Friday, 23 January 2015

CERPEN KEHILANGAN MESTIKA

KEHILANGAN MESTIKA

            Kutarik napas cukup dalam dan perlahan kuembuskan. Dengan sendu, kutatap sebuah kotak berisi bekal makan siang yang tergeletak di atas meja. Sudah lima belas menit lamanya hanya kupandangi tanpa berniat untuk menikmatinya. Bukan rasanya tak enak bukan pula karena perutku masih kenyang. Sebenarnya saat ini, aku merasa sudah lapar dan ingin memakan bekal itu. Namun egoku lebih besar dan aku memutuskan untuk keluar, mencari makan siang di restoran terdekat.
            “Selamat siang, Pak Rio. Bapak mau ke mana?” tanya Aji, salah satu karyawanku.
            “Mau ke Rumah Makan Pagi Sore. Kalau kamu belum makan, mari bareng saya saja!” ajakku menawarkan.
            “Bapak tidak dikirimi bekal makan siang hari ini?” tanya Aji dengan wajah penasaran.
            Aku menatap Aji tajam. Ia tertunduk seolah menyesali pertanyaannya barusan. Segera kulangkahkan kaki dan Aji menyusul, berjalan di belakangku. “Sudah, biasa saja! Saya hanya bosan makan bekal. Sesekali ingin merasakan makanan di luar,” kataku pada Aji karena dari tadi kulihat dia hanya terdiam.
            Aji tersenyum. “Maaf ya, Pak!” katanya.
            Aku membalas senyum Aji dan kami meneruskan makan siang dengan nikmat.
            HP-ku berbunyi dan kuangkat dengan senang hati ketika tertera nama Sabila di layar. Mendengar suara indahnya saja menumbuhkan semangat, apalagi melihat wajahnya. Ah, aku merindukannya lagi. Padahal tadi pagi sudah bertemu dengannya. Tepat ketika pembicaraanku dengan Sabila berakhir, seorang wanita masuk ke dalam ruanganku. Dia tersenyum dan duduk di hadapanku.
            “Honey, sudah shalat Zuhur?” tanyanya sembari tersenyum manis.
            Aku mengangguk dan pura-pura sedang menulis sesuatu di lembaran kertas.
            “Kenapa bekalnya belum dimakan? Sudah pukul satu siang, loh. Nanti kamu sakit,”
            “Maaf, Honey. Tadi aku makan bersama karyawan di luar. Tidak enak menolak ajakan mereka,” kataku berbohong.
            Dia hanya tersenyum dan memasukkan kotak bekal ke dalam tasnya. “Tidak apa-apa, Honey. Ya, sudah, aku pergi dulu. Selamat meneruskan kerjanya, ya!”
            Setelah ia pergi untuk kembali ke kantornya yang tak jauh dari sini, aku menarik napas lega. Kinanti, kekasihku, hampir setiap hari memasakkan dan mengantarkan bekal makan siangku. Dia, satu-satunya wanita yang menurutku sangat baik, perhatian dan hatinya yang seputih kapas. Empat tahun bersamanya memang menyenangkan dan kami berencana untuk segera menikah paling lambat tiga bulan lagi. Tapi, dua minggu yang lalu semuanya telah berubah. Cintaku pada Kinanti sudah amat berkurang karena kehadiran Sabila, mahasiswi cantik yang menarik hatiku, yang mampu membuat hatiku harus mendua.
            Sesungguhnya aku merasa bersalah, tapi aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri. Tiga hari yang lalu, Sabila telah menjadi kekasihku. Baik Sabila atau Kinanti, belum ada yang tahu tentang ini dan aku berharap ini akan aman sampai aku bisa memutuskan hubunganku dengan Kinanti. Tak mudah jika tiba-tiba harus putus begitu saja. Papi dan mami tentu akan marah denganku. Belum lagi ayah dan bunda Kinanti tentu sangat kecewa padaku. Dan Kinanti? Ah, aku tak tahu apa yang akan ia perbuat padaku jika tahu kekasihnya telah mendua di belakangnya.
            Kira-kira satu bulan yang lalu, saat penerimaan karyawan baru di kantorku. Aku mengamati para pelamar yang memenuhi aula. Aji dan belasan karyawan terlihat sibuk melayani pelamar yang mendaftar. Tentu aku tak membantu mereka karena posisiku sebagai wakil direktur tidak mengurusi hal-hal seperti itu. Papi menempatkanku sebagai wakil karena masih ingin menguji kinerjaku. Jika menurutnya bagus, ia akan memberikan perusahaannya ini padaku. Maka dari itu, dua tahun ini aku benar-benar berusaha menunjukkan kinerja terbaik agar papi percaya padaku.
            “Permisi! Benar di ruangan ini tempat pendaftaran untuk pelamar kerja di perusahaan ini?” tanya seorang gadis padaku.
Aku tertegun sejenak dan menatapnya. Gadis di depanku ini amat cantik dan menarik. Aku pun terpana memandangnya. Dia terlihat bingung dan salah tingkah.
“Maaf, Pak. Anda mendengar pertanyaan adik saya tadi?” Kini pria muda di samping sang gadis yang bertanya. Wajahnya sedikit kesal. Mungkin gara-gara tatapanku pada adiknya barusan.
“Iya, di sini. Siapa yang mau melamar?” jawabku berwibawa sembari membenarkan letak dasiku.
“Kakak saya, Pak!”
Aku tersenyum dan menunjuk ke arah antrian. Kakak si gadis langsung melangkahkan kakinya, bergabung pada antrian sedangkan adiknya kuajak duduk di ruang tunggu. Kami pun mengobrol. Ternyata nama gadis cantik ini Sabila, mahasiswi semester enam di Universitas Bina Darma.
“Oh, jadi Bapak wakil direkturnya. Aduh, maafkan jika saya dan kakak saya tadi kurang sopan dengan Bapak,” ujar Sabila dengan wajah khawatir.
“Tenang saja, jangan khawatir! Biasa, kok. Oh, ya, panggil saya dengan Rio atau Mas saja, kalau bapak itu sepertinya sudah tua. Saya masih berusia 24 tahun, Sabila! Hehe…,” kataku sambil tertawa kecil.
“Hehehe, iya. Sabila panggil Mas saja, deh.” katanya dengan tersenyum sembari menyatukan rambut indahnya ke kiri.
Sabila benar-benar cantik. Tubuhnya tinggi langsing, berkulit putih dan tutur katanya menyenangkan. Ditambah lagi suaranya yang merdu. Ah, bisa-bisa aku jatuh cinta padanya.
Selang seminggu perkenalanku dengan Sabila, kami semakin akrab saja. Meskipun kakaknya tidak diterima bekerja di perusahaanku, Sabila tidak kecewa dan tetap dekat denganku. Gadis yang benar-benar mendekati sempurna. Aku tergila-gila padanya hingga menutupi kesadaranku jika diriku ini sudah memiliki seorang kekasih.
“Mas Rio sudah punya pacar belum? Nanti pacarnya marah jika melihat kita sering pergi berdua,” Sabila berkata sambil menatap mataku lekat. Saat ini kami sedang dinner di Solaria, Palembang Indah Mall.
“Belum, Sabila. Mas sedang mencari pasangan, nih.” kataku tak jujur menjawab pertanyaan Sabila.
“Sabila heran, deh. Kenapa laki-laki seganteng dan sebaik Mas Rio belum ada pacar. Hehehe,” ujar Sabila memujiku. Lalu ia tertawa bercanda sehingga terlihatlah barisan giginya yang rapi dan  putih.
“Sabila mau jadi pacarku?” tanyaku iseng.
Sabila tertegun memandangku. Aku menatap matanya menunjukkan keseriusan.
“Jika Mas bersungguh-sungguh, Sabila mau.”
Aku tercengang tak percaya. Sabila menerimaku. Ah, bahagia sekali rasanya bisa memiliki gadis secantik Sabila. Aku tersenyum riang dan menggenggam jemari Sabila yang halus.
“Mas sungguh-sungguh,” ucapku meyakinkan Sabila.
“Iya, Mas.” Sabila tersenyum manis dan menganggukkan kepalanya.
***
            “Honey, bekalnya sudah satu minggu ini tidak dimakan. Masakanku tidak enak ya?” kata Kinanti sedih sembari menatap kotak bekalnya yang masih penuh.
            “Enak, tapi akhir-akhir ini sering makan di luar dengan rekan-rekan kerja, Honey. Menurutku, lebih baik tidak mengantarkan bekal lagi saja. Takutnya malah merepotkan kamu,” jawabku hati-hati takut menambah kesedihan pada gadis yang sedang tertunduk di hadapanku.
            Beberapa menit kami hanya terdiam di dalam ruang kerjaku yang dingin oleh AC. Kinanti mengangkat wajahnya perlahan. Raut wajahnya menyiratkan ada rasa curiga namun tetap ditahannya.
            “Aku tidak pernah merasa direpotkan, Honey. Tapi, kalau kamu maunya seperti itu, tidak apa-apa. Kapan-kapan, jika kangen dengan masakanku lagi, bilang saja! Nanti akan kubuatkan,” ujar Kinanti dengan senyum lebar. Jemarinya menyentuh tanganku dan menggenggamnya.
            “Siap, Sayangku!” aku mengusap pipi Kinanti yang dingin seraya merasakan genggaman tangannya yang hangat. Genggaman penuh cinta.
            “Halo, Mas! Aduh, kenapa baru dijawab sih telepon Sabila?” seru Sabila terdengar kesal.
            “Maafkan Mas, Sayang. Tadi lagi ada kerjaan,” aku terpaksa berbohong. Tak mungkin jika kukatakan tadi sedang bersama Kinanti, kekasih pertamaku.
            “Oh. Mas, Sabila sedang butuh uang lima juta untuk praktikum. Bisa tidak Sabila pinjam dulu dengan Mas?”
            “Bisa. Nanti setelah Mas pulang kerja, Mas jemput di kampus dan bawa uangnya untuk kamu,”
            “Iya, Mas. Sabila sayang deh sama kamu,”
            Srrr…. Jantungku berdebar mendengar Sabila berkata seperti itu.
            “Mas juga sayang sama Sabila,”
            Setelah menutup HP, aku termenung. Kubenamkan wajah di atas tumpukan buku di meja kerjaku. Wajah Sabila dan Kinanti bergantian menari-nari dalam benakku. Saat ini rasa cintaku untuk Sabila memang lebih besar. Namun, aku bingung bagaimana caranya untuk memberitahu hal yang sebenarnya pada Kinanti. Aku tak mau terus-terusan begini.
Sudah dua minggu aku menjalin hubungan dengan Sabila. Entah, apa yang kuharapkan dari hubungan ini. Sabila tidak sedewasa Kinanti, Sabila juga tak seperhatian Kinanti. Tapi, Sabila lebih menarik hatiku denga sikap manjanya. Sedangkan Kinanti tak pernah bermanja-manja. Malah mungkin aku yang dulu sering manja dengannya. Ah, aku ingin secepatnya memutuskan Kinanti saja. Biarlah kuhadapi resiko ini.
Pada suatu sore, saat baru saja sampai di rumah. Kulihat Kinanti sedang asyik mengobrol dengan mami. Aku mencium pipi dan tangan mami. Lalu tersenyum pada Kinanti.
“Rio, kenapa tidak pulang bareng Kinanti?” tanya mami yang tidak tahu jika sudah hampir satu bulan ini aku tak pernah lagi menjemput Kinanti di kantornya untuk pulang bersama.
“Biasanya Rio masih ada pekerjaan di kantor, Mi. Jadi Kinanti pulang duluan karena Bunda menyuruh Kinanti untuk pulang cepat,” jelas Kinanti pada mami.
Aku menarik napas lega lalu tersenyum, “Rio ganti baju dulu, Mi.”
Selesai mengganti baju, Kinanti mengetuk pintu kamarku.
“Masuk saja!” kataku.
“Eh, kamarnya masih berantakan juga. Perasaan baru dua hari yang lalu aku membereskannya,” seru Kinanti sambil merapikan letak buku-buku di rak.
Aku tertawa saja. “Hahaha, begitulah seorang Rio, Sayang!” ujarku sembari mengangkat pakaian kotor dan memasukkannya di keranjang.
Kinanti ikut tertawa. Aku memperhatikan wajahnya. Kinanti cukup cantik dan dewasa. Pasti bisa menjadi istri yang baik. Namun, saat ini hatiku sedang ditawan oleh wanita lain. Aku tak bisa mengelak akan hal itu.
“Sayang, malam ini mau tidak kalau kita nonton berdua?” tanya Kinanti.
“Bagaimana kalau besok malam saja. Malam ini masih ada yang harus kukerjakan, Sayang.”
“Iya. Tapi benar-benar jadi, ya. Janji?”
Aku mengangguk lalu mencium kening Kinanti. Kinanti tersenyum bahagia.
Saat kurasakan perasaanku memudar pada Kinanti, saat itu pula aku harus berpura-pura tetap mencintai dia seperti dulu. Saat hatiku mulai mendua, saat itu pula aku terus-terusan harus berbohong. Semenjak bersama Sabila, aku sudah tak memikirkan Kinanti sedikit pun. Aku juga tak pernah lagi pergi bersamanya dan seringkali tak menepati janji. Namun, Kinanti tak pernah sekali pun marah atau merajuk. Ia tetap dengan sikap lembutnya, tetap dengan senyum dan perhatiannya. Ya Tuhan, aku merasa sangat bersalah pada Kinanti.
***
            Aku terdiam di depan mobilku sambil menunggu Sabila selesai kuliah. Saat ini aku tengah dirundung rasa bingung dan heran. Sabila mengatakan padaku jika orangtuanya tak pernah memberi uang lagi padanya disebabkan nilai kuliahnya turun drastis. Maka dari itu Sabila meminjam uang padaku. Aku tak mungkin meminta untuk kembalikan uang yang dipinjam kekasih sendiri. Lama kelamaan, Sabila jadi sering minta uang padaku. Aku biasa-biasa saja. Tapi setelah hampir dua bulan terakhir ini, aku menjadi sadar dan menanyakan langsung pada orangtua Sabila. Ternyata semua yang Sabila katakan padaku hanyalah bohong belaka. Aku merasa sangat ditipu dan hanya dimanfaatkan saja oleh Sabila. Aku sungguh menyesal.
“Sayang, akhir-akhir ini kamu boros sekali, loh. Uang yang Mas beri tiap minggunya dikumpulkan untuk kuliah, bukan? Kenapa malah dibuat untuk ke salon dan belanja?” tanyaku heran karena Sabila kembali meminta uang padaku guna keperluan kuliahnya.
            “Ah, Mas. Salon dan belanja juga penting bagi Sabila. Uang yang diberikan papa dan mama tidak cukup!” jawab Sabila cuek sambil memencet tombol HP-nya.
            “Om dan tante pernah bilang ke Mas jika keperluan kuliah Sabila mereka kasih terus ke Sabila. Uang saku juga. Jujur saja! Sabila pakai untuk apa uang yang diberikan papa dan mama juga uang dari Mas?”
            “Mas tidak percaya sama Sabila? Mas lebih percaya sama mama papa? Kita putus saja!” Sabila berkata dengan emosi lalu pergi meninggalkanku sendirian di lapangan parkiran kampus. Aku tak berniat mengejarnya. Atas sikap dan perilakunya itu, rasa cintaku padanya seketika hilang. Baru kusadari, rasa cinta pada Sabila hanyalah rasa cinta sesaat.
            Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba kuterkenang pada Kinanti. Beberapa hari ini ia tak pernah lagi ke rumah. Ia juga tak lagi menghubungiku. Mami sampai heran karena tak lagi berjumpa pada Kinanti. Mungkin Kinanti marah padaku, karena aku kembali melanggar janji untuk nonton berdua bersamanya waktu itu. Maka kuputuskan untuk menemui Kinanti di rumahnya. Ada suatu hal yang mengganjal di hatiku. Aku merasakan ada hal yang tak beres, tapi aku tak tahu apa itu. Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah Kinanti. Rumah yang tak pernah lagi kupijak sejak hati ini mulai terbagi.
            “Kinanti tahu tentang Sabila, Rio. Dia bersedih, dia menangis. Akan tetapi, ia tetap diam saja sampai menunggu kamu sendiri yang akan bercerita. Kinanti tak pernah marah atau membenci kamu, Rio. Dia tetap mencintai kamu seperti dulu. Bunda tahu, ia menderita atas sikapmu. Namun Bunda yakin sekarang ia telah bahagia,” kata Bunda Kinanti bercerita dengan berurai airmata.
“Maafkan Rio, Bunda. Rio memang jahat sekali dengan Kinanti. Tapi Rio tak tahu jika sebenarnya Kinanti telah mengetahui semuanya,” kataku sedih sembari tertunduk menyesal.
            “Semua sudah terjadi, Rio. Jika ingin bertemu dengannya, ikut Bunda saja sekarang. Kinanti beristirahat di Bandung, tempat neneknya,”
            “Rio akan meminta maaf pada Kinanti, Bun. Kami akan kembali merajut kisah kasih seperti dulu. Rio sadar, selama ini hanya Kinanti yang benar-benar tulus mencintai Rio,” ucapku bersungguh-sungguh dan Bunda tersenyum dalam tangisnya.
            Selama di pesawat yang akan membawa kami ke Bandung, Bunda terlihat amat bersedih. Tatapan matanya kosong dan hanya terdiam. Aku pun ikut terdiam karena tak tahu mau bicara apa.
            Sesampainya di rumah nenek Kinanti, sebuah rumah yang asri dan sejuk, aku mencari-cari sosok Kinanti.
            “Di mana Kinanti, Bun?” bisikku pada Bunda.
            “Sebentar lagi kita akan berangkat bersama-sama menemui Kinanti. Tunggu yang lain dulu,” jawab Bunda masih dengan wajah murungnya. Sebenarnya aku masih ingin bertanya lagi. Tapi, kuurungkan karena bunda sedang terlihat sibuk dengan keluarganya.
***
            “Sudah berulangkali aku ke sini. Tak kupikirkan jarak yang cukup jauh antara Palembang ke Bandung. Aku hanya ingin kamu tahu, jika sampai sekarang aku masih mencintaimu. Aku tak bisa melupakanmu, Kinanti. Hingga sampai pada detik ini, penyesalan masih menghantuiku. Penyesalan karena sikapku dulu yang telah menduakan cintamu, Sayang. Kau adalah wanita paling sempurna. Kau adalah kekasih terhebat dan terkuat. Kau adalah mestikaku, namun kini aku telah kehilanganmu.”
            Airmataku jatuh perlahan. Kuusap batu nisan yang bertuliskan nama mestikaku, Kinanti Putri. Kini Kinanti telah pergi jauh meninggalkanku. Beberapa minggu yang lalu, saat Bunda dan keluarganya mengajakku bertemu Kinanti di suatu tempat, aku sangat terpukul ketika tahu ternyata tempat itu adalah pemakaman. Ya, Kinanti telah meninggalkan dunia. Nyawanya terenggut saat mobil Kinanti bertabrakan dengan sebuah truk. Padahal saat itu Kinanti hendak menjemput saudara sepupunya.

            “Kinanti sayang, kini aku mulai terbiasa, menemuimu di sini dan bercakap-cakap sendiri untuk mengobati rasa rindu. Hidupku sekarang memang terasa sepi dan hampa tanpa seseorang seperti dirimu. Namun dari kamulah, aku bisa belajar akan arti sebuah cinta dan kasih sayang. Terima kasih untuk cintamu selama ini, Sayang!”

No comments:

Post a Comment

Popular Posts