Jumat, 01 Februari 2013.
Cinta… kehadiranmu bagai bintang di hatiku. Meski hanya sesaat dapat
kumiliki, kekuatanmu mampu mengajarkanku arti sebuah pengorbanan yang
tulus dan kepedihan yang tak selayaknya dibalas dengan kepedihan. Cinta…
kaudatang bersama angin, dan berlalu pun bersama angin. Aku tak tahu
harus marah atau kesal dengan sebuah angin yang telah membuatku harus
berpisah denganmu. Mungkin perpisahan kita adalah hal terpedih yang
pernah kurasakan. Namun aku tahu, perpisahan kita adalah hal yang
membahagiakan untukmu.
Satu demi satu kata kugoreskan ke dalam lembaran buku kecil berwarna
hijau, saat itu pula tetes demi tetes airmata berjatuhan membasahi
lembaran buku itu. Ya, hari ini kisah antara aku dan pacarku telah
berakhir. Baru saja, sekitar satu jam yang lalu!
Sambil menyeka lelehan air bening hangat yang keluar dari kedua
pelupuk mata ini, kembali kuingat bagaimana aku dan dia bisa menjadi
sepasang kekasih. Ketika itu, tepatnya sebulan yang lalu, saat acara
malam tahun baru bersama teman-teman kampus, tanpa sadar aku mengatakan
suka padanya. Dia tersenyum lalu bertanya apakah aku bersungguh-sungguh.
Dengan menahan malu, aku menganggukkan kepala. Dan dalam sekejap, kami
jadian. Aku hampir menangis karena bahagia dan dia hanya tersenyum manis
sembari menatap mataku.
Hari-hari bersamanya terasa amat menyenangkan. Aku makin menyukainya,
bahkan mulai menyayanginya. Namun setelah 28 hari kebersamaan kami,
terjadilah suatu hal yang tak pernah kusangka sebelumnya. Dan hari ini,
di awal bulan Februari yang kata orang-orang adalah bulan cinta dan
kasih sayang, aku harus melepaskan dirinya, di saat aku mulai
mencintainya. Menyakitkan memang, tapi aku lebih memilih mengalah demi
kebahagiaan Satria. Ya, namanya Satria! Pacar pertama sekaligus cinta
pertama di usiaku yang sudah memasuki 20 tahun.
Senin, 04 Februari 2013.
Cukup! Hari ini tidak akan kukeluarkan lagi airmataku. Sebisa mungkin
aku akan menahannya meski kemesraan sepasang kekasih yang tak sengaja
kulihat barusan, bisa saja membobol benteng pertahananku. Dengan terus
menunduk, kuhabiskan isi piring makan siangku dengan super cepat.
“Kirana! Lapar atau doyan sih? Hihii…,” komentar Lala tertawa geli melihatku.
“Ada tugas yang belum kukerjakan, La. Sepuluh menit lagi Pak Rangga
masuk nih, dan aku tidak ingin dosen killer itu menyuruhku belajar di
luar ruangan. Aku duluan ya! Bye, La!”
Lala hanya terbengong melihat sikapku. Aku cukup yakin Lala tidak akan
percaya kalau seorang Kirana belum mengerjakan tugas. Lala dan
teman-teman satu jurusanku sudah sangat tahu jika aku adalah salah satu
mahasiswi yang rajin dan pintar. Namun aku berharap agar Lala bisa
mengerti keadaanku saat ini. Aku hanya tak ingin melihat Satria dan
pacar barunya, Meisya. Kenapa? Karena aku belum cukup kuat untuk berdiri
di atas luka ini.
Di dalam ruangan kuliah yang masih kosong, kubenamkan wajah di atas
meja dan menangis. Hari ini, aku masih belum cukup kuat ternyata. Tapi
aku masih bersyukur karena tidak menangis di kantin dan tidak juga di
hadapan Lala. Beberapa menit kemudian, cepat-cepat kuhapus airmata di
pipi karena sudah ada beberapa orang yang masuk ke ruangan ini.
“Nana, boleh pinjam tugas kamu? Aku belum buat nih, tolong ya!” kata
sebuah suara yang masih terdengar merdu di telingaku, sekali pun dia
telah membuat hatiku sakit.
Aku tersenyum. Berusaha tersenyum maksudnya. “Agak ngebut nulisnya, Sat!
Bentar lagi Pak Rangga masuk,” pesanku pada Satria sambil menyodorkan
lembaran kertas tugasku.
Satria mengangguk dan tersenyum. Masih dengan senyuman manisnya yang
amat kusuka. Dengan tergesa, ia langsung menuju kursi paling belakang
dan mulai sibuk mengerjakan tugas. Aku menatap cowok itu dengan sendu.
Hati ini tak bisa membencinya, meski ia telah menimbulkan perih yang
cukup dalam di hatiku.
“Ah, udah satu jam kita nunggu. Kenapa Pak Rangga belum datang juga?”
keluh Lala yang terlihat mulai bosan memainkan game di HP-ku.
“Mungkin Pak Rangga gak bisa ngajar kali, ya? Gak biasanya ia terlambat
seperti ini,” kataku menanggapi keluhan Lala tanpa melepas pandangan
pada barisan kata di sebuah novel yang sedang kubaca sekarang.
Tepat pada saat itu, Radika berkoar-koar di depan kami dan mengatakan
kalau Pak Rangga tidak bisa mengajar dikarenakan istrinya sedang sakit.
Seketika terdengar sorak bahagia teman-temanku. Jelas saja bahagia,
siang ini kami tidak akan dibuat tegang oleh pertanyaan Pak Rangga di
mata kuliah Akuntansi Lanjutan, yang ‘amat sangat’ memusingkan kepala.
Satria menghampiri tempat dudukku lalu menyeret sebuah kursi. Kini
sosok yang sangat kusayangi hingga detik ini pun, telah berada di
hadapanku. Aku sangat gugup dan salah tingkah. Satria mau apa ya? Ah,
buru-buru kutepis imajinasi indahku. Ingat, Na! Dia adalah mantanmu. Dia
tidak mencintai kamu! Jerit hati kecilku.
“Nana…,” suara Satria terdengar lembut. Ya, Satria suka sekali
memanggilku dengan sebutan ‘Nana’ setelah kami jadian satu bulan yang
lalu. Tapi kenapa sampai saat ini dia masih memanggilku seperti itu,
padahal kami telah berpisah.
“Iya, Sat?” ujarku singkat dan seolah-olah sibuk membereskan isi tasku.
“Setelah ini kamu ada kerjaan gak?”
“Gak ada. Aku langsung pulang, Sat.”
“Bisa temani aku?”
—
“Meisya suka banget sama warna pink, Na! Di sini banyak boneka warna
pink, aku jadi bingung nih. Kamu tahu Meisya suka boneka apa?” Satria
bertanya padaku dengan semangat, sesemangat ia mencarikan boneka untuk
Meisya.
Dan aku tahu sesuatu. Satria amat mencintai Meisya, sampai-sampai rela
bersatu sama benda yang ‘cewek banget’ di galeri yang juga ‘cewek
banget’. Dan aku? Ya, aku ikut terjebak di sini. Sedikit menyesal juga
saat tadi kuiyakan untuk membantu Satria. Kalau aku tahu jika Satria
minta bantuan memilih hadiah ultah untuk Meisya, tidak akan kuiyakan
permintaan Satria di kampus tadi.
Tapi lumayan, aku bisa kembali merasakan dibonceng Satria meski status
kami sekarang hanyalah seorang teman. Lagian aku sudah berjanji pada
diri sendiri untuk tetap berteman dengan Satria, juga tidak membenci dan
tidak memusuhi dirinya.. Bukan salah Satria, jika perasaan cintanya
padaku telah memudar. Aku tahu, Meisya lebih segalanya dariku dan tentu
jika aku jadi Satria, aku akan memilih Meisya juga.
“Sat, Meisya suka Hello Kitty. Ini aja deh!” tawarku pada Satria sambil
memegang boneka Hello Kitty yang lucu dengan kedua tanganku. Boneka ini
lucu dan lumayan besar. Aku pun menginginkannya. Ah, aku akan menabung
dulu!
Satria mengamati boneka itu dan melihat tarif harganya. Dia tersenyum dan berkata, “Oke! Kita ambil yang ini!”
Minggu, 10 Februari 2013.
Pagi ini aku malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur nyamanku.
Sudah pukul tujuh pagi, tapi aku masih berteman dengan bantal dan boneka
Teddy Bear kesayanganku. Pikiranku menerawang seraya memandangi
langit-langit kamarku yang diwarnai dengan cat hijau, warna kesukaanku.
Dan pikiran memaksa otakku untuk memutar kembali ingatan tentang
kejadian kira-kira dua minggu yang lalu, awal dari luka yang harus
kuterima.
Meisya datang ke rumah dan membawa brownies panggang pesanan mama.
Mama Meisya dan mamaku sahabat lama, oleh karena itu mereka sering
bertukar hasil masakan. Kebetulan Satria sedang main ke rumah dan kami
mengobrol di ruang tamu. Setelah Meisya bertemu mama dan menyerahkan
brownies tadi, aku meminta Meisya untuk gabung bersama kami dan
mengenalkannya pada pacarku.
“Sya, kenalin ini Satria!” kataku pada Meisya yang terlihat telah memasang senyum manis untuk Satria.
“Hai, aku Meisya, teman sekaligus tetangga Kirana. Kamu teman kuliah
Kirana, ya?” sapa Meisya riang sembari mengulurkan tangannya pada
Satria. Ya, Meisya adalah cewek cantik dan manis, ditambah lagi ia
sangat mudah bergaul dengan orang baru.
Kulihat Satria agak salah tingkah menerima tangan Meisya. Setelah
tangan mereka bersatu dengan cukup lama, dengan refleks aku berdehem.
Seketika Satria menarik tangannya dan tertunduk. Meisya hanya tersenyum.
Hampir satu jam kami mengobrol bersama. Sebenarnya hanya Meisya dan
Satria saja yang mengobrol, aku hanya jadi pendengar yang baik. Dan kali
ini aku baru merasakan bagaimana resahnya rasa cemburu itu.
Keesokan harinya di kampus, aku begitu terkejut karena melihat Meisya
sedang berdiri di samping taman Fakultas Ekonomi. Segera kuhampiri dia.
“Hai, Na! Kamu ketemu Satria gak?” ujar Meisya bertanya padaku dengan
suara lembut. Heran, sejak kapan Meisya bersuara lembut seperti ini?
“Dia tadi bilang mau ke ruang dosen bentar untuk nyerahin tugas. Kok
kamu ada di sini, Sya? Bukannya kamu males banget kalau kuminta datang
ke fakultasku?” tanyaku sedikit curiga. Tiba-tiba perasaan tak enak
mengalir di hati kecil ini.
“Eh, ternyata jarak Fakultas Kedokteran ke Fakultas Ekonomi cukup dekat juga ya kalau udah dicoba gini? Hehe…”
Aku menatap Meisya bingung dan masih curiga.
“Kirana, jangan mandangin aku kayak tersangka gitu deh! Aku ke sini
karena janjian sama Satria. Aku dan dia mau ke Gramedia bareng,”
“Kok bisa janjian?”
“Aduh, maafin aku ya, Na! Kemarin aku ambil nomor HP Satria di kontak HP
kamu. Iseng aku sms dia dan dibalas. Terus kami ngebahas hobi
masing-masing. Gak nyangka dia hobi baca novel juga. Jadinya kami
ngebahas novel-novel terbitan DIVA Press. Hari ini kami berdua mau
ngeborong novel, Na.”
Hatiku seperti tersayat ujung pisau ketika mendengar penjelasan Meisya.
Aku terdiam sesaat sampai Meisya mengibaskan tangan kanannya ke depan
wajahku.
“Ehh, iya… gak apa-apa kok. Oh ya, aku duluan ya, Sya! Selamat ngeborong
novel aja deh.” Dengan terburu-buru aku menjauh dari Meisya karena aku
tak ingin ia melihat perubahan rona di wajahku.
Besoknya aku pun meminta penjelasan pada Satria kenapa dia tidak
cerita kalau sms-an dengan Meisya dan janjian dengannya untuk ke
Gramedia. Tapi yang ada bukan Satria memberi penjelasan. Namun…
“Semalam aku udah berpikir matang, Na. Kayaknya hubungan kita sampai di
sini aja ya. Sepulang dari Gramedia kemarin, aku dan Meisya jadian. Dia
duluan yang nyatain cinta dan aku gak punya alasan untuk menolak. Aku
bahagia banget bisa jadian sama Meisya. Jujur dari awal kamu ngenalin
dia ke aku, aku udah merasa tertarik sama Meisya. Maafin aku, Na!
Aku menatap mata Satria dalam-dalam dengan nanar. Berusaha menemukan
kebohongan di sana. Tapi aku melihat kebohongan itu tidak ada. Satria
bersungguh-sungguh dengan perkataannya barusan.
“Na, tolong jangan bilang ke Meisya ya kalau kita pernah pacaran. Dia tahunya kita hanya berteman. Kamu mau, kan?”
Aku terdiam. Aku tertunduk. Dan aku mengangguk. Lalu mengangkat wajah
dan tersenyum. “Oke, Sat. Kita sekarang kembali kayak dulu. Hanya
berteman biasa.”
“Tapi kamu baik-baik aja kan, Na? Jangan marah sama Meisya ya! Dia gak salah,”
“Aku baik-baik aja, Sat. Tenang! Aku gak mungkin marah sama Meisya.
Kalian berdua sama-sama temanku, kok. Jika kalian bahagia, aku ikut
bahagia. Selamat ya! Semoga kalian langgeng. Kalian emang pasangan yang
serasi. Sekali lagi selamat ya!”
Sukses! Aku memang pintar berakting untuk jadi manusia yang pura-pura
berbahagia saat itu. Aku baik-baik saja, tapi hatiku tidak baik-baik
saja. Dan airmata kembali membasahi pipiku. Di pagi minggu yang cerah,
aku masih saja berteman deraian airmata.
Rabu, 13 Februari 2013.
“Nana, Meisya gak suka sama cowok yang suka futsal ya?” tanya Satria saat aku dan Lala sedang menikmati semangkuk bakso panas.
“Hei, cowok brengsek! Bisa gak berhenti ngebahas pacar kamu itu di depan
Kirana! Gak berperasaan banget sih jadi orang!” bentak Lala marah.
Satria terdiam dan aku cepat mengendalikan suasana tegang ini. “Sat, aku duluan ya!” kataku sambil menarik tangan Lala.
“Kalau aku jadi kamu, aku gak akan mau lagi ngasih contekan tugas ke
cowok brengsek itu! Aku juga gak akan mau menemaninya membeli hadiah
untuk cewek yang telah merusak hubungan kalian! Aku juga gak akan mau
bersikap manis lagi sama mantan yang gak tahu terima kasih!” Lala
menggerutu kesal atas sikapku.
“Aku hanya ingin Satria bahagia, La. Aku baik-baik aja kok,”
“Iya, Satria bahagia! Tapi kamu menderita! Baik apa? Kamu nangis terus gitu, dibilang baik-baik aja?”
Aku memeluk Lala. Aku tahu dia begini karena dia menyayangiku. “La,
makasih ya! Tapi aku ngerasa baik-baik aja dengan semua ini. Lama
kelamaan aku pasti bisa menata hatiku. Tapi biarkan aku tetap bersikap
manis pada Satria dan Meisya ya. Aku gak ingin ngerusak hubungan
pertemanan hanya oleh cinta.”
Lala membalas pelukanku dan berkata pasrah, “Kalau kamu pengennya gitu,
ya udah. Tapi ingat, jangan dipaksain bila kamu emang gak sanggup. Dan
usahakan untuk membuka hati buat cinta yang baru ya, Say!”
Aku tersenyum bahagia karena masih memiliki sahabat terbaik seperti
Lala. Biarkan di saat ini, sebentuk hati di dalam tubuhku masih untuk
Satria. Aku yakin suatu saat nanti aku pasti bisa memberikan sebentuk
hatiku untuk nama yang baru, karena ’hidup akan terus berlanjut!’
No comments:
Post a Comment