HARAPAN ITU MASIH ADA
“Ibu,
Nayla ingin berjualan pempek di tempat lain saja. Supaya kita mendapatkan uang
lebih banyak,” kataku membujuk ibuku yang
sedang menuangkan air ke dalam baskom berisi ikan yang telah digiling halus.
“Nayla di rumah saja! Masak,
membereskan rumah, mencuci. Biarkan Ibu saja yang mencari uang.” Balasnya lembut
sembari menatap wajahku. Ibu tersenyum dan mulai meratakan ikan dengan air lalu
memasukkan sagu sedikit demi sedikit ke dalam baskom.
Aku tersenyum dan beranjak untuk
mendidihkan air guna merebus pempek yang dibuat oleh mak. “Nayla ingin menjual
pempek di Unsri, Bu. Kata Laysa, di kampus Unsri belum banyak yang menjual
pempek.” kataku lagi sembari kembali duduk di hadapan ibuku yang terlihat sibuk
membentuk adonan pempek.
“Apa Nayla tidak malu dilihat
teman-teman kalau Nayla berjualan pempek di Unsri?” tanya Ibu serius padaku.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Ibu pun ikut tersenyum. Wajahnya tampak letih dan sudah ada kerut-kerut yang
seharusnya belum muncul di usianya yang masih 40 tahun. Mungkin beban hidup
yang berat membuat Ibu terlihat lebih
tua dari usianya. Sejak Bapak meninggal dua tahun yang lalu, Ibu sendirian
bersusah payah mencari uang untuk membiayai hidup kami. Awalnya Ibu berjualan
sayur di Pasar 16 Ilir, namun sejak satu bulan yang lalu Ibu memutuskan untuk berjualan pempek saja
di area Benteng Kuto Besak (BKB) karena tak sanggup lagi membayar uang sewa
tempat.
Kehidupan kami sangatlah sederhana,
namun aku masih bersyukur karena sempat menuntaskan pendidikanku di bangku SMA.
Sebenarnya aku sangat ingin menyambung pendidikanku di bangku kuliah. Sejak
kelas dua SMA, Universitas Sriwijaya (Unsri) Inderalaya adalah kampus impianku.
Setelah Bapak meninggalkan kami saat kenaikanku di kelas dua, impian untuk
kuliah hanya menjadi kenangan semata. Walau kata guru di SMA-ku, aku pasti bisa
menembus satu kursi di Unsri dan ada beasiswa bagi yang berprestasi, aku tetap saja
meninggalkan impian itu karena memikirkan ongkos ke kampus dan keperluan
lainnya. Aku tak ingin menambah beban Ibu.
Dua jam kemudian, ibuku sudah siap dengan
bakul pempeknya dan perlengkapan lain. Ia terlihat letih tapi wajahnya
menggambarkan kekokohan dan semangat yang tak pernah padam.
“Nayla, Ibu pergi berjualan dulu.
Doakan hari ini pempek kita laku banyak ya!” pinta Ibu sambil menyunggingkan
senyum.
“Hati-hati di jalan, Bu! Nayla pasti
mendoakan,” kataku ceria seraya mencium tangan Ibuku tersayang.
“Assalamualaikum,”
pamit Ibu. Lalu langkah kakinya
keluar meninggalkan rumah kami yang sederhana.
“Waalaikumsalam,”
balasku yang kemudian mengunci pintu lalu mulai membereskan rumah dan masak
dengan bahan seadanya.
Sudah pukul 10.00, pekerjaan rumah
sudah rampung. Segera kuambil air wudhu untuk menunaikan shalat Dhuha. Ah,
seharusnya tadi aku shalat saja dulu baru kemudian menyelesaikan pekerjaanku,
biar tidak sesiang ini baru menunaikan Dhuha. “Maafkan kekhilafanku, ya Allah.”
kataku dalam hati memohon ampun.
***
Kulirik jam usang yang menempel di dinding kayu rumahku. Sudah pukul 14.00 dan
biasanya setengah jam lagi Ibu akan pulang. Aku menyiapkan makan siang untuknya.
Kasihan sekali dengan ibuku, setiap hari makan siangnya di atas jam dua apalagi
dia harus berjalan kaki melintasi Jembatan Ampera untuk sampai ke BKB,
tempatnya berjualan. Sambil menunggu Ibu pulang, kunyalakan televisi,
satu-satunya barang berharga di rumah kami.
Dari arah jendela, kulihat Laysa
yang baru pulang kuliah. Segera kuberanjak dari dudukku dan mengenakan jilbab, kemudian
keluar rumah untuk menyapa sahabat sekaligus tetangga terbaikku itu.
“Laysa…!” panggilku cukup kuat
karena Laysa sudah lewat dari rumahku.
Laysa menoleh ke belakang dan
tersenyum melihatku. Ia membalikkan langkahnya menghampiriku. “Kenapa, Nay?
Kangen sama aku ya? Haha…!” kata Laysa bercanda lalu ia tertawa.
“Hahaha, tidak tuh! Setiap hari
bertemu sama kamu kok. Kenapa harus kangen,” jawabku yang ikut tertawa. Aku
mengajak Laysa untuk mampir ke rumah sebentar.
“Enak sekali jika setiap hari mendapat
pempek gratis nih!” ujar Laysa sambil mengunyah pempek dengan semangat.
Aku hanya tertawa. “Jadi bagaimana,
Sa? Kira-kira bisa tidak aku berjualan pempek di tempat kuliah kamu?” tanyaku
serius sambil memandangi Laysa yang kepedasan oleh cuka pempek.
“Ssshhh…. Tenang saja! Itu aku yang
urus semua,” Laysa menjawab pertanyaanku lalu tergesa-gesa meneguk air di dalam
gelas hingga tak tersisa.
“Ah, Laysa. Aku sangat berterima
kasih! Kamu memang sahabatku yang paling baik.” kataku bahagia.
“Sama-sama,
Nayla. Biasa saja, ah!13”
ujar Laysa sambil mengerlingkan mata indahnya.
Beberapa menit berlalu dan Laysa
minta izin untuk pulang. Baru saja kami keluar, ibuku sudah pulang dan
tersenyum pada kami. Aku mencium tangan Ibu kemudian disusul oleh Laysa yang
juga mencium tangan Ibu.
“Laysa
pulang dulu, Bu!” pamit Laysa pada
Ibu. Ibu mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah.
“Besok langsung saja bawa pempeknya.
Bareng aku ke Unsri, jam 07.00 tepat, jangan telat!” pesan Laysa padaku. Aku
mengangguk lalu melambaikan tangan pada Laysa yang berlalu pulang.
Aku masuk ke dalam menemui Ibu yang sedang makan. Wajahnya terlihat dirundung kesedihan. Namun saat ia melihatku,
wajah itu dipasang seriang mungkin dan mengembangkan senyuman. Aku membalas
senyum Ibu dan masuk ke kamar, merapikan jilbabku. Sekalian mempersiapkan diri
ke rumah Mang Teguh. Setiap pukul
15.00, aku dan Ibu bekerja mengupas bawang di rumah Mang Teguh untuk menambah penghasilan kami.
Aku terpaku di sisi jendela kamarku,
memperhatikan keramaian daerah sekitar. Rumahku berada di Seberang Ulu,
tepatnya di daerah 10 Ulu. Cukup dekat dengan Jembatan Ampera dan Sungai Musi,
kebanggaan kotaku, Kota Palembang. Airmata jatuh perlahan membasahi pipiku. Ketika
aku dilahirkan hingga berusia 18 tahun sekarang, kami sudah berkali-kali pindah
rumah kontrakan. Hidup pas-pas’an dan aku sama sekali belum pernah merasakan
masa remaja seperti remaja seusiaku lainnya yang bisa jalan-jalan, pergi nonton
di bioskop, atau apapun itu. Bukan aku tidak bahagia dan tidak bersyukur atas
nikmat hidupku, tapi aku hanya mengingat perbedaanku dengan mereka. Mereka yang
hidupnya lebih beruntung dariku.
***
Ada rasa bahagia terselip di hatiku,
menyaksikan kehijauan kampus Unsri Inderalaya. Angin sejuk berembus dan
memainkan ujung jilbab putihku. Gedung-gedung kokoh yang indah dan nyaman, bus-bus
mahasiswa yang terparkir rapi di terminal kampus, mahasiswa dan mahasiswi yang
berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing dan semuanya, semuanya menarik
perhatianku. Inilah kampus impianku. Lebih tepatnya impianku dahulu. Sekarang?
Tidak. Ah, sepertinya masih. Hanya saja aku berusaha untuk melupakannya.
Ternyata Laysa menyuruhku berjualan
di area Fakultas Ekonomi, fakultas tempatnya kuliah. Laysa beruntung sekali
memiliki kesempatan belajar di sini. Aku teringat saat kami berdua tertawa
bahagia sehabis membaca koran di halaman Masjid Agung. Namaku dan Laysa tertera
di pengumuman, kami sama-sama lulus di jurusan Akuntansi. Ya, aku memang sempat
ikut tes SNMPTN (Seleksi Nasonal Masuk Perguruan Tinggi Negeri) untuk
menyenangkan hatiku. Tapi semua mesti dilupakan karena kulihat wajah Ibu bersedih
saat kukabarkan kelulusanku tersebut.
“Nayla, kamu jualan di sini? Jualan
apa?” tanya Daira, teman satu SMA-ku. Ia membuka penutup bakul yang berisi
pempek. Keningnya tiba-tiba berkerut, lalu menatapku tajam, tatapan
merendahkan.
“Oh, pempek buatan ibu kamu pastinya, bukan?” tebak laki-laki
tampan dan kaya itu dengan benar.
Aku hanya mengangguk dan berusaha
untuk tersenyum. “Mau, Daira?” tanyaku basa-basi, aku tahu ia tak akan
membelinya.
“Tidak, ah! Aku takut tidak steril.
Oh, ya, jangan berjualan di sini! Nanti kampus kita jadi bau ikan busuk dari
pempek itu,” hina Daira memandang sinis padaku dan menunjuk ke arah tumpukan
pempek, jualananku.
“Sirik aja jadi orang! Tidak ada
yang melarang Nayla jualan di sini, aku sudah minta izin pihak fakultas kita,
kok!” tiba-tiba Laysa datang membelaku. Aku menarik napas lega karena Daira
langsung pergi begitu saja.
Laysa menepuk bahuku, menenangkanku.
Dia tersenyum dan duduk menemaniku berjualan.
Tepat pukul 15.00, aku sudah sampai
di rumah. Kulihat ibuku sedang tertidur pulas di lantai menghadap televisi yang
masih menyala. Aku mengecup kening ibuku tersayang lalu masuk ke dalam kamar
untuk mengganti pakaian. Hari pertama berjualan di Unsri sudah cukup lumayan.
Aku sangat bersyukur atas rezeki yang diberikan Allah kepada kami, walau sempat
kesal di kampus tadi karena Daira sangat menghinaku. Sejak SMA, ia memang tak
menyukaiku. Ada-ada saja hal yang diperbuatnya untuk menghinaku habis-habisan.
Namun, Laysa selalu membelaku. Daira akan segera diam jika ada Laysa, karena
laki-laki sombong itu menyukai Laysa.
Kulihat Ibu sudah bangun dari
tidurnya. Ia tersenyum melihatku dan bertanya, “Bagaimana, Sayang? Laku
pempeknya di Unsri?”
“Alhamdulillah, Bu. Pempek kita masih bersisa sedikit,” jawabku
sumringah sambil menyerahkan lembaran uang padanya.
Ibu tersenyum bahagia menerima uang dariku. “Ayo kita berangkat sekarang saja ke
rumah Mang Teguh!” ajak ibuku sambil membenarkan letak kerudungnya.
***
Sudah dua minggu ini Ibu sakit.
Sering terdengar ia batuk-batuk walau berusaha untuk dinahannya agar tak
terdengar olehku. Tubuhnya pun semakin kurus dari hari ke hari. Sudah sering
aku menyuruh Ibu untuk ke puskesmas
dan istirahat dulu dari berjualan pempek., namun Ibu selalu menolaknya dengan
alasan hanya demam biasa yang sebentar lagi akan sembuh. Aku sangat
mengkhawatirkan ibuku dan takut terjadi apa-apa karena dua minggu ini belum
sembuh-sembuh juga.
Dan hari ini, Ibu sama sekali tak
bisa duduk apalagi berdiri. Ia hanya tergolek di atas kasur tipis. Aku menjaganya
dan memutuskan untuk tidak berjualan dan mengupas bawang dulu hari ini. Setelah
menyuapi ibuku makan, aku memberikan obat yang kubeli di warung pada Ibu. Ibu
meneguk obat itu perlahan dan memejamkan mata sesaat seperti menahan sakit.
“Nayla, anak Ibu yang Ibu sayangi! Bisa
bukan membuat pempek sendiri besok-besoknya? Uhuuuk…. Tetaplah berjualan pempek
kalau belum mendapatkan pekerjaan. Ibu selalu mendoakan Nayla agar bisa menjadi
orang sukses, bisa kuliah seperti cita-cita Nayla dulu. Mungkin Ibu tidak bisa
lama-lama bersama Nayla. Jika nanti Ibu telah tiada, Nayla tinggal saja bersama
Tante Sari yang di Kertapati itu. Dia pasti bersedia mengajak Nayla tinggal di
rumahnya,” kata Ibu dengan lirih
sambil terbatuk-batuk.
Hatiku berdesir dan cemas mendengar perkataan ibuku.
Aku merasakan ada hal buruk yang akan terjadi. Ingin rasanya aku menangis namun
tetap kutahan agar mak tidak
melihatku bersedih. “Ibu pasti sembuh. Ibu bisa lama-lama bersama Nayla kok,” ujarku berusaha riang. Aku ingin
tersenyum pada Ibu, tapi malah airmata yang bercucuran. Ibuku merentangkan tangannya dan kami
berpelukan.
“Ya, Allah.
Semoga ini bukan hal buruk tentang ibuku. Aku memohon padamu, sembuhkanlaH
ibuku. Aku sangat menyayanginya. Hanya dia yang kumiliki sekarang, ya Allah.
Berikanlah yang terbaik buat dia, aamiin…,” doaku setelah selesai menunaikan
shalat ashar.
Aku melepas mukena dan masuk ke dalam kamar untuk
melihat ibuku Walau sakit, biasanya Ibu
tetap ingin menjalankan shalat dalam posisi berbaringnya, jadi kubawakan air
bersih dan mukena untuknya.
“Ibu, Nayla sudah shalat ashar. Ibu juga mau shalat,
kan?” tanyaku lembut pada Ibuku yang hanya terdiam kaku dan matanya telah
terpejam dalam damai.
***
Satu tahun kemudian.
Aku berdiri di pinggiran Sungai Musi
yang berada tepat di depan BKB. Kupandangi aliran air yang cukup deras dan
ombak yang bermain naik turun karena baru saja dilewati ketek-ketek (perahu bermesin khas Palembang). Sesekali aku
mengamati ibu-ibu yang menjual makanan
dan minuman yang duduk di bebatuan menunggu pembeli. Pikiranku melayang
mengenang ibuku yang sudah satu tahun
meninggalkanku, menghadap Sang Ilahi. Aku mengikhlaskannya karena tak ada
gunanya bila disesali. Semua adalah takdir yang telah ditentukan Allah. Aku pun
yakin, jika sekarang Ibu telah
bertemu Bapak dan berbahagia di surga-Nya.
“Nayla, kita pulang yuk! Besok ada
ujian di kampus, kan? Pulang ini kamu langsung belajar saja, Sayang.” ujar Tante Sari sambil merangkul
bahuku. Kini ia menggantikan ibuku untuk menjagaku. Tante Sari dan suaminya
sudah menganggapku sebagai anak mereka dan membiayai hidupku, termasuk kuliahku
di Unsri.
Aku mengangguk lemah sambil
menghapus bulir bening yang keluar dari pelupuk mataku. “Ibu…. Nayla berjanji,
nanti Nayla akan menjadi orang sukses supaya Ibu dan Bapak bisa bangga punya
anak seperti Nayla. Semoga Ibu dan Bapak bahagia di sana. Suatu saat nanti,
kito bertiga pasti bisa berkumpul lagi. Oh iya, sekarang Nayla sudah bisa
kuliah di Unsri sambil berjualan pempek, Bu. Nayla kangen sama Ibu juga sama
Bapak!” teriakku cukup keras ke arah Sungai Musi di hadapanku. Riaknya kini
kembali tenang setelah ketek-ketek
sudah menjauh. Setenang hatiku sekarang.
Tante Sari menuntunku sambil
menghapus airmataku. Kami menuju ke area parkir. Om Usman, suami Tante Sari
sudah berada di parkiran, menjemput kami dengan mobilnya.
“Ya,
Allah. Ya, Tuhanku. Aku sangat bersyukur atas semua karunia dan nikmat yang
masih Engkau berikan untukku. Engkau telah memberikan dua orang yang amat baik,
sebagai pengganti kedua orangtuaku yang telah tiada. Engkau telah memberikan
kehidupan yang layak untukku. Engkau juga telah mengabulkan impianku untuk menuntut
ilmu di Unsri. Semuanya telah Engkau berikan padaku, semua kenikmatan-Mu.
Semoga dengan semua ini akan membuat diriku semakin beriman dan bertakwa
kepada-Mu, ya Allah. Semoga kelak Engkau izinkan diri ini untuk bertemu kembali
dengan Mak dan Bapakku, aamiin Ya Rabb….”
SELESAI
No comments:
Post a Comment