LAGU UNTUK MATAHARI

“Ayolah,
Fania! Coba dulu, lama-lama kamu akan terbiasa!” bujuk Anto padaku dengan
setengah memaksa.
Aku menggeleng kuat-kuat. “Aku tak mau! Itu tidak
halal, Anto!” seruku lalu pergi meninggalkannya.
“Ah, sok suci kamu. Anak jalanan seperti kita ini
tidak usah lagi memikirkan halal atau haram!” jerit Anto keras dengan wajah
kesal.
Dengan hati miris, kulangkahkan kaki menyusuri
jalanan beraspal di pinggiran Pasar Cinde. Aku menyesali sikap Anto, temanku
itu. Ya, dia kini menambah penghasilannya yang biasa mengamen menjadi tukang
copet. Entah dari siapa dia belajar, yang pasti aku tak akan mau menjadi
pencopet seperti dirinya. Biarlah aku tetap seperti ini, mengamen di bus kota
dan mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Walau hasilnya terkadang tak
cukup, aku lebih bahagia karena uang yang kudapat merupakan uang halal. Aku tak
akan menambah kehinaan diriku yang sudah menjadi anak jalanan dengan predikat
sebagai tukang copet.
Sesampainya di lampu merah simpang Rumah Sakit
Charitas, langsung kuhampiri sebuah Avanza hitam. Dengan riang kunyanyikan
sebuah lagu kesukaanku.
“…. Di sudut
jalan ini
Di bawah lampu
merah
Bermandi peluh,
membasah tubuh
Demi
sekolahku….”
(Selamat Tinggal Lampu Merah – Fadly)
Ibu setengah
baya di dalam mobil itu memberi selembar uang berwarna coklat. Aku tersenyum
senang dan mengucapkan terima kasih. Lampu telah berganti hijau dan kuseret
langkahku menuju pinggiran jalan dan duduk di bawah pohon besar. Baru beberapa
menit aku bernyanyi tadi, panas matahari sangat terasa menusuk kulitku. Saat
ini Kota Palembang memang sedang musim panas, wajar saja matahari tidak terlalu
bersahabat.
Dua jam sudah aku berjuang di antara debu dan
kebisingan kendaraan. Kini kuputuskan untuk beristirahat, duduk di pinggiran
toko sambil memainkan alat musik sederhana yang kubuat dari beberapa tutup
botol yang direkatkan pada kayu berukuran 25 cm. Tanpa sengaja, dari kejauhan kulihat
Anto sedang menghitung isi dompet yang berada di tangannya. Ah, dia kembali
berhasil melakukan perbuatan jahat itu. Aku pura-pura tak melihat Anto saat ia
menoleh ke arahku.
Beberapa menit kunikmati istirahatku sambil
memandang ke langit nan biru. Matahari memancarkan cahaya teriknya sembari
seolah tersenyum padaku. Ya, satu-satunya teman yang paling setia padaku adalah
sang matahari. Ketika aku mengamen untuk mencari sesuap nasi, hanya matahari
yang masih memberikan perhatiannya untukku. Merasakan panasnya juga senyumannya
membuatku bersemangat. Dan dengan riang, aku pun menendangkan lagu, bernyanyi
untuk matahari.
Baru saja berdendang, seketika tubuhku gemetar dan
jantungku seakan meloncat keluar. Laki-laki gendut dengan kepala botak dan
kumis yang cukup tebal, sedang berjalan di pinggiran toko-toko dan sebentar
lagi melintas ke arah tempat diriku yang sedang duduk melepas lelah. Aku
berlari kencang ke kiri dan bersembunyi di balik pagar yang menurutku aman. Aku
duduk berjongkok dan membenamkan wajahku di kaki. Airmata mengalir membasahi
pipiku dengan tiba-tiba tanpa kuhendaki. Dalam tangis, kembali kuteringat kejadian
buruk yang membawaku menjadi seorang anak jalanan.
***
“Bu, Fania tidak mau berpisah dengan
teman-teman di sini, juga berpisah dengan Ibu!” teriakku dengan airmata
bercucuran.
“Fania akan mendapatkan kehidupan
yang lebih baik daripada di panti ini, jika ikut bersama Bapak itu,” bujuk Bu
Amira padaku sambil menunjuk ke arah laki-laki yang berkumis dan kepalanya
ditutupi sebuah topi yang kebesaran.
Aku menggeleng dan langsung memeluk
Bu Amira. Laki-laki yang ditunjukkan Bu Amira padaku tadi bernama Pak Arman.
Dia hendak mengadopsiku menjadi anaknya. Dengan lembut Pak Arman berkata
padaku, “Tenang saja, Bapak akan membiayai semua kebutuhan Fania. Bapak akan
menyekolahkan Fania di SMP yang terbaik di Palembang,”
Setengah jam kemudian, aku sudah
berdiri di dekat pintu mobil Pak Arman. Teman-teman dan para pengurus panti
memandangku dengan wajah sedih karena sebentar lagi kami akan berpisah. Bu
Amira tersenyum padaku namun tangis sedihnya tak dapat ia sembunyikan. Di Panti
Asuhan Suara Hati ini, aku adalah anak kesayangan Bu Amira. Aku tahu ia sangat
berat melepasku, namun demi kebaikanku dia merelakan diriku untuk diadopsi Pak
Arman.
Mobil melaju dari Kota Kayuagung ke
Kota Palembang dengan cukup cepat. Selama di perjalanan aku tertidur dan saat
terbangun kami sudah sampai. Aku turun dari mobil dengan menggandeng tas biru
berisi sedikit pakaianku. Tadi Pak Arman bilang tak perlu membawa banyak-banyak
pakaian karena ia akan membelikan pakaian baru untukku.
Di hadapanku kini berdiri sebuah rumah
kecil nan kumuh, berdinding kayu dan berlantai semen. Rumah sederhana itu tak
seperti di panti dan sangat jauh dari kesan bersih apalagi indah, Dalam hati
aku bertanya-tanya, kenapa aku malah di bawah ke sini. Kulihat Pak Arman
memberikan beberapa lembar uang pada sopir mobil yang membawa kami tadi.
Setelah menerima uang dari Pak Arman, sopir itu langsung membawa mobil, pergi
entah ke mana.
“Ayo, masuk!” kata Pak Arman padaku
yang hanya terpaku keheranan.
“Iya, Pak.” jawabku sembari menganggukkan
kepala.
Lagi-lagi aku keheranan. Ternyata
ada beberapa anak di dalam rumah ini yang sedang duduk berkeliling membentuk
lingkaran. Mereka masih kecil-kecil dan ada dua orang yang sepertinya seusia
denganku. Aku disuruh duduk di sebelah anak laki-laki berambut ikal dan
berkulit hitam. Rata-rata semua anak di sini memang berkulit hitam dan dekil.
“Perkenalkan teman baru kalian!
Namanya Fania berusia 15 tahun. Ia baru saja tamat SMP dan berencana akan
melanjutkan ke SMA. Lucu sekali, bukan? Hahaha…!” suara Pak Arman yang tertawa
membahana, terdengar bergema di dalam rumah kecil yang amat kotor ini.
Aku tersenyum pada sebelas anak yang
memandangku dengan wajah sedih. Aku kebingungan dengan sikap mereka. Pak Arman
keluar rumah setelah menyuruhku berganti pakaian yang diberikannya. Pakaian
yang bau dan kotor.
“Kamu akan menyesal karena sudah
ditipu lelaki brengsek itu. Ayo, cepatlah berganti pakaian! Kita harus
bekerja!” ujar anak perempuan yang seusia denganku.
Dan di sinilah semua penderitaan
menderaku. Ternyata aku diadopsi bukan untuk dirawat dengan baik. Akan tetapi,
aku dijadikan sebagai budak pencari nafkah untuk Pak Arman. Aku harus mengamen,
mengemis, bahkan bila perlu menjadi seorang pencopet. “Asalkan dapat uang,
semua cara harus dilakukan!” kata Pak Arman dengan keras.
“Jangan hanya menangis! Tak perlu
lagi menyesal karena kamu sudah jauh dari panti. Sekarang cepat cari uang atau
aku tak akan memberimu makan!” Pak Arman berteriak penuh emosi setiap kali aku
hanya berdiri mematung di pinggiran jalan, dekat lampu merah Simpang
Jakabaring.
Setelah dua minggu hidup bersama
teman-teman baruku dan Pak Arman, aku mulai terbiasa walau Pak Arman
berkali-kali memarahiku dengan kata-kata kasarnya. Bahkan Pak Arman beberapa
kali memukul tubuhku hingga meninggalkan bekas luka. Namun aku tetap bersyukur
pada Tuhan yang masih memberikan kesempatan hidup untukku.
Kini, aku bukan lagi anak yang
bersih dan sehat, aku sudah menjadi dekil dan kurus seperti mereka, anak-anak
malang yang nasibnya sama sepertiku saat ini. Ternyata Pak Arman sudah
berkali-kali melakukan penipuan dengan berpura-pura akan menjadi orangtua asuh,
tapi nyatanya malah menjadikan anak yang diadopsinya sebagai budak pencari
nafkah demi kepentingan pribadinya dan kelakuan buruknya. Pak Arman adalah
seorang penjudi, pemabuk dan seorang pencopet yang pernah masuk penjara. Tapi
dirinya tak pernah sadar dari perbuatannya
“Fania, sebenarnya kami sangat
kasihan padamu. Kami selalu berdoa agar tak ada lagi anak malang yang dibawa
Pak Arman ke sini. Tapi ternyata Pak Arman masih saja melakukan perbuatan
jahatnya. Kamu harus berhati-hati pada Pak Arman, jangan sampai mengalami hal
buruk seperti yang terjadi pada kami!” ujar Septi sungguh-sungguh di tengah
malam saat aku belum bisa tidur.
“Memangnya hal buruk apa itu, Sep?”
tanyaku dengan bingung sambil memandang lekat pada wajah Septi.
“Aku tak bisa mengatakannya, Fan.”
jawab Septi yang kemudian mulai memejamkan matanya.
Aku dan teman-temanku selalu tidur
di lantai yang dingin karena tak memiliki alas apa-apa. Sedangkan Pak Arman
sudah terlelap di kamarnya yang memiliki kasur dan selimut. Ah, beginilah
nasibku sekarang. Mau tidak mau, aku harus menjalani sulitnya hidup dalam
kekangan lelaki jahat yang tak memiliki belas kasihan pada anak-anak seperti
kami.
Hari ini, di bawah langit siang
dengan cahaya matahari yang terasa sangat menyengat kulit, aku mendendangkan
lagu yang kupelajari dari Septi. Lagu yang menjadi favoritku itu kunyanyikan
dengan senang hati untuk mencari recehan dari tangan-tangan orang yang kasihan
melihatku.
Jika aku menyanyikan lagu ini di
saat matahari bersinar terik, aku seakan bisa melihat senyuman matahari di atas
langit sana. Di sudut lampu merah adalah tempat keseharianku mengais uang
sedikit demi sedikit. Pekerjaanku hanyalah mengamen, karena menurutku mengamen
adalah satu-satunya pekerjaan terbaik yang ditawarkan Pak Arman padaku daripada
mengemis atau mencopet.
Aku pulang ketika langit sudah
sangat gelap dan kendaraan sudah mulai sedikit berlalu lalang. Jika pulang,
kami belum diperbolehkan tidur oleh Pak Arman sebelum dia pulang ke rumah. Pak
Arman pulang ke rumah di atas pukul satu malam. Jadi kami hanya memiliki waktu
kurang lebih selama empat jam untuk tidur, karena pukul lima pagi kami sudah
harus berada di jalanan untuk bekerja.
Pak Arman masuk dengan mendobrak
pintu dengan sangat keras. Kami yang sedang berguling-guling langsung bangun
karena terkejut. “Hey, kamu ke kamar sekarang!” perintah Pak Arman beringas
sambil menunjuk ke arahku
Segera kuikuti Pak Arman menuju
kamarnya. Tangan Septi sempat menarik tanganku untuk mencegah namun segera
kulepaskan karena takut akan kemarahan Pak Arman jika aku terlambat sedikit
saja menuruti perintahnya.
Aku ditarik dengan kasar dan
direbahkan di atas kasur usang tanpa seprai. Aku kebingungan atas perbuatan Pak
Arman. Kupandangi wajahnya yang hitam dan kotor. Kepalanya yang botak makin
menambah keburukan di wajahnya.
Airmataku jatuh perlahan saat Pak
Arman membuka celananya dengan tergesa dan memdekatiku. Ia menyibakkan rok yang
kupakai.
“Jangan, Pak!” jeritku histeris
sembari berusaha melepaskan diri dari dekapan Pak Arman yang sangat kuat.
“Diam!” perintah Pak Arman. Ia
menciumi tubuhku dengan kesetanan.
Aku menangis dan merintih ketakutan
atas perbuatan bejat Pak Arman. Dengan penuh kesadaran, aku menendang tepat
pada selangkangannya dan berhasil. Pak Arman melepaskanku dan terduduk sambil
merintih karena merasakan sakit akibat tendanganku. Aku segera keluar dari
kamar. Teman-teman memandang iba padaku. Aku mengambil tas yang berisi
pakaianku dan segera melarikan diri dari rumah ini.
***
Kuusap airmata yang terus berjatuhan
dengan derasnya membasahi kedua belah pipiku. Napasku tak teratur karena begitu
takutnya melihat Pak Arman tadi. Aku keluar dari persembunyian dan mengamati
jalanan untuk memastikan laki-laki botak yang tadi kulihat sudah tak ada di
sini. Aku menarik napas lega dan menuju ke tengah jalan untuk mengamen lagi.
Masih jelas terbayang kejadian pahit
yang kualami seminggu yang lalu saat masih di rumah Pak Arman. Aku sangat
berharap tidak akan bertemu lagi dengan lelaki bejat itu. Aku sudah cukup puas
hidup di jalanan sekarang, walau tanpa rumah aku bisa bebas dari kekejaman Pak
Arman.
Namun harapanku sepertinya tak
dikabulkan, karena Pak Arman turun dari bus kota tepat di sampingku yang sedang
bernyanyi. Dia mencengkeram tubuhku dan menusukkan pisau tajam ke bagian
dadaku. Seketika darah mengucur deras dan aku terjatuh ke jalanan. Masih sempat
kulihat Pak Arman melarikan diri karena beberapa orang berteriak ngeri melihat
darah yang keluar dari tubuhku. Setelah itu, aku tak tahu lagi apa yang terjadi
selanjutnya.
Tubuhku terasa ringan dan melayang. Aku mulai sadar
jika aku tak mampu lagi menikmati kehidupan. Nyawaku harus berakhir di sudut
lampu merah ini, di bawah guyuran air hujan yang deras dan dingin. “Matahari, maafkan
aku karena tak bisa lagi menyanyikan sebuah lagu untukmu. Selamat tinggal!”
kataku berbisik di antara napas terakhir.
SELESAI
Sumber Gambar: http://www.retailngrosir.com/
No comments:
Post a Comment