KEHILANGAN MESTIKA
Kutarik napas cukup
dalam dan perlahan kuembuskan. Dengan sendu, kutatap sebuah kotak berisi bekal
makan siang yang tergeletak di atas meja. Sudah lima belas menit lamanya hanya
kupandangi tanpa berniat untuk menikmatinya. Bukan rasanya tak enak bukan pula
karena perutku masih kenyang. Sebenarnya saat ini, aku merasa sudah lapar dan
ingin memakan bekal itu. Namun egoku lebih besar dan aku memutuskan untuk
keluar, mencari makan siang di restoran terdekat.
“Selamat siang, Pak Rio. Bapak mau
ke mana?” tanya Aji, salah satu karyawanku.
“Mau ke Rumah Makan Pagi Sore. Kalau
kamu belum makan, mari bareng saya saja!” ajakku menawarkan.
“Bapak tidak dikirimi bekal makan
siang hari ini?” tanya Aji dengan wajah penasaran.
Aku menatap Aji tajam. Ia tertunduk
seolah menyesali pertanyaannya barusan. Segera kulangkahkan kaki dan Aji
menyusul, berjalan di belakangku. “Sudah, biasa saja! Saya hanya bosan makan
bekal. Sesekali ingin merasakan makanan di luar,” kataku pada Aji karena dari
tadi kulihat dia hanya terdiam.
Aji tersenyum. “Maaf ya, Pak!”
katanya.
Aku membalas senyum Aji dan kami
meneruskan makan siang dengan nikmat.
HP-ku berbunyi dan kuangkat dengan
senang hati ketika tertera nama Sabila di layar. Mendengar suara indahnya saja
menumbuhkan semangat, apalagi melihat wajahnya. Ah, aku merindukannya lagi.
Padahal tadi pagi sudah bertemu dengannya. Tepat ketika pembicaraanku dengan
Sabila berakhir, seorang wanita masuk ke dalam ruanganku. Dia tersenyum dan
duduk di hadapanku.
“Honey,
sudah shalat Zuhur?” tanyanya sembari tersenyum manis.
Aku mengangguk dan pura-pura sedang
menulis sesuatu di lembaran kertas.
“Kenapa bekalnya belum dimakan?
Sudah pukul satu siang, loh. Nanti kamu sakit,”
“Maaf, Honey. Tadi aku makan bersama karyawan di luar. Tidak enak menolak
ajakan mereka,” kataku berbohong.
Dia hanya tersenyum dan memasukkan
kotak bekal ke dalam tasnya. “Tidak apa-apa, Honey. Ya, sudah, aku pergi dulu. Selamat meneruskan kerjanya, ya!”
Setelah ia pergi untuk kembali ke
kantornya yang tak jauh dari sini, aku menarik napas lega. Kinanti, kekasihku,
hampir setiap hari memasakkan dan mengantarkan bekal makan siangku. Dia,
satu-satunya wanita yang menurutku sangat baik, perhatian dan hatinya yang
seputih kapas. Empat tahun bersamanya memang menyenangkan dan kami berencana
untuk segera menikah paling lambat tiga bulan lagi. Tapi, dua minggu yang lalu
semuanya telah berubah. Cintaku pada Kinanti sudah amat berkurang karena
kehadiran Sabila, mahasiswi cantik yang menarik hatiku, yang mampu membuat
hatiku harus mendua.
Sesungguhnya aku merasa bersalah,
tapi aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri. Tiga hari yang lalu, Sabila
telah menjadi kekasihku. Baik Sabila atau Kinanti, belum ada yang tahu tentang
ini dan aku berharap ini akan aman sampai aku bisa memutuskan hubunganku dengan
Kinanti. Tak mudah jika tiba-tiba harus putus begitu saja. Papi dan mami tentu
akan marah denganku. Belum lagi ayah dan bunda Kinanti tentu sangat kecewa
padaku. Dan Kinanti? Ah, aku tak tahu apa yang akan ia perbuat padaku jika tahu
kekasihnya telah mendua di belakangnya.
Kira-kira satu bulan yang lalu, saat
penerimaan karyawan baru di kantorku. Aku mengamati para pelamar yang memenuhi
aula. Aji dan belasan karyawan terlihat sibuk melayani pelamar yang mendaftar.
Tentu aku tak membantu mereka karena posisiku sebagai wakil direktur tidak
mengurusi hal-hal seperti itu. Papi menempatkanku sebagai wakil karena masih
ingin menguji kinerjaku. Jika menurutnya bagus, ia akan memberikan
perusahaannya ini padaku. Maka dari itu, dua tahun ini aku benar-benar berusaha
menunjukkan kinerja terbaik agar papi percaya padaku.
“Permisi! Benar di ruangan ini
tempat pendaftaran untuk pelamar kerja di perusahaan ini?” tanya seorang gadis
padaku.
Aku tertegun sejenak dan menatapnya. Gadis di
depanku ini amat cantik dan menarik. Aku pun terpana memandangnya. Dia terlihat
bingung dan salah tingkah.
“Maaf, Pak. Anda mendengar pertanyaan adik saya
tadi?” Kini pria muda di samping sang gadis yang bertanya. Wajahnya sedikit
kesal. Mungkin gara-gara tatapanku pada adiknya barusan.
“Iya, di sini. Siapa yang mau melamar?” jawabku
berwibawa sembari membenarkan letak dasiku.
“Kakak saya, Pak!”
Aku tersenyum dan menunjuk ke arah antrian. Kakak si
gadis langsung melangkahkan kakinya, bergabung pada antrian sedangkan adiknya
kuajak duduk di ruang tunggu. Kami pun mengobrol. Ternyata nama gadis cantik
ini Sabila, mahasiswi semester enam di Universitas Bina Darma.
“Oh, jadi Bapak wakil direkturnya. Aduh, maafkan
jika saya dan kakak saya tadi kurang sopan dengan Bapak,” ujar Sabila dengan
wajah khawatir.
“Tenang saja, jangan khawatir! Biasa, kok. Oh, ya,
panggil saya dengan Rio atau Mas saja, kalau bapak itu sepertinya sudah tua.
Saya masih berusia 24 tahun, Sabila! Hehe…,” kataku sambil tertawa kecil.
“Hehehe, iya. Sabila panggil Mas saja, deh.” katanya
dengan tersenyum sembari menyatukan rambut indahnya ke kiri.
Sabila benar-benar cantik. Tubuhnya tinggi langsing,
berkulit putih dan tutur katanya menyenangkan. Ditambah lagi suaranya yang
merdu. Ah, bisa-bisa aku jatuh cinta padanya.
Selang seminggu perkenalanku dengan Sabila, kami
semakin akrab saja. Meskipun kakaknya tidak diterima bekerja di perusahaanku,
Sabila tidak kecewa dan tetap dekat denganku. Gadis yang benar-benar mendekati
sempurna. Aku tergila-gila padanya hingga menutupi kesadaranku jika diriku ini
sudah memiliki seorang kekasih.
“Mas Rio sudah punya pacar belum? Nanti pacarnya
marah jika melihat kita sering pergi berdua,” Sabila berkata sambil menatap
mataku lekat. Saat ini kami sedang dinner
di Solaria, Palembang Indah Mall.
“Belum, Sabila. Mas sedang mencari pasangan, nih.”
kataku tak jujur menjawab pertanyaan Sabila.
“Sabila heran, deh. Kenapa laki-laki seganteng dan
sebaik Mas Rio belum ada pacar. Hehehe,” ujar Sabila memujiku. Lalu ia tertawa
bercanda sehingga terlihatlah barisan giginya yang rapi dan putih.
“Sabila mau jadi pacarku?” tanyaku iseng.
Sabila tertegun memandangku. Aku menatap matanya
menunjukkan keseriusan.
“Jika Mas bersungguh-sungguh, Sabila mau.”
Aku tercengang tak percaya. Sabila menerimaku. Ah,
bahagia sekali rasanya bisa memiliki gadis secantik Sabila. Aku tersenyum riang
dan menggenggam jemari Sabila yang halus.
“Mas sungguh-sungguh,” ucapku meyakinkan Sabila.
“Iya, Mas.” Sabila tersenyum manis dan menganggukkan
kepalanya.
***
“Honey,
bekalnya sudah satu minggu ini tidak dimakan. Masakanku tidak enak ya?” kata
Kinanti sedih sembari menatap kotak bekalnya yang masih penuh.
“Enak, tapi akhir-akhir ini sering
makan di luar dengan rekan-rekan kerja, Honey.
Menurutku, lebih baik tidak mengantarkan bekal lagi saja. Takutnya malah
merepotkan kamu,” jawabku hati-hati takut menambah kesedihan pada gadis yang
sedang tertunduk di hadapanku.
Beberapa menit kami hanya terdiam di
dalam ruang kerjaku yang dingin oleh AC. Kinanti mengangkat wajahnya perlahan.
Raut wajahnya menyiratkan ada rasa curiga namun tetap ditahannya.
“Aku tidak pernah merasa direpotkan,
Honey. Tapi, kalau kamu maunya
seperti itu, tidak apa-apa. Kapan-kapan, jika kangen dengan masakanku lagi,
bilang saja! Nanti akan kubuatkan,” ujar Kinanti dengan senyum lebar. Jemarinya
menyentuh tanganku dan menggenggamnya.
“Siap, Sayangku!” aku mengusap pipi
Kinanti yang dingin seraya merasakan genggaman tangannya yang hangat. Genggaman
penuh cinta.
“Halo, Mas! Aduh, kenapa baru
dijawab sih telepon Sabila?” seru Sabila terdengar kesal.
“Maafkan Mas, Sayang. Tadi lagi ada
kerjaan,” aku terpaksa berbohong. Tak mungkin jika kukatakan tadi sedang
bersama Kinanti, kekasih pertamaku.
“Oh. Mas, Sabila sedang butuh uang
lima juta untuk praktikum. Bisa tidak Sabila pinjam dulu dengan Mas?”
“Bisa. Nanti setelah Mas pulang
kerja, Mas jemput di kampus dan bawa uangnya untuk kamu,”
“Iya, Mas. Sabila sayang deh sama
kamu,”
Srrr…. Jantungku berdebar mendengar
Sabila berkata seperti itu.
“Mas juga sayang sama Sabila,”
Setelah menutup HP, aku termenung.
Kubenamkan wajah di atas tumpukan buku di meja kerjaku. Wajah Sabila dan
Kinanti bergantian menari-nari dalam benakku. Saat ini rasa cintaku untuk
Sabila memang lebih besar. Namun, aku bingung bagaimana caranya untuk
memberitahu hal yang sebenarnya pada Kinanti. Aku tak mau terus-terusan begini.
Sudah dua minggu aku menjalin hubungan dengan
Sabila. Entah, apa yang kuharapkan dari hubungan ini. Sabila tidak sedewasa
Kinanti, Sabila juga tak seperhatian Kinanti. Tapi, Sabila lebih menarik hatiku
denga sikap manjanya. Sedangkan Kinanti tak pernah bermanja-manja. Malah
mungkin aku yang dulu sering manja dengannya. Ah, aku ingin secepatnya
memutuskan Kinanti saja. Biarlah kuhadapi resiko ini.
Pada suatu sore, saat baru saja sampai di rumah.
Kulihat Kinanti sedang asyik mengobrol dengan mami. Aku mencium pipi dan tangan
mami. Lalu tersenyum pada Kinanti.
“Rio, kenapa tidak pulang bareng Kinanti?” tanya
mami yang tidak tahu jika sudah hampir satu bulan ini aku tak pernah lagi
menjemput Kinanti di kantornya untuk pulang bersama.
“Biasanya Rio masih ada pekerjaan di kantor, Mi.
Jadi Kinanti pulang duluan karena Bunda menyuruh Kinanti untuk pulang cepat,”
jelas Kinanti pada mami.
Aku menarik napas lega lalu tersenyum, “Rio ganti
baju dulu, Mi.”
Selesai mengganti baju, Kinanti mengetuk pintu
kamarku.
“Masuk saja!” kataku.
“Eh, kamarnya masih berantakan juga. Perasaan baru
dua hari yang lalu aku membereskannya,” seru Kinanti sambil merapikan letak buku-buku
di rak.
Aku tertawa saja. “Hahaha, begitulah seorang Rio,
Sayang!” ujarku sembari mengangkat pakaian kotor dan memasukkannya di
keranjang.
Kinanti ikut tertawa. Aku memperhatikan wajahnya.
Kinanti cukup cantik dan dewasa. Pasti bisa menjadi istri yang baik. Namun,
saat ini hatiku sedang ditawan oleh wanita lain. Aku tak bisa mengelak akan hal
itu.
“Sayang, malam ini mau tidak kalau kita nonton
berdua?” tanya Kinanti.
“Bagaimana kalau besok malam saja. Malam ini masih
ada yang harus kukerjakan, Sayang.”
“Iya. Tapi benar-benar jadi, ya. Janji?”
Aku mengangguk lalu mencium kening Kinanti. Kinanti
tersenyum bahagia.
Saat kurasakan perasaanku memudar pada Kinanti, saat
itu pula aku harus berpura-pura tetap mencintai dia seperti dulu. Saat hatiku
mulai mendua, saat itu pula aku terus-terusan harus berbohong. Semenjak bersama
Sabila, aku sudah tak memikirkan Kinanti sedikit pun. Aku juga tak pernah lagi
pergi bersamanya dan seringkali tak menepati janji. Namun, Kinanti tak pernah
sekali pun marah atau merajuk. Ia tetap dengan sikap lembutnya, tetap dengan
senyum dan perhatiannya. Ya Tuhan, aku merasa sangat bersalah pada Kinanti.
***
Aku terdiam di depan mobilku sambil
menunggu Sabila selesai kuliah. Saat ini aku tengah dirundung rasa bingung dan
heran. Sabila mengatakan padaku jika orangtuanya tak pernah memberi uang lagi
padanya disebabkan nilai kuliahnya turun drastis. Maka dari itu Sabila meminjam
uang padaku. Aku tak mungkin meminta untuk kembalikan uang yang dipinjam
kekasih sendiri. Lama kelamaan, Sabila jadi sering minta uang padaku. Aku
biasa-biasa saja. Tapi setelah hampir dua bulan terakhir ini, aku menjadi sadar
dan menanyakan langsung pada orangtua Sabila. Ternyata semua yang Sabila
katakan padaku hanyalah bohong belaka. Aku merasa sangat ditipu dan hanya
dimanfaatkan saja oleh Sabila. Aku sungguh menyesal.
“Sayang, akhir-akhir ini kamu boros sekali, loh.
Uang yang Mas beri tiap minggunya dikumpulkan untuk kuliah, bukan? Kenapa malah
dibuat untuk ke salon dan belanja?” tanyaku heran karena Sabila kembali meminta
uang padaku guna keperluan kuliahnya.
“Ah, Mas. Salon dan belanja juga
penting bagi Sabila. Uang yang diberikan papa dan mama tidak cukup!” jawab
Sabila cuek sambil memencet tombol HP-nya.
“Om dan tante pernah bilang ke Mas
jika keperluan kuliah Sabila mereka kasih terus ke Sabila. Uang saku juga.
Jujur saja! Sabila pakai untuk apa uang yang diberikan papa dan mama juga uang
dari Mas?”
“Mas tidak percaya sama Sabila? Mas
lebih percaya sama mama papa? Kita putus saja!” Sabila berkata dengan emosi
lalu pergi meninggalkanku sendirian di lapangan parkiran kampus. Aku tak
berniat mengejarnya. Atas sikap dan perilakunya itu, rasa cintaku padanya
seketika hilang. Baru kusadari, rasa cinta pada Sabila hanyalah rasa cinta
sesaat.
Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba
kuterkenang pada Kinanti. Beberapa hari ini ia tak pernah lagi ke rumah. Ia
juga tak lagi menghubungiku. Mami sampai heran karena tak lagi berjumpa pada
Kinanti. Mungkin Kinanti marah padaku, karena aku kembali melanggar janji untuk
nonton berdua bersamanya waktu itu. Maka kuputuskan untuk menemui Kinanti di
rumahnya. Ada suatu hal yang mengganjal di hatiku. Aku merasakan ada hal yang
tak beres, tapi aku tak tahu apa itu. Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi
menuju rumah Kinanti. Rumah yang tak pernah lagi kupijak sejak hati ini mulai
terbagi.
“Kinanti tahu tentang Sabila, Rio.
Dia bersedih, dia menangis. Akan tetapi, ia tetap diam saja sampai menunggu
kamu sendiri yang akan bercerita. Kinanti tak pernah marah atau membenci kamu,
Rio. Dia tetap mencintai kamu seperti dulu. Bunda tahu, ia menderita atas
sikapmu. Namun Bunda yakin sekarang ia telah bahagia,” kata Bunda Kinanti
bercerita dengan berurai airmata.
“Maafkan Rio, Bunda. Rio memang jahat sekali dengan
Kinanti. Tapi Rio tak tahu jika sebenarnya Kinanti telah mengetahui semuanya,”
kataku sedih sembari tertunduk menyesal.
“Semua sudah terjadi, Rio. Jika
ingin bertemu dengannya, ikut Bunda saja sekarang. Kinanti beristirahat di
Bandung, tempat neneknya,”
“Rio akan meminta maaf pada Kinanti,
Bun. Kami akan kembali merajut kisah kasih seperti dulu. Rio sadar, selama ini
hanya Kinanti yang benar-benar tulus mencintai Rio,” ucapku bersungguh-sungguh
dan Bunda tersenyum dalam tangisnya.
Selama di pesawat yang akan membawa
kami ke Bandung, Bunda terlihat amat bersedih. Tatapan matanya kosong dan hanya
terdiam. Aku pun ikut terdiam karena tak tahu mau bicara apa.
Sesampainya di rumah nenek Kinanti,
sebuah rumah yang asri dan sejuk, aku mencari-cari sosok Kinanti.
“Di mana Kinanti, Bun?” bisikku pada
Bunda.
“Sebentar lagi kita akan berangkat
bersama-sama menemui Kinanti. Tunggu yang lain dulu,” jawab Bunda masih dengan
wajah murungnya. Sebenarnya aku masih ingin bertanya lagi. Tapi, kuurungkan
karena bunda sedang terlihat sibuk dengan keluarganya.
***
“Sudah berulangkali aku ke sini. Tak
kupikirkan jarak yang cukup jauh antara Palembang ke Bandung. Aku hanya ingin
kamu tahu, jika sampai sekarang aku masih mencintaimu. Aku tak bisa
melupakanmu, Kinanti. Hingga sampai pada detik ini, penyesalan masih
menghantuiku. Penyesalan karena sikapku dulu yang telah menduakan cintamu,
Sayang. Kau adalah wanita paling sempurna. Kau adalah kekasih terhebat dan terkuat.
Kau adalah mestikaku, namun kini aku telah kehilanganmu.”
Airmataku jatuh perlahan. Kuusap
batu nisan yang bertuliskan nama mestikaku, Kinanti Putri. Kini Kinanti telah
pergi jauh meninggalkanku. Beberapa minggu yang lalu, saat Bunda dan
keluarganya mengajakku bertemu Kinanti di suatu tempat, aku sangat terpukul ketika
tahu ternyata tempat itu adalah pemakaman. Ya, Kinanti telah meninggalkan
dunia. Nyawanya terenggut saat mobil Kinanti bertabrakan dengan sebuah truk.
Padahal saat itu Kinanti hendak menjemput saudara sepupunya.
“Kinanti sayang, kini aku mulai
terbiasa, menemuimu di sini dan bercakap-cakap sendiri untuk mengobati rasa
rindu. Hidupku sekarang memang terasa sepi dan hampa tanpa seseorang seperti
dirimu. Namun dari kamulah, aku bisa belajar akan arti sebuah cinta dan kasih
sayang. Terima kasih untuk cintamu selama ini, Sayang!”
No comments:
Post a Comment