Dear Suami dunia akhiratku....
Kita
tak saling mengenal awalnya. Bahkan kita tak pernah saling berjumpa sebelumnya.
Tapi, saat aku melihat wajahmu meski hanya sekilas, hatiku seakan berdesir disiram
air yang mengalir ke setiap sudut nan hampa yang kemudian menjadikannya terasa
sejuk seperti tersentuh embun di pagi hari.
Ketika
itu aku mengangguk pelan kemudian menundukkan wajah untuk menyembunyikan rona
merah di pipiku. Kau pun tersenyum lalu memeluk laki-laki setengah baya di
samping kananmu. Di saat yang bersamaan, muslimah di samping kiriku yang dari
awal terus menggenggam jemariku dengan erat, memelukku lalu mencium pipi kanan
dan kiriku bergantian.
Aku
sangat ingat, saat itu pukul dua siang di hari Jumat, sekitar tiga tahun yang
lalu. Aku dan kau dipertemukan oleh murobbi kita masing-masing. Dengan tidak
terlalu banyak bicara, aku dan kau pun setuju untuk menjalin hubungan dan
membina rumah tangga, guna menyempurnakan agama. Namun beberapa hari kemudian
saat kau bersama orangtuamu datang ke rumahku untuk menyampaikan keinginanmu
meng-khitbah-ku, Ayah dan Bunda menjawab dengan kata-kata penolakan.
Seketika wajahmu tertunduk lesu, menyembunyikan kekecewaan mendalam. Aku pun
sama, mulutku kelu dan tak bisa bersuara untuk mempertanyakan alasan orangtuaku
menolakmu.
Selang
satu bulan lamanya, akhirnya kita menikah. Ini cukup membuatku heran, Suamiku.
Apa yang menyebabkan Ayah dan Bunda berubah pikiran, aku tak tahu. Apa mungkin
karena kegigihanmu yang terus berusaha menyatakan kesungguhanmu pada
orangtuaku? Atau karena dinginnya sikapku pada mereka karena kekecewaanku? Aku
benar-benar tak tahu. Namun ada satu hal yang kutahu, ini semua adalah rencana
terindah dari Allah SWT untuk kita berdua.
Imamku...
hari terindah dalam hidupku, telah kurasakan. Saat kucium tanganmu dan kau
mencium kepalaku dengan lembut. Saat kita menjadi sepasang pengantin yang
berbahagia di walimah-an kita yang tidak semewah dalam mimpiku dahulu. Namun
ini saja telah membuatku sangat bahagia, mencintai dan dicintai oleh lelaki
terbaik seperti kau, Suamiku. Akan tetapi, langit tak selamanya berwarna biru
cerah. Terkadang harus digantikan warna kelabu dan tak jarang juga menghitam.
Dan setelah itu akan turun hujan yang membasahi bumi. Sama halnya yang terjadi
pada kehidupan kita, Sayang. Memasuki tiga bulan usia pernikahan kita, tak
sengaja aku mendengar percakapanmu dengan orangtuaku. Kau tahu Suamiku... kala
itu airmataku menggenang di pelupuk mata dan tak terbendung lagi hingga
membasahi seluruh pipi ini.
Astarghfirullah, aku tak
pernah tahu jika kau harus membayar sejumlah uang pada orangtuaku agar bisa
menikahiku. Ya Allah... apa yang telah meracuni pikiran Ayah Bunda sehingga
mereka begitu teganya berbuat seperti itu padamu, lelaki yang benar-benar tulus
menikahiku. Kau memeluk dan menenangkanku yang terduduk sambil menangis. Lalu
dengan lembut kau berkata padaku jika kau benar-benar ikhlas memenuhi
permintaan orangtuaku. Kau juga berkata kalau semua ini kaulakukan karena kasih
sayang dan cintamu yang besar untukku. Kau bertekad untuk berusaha keras
melunasi janji itu, sehingga kau bisa membawaku keluar dari rumah orangtuaku. Hatimu
memang mulia, Suamiku. Aku sangat bersyukur kepada Allah karena Dia telah memberikan
imam terbaik untukku.
Enam bulan usia pernikahan kita,
Allah memberikan rezeki terbesar-Nya dalam rumah tangga kita, Suamiku. Iya,
Allah telah memberikan kepercayaan-Nya padaku untuk mengandung seorang bayi.
Matamu berbinar, memancarkan cahaya kebahagiaan, saat kuceritakan berita
bahagia ini. Lalu kau membelai perutku dan mencium keningku dengan penuh kasih
sayang sambil berkata, “Istriku, jaga bayi kita dengan baik ya....” Aku
mengangguk lalu menyandarkan kepalaku di dadamu.
Suamiku... kebahagiaan memang tak
selamanya dapat kita miliki. Ujian lainnya kembali menyelinap di sela
kebahagiaan kita. Ayah dan Bunda menyuruh kita berpisah untuk sementara waktu
dikarenakan kau belum bisa memenuhi janjimu itu di batas waktu yang telah disepakati
sebelumnya Ya Allah, rasanya aku ingin
menjerit mendengar alasan orangtuaku kenapa bisa mengusirmu dari rumah. Apalagi
saat kulihat kau bersujud untuk meminta izin tetap bersamaku dan memohon
tambahan waktu untuk melunasi uang sebesar 250 Juta Rupiah sesuai permintaan
orangtuaku.
Aku tak habis pikir, bagaimana kau
bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Pekerjaanmu sebagai dosen, tentu tak bisa
menghasilkan uang sebesar itu apalagi hanya dalam waktu satu tahun.
Sesungguhnya aku menyesali kenapa waktu itu kau menyetujui permintaan
orangtuaku, jika itu hanyalah menjadi beban terberat untukmu. Namun lagi-lagi
kau hanya tersenyum tenang. Kau berkata, ”Semuanya akan baik-baik saja. Allah
akan menolong kita, Istriku.” Dan pada hari itu kaupergi meninggalkanku dan
calon bayi kita. Akan tetapi kau berjanji akan datang kembali bulan depan
dengan membawa sejumlah uang seperti yang diminta kedua orangtuaku.
Satu minggu kemudian kaudatang ke
rumah secara diam-diam, Suamiku. Alhamdulillah, saat itu Ayah dan Bunda
sedang tidak berada di rumah. Kau memelukku erat dan berkata jika kau sangat
merindukanku. Sayang... apakah kautahu, jika aku pun sangat merindukanmu. Baru
satu minggu saja berpisah denganmu, aku merasakan hampa yang luar biasa, seolah
separuh jiwaku pergi meninggalkanku. Hanya untaian doa dan lantunan ayat suci
yang setiap malam kupersembahkan untukmu, sebagai pengobat rindu padamu.
”Istriku sayang, aku sudah
mendapatkan jalan untuk memenuhi janji pada Ayah dan Bunda. Dua minggu lagi aku
akan menjemputmu dan kita akan tinggal berdua di sebuah rumah kontrakan.” Aku
menangis bahagia mendengar perkataanmu, Imamku. Semoga kita mampu menghadapi
cobaan ini sampai kebahagiaan benar-benar kembali menghampiri kita. Meski pada
akhirnya kita akan terpisahkan untuk selamanya.
Ya... kita telah berpisah. Kita
memang harus terpisah. Ya Allah, Ya Tuhanku... bayi ini terlahir hanya sempat
merasakan pelukan abi-nya beberapa jam saja. Kau yang kucintai, kau yang
kusayangi, kau yang kuhormati, ternyata tidak sampai dua tahun bersamaku. Setelah
sempat kau menemaniku melahirkan bayi kita dan kau menggendongnya dengan
keharuan, kulihat wajahmu sungguh pucat namun matamu memancarkan sinar yang
sulit kuartikan. Setelah kauletakkan kembali bayi kita ke pangkuanku, tubuhmu
limbung lalu terjatuh.
Kau memang bodoh! Aku ingin marah
padamu! Kenapa bisa kau berpikiran menjual sebelah ginjalmu hanya untuk
mendapatkan uang 250 Juta. Padahal sebenarnya kau tak kuat untuk itu. Hingga
kau mengorbankan dirimu sendiri. Kenapa suamiku? Kenapa?!! Dan ini juga karena
kedua orangtuaku yang memintamu memenuhi keinginan mereka yang begitu berat.
Aku juga sangat marah pada mereka.
Ah, tapi tak ada gunanya juga aku
marah. Tangis pun juga tak bisa mengembalikanmu padaku. Mungkin ini sudah
menjadi takdir dari Allah, takdir terbaik untuk kita, Sayangku. Seharusnya aku
tak berhak marah padamu juga pada Ayah dan Bunda. Aku sungguh menyesal. Aku
meminta maaf yang sebesar-besarnya padamu, Suamiku. Orangtuaku telah meminta
maaf padaku. Mereka telah menyesali kesalahannya. Aku sudah memaafkan mereka,
tentu kau pun akan memaafkan mereka dengan hatimu yang mulia, bukan?
Suamiku...
saat ini buah hati kita sudah berusia dua tahun. Dia lucu, lincah dan tampan
sekali, sepertimu. Ayah dan Bunda juga kedua orangtuamu sangat menyayangi Farhan
kecil. Ya, aku memberinya nama, sama seperti namamu, Muhammad Farhan. Agar aku
selalu mengingat cintamu, sayangmu, rindumu. Pengorbananmu tak akan pernah
kulupakan. Cinta dan kasih sayangmu akan selalu tertanam di lembah terdalam
pada hatiku. Semoga Allah yang Maha Pengasih, memberimu surga-Nya yang
terindah. Aku di sini senantiasa memanjatkan doa agar di akhirat kelak kita
kembali dipertemukan. Aamiin.
Istri yang
selalu menyayangimu,
Fathria Zahrana
No comments:
Post a Comment