Monday, 19 January 2015

SURAT CINTA UNTUKMU DI SURGA

Dear Suami dunia akhiratku....

Kita tak saling mengenal awalnya. Bahkan kita tak pernah saling berjumpa sebelumnya. Tapi, saat aku melihat wajahmu meski hanya sekilas, hatiku seakan berdesir disiram air yang mengalir ke setiap sudut nan hampa yang kemudian menjadikannya terasa sejuk seperti tersentuh embun di pagi hari.

Ketika itu aku mengangguk pelan kemudian menundukkan wajah untuk menyembunyikan rona merah di pipiku. Kau pun tersenyum lalu memeluk laki-laki setengah baya di samping kananmu. Di saat yang bersamaan, muslimah di samping kiriku yang dari awal terus menggenggam jemariku dengan erat, memelukku lalu mencium pipi kanan dan kiriku bergantian.

Aku sangat ingat, saat itu pukul dua siang di hari Jumat, sekitar tiga tahun yang lalu. Aku dan kau dipertemukan oleh murobbi kita masing-masing. Dengan tidak terlalu banyak bicara, aku dan kau pun setuju untuk menjalin hubungan dan membina rumah tangga, guna menyempurnakan agama. Namun beberapa hari kemudian saat kau bersama orangtuamu datang ke rumahku untuk menyampaikan keinginanmu meng-khitbah-ku, Ayah dan Bunda menjawab dengan kata-kata penolakan. Seketika wajahmu tertunduk lesu, menyembunyikan kekecewaan mendalam. Aku pun sama, mulutku kelu dan tak bisa bersuara untuk mempertanyakan alasan orangtuaku menolakmu.

Selang satu bulan lamanya, akhirnya kita menikah. Ini cukup membuatku heran, Suamiku. Apa yang menyebabkan Ayah dan Bunda berubah pikiran, aku tak tahu. Apa mungkin karena kegigihanmu yang terus berusaha menyatakan kesungguhanmu pada orangtuaku? Atau karena dinginnya sikapku pada mereka karena kekecewaanku? Aku benar-benar tak tahu. Namun ada satu hal yang kutahu, ini semua adalah rencana terindah dari Allah SWT untuk kita berdua.

Imamku... hari terindah dalam hidupku, telah kurasakan. Saat kucium tanganmu dan kau mencium kepalaku dengan lembut. Saat kita menjadi sepasang pengantin yang berbahagia di walimah-an kita yang tidak semewah dalam mimpiku dahulu. Namun ini saja telah membuatku sangat bahagia, mencintai dan dicintai oleh lelaki terbaik seperti kau, Suamiku. Akan tetapi, langit tak selamanya berwarna biru cerah. Terkadang harus digantikan warna kelabu dan tak jarang juga menghitam. Dan setelah itu akan turun hujan yang membasahi bumi. Sama halnya yang terjadi pada kehidupan kita, Sayang. Memasuki tiga bulan usia pernikahan kita, tak sengaja aku mendengar percakapanmu dengan orangtuaku. Kau tahu Suamiku... kala itu airmataku menggenang di pelupuk mata dan tak terbendung lagi hingga membasahi seluruh pipi ini.

            Astarghfirullah, aku tak pernah tahu jika kau harus membayar sejumlah uang pada orangtuaku agar bisa menikahiku. Ya Allah... apa yang telah meracuni pikiran Ayah Bunda sehingga mereka begitu teganya berbuat seperti itu padamu, lelaki yang benar-benar tulus menikahiku. Kau memeluk dan menenangkanku yang terduduk sambil menangis. Lalu dengan lembut kau berkata padaku jika kau benar-benar ikhlas memenuhi permintaan orangtuaku. Kau juga berkata kalau semua ini kaulakukan karena kasih sayang dan cintamu yang besar untukku. Kau bertekad untuk berusaha keras melunasi janji itu, sehingga kau bisa membawaku keluar dari rumah orangtuaku. Hatimu memang mulia, Suamiku. Aku sangat bersyukur kepada Allah karena Dia telah memberikan imam terbaik untukku.

            Enam bulan usia pernikahan kita, Allah memberikan rezeki terbesar-Nya dalam rumah tangga kita, Suamiku. Iya, Allah telah memberikan kepercayaan-Nya padaku untuk mengandung seorang bayi. Matamu berbinar, memancarkan cahaya kebahagiaan, saat kuceritakan berita bahagia ini. Lalu kau membelai perutku dan mencium keningku dengan penuh kasih sayang sambil berkata, “Istriku, jaga bayi kita dengan baik ya....” Aku mengangguk lalu menyandarkan kepalaku di dadamu.

            Suamiku... kebahagiaan memang tak selamanya dapat kita miliki. Ujian lainnya kembali menyelinap di sela kebahagiaan kita. Ayah dan Bunda menyuruh kita berpisah untuk sementara waktu dikarenakan kau belum bisa memenuhi janjimu itu di batas waktu yang telah disepakati sebelumnya  Ya Allah, rasanya aku ingin menjerit mendengar alasan orangtuaku kenapa bisa mengusirmu dari rumah. Apalagi saat kulihat kau bersujud untuk meminta izin tetap bersamaku dan memohon tambahan waktu untuk melunasi uang sebesar 250 Juta Rupiah sesuai permintaan orangtuaku.

            Aku tak habis pikir, bagaimana kau bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Pekerjaanmu sebagai dosen, tentu tak bisa menghasilkan uang sebesar itu apalagi hanya dalam waktu satu tahun. Sesungguhnya aku menyesali kenapa waktu itu kau menyetujui permintaan orangtuaku, jika itu hanyalah menjadi beban terberat untukmu. Namun lagi-lagi kau hanya tersenyum tenang. Kau berkata, ”Semuanya akan baik-baik saja. Allah akan menolong kita, Istriku.” Dan pada hari itu kaupergi meninggalkanku dan calon bayi kita. Akan tetapi kau berjanji akan datang kembali bulan depan dengan membawa sejumlah uang seperti yang diminta kedua orangtuaku.

            Satu minggu kemudian kaudatang ke rumah secara diam-diam, Suamiku. Alhamdulillah, saat itu Ayah dan Bunda sedang tidak berada di rumah. Kau memelukku erat dan berkata jika kau sangat merindukanku. Sayang... apakah kautahu, jika aku pun sangat merindukanmu. Baru satu minggu saja berpisah denganmu, aku merasakan hampa yang luar biasa, seolah separuh jiwaku pergi meninggalkanku. Hanya untaian doa dan lantunan ayat suci yang setiap malam kupersembahkan untukmu, sebagai pengobat rindu padamu.

            ”Istriku sayang, aku sudah mendapatkan jalan untuk memenuhi janji pada Ayah dan Bunda. Dua minggu lagi aku akan menjemputmu dan kita akan tinggal berdua di sebuah rumah kontrakan.” Aku menangis bahagia mendengar perkataanmu, Imamku. Semoga kita mampu menghadapi cobaan ini sampai kebahagiaan benar-benar kembali menghampiri kita. Meski pada akhirnya kita akan terpisahkan untuk selamanya.

            Ya... kita telah berpisah. Kita memang harus terpisah. Ya Allah, Ya Tuhanku... bayi ini terlahir hanya sempat merasakan pelukan abi-nya beberapa jam saja. Kau yang kucintai, kau yang kusayangi, kau yang kuhormati, ternyata tidak sampai dua tahun bersamaku. Setelah sempat kau menemaniku melahirkan bayi kita dan kau menggendongnya dengan keharuan, kulihat wajahmu sungguh pucat namun matamu memancarkan sinar yang sulit kuartikan. Setelah kauletakkan kembali bayi kita ke pangkuanku, tubuhmu limbung lalu terjatuh.

            Kau memang bodoh! Aku ingin marah padamu! Kenapa bisa kau berpikiran menjual sebelah ginjalmu hanya untuk mendapatkan uang 250 Juta. Padahal sebenarnya kau tak kuat untuk itu. Hingga kau mengorbankan dirimu sendiri. Kenapa suamiku? Kenapa?!! Dan ini juga karena kedua orangtuaku yang memintamu memenuhi keinginan mereka yang begitu berat. Aku juga sangat marah pada mereka.

            Ah, tapi tak ada gunanya juga aku marah. Tangis pun juga tak bisa mengembalikanmu padaku. Mungkin ini sudah menjadi takdir dari Allah, takdir terbaik untuk kita, Sayangku. Seharusnya aku tak berhak marah padamu juga pada Ayah dan Bunda. Aku sungguh menyesal. Aku meminta maaf yang sebesar-besarnya padamu, Suamiku. Orangtuaku telah meminta maaf padaku. Mereka telah menyesali kesalahannya. Aku sudah memaafkan mereka, tentu kau pun akan memaafkan mereka dengan hatimu yang mulia, bukan?

Suamiku... saat ini buah hati kita sudah berusia dua tahun. Dia lucu, lincah dan tampan sekali, sepertimu. Ayah dan Bunda juga kedua orangtuamu sangat menyayangi Farhan kecil. Ya, aku memberinya nama, sama seperti namamu, Muhammad Farhan. Agar aku selalu mengingat cintamu, sayangmu, rindumu. Pengorbananmu tak akan pernah kulupakan. Cinta dan kasih sayangmu akan selalu tertanam di lembah terdalam pada hatiku. Semoga Allah yang Maha Pengasih, memberimu surga-Nya yang terindah. Aku di sini senantiasa memanjatkan doa agar di akhirat kelak kita kembali dipertemukan. Aamiin.



Istri yang selalu menyayangimu,

                                                                                  Fathria Zahrana

No comments:

Post a Comment

Popular Posts