Wednesday, 30 April 2014

CERPEN: ELEGI EMBUN PAGI

Di dalam kelas yang sepi.
“Yeta, dicoba aja dulu! Masa sih udah tujuh belas tahun belum punya pacar juga, malu tuh sama wajah cantik kamu! Hahaha…,” kata Mentari membujukku sambil bercanda. Ia tertawa saat melihat wajahku langsung cemberut.
“Mentari, sahabatku tersayang… jika kamu masih aja nyuruh aku pacaran sama dia, gak akan kupinjami komik lagi loh!” kataku mengancam lalu memalingkan wajahku dari Mentari.
Fenta dan Adinda yang baru saja dari kantin menghampiri kami sembari menyerahkan bungkusan burger pesananku dan Mentari.
“Ada apa dengan kalian? Kok kayaknya lagi diam-diaman aja?” tanya Adinda heran sambil menatapku dan Mentari secara bergantian.
“Yeta nih, masa Gilang yang udah jelas-jelas cakep dan kaya, masih aja ditolak. Heran deh! Cowok yang kayak gimana yang kamu mau, Ta?” Mentari berkata seolah ia sangat terheran dengan sikapku.
“Gilang nembak kamu, Ta?” tanya Fenta ingin tahu.
Aku hanya terdiam.
“Benar Gilang udah nembak kamu? Lalu kamu tolak?” Kini Adinda yang bertanya padaku dengan tatapan mata yang menyiratkan kekaguman.
Aku mengangguk lemah. Dan…
“Fayeta! Cowok nomor satu di SMA kita aja bisa jatuh hati sama kamu dan seharusnya kamu terima,” teriak Adinda dan itu membuatku jadi risih.
“Kalau kamu jadian sama Gilang, ‘kan pasti diajak jalan dengan BMW-nya, terus kami juga bisa ikut nebeng dong, haha…!” kata Fenta heboh dengan tawanya yang khas jika ia sedang gembira.
“Fen, Din… sahabat kita ini udah nolak Gilang. Beberapa waktu yang lalu juga udah nolak dua cowok yang lumayanlah menurut kita. Kalian curiga gak sih?” Mentari berkata dengan nada menyelidik seraya menatap mataku tajam.
“Jangan-jangan kamu gak suka cowok, sukanya sama cewek ya?” tebak Adinda bercanda lalu mengembungkan kedua pipinya lucu.
“Huuh! Aku normal. Jangan mikir yang aneh-aneh deh!” jawabku merengut tidak suka. Mereka memang tidak pernah tahu jika aku sudah pernah jadian sama cowok yang amat spesial bagiku. Tapi cowok itu akan dipandang sebelah mata oleh mereka dan yang pasti oleh kedua orangtuaku juga.
Adinda, Fenta dan Mentari hanya tertawa mendengar jawabanku. Lalu kutinggalkan mereka dan membawa langkahku menuju perpustakaan.
Di perpustakaan.
Sedang asyik-asyiknya membaca kata-kata cinta karya Kahlil Gibran, seseorang yang sangat tak ingin kutemui saat ini telah duduk di hadapanku. Ia berusaha tersenyum dan dengan cekatan tangannya mengambil jemariku. Aku sama sekali tak bisa menghindar atau marah padanya, karena aku tak ingin membuat keributan di perpustakaan ini.
“Tolong kali ini aja kamu dengerin aku, Yeta!” pintanya dengan wajah memelas seraya memandangi mataku.
Ah, aku sangat lemah jika memandang kedua bola mata teduhnya. Dan aku menjadi tak tega melihat wajahnya yang memohon seperti itu. Tapi, aku harus tegas. Ini semua demi kebaikan. Terutama untuk kebaikanku.
“Van, kayaknya gak ada lagi yang perlu aku dengerin dari kamu. Kita udah putus. Dan aku mohon lupakan janji itu! Lupakan juga kalau kita pernah jadian! Dengan begitu aku atau kamu gak akan merasa terbebani lagi atas janji bodoh yang pernah kita sepakati.”
“Gak semudah itu untuk lupa, Yeta! Aku hanya ingin kamu menemaniku satu jam aja, sesuai janji kita dulu. Meski dengan terpaksa kutelan kenyataan ini, bahwa kamu bukan milikku lagi. Sampai saat ini pun aku belum mengerti kenapa kamu memutuskan hubungan kita dengan tiba-tiba. Padahal aku udah memenuhi syarat dari kamu, yang tak ingin orang lain tahu jika kita udah jadian.”
Aku hanya terdiam dan menunduk. Jemariku dalam genggaman tangan Revan terasa lemas namun terasa hangat dan nyaman. Rasanya aku ingin menangis. Menangis mengingat sebuah kenyataan pahit yang mengharuskanku meninggalkan Revan dan membunuh cintaku padanya.
“Jika kamu mengatakan alasannya, aku berjanji akan menjauh dari kamu. Aku gak akan ganggu kehidupan kamu lagi. Aku juga gak akan menuntut janji itu untuk kamu penuhi,”
Dengan lidah kelu, aku berusaha berbicara. “Alasannya… karena aku udah gak cinta sama kamu. Tolong kamu bisa ngertiin perasaan aku!”
Revan menatapku tak percaya. Beberapa detik kemudian matanya langsung berkaca-kaca. Genggaman tangannya yang semula amat erat kini mulai melemah dan akhirnya terlepas. Ia berdiri lalu tersenyum padaku.
“Terima kasih, Yeta. Semoga kamu selalu berbahagia.” Revan meninggalkanku dan aku hanya bisa memandangi punggungnya. Aku tak pernah menyangka, ternyata genggaman tangannya tadi adalah genggaman tangan terakhirnya untukku.
Satu bulan yang lalu, di sebuah taman belakang sekolah.
“Apakah aku bermimpi, Yeta?” tanya Revan padaku dengan penuh kebahagiaan.
Aku hanya menggeleng lalu tersenyum manis. Senyuman termanis yang pernah aku berikan untuk seorang cowok.
Dengan refleks, Revan langsung memelukku. Beberapa detik kemudian, dia melepaskan pelukannya.
“Emm… maaf, aku… aku… gak sengaja. Kamu gak marah, ‘kan?”
“Gak apa-apa, Van.” kataku lembut dengan wajah memerah.
Sumpah, aku gugup saat dipeluk Revan tadi. Jantungku berdetak kencang dan Revan pun begitu. Aku tahu karena tadi merasakan degupan jantungnya ketika memelukku.
Kini kami duduk di kursi panjang bercat biru, di samping pohon cemara yang tidak terlalu tinggi. Sekarang masih pukul tujuh pagi tapi entah kenapa keningku berkeringat. Padahal aku tahu udara sekarang sangat sejuk. Angin pun berembus lembut membelai wajah dan rambutku. Ah, apakah karena sekarang aku terlalu gugup berdekatan dengan seseorang yang berhasil mencuri hatiku sejak beberapa bulan yang lalu.
“Yeta…,” panggil Revan lembut padaku.
Aku menoleh ke arah Revan dan berkata, “Iya, Van?”
“Kamu lihat ke pohon cemara ini! Embunnya masih cukup banyak, ya?”
“Eh, iya. Emangnya ada apa, Van?”
“Aku suka banget sama embun. Embun itu rapuh karena jika kita sentuh sedikit aja, pasti ia akan hancur, gak berbentuk bulat lagi lalu menghilang. Tapi embun adalah noktah bening yang suci dan sejuk. Kamu tahu gak, jika dari embun kita bisa belajar tentang suatu ketegaran loh,”
“Ketegaran?” tanyaku bingung.
Revan terdiam sesaat. Kemudian menarik napasnya dalam dan berkata dengan suara lirih namun penuh ketegasan. “Embun, meski dia rapuh, ia masih tetap tegar. Ia tahu keberadaannya gak lama, tapi ia tetap berusaha memberikan kesejukan pada dunia meski hanya sebentar. Lalu ia akan datang lagi pada hari-hari berikutnya untuk memberi kesejukan itu kembali,”
“Benar katamu, Van! Embun penuh ketegaran dan dia juga percaya diri karena ia yakin jika ia akan kembali pada hari esok meski hari ini ia telah terpecah, ya.”
Revan tersenyum sambil menatap mataku dalam. “Yeta, aku mencintaimu sejak kita satu kelas di kelas dua. Dan sekarang, aku baru memiliki keberanian untuk menyatakannya padamu, di saat waktu kita bersama di sekolah sudah hampir berakhir. Aku takut kehilangan kamu, padahal baru beberapa menit aku merasa memilikimu.”
Aku terkejut mendengar kata-kata Revan. “Van, dari kelas dua? Dan kamu memendamnya udah hampir dua tahun?”
Revan mengangguk. “Aku malu padamu, Yeta. Aku bukanlah anak orang kaya. Bukan pula cowok keren berwajah tampan. Aku merasa tak pantas untukmu. Tapi aku pikir, aku akan menyesal jika gak pernah menyatakan cintaku padamu. Sungguh merupakan karunia terindah ternyata kamu menerima cintaku. Terima kasih banyak, Yeta! Aku merasa ini seperti mimpi.”
“Revan, aku gak pernah menilai cowok dari kekayaan atau ketampanannya. Kamu tentu tahu bukan jika aku belum pernah sekalipun berpacaran. Entah kenapa, aku bisa menerima kamu. Entah kenapa juga aku mulai merasa jatuh cinta sama kamu sejak kita mulai dekat kenaikan kelas tiga kemarin. Tapi aku bahagia, ternyata kamu pun memiliki rasa yang sama,”
Kami berdua saling berpandangan lalu tertawa.
“Oh iya, Van. Hubungan kita dirahasiain aja ya. Gak apa-apa, ‘kan?” pintaku pelan-pelan takut menyinggung Revan.
“Oke, Sayang. Aku janji akan merahasiakan hubungan kita. Dan aku gak akan nanya alasannya apa. Aku yakin kamu punya pemikiran untuk kebaikan kita. Tapi, aku juga boleh minta sesuatu?”
“Apa itu?”
“Setelah pengumuman kelulusan, besoknya temeni aku mengumpulkan embun di taman ini ya! Kita datang ke sini pada pukul setengah enam aja. Aku yakin embun di dedaunan masih utuh pada jam segitu,”
“Iya, Sayang.” Aku tersenyum bahagia dan seketika kurasakan jantungku makin berdegup kencang. Ya, karena Revan menggenggam jemariku dan mengecup keningku.
Hari ini. Hari pengumuman kelulusan.
Lapangan sekolah yang biasa dipakai untuk upacara, sekarang penuh sesak oleh teriakan gembira siswa dan siswi yang sudah melihat namanya ada di daftar kelulusan tahun ini.
“Akhirnya kita lulus, nih. Hore! Bentar lagi kita jadi mahasiswi dong, keren!” teriak Adinda heboh dengan wajah amat bahagia.
“Iya, iya… Kita bisa pakai baju bebas kalau kuliah, kan? Ah, seru!” timpal Fenta tak kalah hebohnya.
“Eh, satu lagi. Kita gak harus bikin PR matematika lagi. Hahaha!” kata Mentari sembari tertawa senang. Tentu saja ia sangat senang karena matematika adalah pelajaran yang paling dibencinya.
Aku hanya tersenyum. Bukan tak bahagia atas kelulusan ini, tapi aku hanya tak ingin terlalu heboh seperti mereka. Tiba-tiba HP-ku bergetar, ada pesan di inbox-ku. Setelah membacanya aku berniat mengacuhkannya. Namun hati kecilku berkata lain. Dengan alasan mau ke toilet, aku pamit sebentar dengan sahabat-sahabatku.
Dengan cepat kulangkahkan kaki menuju taman belakang sekolah. Di sebuah kursi, di samping pohon cemara yang tidak terlalu tinggi, Revan duduk dengan menundukkan wajahnya.
“Van…”
Dia mendongakkan wajah dan tersenyum. “Fayeta, terima kasih kamu mau menemuiku. Aku kira kamu udah gak mau lagi ketemu aku,”
Aku ikut tersenyum. Bagaimana mungkin aku tidak ingin bertemu dengan dia lagi. Sedangkan setiap malam, dia selalu hadir di mimpiku.
“Besok ya, setengah enam kutunggu di kursi ini. Aku telah menyiapkan sebuah cawan untuk tempat si embun pagi yang kita kumpulkan. Nanti embun itu akan menjadi saksi jika kita pernah memiliki kisah. Aku ingin menjadi embun untukmu, Yeta. Selalu memberikanmu kesejukan. Meski kutahu, aku gak bisa selalu ada untukmu layaknya sang embun.”
Aku terdiam jika Revan sudah berbicara dengan nada sedih seperti itu..
“Aku udah tahu alasan kamu memutuskan hubungan kita. Aku mengerti dan emang wajar jika orangtua kamu melarang. Namun sebenarnya, tanpa kita putus pun aku akan tetap harus meninggalkan kamu, Yeta. Suatu saat nanti kamu akan tahu sesuatu tentang aku.” kata Revan mengakhiri kata-katanya sambil beranjak dari duduknya dan berlalu pergi.
Keesokan paginya di taman belakang sekolah.
Udara sangat sejuk. Dingin. Tercium aroma tanah yang lembap. Langit masih sedikit gelap karena jam mungil di pergelangan tanganku menunjukkan masih pukul setengah enam kurang lima menit. Aku tersenyum melihat sosok yang amat kukenal sedang duduk menanti di kursi tempat biasa kami bertemu. Tangannya memegang sebuah cawan.
“Hai, Van! Udah lama?” sapaku sambil melihat ke wajah Revan yang terlihat sangat pucat.
“Hai, Yeta! Eh, gak kok. Aku juga baru sampai,” jawabnya riang tapi dengan suara yang terdengar bergetar.
“Kamu sedang sakit? Wajah kamu pucat banget, Van!” aku bertanya dengan khawatir.
Revan hanya menggeleng lemah dan tiba-tiba tubuhnya ambruk. Cawan yang dipegangnya terjatuh dan pecah.
“Revan!!!” Aku berteriak keras dan menangis menyaksikan Revan tergeletak tak berdaya dengan mulut yang mengeluarkan banyak darah. Samar-samar seakan aku mendengar lantunan elegi. Elegi embun pagi.
Berakhirnya kisahku.
Aku sudah menjadi mahasiswi sekarang. Dua tahun ini aku masih belum bisa melupakan Revan. Padahal aku tahu seharusnya aku tak memikirkan dia lagi karena ia telah berbahagia di surga. Namun kenangan tentang Revan, cinta pertama sekaligus pacar pertamaku, adalah kenangan yang akan selalu abadi di dalam memoriku.
Setelah kematian Revan akibat kanker hati yang telah lama bersarang di tubuhnya, aku hanya mampu bercanda bersama sang embun di setiap pagi. Melihat dan merasakan kesejukan embun seperti merasakan kehadiran Revan yang memang selalu menyejukkan hatiku.
Hingga kini, aku belum menemukan pengganti Revan. Ah, aku memang belum berniat mencari pengganti Revan untuk saat ini. Entah sampai kapan aku betah bersama kesendirianku. Kesendirian yang menyejukkan. Sesejuk embun pagi.

No comments:

Post a Comment

Popular Posts