Friday, 23 January 2015

CERPEN ANAK

LAGU UNTUK MATAHARI



 “Ayolah, Fania! Coba dulu, lama-lama kamu akan terbiasa!” bujuk Anto padaku dengan setengah memaksa.
Aku menggeleng kuat-kuat. “Aku tak mau! Itu tidak halal, Anto!” seruku lalu pergi meninggalkannya.
“Ah, sok suci kamu. Anak jalanan seperti kita ini tidak usah lagi memikirkan halal atau haram!” jerit Anto keras dengan wajah kesal.
Dengan hati miris, kulangkahkan kaki menyusuri jalanan beraspal di pinggiran Pasar Cinde. Aku menyesali sikap Anto, temanku itu. Ya, dia kini menambah penghasilannya yang biasa mengamen menjadi tukang copet. Entah dari siapa dia belajar, yang pasti aku tak akan mau menjadi pencopet seperti dirinya. Biarlah aku tetap seperti ini, mengamen di bus kota dan mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Walau hasilnya terkadang tak cukup, aku lebih bahagia karena uang yang kudapat merupakan uang halal. Aku tak akan menambah kehinaan diriku yang sudah menjadi anak jalanan dengan predikat sebagai tukang copet.
Sesampainya di lampu merah simpang Rumah Sakit Charitas, langsung kuhampiri sebuah Avanza hitam. Dengan riang kunyanyikan sebuah lagu kesukaanku.
“…. Di sudut jalan ini
Di bawah lampu merah
Bermandi peluh, membasah tubuh
Demi sekolahku….”
(Selamat Tinggal Lampu Merah – Fadly)
 Ibu setengah baya di dalam mobil itu memberi selembar uang berwarna coklat. Aku tersenyum senang dan mengucapkan terima kasih. Lampu telah berganti hijau dan kuseret langkahku menuju pinggiran jalan dan duduk di bawah pohon besar. Baru beberapa menit aku bernyanyi tadi, panas matahari sangat terasa menusuk kulitku. Saat ini Kota Palembang memang sedang musim panas, wajar saja matahari tidak terlalu bersahabat.
Dua jam sudah aku berjuang di antara debu dan kebisingan kendaraan. Kini kuputuskan untuk beristirahat, duduk di pinggiran toko sambil memainkan alat musik sederhana yang kubuat dari beberapa tutup botol yang direkatkan pada kayu berukuran 25 cm. Tanpa sengaja, dari kejauhan kulihat Anto sedang menghitung isi dompet yang berada di tangannya. Ah, dia kembali berhasil melakukan perbuatan jahat itu. Aku pura-pura tak melihat Anto saat ia menoleh ke arahku.
Beberapa menit kunikmati istirahatku sambil memandang ke langit nan biru. Matahari memancarkan cahaya teriknya sembari seolah tersenyum padaku. Ya, satu-satunya teman yang paling setia padaku adalah sang matahari. Ketika aku mengamen untuk mencari sesuap nasi, hanya matahari yang masih memberikan perhatiannya untukku. Merasakan panasnya juga senyumannya membuatku bersemangat. Dan dengan riang, aku pun menendangkan lagu, bernyanyi untuk matahari.
Baru saja berdendang, seketika tubuhku gemetar dan jantungku seakan meloncat keluar. Laki-laki gendut dengan kepala botak dan kumis yang cukup tebal, sedang berjalan di pinggiran toko-toko dan sebentar lagi melintas ke arah tempat diriku yang sedang duduk melepas lelah. Aku berlari kencang ke kiri dan bersembunyi di balik pagar yang menurutku aman. Aku duduk berjongkok dan membenamkan wajahku di kaki. Airmata mengalir membasahi pipiku dengan tiba-tiba tanpa kuhendaki. Dalam tangis, kembali kuteringat kejadian buruk yang membawaku menjadi seorang anak jalanan.
***
            “Bu, Fania tidak mau berpisah dengan teman-teman di sini, juga berpisah dengan Ibu!” teriakku dengan airmata bercucuran.
            “Fania akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada di panti ini, jika ikut bersama Bapak itu,” bujuk Bu Amira padaku sambil menunjuk ke arah laki-laki yang berkumis dan kepalanya ditutupi sebuah topi yang kebesaran.
            Aku menggeleng dan langsung memeluk Bu Amira. Laki-laki yang ditunjukkan Bu Amira padaku tadi bernama Pak Arman. Dia hendak mengadopsiku menjadi anaknya. Dengan lembut Pak Arman berkata padaku, “Tenang saja, Bapak akan membiayai semua kebutuhan Fania. Bapak akan menyekolahkan Fania di SMP yang terbaik di Palembang,”
            Setengah jam kemudian, aku sudah berdiri di dekat pintu mobil Pak Arman. Teman-teman dan para pengurus panti memandangku dengan wajah sedih karena sebentar lagi kami akan berpisah. Bu Amira tersenyum padaku namun tangis sedihnya tak dapat ia sembunyikan. Di Panti Asuhan Suara Hati ini, aku adalah anak kesayangan Bu Amira. Aku tahu ia sangat berat melepasku, namun demi kebaikanku dia merelakan diriku untuk diadopsi Pak Arman.
            Mobil melaju dari Kota Kayuagung ke Kota Palembang dengan cukup cepat. Selama di perjalanan aku tertidur dan saat terbangun kami sudah sampai. Aku turun dari mobil dengan menggandeng tas biru berisi sedikit pakaianku. Tadi Pak Arman bilang tak perlu membawa banyak-banyak pakaian karena ia akan membelikan pakaian baru untukku.
            Di hadapanku kini berdiri sebuah rumah kecil nan kumuh, berdinding kayu dan berlantai semen. Rumah sederhana itu tak seperti di panti dan sangat jauh dari kesan bersih apalagi indah, Dalam hati aku bertanya-tanya, kenapa aku malah di bawah ke sini. Kulihat Pak Arman memberikan beberapa lembar uang pada sopir mobil yang membawa kami tadi. Setelah menerima uang dari Pak Arman, sopir itu langsung membawa mobil, pergi entah ke mana.
            “Ayo, masuk!” kata Pak Arman padaku yang hanya terpaku keheranan.
            “Iya, Pak.” jawabku sembari menganggukkan kepala.
            Lagi-lagi aku keheranan. Ternyata ada beberapa anak di dalam rumah ini yang sedang duduk berkeliling membentuk lingkaran. Mereka masih kecil-kecil dan ada dua orang yang sepertinya seusia denganku. Aku disuruh duduk di sebelah anak laki-laki berambut ikal dan berkulit hitam. Rata-rata semua anak di sini memang berkulit hitam dan dekil.
            “Perkenalkan teman baru kalian! Namanya Fania berusia 15 tahun. Ia baru saja tamat SMP dan berencana akan melanjutkan ke SMA. Lucu sekali, bukan? Hahaha…!” suara Pak Arman yang tertawa membahana, terdengar bergema di dalam rumah kecil yang amat kotor ini.
            Aku tersenyum pada sebelas anak yang memandangku dengan wajah sedih. Aku kebingungan dengan sikap mereka. Pak Arman keluar rumah setelah menyuruhku berganti pakaian yang diberikannya. Pakaian yang bau dan kotor.
            “Kamu akan menyesal karena sudah ditipu lelaki brengsek itu. Ayo, cepatlah berganti pakaian! Kita harus bekerja!” ujar anak perempuan yang seusia denganku.
            Dan di sinilah semua penderitaan menderaku. Ternyata aku diadopsi bukan untuk dirawat dengan baik. Akan tetapi, aku dijadikan sebagai budak pencari nafkah untuk Pak Arman. Aku harus mengamen, mengemis, bahkan bila perlu menjadi seorang pencopet. “Asalkan dapat uang, semua cara harus dilakukan!” kata Pak Arman dengan keras.
            “Jangan hanya menangis! Tak perlu lagi menyesal karena kamu sudah jauh dari panti. Sekarang cepat cari uang atau aku tak akan memberimu makan!” Pak Arman berteriak penuh emosi setiap kali aku hanya berdiri mematung di pinggiran jalan, dekat lampu merah Simpang Jakabaring.
            Setelah dua minggu hidup bersama teman-teman baruku dan Pak Arman, aku mulai terbiasa walau Pak Arman berkali-kali memarahiku dengan kata-kata kasarnya. Bahkan Pak Arman beberapa kali memukul tubuhku hingga meninggalkan bekas luka. Namun aku tetap bersyukur pada Tuhan yang masih memberikan kesempatan hidup untukku.
            Kini, aku bukan lagi anak yang bersih dan sehat, aku sudah menjadi dekil dan kurus seperti mereka, anak-anak malang yang nasibnya sama sepertiku saat ini. Ternyata Pak Arman sudah berkali-kali melakukan penipuan dengan berpura-pura akan menjadi orangtua asuh, tapi nyatanya malah menjadikan anak yang diadopsinya sebagai budak pencari nafkah demi kepentingan pribadinya dan kelakuan buruknya. Pak Arman adalah seorang penjudi, pemabuk dan seorang pencopet yang pernah masuk penjara. Tapi dirinya tak pernah sadar dari perbuatannya
            “Fania, sebenarnya kami sangat kasihan padamu. Kami selalu berdoa agar tak ada lagi anak malang yang dibawa Pak Arman ke sini. Tapi ternyata Pak Arman masih saja melakukan perbuatan jahatnya. Kamu harus berhati-hati pada Pak Arman, jangan sampai mengalami hal buruk seperti yang terjadi pada kami!” ujar Septi sungguh-sungguh di tengah malam saat aku belum bisa tidur.
            “Memangnya hal buruk apa itu, Sep?” tanyaku dengan bingung sambil memandang lekat pada wajah Septi.
            “Aku tak bisa mengatakannya, Fan.” jawab Septi yang kemudian mulai memejamkan matanya.
            Aku dan teman-temanku selalu tidur di lantai yang dingin karena tak memiliki alas apa-apa. Sedangkan Pak Arman sudah terlelap di kamarnya yang memiliki kasur dan selimut. Ah, beginilah nasibku sekarang. Mau tidak mau, aku harus menjalani sulitnya hidup dalam kekangan lelaki jahat yang tak memiliki belas kasihan pada anak-anak seperti kami.
            Hari ini, di bawah langit siang dengan cahaya matahari yang terasa sangat menyengat kulit, aku mendendangkan lagu yang kupelajari dari Septi. Lagu yang menjadi favoritku itu kunyanyikan dengan senang hati untuk mencari recehan dari tangan-tangan orang yang kasihan melihatku.
            Jika aku menyanyikan lagu ini di saat matahari bersinar terik, aku seakan bisa melihat senyuman matahari di atas langit sana. Di sudut lampu merah adalah tempat keseharianku mengais uang sedikit demi sedikit. Pekerjaanku hanyalah mengamen, karena menurutku mengamen adalah satu-satunya pekerjaan terbaik yang ditawarkan Pak Arman padaku daripada mengemis atau mencopet.
            Aku pulang ketika langit sudah sangat gelap dan kendaraan sudah mulai sedikit berlalu lalang. Jika pulang, kami belum diperbolehkan tidur oleh Pak Arman sebelum dia pulang ke rumah. Pak Arman pulang ke rumah di atas pukul satu malam. Jadi kami hanya memiliki waktu kurang lebih selama empat jam untuk tidur, karena pukul lima pagi kami sudah harus berada di jalanan untuk bekerja.
            Pak Arman masuk dengan mendobrak pintu dengan sangat keras. Kami yang sedang berguling-guling langsung bangun karena terkejut. “Hey, kamu ke kamar sekarang!” perintah Pak Arman beringas sambil menunjuk ke arahku
            Segera kuikuti Pak Arman menuju kamarnya. Tangan Septi sempat menarik tanganku untuk mencegah namun segera kulepaskan karena takut akan kemarahan Pak Arman jika aku terlambat sedikit saja menuruti perintahnya.
            Aku ditarik dengan kasar dan direbahkan di atas kasur usang tanpa seprai. Aku kebingungan atas perbuatan Pak Arman. Kupandangi wajahnya yang hitam dan kotor. Kepalanya yang botak makin menambah keburukan di wajahnya.
            Airmataku jatuh perlahan saat Pak Arman membuka celananya dengan tergesa dan memdekatiku. Ia menyibakkan rok yang kupakai.
            “Jangan, Pak!” jeritku histeris sembari berusaha melepaskan diri dari dekapan Pak Arman yang sangat kuat.
            “Diam!” perintah Pak Arman. Ia menciumi tubuhku dengan kesetanan.
            Aku menangis dan merintih ketakutan atas perbuatan bejat Pak Arman. Dengan penuh kesadaran, aku menendang tepat pada selangkangannya dan berhasil. Pak Arman melepaskanku dan terduduk sambil merintih karena merasakan sakit akibat tendanganku. Aku segera keluar dari kamar. Teman-teman memandang iba padaku. Aku mengambil tas yang berisi pakaianku dan segera melarikan diri dari rumah ini.
***
            Kuusap airmata yang terus berjatuhan dengan derasnya membasahi kedua belah pipiku. Napasku tak teratur karena begitu takutnya melihat Pak Arman tadi. Aku keluar dari persembunyian dan mengamati jalanan untuk memastikan laki-laki botak yang tadi kulihat sudah tak ada di sini. Aku menarik napas lega dan menuju ke tengah jalan untuk mengamen lagi.
            Masih jelas terbayang kejadian pahit yang kualami seminggu yang lalu saat masih di rumah Pak Arman. Aku sangat berharap tidak akan bertemu lagi dengan lelaki bejat itu. Aku sudah cukup puas hidup di jalanan sekarang, walau tanpa rumah aku bisa bebas dari kekejaman Pak Arman.
            Namun harapanku sepertinya tak dikabulkan, karena Pak Arman turun dari bus kota tepat di sampingku yang sedang bernyanyi. Dia mencengkeram tubuhku dan menusukkan pisau tajam ke bagian dadaku. Seketika darah mengucur deras dan aku terjatuh ke jalanan. Masih sempat kulihat Pak Arman melarikan diri karena beberapa orang berteriak ngeri melihat darah yang keluar dari tubuhku. Setelah itu, aku tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.
Tubuhku terasa ringan dan melayang. Aku mulai sadar jika aku tak mampu lagi menikmati kehidupan. Nyawaku harus berakhir di sudut lampu merah ini, di bawah guyuran air hujan yang deras dan dingin. “Matahari, maafkan aku karena tak bisa lagi menyanyikan sebuah lagu untukmu. Selamat tinggal!” kataku berbisik di antara napas terakhir.

SELESAI

Sumber Gambar: http://www.retailngrosir.com/








CERPEN

HARAPAN ITU MASIH ADA

Ibu, Nayla ingin berjualan pempek di tempat lain saja. Supaya kita mendapatkan uang lebih banyak, kataku membujuk ibuku yang sedang menuangkan air ke dalam baskom berisi ikan yang telah digiling halus.
            “Nayla di rumah saja! Masak, membereskan rumah, mencuci. Biarkan Ibu saja yang mencari uang.” Balasnya lembut sembari menatap wajahku. Ibu tersenyum dan mulai meratakan ikan dengan air lalu memasukkan sagu sedikit demi sedikit ke dalam baskom.
            Aku tersenyum dan beranjak untuk mendidihkan air guna merebus pempek yang dibuat oleh mak. Nayla ingin menjual pempek di Unsri, Bu. Kata Laysa, di kampus Unsri belum banyak yang menjual pempek.” kataku lagi sembari kembali duduk di hadapan ibuku yang terlihat sibuk membentuk adonan pempek.
            “Apa Nayla tidak malu dilihat teman-teman kalau Nayla berjualan pempek di Unsri?” tanya Ibu serius padaku.
            Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Ibu pun ikut tersenyum. Wajahnya tampak letih dan sudah ada kerut-kerut yang seharusnya belum muncul di usianya yang masih 40 tahun. Mungkin beban hidup yang berat membuat Ibu terlihat lebih tua dari usianya. Sejak Bapak meninggal dua tahun yang lalu, Ibu sendirian bersusah payah mencari uang untuk membiayai hidup kami. Awalnya Ibu berjualan sayur di Pasar 16 Ilir, namun sejak satu bulan yang lalu Ibu memutuskan untuk berjualan pempek saja di area Benteng Kuto Besak (BKB) karena tak sanggup lagi membayar uang sewa tempat.
            Kehidupan kami sangatlah sederhana, namun aku masih bersyukur karena sempat menuntaskan pendidikanku di bangku SMA. Sebenarnya aku sangat ingin menyambung pendidikanku di bangku kuliah. Sejak kelas dua SMA, Universitas Sriwijaya (Unsri) Inderalaya adalah kampus impianku. Setelah Bapak meninggalkan kami saat kenaikanku di kelas dua, impian untuk kuliah hanya menjadi kenangan semata. Walau kata guru di SMA-ku, aku pasti bisa menembus satu kursi di Unsri dan ada beasiswa bagi yang berprestasi, aku tetap saja meninggalkan impian itu karena memikirkan ongkos ke kampus dan keperluan lainnya. Aku tak ingin menambah beban Ibu.
            Dua jam kemudian, ibuku sudah siap dengan bakul pempeknya dan perlengkapan lain. Ia terlihat letih tapi wajahnya menggambarkan kekokohan dan semangat yang tak pernah padam.
            “Nayla, Ibu pergi berjualan dulu. Doakan hari ini pempek kita laku banyak ya!” pinta Ibu sambil menyunggingkan senyum.
            “Hati-hati di jalan, Bu! Nayla pasti mendoakan,” kataku ceria seraya mencium tangan Ibuku tersayang.
            “Assalamualaikum,” pamit Ibu. Lalu langkah kakinya keluar meninggalkan rumah kami yang sederhana.
            “Waalaikumsalam,” balasku yang kemudian mengunci pintu lalu mulai membereskan rumah dan masak dengan bahan seadanya.
            Sudah pukul 10.00, pekerjaan rumah sudah rampung. Segera kuambil air wudhu untuk menunaikan shalat Dhuha. Ah, seharusnya tadi aku shalat saja dulu baru kemudian menyelesaikan pekerjaanku, biar tidak sesiang ini baru menunaikan Dhuha. “Maafkan kekhilafanku, ya Allah.” kataku dalam hati memohon ampun.
***
            Kulirik jam usang yang menempel di  dinding kayu rumahku. Sudah pukul 14.00 dan biasanya setengah jam lagi Ibu akan pulang. Aku menyiapkan makan siang untuknya. Kasihan sekali dengan ibuku, setiap hari makan siangnya di atas jam dua apalagi dia harus berjalan kaki melintasi Jembatan Ampera untuk sampai ke BKB, tempatnya berjualan. Sambil menunggu Ibu pulang, kunyalakan televisi, satu-satunya barang berharga di rumah kami.
            Dari arah jendela, kulihat Laysa yang baru pulang kuliah. Segera kuberanjak dari dudukku dan mengenakan jilbab, kemudian keluar rumah untuk menyapa sahabat sekaligus tetangga terbaikku itu.
            “Laysa…!” panggilku cukup kuat karena Laysa sudah lewat dari rumahku.
            Laysa menoleh ke belakang dan tersenyum melihatku. Ia membalikkan langkahnya menghampiriku. “Kenapa, Nay? Kangen sama aku ya? Haha…!” kata Laysa bercanda lalu ia tertawa.
            “Hahaha, tidak tuh! Setiap hari bertemu sama kamu kok. Kenapa harus kangen,” jawabku yang ikut tertawa. Aku mengajak Laysa untuk mampir ke rumah sebentar.
            “Enak sekali jika setiap hari mendapat pempek gratis nih!” ujar Laysa sambil mengunyah pempek dengan semangat.
            Aku hanya tertawa. “Jadi bagaimana, Sa? Kira-kira bisa tidak aku berjualan pempek di tempat kuliah kamu?” tanyaku serius sambil memandangi Laysa yang kepedasan oleh cuka pempek.
            “Ssshhh…. Tenang saja! Itu aku yang urus semua,” Laysa menjawab pertanyaanku lalu tergesa-gesa meneguk air di dalam gelas hingga tak tersisa.
            “Ah, Laysa. Aku sangat berterima kasih! Kamu memang sahabatku yang paling baik. kataku bahagia.
            Sama-sama, Nayla. Biasa saja, ah!13 ujar Laysa sambil mengerlingkan mata indahnya.
            Beberapa menit berlalu dan Laysa minta izin untuk pulang. Baru saja kami keluar, ibuku sudah pulang dan tersenyum pada kami. Aku mencium tangan Ibu kemudian disusul oleh Laysa yang juga mencium tangan Ibu.
            Laysa pulang dulu, Bu! pamit Laysa pada Ibu. Ibu mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah.
            “Besok langsung saja bawa pempeknya. Bareng aku ke Unsri, jam 07.00 tepat, jangan telat!” pesan Laysa padaku. Aku mengangguk lalu melambaikan tangan pada Laysa yang berlalu pulang.
            Aku masuk ke dalam menemui Ibu yang sedang makan. Wajahnya terlihat  dirundung kesedihan. Namun saat ia melihatku, wajah itu dipasang seriang mungkin dan mengembangkan senyuman. Aku membalas senyum Ibu dan masuk ke kamar, merapikan jilbabku. Sekalian mempersiapkan diri ke rumah Mang Teguh. Setiap pukul 15.00, aku dan Ibu bekerja mengupas bawang di rumah Mang Teguh untuk menambah penghasilan kami.
            Aku terpaku di sisi jendela kamarku, memperhatikan keramaian daerah sekitar. Rumahku berada di Seberang Ulu, tepatnya di daerah 10 Ulu. Cukup dekat dengan Jembatan Ampera dan Sungai Musi, kebanggaan kotaku, Kota Palembang. Airmata jatuh perlahan membasahi pipiku. Ketika aku dilahirkan hingga berusia 18 tahun sekarang, kami sudah berkali-kali pindah rumah kontrakan. Hidup pas-pas’an dan aku sama sekali belum pernah merasakan masa remaja seperti remaja seusiaku lainnya yang bisa jalan-jalan, pergi nonton di bioskop, atau apapun itu. Bukan aku tidak bahagia dan tidak bersyukur atas nikmat hidupku, tapi aku hanya mengingat perbedaanku dengan mereka. Mereka yang hidupnya lebih beruntung dariku.
***
            Ada rasa bahagia terselip di hatiku, menyaksikan kehijauan kampus Unsri Inderalaya. Angin sejuk berembus dan memainkan ujung jilbab putihku. Gedung-gedung kokoh yang indah dan nyaman, bus-bus mahasiswa yang terparkir rapi di terminal kampus, mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing dan semuanya, semuanya menarik perhatianku. Inilah kampus impianku. Lebih tepatnya impianku dahulu. Sekarang? Tidak. Ah, sepertinya masih. Hanya saja aku berusaha untuk melupakannya.
            Ternyata Laysa menyuruhku berjualan di area Fakultas Ekonomi, fakultas tempatnya kuliah. Laysa beruntung sekali memiliki kesempatan belajar di sini. Aku teringat saat kami berdua tertawa bahagia sehabis membaca koran di halaman Masjid Agung. Namaku dan Laysa tertera di pengumuman, kami sama-sama lulus di jurusan Akuntansi. Ya, aku memang sempat ikut tes SNMPTN (Seleksi Nasonal Masuk Perguruan Tinggi Negeri) untuk menyenangkan hatiku. Tapi semua mesti dilupakan karena kulihat wajah Ibu bersedih saat kukabarkan kelulusanku tersebut.
            “Nayla, kamu jualan di sini? Jualan apa?” tanya Daira, teman satu SMA-ku. Ia membuka penutup bakul yang berisi pempek. Keningnya tiba-tiba berkerut, lalu menatapku tajam, tatapan merendahkan.
            “Oh, pempek buatan ibu kamu pastinya, bukan?” tebak laki-laki tampan dan kaya itu dengan benar.
            Aku hanya mengangguk dan berusaha untuk tersenyum. “Mau, Daira?” tanyaku basa-basi, aku tahu ia tak akan membelinya.
            “Tidak, ah! Aku takut tidak steril. Oh, ya, jangan berjualan di sini! Nanti kampus kita jadi bau ikan busuk dari pempek itu,” hina Daira memandang sinis padaku dan menunjuk ke arah tumpukan pempek, jualananku.
            “Sirik aja jadi orang! Tidak ada yang melarang Nayla jualan di sini, aku sudah minta izin pihak fakultas kita, kok!” tiba-tiba Laysa datang membelaku. Aku menarik napas lega karena Daira langsung pergi begitu saja.
            Laysa menepuk bahuku, menenangkanku. Dia tersenyum dan duduk menemaniku berjualan.
            Tepat pukul 15.00, aku sudah sampai di rumah. Kulihat ibuku sedang tertidur pulas di lantai menghadap televisi yang masih menyala. Aku mengecup kening ibuku tersayang lalu masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian. Hari pertama berjualan di Unsri sudah cukup lumayan. Aku sangat bersyukur atas rezeki yang diberikan Allah kepada kami, walau sempat kesal di kampus tadi karena Daira sangat menghinaku. Sejak SMA, ia memang tak menyukaiku. Ada-ada saja hal yang diperbuatnya untuk menghinaku habis-habisan. Namun, Laysa selalu membelaku. Daira akan segera diam jika ada Laysa, karena laki-laki sombong itu menyukai Laysa.
            Kulihat Ibu sudah bangun dari tidurnya. Ia tersenyum melihatku dan bertanya, “Bagaimana, Sayang? Laku pempeknya di Unsri?”
            Alhamdulillah, Bu. Pempek kita masih bersisa sedikit,” jawabku sumringah sambil menyerahkan lembaran uang padanya.
Ibu tersenyum bahagia menerima uang dariku. Ayo kita berangkat sekarang saja ke rumah Mang Teguh!” ajak  ibuku sambil membenarkan letak kerudungnya.
***
            Sudah dua minggu ini Ibu sakit. Sering terdengar ia batuk-batuk walau berusaha untuk dinahannya agar tak terdengar olehku. Tubuhnya pun semakin kurus dari hari ke hari. Sudah sering aku menyuruh Ibu untuk ke puskesmas dan istirahat dulu dari berjualan pempek., namun Ibu selalu menolaknya dengan alasan hanya demam biasa yang sebentar lagi akan sembuh. Aku sangat mengkhawatirkan ibuku dan takut terjadi apa-apa karena dua minggu ini belum sembuh-sembuh juga.
            Dan hari ini, Ibu sama sekali tak bisa duduk apalagi berdiri. Ia hanya tergolek di atas kasur tipis. Aku menjaganya dan memutuskan untuk tidak berjualan dan mengupas bawang dulu hari ini. Setelah menyuapi ibuku makan, aku memberikan obat yang kubeli di warung pada Ibu. Ibu meneguk obat itu perlahan dan memejamkan mata sesaat seperti menahan sakit.
            “Nayla, anak Ibu yang Ibu sayangi! Bisa bukan membuat pempek sendiri besok-besoknya? Uhuuuk…. Tetaplah berjualan pempek kalau belum mendapatkan pekerjaan. Ibu selalu mendoakan Nayla agar bisa menjadi orang sukses, bisa kuliah seperti cita-cita Nayla dulu. Mungkin Ibu tidak bisa lama-lama bersama Nayla. Jika nanti Ibu telah tiada, Nayla tinggal saja bersama Tante Sari yang di Kertapati itu. Dia pasti bersedia mengajak Nayla tinggal di rumahnya,” kata Ibu dengan lirih sambil terbatuk-batuk.
Hatiku berdesir dan cemas mendengar perkataan ibuku. Aku merasakan ada hal buruk yang akan terjadi. Ingin rasanya aku menangis namun tetap kutahan agar mak tidak melihatku bersedih. “Ibu pasti sembuh. Ibu bisa lama-lama bersama Nayla kok,” ujarku berusaha riang. Aku ingin tersenyum pada Ibu, tapi malah airmata yang bercucuran. Ibuku merentangkan tangannya dan kami berpelukan.
 “Ya, Allah. Semoga ini bukan hal buruk tentang ibuku. Aku memohon padamu, sembuhkanlaH ibuku. Aku sangat menyayanginya. Hanya dia yang kumiliki sekarang, ya Allah. Berikanlah yang terbaik buat dia, aamiin…,” doaku setelah selesai menunaikan shalat ashar.
Aku melepas mukena dan masuk ke dalam kamar untuk melihat ibuku Walau sakit, biasanya Ibu tetap ingin menjalankan shalat dalam posisi berbaringnya, jadi kubawakan air bersih dan mukena untuknya.
“Ibu, Nayla sudah shalat ashar. Ibu juga mau shalat, kan?” tanyaku lembut pada Ibuku yang hanya terdiam kaku dan matanya telah terpejam dalam damai.
***
            Satu tahun kemudian.
            Aku berdiri di pinggiran Sungai Musi yang berada tepat di depan BKB. Kupandangi aliran air yang cukup deras dan ombak yang bermain naik turun karena baru saja dilewati ketek-ketek (perahu bermesin khas Palembang). Sesekali aku mengamati  ibu-ibu yang menjual makanan dan minuman yang duduk di bebatuan menunggu pembeli. Pikiranku melayang mengenang ibuku yang sudah satu tahun meninggalkanku, menghadap Sang Ilahi. Aku mengikhlaskannya karena tak ada gunanya bila disesali. Semua adalah takdir yang telah ditentukan Allah. Aku pun yakin, jika sekarang Ibu telah bertemu Bapak dan berbahagia di surga-Nya.
            “Nayla, kita pulang yuk! Besok ada ujian di kampus, kan? Pulang ini kamu langsung belajar saja, Sayang. ujar Tante Sari sambil merangkul bahuku. Kini ia menggantikan ibuku untuk menjagaku. Tante Sari dan suaminya sudah menganggapku sebagai anak mereka dan membiayai hidupku, termasuk kuliahku di Unsri.
            Aku mengangguk lemah sambil menghapus bulir bening yang keluar dari pelupuk mataku. “Ibu…. Nayla berjanji, nanti Nayla akan menjadi orang sukses supaya Ibu dan Bapak bisa bangga punya anak seperti Nayla. Semoga Ibu dan Bapak bahagia di sana. Suatu saat nanti, kito bertiga pasti bisa berkumpul lagi. Oh iya, sekarang Nayla sudah bisa kuliah di Unsri sambil berjualan pempek, Bu. Nayla kangen sama Ibu juga sama Bapak!” teriakku cukup keras ke arah Sungai Musi di hadapanku. Riaknya kini kembali tenang setelah ketek-ketek sudah menjauh. Setenang hatiku sekarang.
            Tante Sari menuntunku sambil menghapus airmataku. Kami menuju ke area parkir. Om Usman, suami Tante Sari sudah berada di parkiran, menjemput kami dengan mobilnya.
            “Ya, Allah. Ya, Tuhanku. Aku sangat bersyukur atas semua karunia dan nikmat yang masih Engkau berikan untukku. Engkau telah memberikan dua orang yang amat baik, sebagai pengganti kedua orangtuaku yang telah tiada. Engkau telah memberikan kehidupan yang layak untukku. Engkau juga telah mengabulkan impianku untuk menuntut ilmu di Unsri. Semuanya telah Engkau berikan padaku, semua kenikmatan-Mu. Semoga dengan semua ini akan membuat diriku semakin beriman dan bertakwa kepada-Mu, ya Allah. Semoga kelak Engkau izinkan diri ini untuk bertemu kembali dengan Mak dan Bapakku, aamiin Ya Rabb….”
SELESAI


CERPEN ANAK

SERPIHAN ASA DI SUNGAI MUSI

            Hasan, anak laki-laki berusia sembilan tahun, sedang termenung di pinggiran Sungai Musi. Matanya menyapu seluruh permukaan air yang bergelombang karena baru saja dilewati perahu motor dan ketek. Matanya juga tak luput pada jembatan tinggi kokoh di atas Sungai Musi. Jembatan Ampera, penghubung daerah Sebrang Ulu dan Sebrang Ilir, seringkali membuat kagum Hasan karena kuatnya jembatan itu menahan beban dari ribuan kendaraan yang berlalu lalang di atasnya.
Hasan baru menyadari jika hari mulai petang karena langit kebiruan sudah tergantikan langit jingga yang memancarkan kehangatan. Burung-burung beterbangan sehingga membentuk bayangan di atas permukaan air Sungai Musi yang sudah tenang kembali. Hasan berdiri lalu dihirupnya napas dalam-dalam.
            “Aku tahu jika ini mustahil, namun apakah salah jika aku bermimpi yang tinggi?” kata Hasan pelan sambil menengadah ke atas seakan berbisik pada langit senja.
            “Lihat saja, aku akan ke sana walau ayah dan ibuku miskin!” teriak Hasan namun suaranya dibawa angin yang bertiup cukup kencang.
            “Hasaaan…, baleklah ke rumah!” teriak ibu Hasan dari dalam rumah.
            Hasan pun berlarian menuju rumahnya. Rumah Hasan, sebuah gubuk kecil di dekat pinggiran Sungai Musi. Ibu Hasan bekerja sebagai tukang urut yang pelanggannya tak banyak. Sedangkan ayah Hasan bekerja sebagai pembawa ketek yang mengantarkan penumpang untuk menyeberangi sungai atau mengantarkan penumpang menuju salah satu tempat pariwisata yang bernama Pulau Kemaro.
            Kehidupan mereka bisa dibilang kurang mampu. Namun kedua orangtua Hasan masih tetap menginginkan Hasan, anak mereka satu-satunya tetap bersekolah. Kini Hasan duduk di kelas empat SD. Hasan termasuk anak yang penurut dan cukup pintar sehingga teman-teman dan gurunya banyak yang menyukai Hasan. Terkadang teman-teman dan guru Hasan memberikan seragam bekas atau sedikit uang untuk Hasan.
            “Mak…. Jembatan Ampera dulu dibangun oleh tenaga ahli Jepang, yo?” tanya Hasan sungguh-sungguh pada ibunya yang tengah menggoreng tempe.
            “Setahu Mak memang wong Jepang yang membangun jembatan itu, San. Ngapo?” ujar ibu Hasan yang masih sibuk membolak-balik tempe.
            “Di sekolah tadi Hasan membaca buku di perpustakaan tentang sejarah Palembang dan pembangunan Jembatan Ampera. Lalu Hasan nanyo Bu Henny, petugas perpustakaan, tentang Negara Jepang. Bu Henny menunjukkan pada Hasan gambar Jepang yang berciri khas bunga sakura. Indah nian, Mak! Ditambah lagi jika musim salju, Jepang jadi putih dan dingin. Hasan ingin ke sana, Mak!” cerita Hasan dengan wajah lugu dan mata yang berbinar-binar.
            Ibu Hasan menatap wajah anaknya sesaat lalu tertawa terbahak-bahak.
            “Hahaha…! Hasan, Hasan, ado-ado be anak Mak ini. Jepang itu jauuuh nian! Hasan tidak akan bisa ke sana karena ongkosnya mahal,”
            “Kalau Hasan bekerja membantu Bapak di ketek, terus Hasan dapat uang dan uangnya Hasan tabung. Bisa kan, Mak?”
            “Hasan, kalau begitu alangkah baiknya jika uangnya untuk melanjutkan sekolah Hasan atau untuk membantu membeli keperluan makan kita,” kata Ibu Hasan menasihati.
            Hasan meninggalkan ibunya. “Mak tidak mengerti keinginan Hasan,” keluhnya dalam hati.
***
            “Sudah berapa kali Mak bilang, buku tulis jangan digambar-gambar! Ini untuk menulis bukan menggambar aneh-aneh cak ini!” marah ibu pada Hasan yang tertunduk.
            “Ngapo ribut-ribut?” tanya bapak Hasan yang baru pulang.
            “Ini si Hasan menggambari buku tulisnya sampai habis. Cakmano untuk sekolah besok, uang katek lagi untuk beli buku tulis,” jawab ibu kesal.
            “Hasan, Bapak sudah membelikan Hasan buku gambar kan? Buku tulisnya jangan lagi digambari, yo!” kata bapak lembut sambil menatap wajah Hasan yang sedih.
            “Buku gambarnya sudah lama habis, Pak. Hasan tidak enak minta uang lagi dengan Bapak dan Mak,”
            Bapak tersenyum kecil, “Jika Bapak punya uang lebih pasti Bapak akan belikan Hasan buku gambar dan krayon yang baru,” janji bapak pada Hasan.
            “Hore! Terima kasih, Pak.” kata Hasan bahagia lalu memeluk bapaknya. Ibu Hasan hanya mengeleng-gelengkan kepala melihat Hasan kegirangan seperti itu, lalu ia menuju dapur. Sambil mencuci piring, airmata ibu Hasan berjatuhan. Ia menyesal karena sudah memarahi Hasan yang menghabiskan buku tulis untuk menggambar. Sesungguhnya ia marah bukan karena kelakuan Hasan, tapi ia takut Hasan tidak memiliki buku kosong lagi untuk sekolah.
Ibu Hasan sangat tahu jika putranya itu gemar menggambar. Gambar yang dilukis oleh Hasan rapi dan bagus. Warna yang ia sentuhkan pada gambarnya pun amat pas dan berani sehingga indah untuk dipandang. Sayangnya, di sekolah Hasan pelajaran menggambar tidak ada. Jadi tidak ada yang tahu jika Hasan pandai menggambar.
***
            Sebulan telah berlalu. Di siang yang terik ketika Hasan baru saja tiba di rumah sepulang sekolah. Rumahnya sepi karena bapak sedang mencari penumpang dan ibunya pasti mendapatkan pelanggan yang minta diurut. Senyum ceria jelas terukir di bibir anak berambut sedikit ikal dan berkulit sawo matang. Tak sabar ia menunggu kepulangan ibu dan bapaknya untuk mengabari sesuatu yang bahagia.
            Tiba-tiba didengarnya langkah kaki masuk ke dalam rumah.
            “Maaak…! Hasan akan pergi ke Jepang. Hasan akan melihat pohon sakura. Hasan akan naik pesawat ke Jepang, Mak!” teriak Hasan pada ibunya yang baru pulang.
            Ibu Hasan menatap Hasan dengan wajah bingung. Hasan mengulurkan map kuning berisi surat-surat. Membaca isi dari surat-surat tersebut membuat ibu Hasan terduduk lemas di lantai. Airmatanya pun berjatuhan dan langsung memeluk Hasan. Hasan ikut menangis dalam pelukan ibunya.
             
            Salah satu gambar Hasan dengan objek Jembatan Ampera terpilih menjadi pemenang tingkat nasional yang akan diikutsertakan pada perlombaan lukis di Jepang. Gambar itu dibawa bapak Hasan ke sekolah satu bulan yang lalu dan ditunjukkan kepada kepala sekolah Hasan. Kepala sekolah Hasan yang baik itu iseng mengirimkan gambar Hasan ke Jakarta. Tanpa disangka-sangka ternyata gambar Hasan tepilih menjadi salah satu dari lima gambar terbaik tingkat Sekolah Dasar seluruh Indonesia.
            Impian Hasan ingin menapaki tanah Jepang dan menikmati keindahan negara tersebut akhirnya terwujud. Siapa sangka, anak yang masih berusia Sembilan tahun dengan keadaan ekonomi yang kurang, ternyata mampu terbang ke Jepang lewat gambarnya yang dilukis dengan sepenuh jiwa. Hasan berdiri di pinggiran Sungai Musi sambil menatap Jembatan Ampera. Ia menunggu bapaknya pulang dan akan menceritakan tentang berita bahagia ini sekaligus Hasan ingin mengucapkan terima kasih karena ini semua atas usaha bapaknya juga.
TAMAT
ARTI KATA-KATA
·         Baleklah          : Pulanglah
·         Mak                 : Ibu
·         Yo                    : Ya
·         Wong               : Orang
·         Ngapo             : Kenapa
·         Nanyo              : Tanya
·         Nian                : Sangat
·         Ado-ado be      : Ada-ada saja
·         Cak                  : Seperti
·         Cakmano         : Bagaimana
·         Ketek               : Perahu bermesin khas Palembang
·         Katek               : Tidak ada



CERPEN KEHILANGAN MESTIKA

KEHILANGAN MESTIKA

            Kutarik napas cukup dalam dan perlahan kuembuskan. Dengan sendu, kutatap sebuah kotak berisi bekal makan siang yang tergeletak di atas meja. Sudah lima belas menit lamanya hanya kupandangi tanpa berniat untuk menikmatinya. Bukan rasanya tak enak bukan pula karena perutku masih kenyang. Sebenarnya saat ini, aku merasa sudah lapar dan ingin memakan bekal itu. Namun egoku lebih besar dan aku memutuskan untuk keluar, mencari makan siang di restoran terdekat.
            “Selamat siang, Pak Rio. Bapak mau ke mana?” tanya Aji, salah satu karyawanku.
            “Mau ke Rumah Makan Pagi Sore. Kalau kamu belum makan, mari bareng saya saja!” ajakku menawarkan.
            “Bapak tidak dikirimi bekal makan siang hari ini?” tanya Aji dengan wajah penasaran.
            Aku menatap Aji tajam. Ia tertunduk seolah menyesali pertanyaannya barusan. Segera kulangkahkan kaki dan Aji menyusul, berjalan di belakangku. “Sudah, biasa saja! Saya hanya bosan makan bekal. Sesekali ingin merasakan makanan di luar,” kataku pada Aji karena dari tadi kulihat dia hanya terdiam.
            Aji tersenyum. “Maaf ya, Pak!” katanya.
            Aku membalas senyum Aji dan kami meneruskan makan siang dengan nikmat.
            HP-ku berbunyi dan kuangkat dengan senang hati ketika tertera nama Sabila di layar. Mendengar suara indahnya saja menumbuhkan semangat, apalagi melihat wajahnya. Ah, aku merindukannya lagi. Padahal tadi pagi sudah bertemu dengannya. Tepat ketika pembicaraanku dengan Sabila berakhir, seorang wanita masuk ke dalam ruanganku. Dia tersenyum dan duduk di hadapanku.
            “Honey, sudah shalat Zuhur?” tanyanya sembari tersenyum manis.
            Aku mengangguk dan pura-pura sedang menulis sesuatu di lembaran kertas.
            “Kenapa bekalnya belum dimakan? Sudah pukul satu siang, loh. Nanti kamu sakit,”
            “Maaf, Honey. Tadi aku makan bersama karyawan di luar. Tidak enak menolak ajakan mereka,” kataku berbohong.
            Dia hanya tersenyum dan memasukkan kotak bekal ke dalam tasnya. “Tidak apa-apa, Honey. Ya, sudah, aku pergi dulu. Selamat meneruskan kerjanya, ya!”
            Setelah ia pergi untuk kembali ke kantornya yang tak jauh dari sini, aku menarik napas lega. Kinanti, kekasihku, hampir setiap hari memasakkan dan mengantarkan bekal makan siangku. Dia, satu-satunya wanita yang menurutku sangat baik, perhatian dan hatinya yang seputih kapas. Empat tahun bersamanya memang menyenangkan dan kami berencana untuk segera menikah paling lambat tiga bulan lagi. Tapi, dua minggu yang lalu semuanya telah berubah. Cintaku pada Kinanti sudah amat berkurang karena kehadiran Sabila, mahasiswi cantik yang menarik hatiku, yang mampu membuat hatiku harus mendua.
            Sesungguhnya aku merasa bersalah, tapi aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri. Tiga hari yang lalu, Sabila telah menjadi kekasihku. Baik Sabila atau Kinanti, belum ada yang tahu tentang ini dan aku berharap ini akan aman sampai aku bisa memutuskan hubunganku dengan Kinanti. Tak mudah jika tiba-tiba harus putus begitu saja. Papi dan mami tentu akan marah denganku. Belum lagi ayah dan bunda Kinanti tentu sangat kecewa padaku. Dan Kinanti? Ah, aku tak tahu apa yang akan ia perbuat padaku jika tahu kekasihnya telah mendua di belakangnya.
            Kira-kira satu bulan yang lalu, saat penerimaan karyawan baru di kantorku. Aku mengamati para pelamar yang memenuhi aula. Aji dan belasan karyawan terlihat sibuk melayani pelamar yang mendaftar. Tentu aku tak membantu mereka karena posisiku sebagai wakil direktur tidak mengurusi hal-hal seperti itu. Papi menempatkanku sebagai wakil karena masih ingin menguji kinerjaku. Jika menurutnya bagus, ia akan memberikan perusahaannya ini padaku. Maka dari itu, dua tahun ini aku benar-benar berusaha menunjukkan kinerja terbaik agar papi percaya padaku.
            “Permisi! Benar di ruangan ini tempat pendaftaran untuk pelamar kerja di perusahaan ini?” tanya seorang gadis padaku.
Aku tertegun sejenak dan menatapnya. Gadis di depanku ini amat cantik dan menarik. Aku pun terpana memandangnya. Dia terlihat bingung dan salah tingkah.
“Maaf, Pak. Anda mendengar pertanyaan adik saya tadi?” Kini pria muda di samping sang gadis yang bertanya. Wajahnya sedikit kesal. Mungkin gara-gara tatapanku pada adiknya barusan.
“Iya, di sini. Siapa yang mau melamar?” jawabku berwibawa sembari membenarkan letak dasiku.
“Kakak saya, Pak!”
Aku tersenyum dan menunjuk ke arah antrian. Kakak si gadis langsung melangkahkan kakinya, bergabung pada antrian sedangkan adiknya kuajak duduk di ruang tunggu. Kami pun mengobrol. Ternyata nama gadis cantik ini Sabila, mahasiswi semester enam di Universitas Bina Darma.
“Oh, jadi Bapak wakil direkturnya. Aduh, maafkan jika saya dan kakak saya tadi kurang sopan dengan Bapak,” ujar Sabila dengan wajah khawatir.
“Tenang saja, jangan khawatir! Biasa, kok. Oh, ya, panggil saya dengan Rio atau Mas saja, kalau bapak itu sepertinya sudah tua. Saya masih berusia 24 tahun, Sabila! Hehe…,” kataku sambil tertawa kecil.
“Hehehe, iya. Sabila panggil Mas saja, deh.” katanya dengan tersenyum sembari menyatukan rambut indahnya ke kiri.
Sabila benar-benar cantik. Tubuhnya tinggi langsing, berkulit putih dan tutur katanya menyenangkan. Ditambah lagi suaranya yang merdu. Ah, bisa-bisa aku jatuh cinta padanya.
Selang seminggu perkenalanku dengan Sabila, kami semakin akrab saja. Meskipun kakaknya tidak diterima bekerja di perusahaanku, Sabila tidak kecewa dan tetap dekat denganku. Gadis yang benar-benar mendekati sempurna. Aku tergila-gila padanya hingga menutupi kesadaranku jika diriku ini sudah memiliki seorang kekasih.
“Mas Rio sudah punya pacar belum? Nanti pacarnya marah jika melihat kita sering pergi berdua,” Sabila berkata sambil menatap mataku lekat. Saat ini kami sedang dinner di Solaria, Palembang Indah Mall.
“Belum, Sabila. Mas sedang mencari pasangan, nih.” kataku tak jujur menjawab pertanyaan Sabila.
“Sabila heran, deh. Kenapa laki-laki seganteng dan sebaik Mas Rio belum ada pacar. Hehehe,” ujar Sabila memujiku. Lalu ia tertawa bercanda sehingga terlihatlah barisan giginya yang rapi dan  putih.
“Sabila mau jadi pacarku?” tanyaku iseng.
Sabila tertegun memandangku. Aku menatap matanya menunjukkan keseriusan.
“Jika Mas bersungguh-sungguh, Sabila mau.”
Aku tercengang tak percaya. Sabila menerimaku. Ah, bahagia sekali rasanya bisa memiliki gadis secantik Sabila. Aku tersenyum riang dan menggenggam jemari Sabila yang halus.
“Mas sungguh-sungguh,” ucapku meyakinkan Sabila.
“Iya, Mas.” Sabila tersenyum manis dan menganggukkan kepalanya.
***
            “Honey, bekalnya sudah satu minggu ini tidak dimakan. Masakanku tidak enak ya?” kata Kinanti sedih sembari menatap kotak bekalnya yang masih penuh.
            “Enak, tapi akhir-akhir ini sering makan di luar dengan rekan-rekan kerja, Honey. Menurutku, lebih baik tidak mengantarkan bekal lagi saja. Takutnya malah merepotkan kamu,” jawabku hati-hati takut menambah kesedihan pada gadis yang sedang tertunduk di hadapanku.
            Beberapa menit kami hanya terdiam di dalam ruang kerjaku yang dingin oleh AC. Kinanti mengangkat wajahnya perlahan. Raut wajahnya menyiratkan ada rasa curiga namun tetap ditahannya.
            “Aku tidak pernah merasa direpotkan, Honey. Tapi, kalau kamu maunya seperti itu, tidak apa-apa. Kapan-kapan, jika kangen dengan masakanku lagi, bilang saja! Nanti akan kubuatkan,” ujar Kinanti dengan senyum lebar. Jemarinya menyentuh tanganku dan menggenggamnya.
            “Siap, Sayangku!” aku mengusap pipi Kinanti yang dingin seraya merasakan genggaman tangannya yang hangat. Genggaman penuh cinta.
            “Halo, Mas! Aduh, kenapa baru dijawab sih telepon Sabila?” seru Sabila terdengar kesal.
            “Maafkan Mas, Sayang. Tadi lagi ada kerjaan,” aku terpaksa berbohong. Tak mungkin jika kukatakan tadi sedang bersama Kinanti, kekasih pertamaku.
            “Oh. Mas, Sabila sedang butuh uang lima juta untuk praktikum. Bisa tidak Sabila pinjam dulu dengan Mas?”
            “Bisa. Nanti setelah Mas pulang kerja, Mas jemput di kampus dan bawa uangnya untuk kamu,”
            “Iya, Mas. Sabila sayang deh sama kamu,”
            Srrr…. Jantungku berdebar mendengar Sabila berkata seperti itu.
            “Mas juga sayang sama Sabila,”
            Setelah menutup HP, aku termenung. Kubenamkan wajah di atas tumpukan buku di meja kerjaku. Wajah Sabila dan Kinanti bergantian menari-nari dalam benakku. Saat ini rasa cintaku untuk Sabila memang lebih besar. Namun, aku bingung bagaimana caranya untuk memberitahu hal yang sebenarnya pada Kinanti. Aku tak mau terus-terusan begini.
Sudah dua minggu aku menjalin hubungan dengan Sabila. Entah, apa yang kuharapkan dari hubungan ini. Sabila tidak sedewasa Kinanti, Sabila juga tak seperhatian Kinanti. Tapi, Sabila lebih menarik hatiku denga sikap manjanya. Sedangkan Kinanti tak pernah bermanja-manja. Malah mungkin aku yang dulu sering manja dengannya. Ah, aku ingin secepatnya memutuskan Kinanti saja. Biarlah kuhadapi resiko ini.
Pada suatu sore, saat baru saja sampai di rumah. Kulihat Kinanti sedang asyik mengobrol dengan mami. Aku mencium pipi dan tangan mami. Lalu tersenyum pada Kinanti.
“Rio, kenapa tidak pulang bareng Kinanti?” tanya mami yang tidak tahu jika sudah hampir satu bulan ini aku tak pernah lagi menjemput Kinanti di kantornya untuk pulang bersama.
“Biasanya Rio masih ada pekerjaan di kantor, Mi. Jadi Kinanti pulang duluan karena Bunda menyuruh Kinanti untuk pulang cepat,” jelas Kinanti pada mami.
Aku menarik napas lega lalu tersenyum, “Rio ganti baju dulu, Mi.”
Selesai mengganti baju, Kinanti mengetuk pintu kamarku.
“Masuk saja!” kataku.
“Eh, kamarnya masih berantakan juga. Perasaan baru dua hari yang lalu aku membereskannya,” seru Kinanti sambil merapikan letak buku-buku di rak.
Aku tertawa saja. “Hahaha, begitulah seorang Rio, Sayang!” ujarku sembari mengangkat pakaian kotor dan memasukkannya di keranjang.
Kinanti ikut tertawa. Aku memperhatikan wajahnya. Kinanti cukup cantik dan dewasa. Pasti bisa menjadi istri yang baik. Namun, saat ini hatiku sedang ditawan oleh wanita lain. Aku tak bisa mengelak akan hal itu.
“Sayang, malam ini mau tidak kalau kita nonton berdua?” tanya Kinanti.
“Bagaimana kalau besok malam saja. Malam ini masih ada yang harus kukerjakan, Sayang.”
“Iya. Tapi benar-benar jadi, ya. Janji?”
Aku mengangguk lalu mencium kening Kinanti. Kinanti tersenyum bahagia.
Saat kurasakan perasaanku memudar pada Kinanti, saat itu pula aku harus berpura-pura tetap mencintai dia seperti dulu. Saat hatiku mulai mendua, saat itu pula aku terus-terusan harus berbohong. Semenjak bersama Sabila, aku sudah tak memikirkan Kinanti sedikit pun. Aku juga tak pernah lagi pergi bersamanya dan seringkali tak menepati janji. Namun, Kinanti tak pernah sekali pun marah atau merajuk. Ia tetap dengan sikap lembutnya, tetap dengan senyum dan perhatiannya. Ya Tuhan, aku merasa sangat bersalah pada Kinanti.
***
            Aku terdiam di depan mobilku sambil menunggu Sabila selesai kuliah. Saat ini aku tengah dirundung rasa bingung dan heran. Sabila mengatakan padaku jika orangtuanya tak pernah memberi uang lagi padanya disebabkan nilai kuliahnya turun drastis. Maka dari itu Sabila meminjam uang padaku. Aku tak mungkin meminta untuk kembalikan uang yang dipinjam kekasih sendiri. Lama kelamaan, Sabila jadi sering minta uang padaku. Aku biasa-biasa saja. Tapi setelah hampir dua bulan terakhir ini, aku menjadi sadar dan menanyakan langsung pada orangtua Sabila. Ternyata semua yang Sabila katakan padaku hanyalah bohong belaka. Aku merasa sangat ditipu dan hanya dimanfaatkan saja oleh Sabila. Aku sungguh menyesal.
“Sayang, akhir-akhir ini kamu boros sekali, loh. Uang yang Mas beri tiap minggunya dikumpulkan untuk kuliah, bukan? Kenapa malah dibuat untuk ke salon dan belanja?” tanyaku heran karena Sabila kembali meminta uang padaku guna keperluan kuliahnya.
            “Ah, Mas. Salon dan belanja juga penting bagi Sabila. Uang yang diberikan papa dan mama tidak cukup!” jawab Sabila cuek sambil memencet tombol HP-nya.
            “Om dan tante pernah bilang ke Mas jika keperluan kuliah Sabila mereka kasih terus ke Sabila. Uang saku juga. Jujur saja! Sabila pakai untuk apa uang yang diberikan papa dan mama juga uang dari Mas?”
            “Mas tidak percaya sama Sabila? Mas lebih percaya sama mama papa? Kita putus saja!” Sabila berkata dengan emosi lalu pergi meninggalkanku sendirian di lapangan parkiran kampus. Aku tak berniat mengejarnya. Atas sikap dan perilakunya itu, rasa cintaku padanya seketika hilang. Baru kusadari, rasa cinta pada Sabila hanyalah rasa cinta sesaat.
            Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba kuterkenang pada Kinanti. Beberapa hari ini ia tak pernah lagi ke rumah. Ia juga tak lagi menghubungiku. Mami sampai heran karena tak lagi berjumpa pada Kinanti. Mungkin Kinanti marah padaku, karena aku kembali melanggar janji untuk nonton berdua bersamanya waktu itu. Maka kuputuskan untuk menemui Kinanti di rumahnya. Ada suatu hal yang mengganjal di hatiku. Aku merasakan ada hal yang tak beres, tapi aku tak tahu apa itu. Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah Kinanti. Rumah yang tak pernah lagi kupijak sejak hati ini mulai terbagi.
            “Kinanti tahu tentang Sabila, Rio. Dia bersedih, dia menangis. Akan tetapi, ia tetap diam saja sampai menunggu kamu sendiri yang akan bercerita. Kinanti tak pernah marah atau membenci kamu, Rio. Dia tetap mencintai kamu seperti dulu. Bunda tahu, ia menderita atas sikapmu. Namun Bunda yakin sekarang ia telah bahagia,” kata Bunda Kinanti bercerita dengan berurai airmata.
“Maafkan Rio, Bunda. Rio memang jahat sekali dengan Kinanti. Tapi Rio tak tahu jika sebenarnya Kinanti telah mengetahui semuanya,” kataku sedih sembari tertunduk menyesal.
            “Semua sudah terjadi, Rio. Jika ingin bertemu dengannya, ikut Bunda saja sekarang. Kinanti beristirahat di Bandung, tempat neneknya,”
            “Rio akan meminta maaf pada Kinanti, Bun. Kami akan kembali merajut kisah kasih seperti dulu. Rio sadar, selama ini hanya Kinanti yang benar-benar tulus mencintai Rio,” ucapku bersungguh-sungguh dan Bunda tersenyum dalam tangisnya.
            Selama di pesawat yang akan membawa kami ke Bandung, Bunda terlihat amat bersedih. Tatapan matanya kosong dan hanya terdiam. Aku pun ikut terdiam karena tak tahu mau bicara apa.
            Sesampainya di rumah nenek Kinanti, sebuah rumah yang asri dan sejuk, aku mencari-cari sosok Kinanti.
            “Di mana Kinanti, Bun?” bisikku pada Bunda.
            “Sebentar lagi kita akan berangkat bersama-sama menemui Kinanti. Tunggu yang lain dulu,” jawab Bunda masih dengan wajah murungnya. Sebenarnya aku masih ingin bertanya lagi. Tapi, kuurungkan karena bunda sedang terlihat sibuk dengan keluarganya.
***
            “Sudah berulangkali aku ke sini. Tak kupikirkan jarak yang cukup jauh antara Palembang ke Bandung. Aku hanya ingin kamu tahu, jika sampai sekarang aku masih mencintaimu. Aku tak bisa melupakanmu, Kinanti. Hingga sampai pada detik ini, penyesalan masih menghantuiku. Penyesalan karena sikapku dulu yang telah menduakan cintamu, Sayang. Kau adalah wanita paling sempurna. Kau adalah kekasih terhebat dan terkuat. Kau adalah mestikaku, namun kini aku telah kehilanganmu.”
            Airmataku jatuh perlahan. Kuusap batu nisan yang bertuliskan nama mestikaku, Kinanti Putri. Kini Kinanti telah pergi jauh meninggalkanku. Beberapa minggu yang lalu, saat Bunda dan keluarganya mengajakku bertemu Kinanti di suatu tempat, aku sangat terpukul ketika tahu ternyata tempat itu adalah pemakaman. Ya, Kinanti telah meninggalkan dunia. Nyawanya terenggut saat mobil Kinanti bertabrakan dengan sebuah truk. Padahal saat itu Kinanti hendak menjemput saudara sepupunya.

            “Kinanti sayang, kini aku mulai terbiasa, menemuimu di sini dan bercakap-cakap sendiri untuk mengobati rasa rindu. Hidupku sekarang memang terasa sepi dan hampa tanpa seseorang seperti dirimu. Namun dari kamulah, aku bisa belajar akan arti sebuah cinta dan kasih sayang. Terima kasih untuk cintamu selama ini, Sayang!”

Popular Posts