari sembari tertawa senang. Tentu saja ia sangat senang karena
matematika adalah pelajaran yang paling dibencinya.
Aku hanya tersenyum. Bukan tak bahagia atas kelulusan ini, tapi aku
hanya tak ingin terlalu heboh seperti mereka. Tiba-tiba HP-ku bergetar,
ada pesan di inbox-ku. Setelah membacanya aku berniat mengacuhkannya.
Namun hati kecilku berkata lain. Dengan alasan mau ke toilet, aku pamit
sebentar dengan sahabat-sahabatku.
Dengan cepat kulangkahkan kaki menuju taman belakang sekolah. Di
sebuah kursi, di samping pohon cemara yang tidak terlalu tinggi, Revan
duduk dengan menundukkan wajahnya.
“Van…”
Dia mendongakkan wajah dan tersenyum. “Fayeta, terima kasih kamu mau menemuiku. Aku kira kamu udah gak mau lagi ketemu aku,”
Aku ikut tersenyum. Bagaimana mungkin aku tidak ingin bertemu dengan dia
lagi. Sedangkan setiap malam, dia selalu hadir di mimpiku.
“Besok ya, setengah enam kutunggu di kursi ini. Aku telah menyiapkan
sebuah cawan untuk tempat si embun pagi yang kita kumpulkan. Nanti embun
itu akan menjadi saksi jika kita pernah memiliki kisah. Aku ingin
menjadi embun untukmu, Yeta. Selalu memberikanmu kesejukan. Meski
kutahu, aku gak bisa selalu ada untukmu layaknya sang embun.”
Aku terdiam jika Revan sudah berbicara dengan nada sedih seperti itu..
“Aku udah tahu alasan kamu memutuskan hubungan kita. Aku mengerti dan
emang wajar jika orangtua kamu melarang. Namun sebenarnya, tanpa kita
putus pun aku akan tetap harus meninggalkan kamu, Yeta. Suatu saat nanti
kamu akan tahu sesuatu tentang aku.” kata Revan mengakhiri kata-katanya
sambil beranjak dari duduknya dan berlalu pergi.
Keesokan paginya di taman belakang sekolah.
Udara sangat sejuk. Dingin. Tercium aroma tanah yang lembap. Langit
masih sedikit gelap karena jam mungil di pergelangan tanganku
menunjukkan masih pukul setengah enam kurang lima menit. Aku tersenyum
melihat sosok yang amat kukenal sedang duduk menanti di kursi tempat
biasa kami bertemu. Tangannya memegang sebuah cawan.
“Hai, Van! Udah lama?” sapaku sambil melihat ke wajah Revan yang terlihat sangat pucat.
“Hai, Yeta! Eh, gak kok. Aku juga baru sampai,” jawabnya riang tapi dengan suara yang terdengar bergetar.
“Kamu sedang sakit? Wajah kamu pucat banget, Van!” aku bertanya dengan khawatir.
Revan hanya menggeleng lemah dan tiba-tiba tubuhnya ambruk. Cawan yang dipegangnya terjatuh dan pecah.
“Revan!!!” Aku berteriak keras dan menangis menyaksikan Revan tergeletak
tak berdaya dengan mulut yang mengeluarkan banyak darah. Samar-samar
seakan aku mendengar lantunan elegi. Elegi embun pagi.
Berakhirnya kisahku.
Aku sudah menjadi mahasiswi sekarang. Dua tahun ini aku masih belum bisa
melupakan Revan. Padahal aku tahu seharusnya aku tak memikirkan dia
lagi karena ia telah berbahagia di surga. Namun kenangan tentang Revan,
cinta pertama sekaligus pacar pertamaku, adalah kenangan yang akan
selalu abadi di dalam memoriku.
Setelah kematian Revan akibat kanker hati yang telah lama bersarang di
tubuhnya, aku hanya mampu bercanda bersama sang embun di setiap pagi.
Melihat dan merasakan kesejukan embun seperti merasakan kehadiran Revan
yang memang selalu menyejukkan hatiku.
Hingga kini, aku belum menemukan pengganti Revan. Ah, aku memang belum
berniat mencari pengganti Revan untuk saat ini. Entah sampai kapan aku
betah bersama kesendirianku. Kesendirian yang menyejukkan. Sesejuk embun
pagi.
No comments:
Post a Comment