SERPIHAN ASA DI SUNGAI
MUSI
Hasan, anak laki-laki berusia
sembilan tahun, sedang termenung di pinggiran Sungai Musi. Matanya menyapu
seluruh permukaan air yang bergelombang karena baru saja dilewati perahu motor
dan ketek. Matanya juga tak luput
pada jembatan tinggi kokoh di atas Sungai Musi. Jembatan Ampera, penghubung
daerah Sebrang Ulu dan Sebrang Ilir, seringkali membuat kagum Hasan karena
kuatnya jembatan itu menahan beban dari ribuan kendaraan yang berlalu lalang di
atasnya.
Hasan baru menyadari jika hari mulai petang karena
langit kebiruan sudah tergantikan langit jingga yang memancarkan kehangatan.
Burung-burung beterbangan sehingga membentuk bayangan di atas permukaan air
Sungai Musi yang sudah tenang kembali. Hasan berdiri lalu dihirupnya napas
dalam-dalam.
“Aku tahu jika ini mustahil, namun
apakah salah jika aku bermimpi yang tinggi?” kata Hasan pelan sambil menengadah
ke atas seakan berbisik pada langit senja.
“Lihat saja, aku akan ke sana walau
ayah dan ibuku miskin!” teriak Hasan namun suaranya dibawa angin yang bertiup
cukup kencang.
“Hasaaan…, baleklah ke rumah!” teriak ibu Hasan dari dalam rumah.
Hasan pun berlarian menuju rumahnya.
Rumah Hasan, sebuah gubuk kecil di dekat pinggiran Sungai Musi. Ibu Hasan
bekerja sebagai tukang urut yang pelanggannya tak banyak. Sedangkan ayah Hasan
bekerja sebagai pembawa ketek yang
mengantarkan penumpang untuk menyeberangi sungai atau mengantarkan penumpang
menuju salah satu tempat pariwisata yang bernama Pulau Kemaro.
Kehidupan mereka bisa dibilang
kurang mampu. Namun kedua orangtua Hasan masih tetap menginginkan Hasan, anak
mereka satu-satunya tetap bersekolah. Kini Hasan duduk di kelas empat SD. Hasan
termasuk anak yang penurut dan cukup pintar sehingga teman-teman dan gurunya
banyak yang menyukai Hasan. Terkadang teman-teman dan guru Hasan memberikan seragam
bekas atau sedikit uang untuk Hasan.
“Mak….
Jembatan Ampera dulu dibangun oleh tenaga ahli Jepang, yo?” tanya Hasan sungguh-sungguh pada ibunya yang tengah menggoreng
tempe.
“Setahu Mak memang wong Jepang
yang membangun jembatan itu, San. Ngapo?”
ujar ibu Hasan yang masih sibuk membolak-balik tempe.
“Di sekolah tadi Hasan membaca buku
di perpustakaan tentang sejarah Palembang dan pembangunan Jembatan Ampera. Lalu
Hasan nanyo Bu Henny, petugas
perpustakaan, tentang Negara Jepang. Bu Henny menunjukkan pada Hasan gambar
Jepang yang berciri khas bunga sakura. Indah nian, Mak! Ditambah lagi jika musim salju, Jepang jadi putih dan
dingin. Hasan ingin ke sana, Mak!”
cerita Hasan dengan wajah lugu dan mata yang berbinar-binar.
Ibu Hasan menatap wajah anaknya
sesaat lalu tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha…! Hasan, Hasan, ado-ado be anak Mak ini. Jepang itu jauuuh nian!
Hasan tidak akan bisa ke sana karena ongkosnya mahal,”
“Kalau Hasan bekerja membantu Bapak di ketek,
terus Hasan dapat uang dan uangnya Hasan tabung. Bisa kan, Mak?”
“Hasan, kalau begitu alangkah
baiknya jika uangnya untuk melanjutkan sekolah Hasan atau untuk membantu
membeli keperluan makan kita,” kata Ibu Hasan menasihati.
Hasan meninggalkan ibunya. “Mak tidak mengerti keinginan Hasan,”
keluhnya dalam hati.
***
“Sudah berapa kali Mak bilang, buku tulis jangan
digambar-gambar! Ini untuk menulis bukan menggambar aneh-aneh cak ini!” marah ibu pada Hasan yang
tertunduk.
“Ngapo
ribut-ribut?” tanya bapak Hasan yang baru pulang.
“Ini si Hasan menggambari buku
tulisnya sampai habis. Cakmano untuk
sekolah besok, uang katek lagi untuk
beli buku tulis,” jawab ibu kesal.
“Hasan, Bapak sudah membelikan Hasan
buku gambar kan? Buku tulisnya jangan lagi digambari, yo!” kata bapak lembut sambil menatap wajah Hasan yang sedih.
“Buku gambarnya sudah lama habis,
Pak. Hasan tidak enak minta uang lagi dengan Bapak dan Mak,”
Bapak tersenyum kecil, “Jika Bapak
punya uang lebih pasti Bapak akan belikan Hasan buku gambar dan krayon yang
baru,” janji bapak pada Hasan.
“Hore! Terima kasih, Pak.” kata
Hasan bahagia lalu memeluk bapaknya. Ibu Hasan hanya mengeleng-gelengkan kepala
melihat Hasan kegirangan seperti itu, lalu ia menuju dapur. Sambil mencuci
piring, airmata ibu Hasan berjatuhan. Ia menyesal karena sudah memarahi Hasan
yang menghabiskan buku tulis untuk menggambar. Sesungguhnya ia marah bukan karena
kelakuan Hasan, tapi ia takut Hasan tidak memiliki buku kosong lagi untuk sekolah.
Ibu Hasan sangat tahu jika putranya itu gemar
menggambar. Gambar yang dilukis oleh Hasan rapi dan bagus. Warna yang ia
sentuhkan pada gambarnya pun amat pas dan berani sehingga indah untuk dipandang.
Sayangnya, di sekolah Hasan pelajaran menggambar tidak ada. Jadi tidak ada yang
tahu jika Hasan pandai menggambar.
***
Sebulan telah berlalu. Di siang yang
terik ketika Hasan baru saja tiba di rumah sepulang sekolah. Rumahnya sepi
karena bapak sedang mencari penumpang dan ibunya pasti mendapatkan pelanggan
yang minta diurut. Senyum ceria jelas terukir di bibir anak berambut sedikit
ikal dan berkulit sawo matang. Tak sabar ia menunggu kepulangan ibu dan
bapaknya untuk mengabari sesuatu yang bahagia.
Tiba-tiba didengarnya langkah kaki
masuk ke dalam rumah.
“Maaak…!
Hasan akan pergi ke Jepang. Hasan akan melihat pohon sakura. Hasan akan naik
pesawat ke Jepang, Mak!” teriak Hasan
pada ibunya yang baru pulang.
Ibu Hasan menatap Hasan dengan wajah
bingung. Hasan mengulurkan map kuning berisi surat-surat. Membaca isi dari
surat-surat tersebut membuat ibu Hasan terduduk lemas di lantai. Airmatanya pun
berjatuhan dan langsung memeluk Hasan. Hasan ikut menangis dalam pelukan
ibunya.
Salah satu gambar Hasan dengan objek
Jembatan Ampera terpilih menjadi pemenang tingkat nasional yang akan
diikutsertakan pada perlombaan lukis di Jepang. Gambar itu dibawa bapak Hasan
ke sekolah satu bulan yang lalu dan ditunjukkan kepada kepala sekolah Hasan.
Kepala sekolah Hasan yang baik itu iseng mengirimkan gambar Hasan ke Jakarta.
Tanpa disangka-sangka ternyata gambar Hasan tepilih menjadi salah satu dari
lima gambar terbaik tingkat Sekolah Dasar seluruh Indonesia.
Impian Hasan ingin menapaki tanah
Jepang dan menikmati keindahan negara tersebut akhirnya terwujud. Siapa sangka,
anak yang masih berusia Sembilan tahun dengan keadaan ekonomi yang kurang, ternyata
mampu terbang ke Jepang lewat gambarnya yang dilukis dengan sepenuh jiwa. Hasan
berdiri di pinggiran Sungai Musi sambil menatap Jembatan Ampera. Ia menunggu
bapaknya pulang dan akan menceritakan tentang berita bahagia ini sekaligus
Hasan ingin mengucapkan terima kasih karena ini semua atas usaha bapaknya juga.
TAMAT
ARTI
KATA-KATA
·
Baleklah
:
Pulanglah
·
Mak :
Ibu
·
Yo :
Ya
·
Wong :
Orang
·
Ngapo :
Kenapa
·
Nanyo :
Tanya
·
Nian :
Sangat
·
Ado-ado
be :
Ada-ada saja
·
Cak :
Seperti
·
Cakmano :
Bagaimana
·
Ketek :
Perahu bermesin khas Palembang
·
Katek :
Tidak ada
No comments:
Post a Comment