Sunday, 11 June 2017

KITA BEGITU DEKAT DENGAN KEMATIAN

Belum lama artis Yana Zein meninggal dunia, berita duka kembali hadir atas meninggalnya artis Julia Perez kemarin. Usia di dunia memang tak ada seorang pun yang tahu. Semuanya menjadi sebuah rahasia Allah. Sampai di detik ini, waktu memang milik kita. Namun, detik berikutnya belum tentu kita masih diberikan kesempatan untuk bernapas. Kita sebagai makhluk dengan penuh keterbatasan, hanya mampu mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi sebuah kematian yang telah digariskan untuk semua makhluk hidup di dunia.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.“ (Q.S. Ali Imran:185)

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan”. (Q.S. Al- 'Ankabut: 57)

Lalu persiapan seperti apa yang seharusnya kita lakukan? Takwa dan Islam jawabannya. Seperti pada firman Allah di Surat Ali Imran ayat 102, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”

Beberapa waktu lalu, ada seorang Qori yang meninggal saat ia melantunkan ayat suci. Ada juga seorang pemain sepak bola yang meninggal saat bermain bola. Ada yang meninggal saat ia melakukan kegiatan positif dan ada juga yang meninggal saat tengah melakukan kegiatan negatif. Kita mau pilih yang mana? Semua tergantung diri masing-masing.

Begitu dekatnya kematian dengan diri kita. Maka dari itu, setiap saat kita harus mempersiapkannya. Dengan ketakwaan dan keislaman, in syaa Allah kematian akan menjadi sebuah pertemuan terindah kita dengan Rabb pemilik jiwa dan raga. Aamiin ya Robbal aalamiin.

#FLPPalembang
#30HariFLPMenulis
#MenulisUntukMencerahkan
#Flpoke

Wednesday, 7 June 2017

KASIH SUAMI LAKSANA MATAHARI

Dear Suamiku....
Dari sekian banyak wanita di bumi ini, Allah telah memilihku untuk mendampingimu. Dulu-dua tahun silam, saat pertama kali kita dipaksa menikah oleh orangtua kita, aku merasakan seluruh dunia memusuhiku dan Allah tak menyayangiku. Lalu aku pun memberontak. Bukan memberontak pada orangtuaku atau orangtuamu, tapi pada dirimu. Ya, aku berpura-pura setuju dengan perjodohan kita karena aku tak ingin dianggap anak durhaka. Apalagi perjodohan kita ini juga satu-satunya tanda terima kasih orangtuaku kepada orangtuamu yang telah berjasa pada keluarga kami. Dan setelah kita menikah, kekesalanku atas takdir hidupku ini kulimpahkan semuanya padamu!

Suamiku yang selalu berada dalam kesabaran....
Ingatkah kau, setelah pesta pernikahan yang cukup meriah, kita langsung mengontrak rumah karena aku tak ingin satu atap dengan keluargaku atau pun keluargamu. Bukankah aku ingin membalaskan dendamku padamu. Jika kita satu rumah dengan keluarga kita, tentu aku tak akan leluasa melakukan itu semua.

Mungkin menyakitkan bagimu saat aku tidak pernah memasak untukmu, saat aku tidak mengantarmu ke depan pintu ketika kau akan berangkat ke kantor, juga saat aku hanya bermalas-malasan di rumah sedangkan kau yang melakukan seluruh pekerjaan rumah. Padahal statusku yang sudah sah menjadi istrimu berkewajiban untuk melaksanakan peranku sebagai seorang istri yang seharusnya bertanggung jawab melakukan itu semua.

Sungguh, kau suami terbaik di dunia ini....
Kau tak pernah marah atas semua sikapku. Setiap pulang dari kantor dalam keadaan letih, tetap saja senyum manismu selalu kauhadiahkan untukku. Dulu, aku menganggap senyum itu palsu. Jadi selalu kubalas dengan sikap acuh tak acuhku.

Sampai pada suatu pagi, aku sedikit heran denganmu. Sehabis shalat subuh biasanya kau tak pernah kembali ke tempat tidur. Tapi di pagi itu, kau ikut berbaring di sampingku. Padahal berkali-kali kau mengingatkanku untuk tidak tidur lagi sehabis subuh, kecuali memang ada alasan yang mengharuskannya. Aku sengaja tidak bertanya padamu dan kau juga tidak mengajakku berbicara.

Suamiku yang dulu pernah kubenci....
Ternyata hari itu kau sedang demam. Kau tidak ke kantor. Kau menyuruhku untuk mencarikan seseorang yang bisa menggantikanmu membeli makanan untuk kita, membersihkan rumah kita, mencuci pakaian kita. Kau bilang kau sedang tidak enak badan sehingga tidak bisa melakukan itu semua. Kau suami yang baik ya, kau tidak menyuruhku melakukannya. Padahal aku sadar itu adalah tugasku.

Suamiku....
Di hari ketika kau sedang sakit itu, aku malah meninggalkanmu. Aku pergi bersama teman kuliahku seharian. Aku tidak meminta izinmu. Aku juga lupa mencari seseorang untuk mengurus rumah kita menggantikanmu. Tiga kali aku melihat di layar HP-ku muncul namamu, namun sengaja tidak kuangkat. Aku kan sedang bersenang-senang dengan teman-temanku. Aku tidak mau diganggu!

Selepas magrib, aku baru pulang ke rumah. Aku melihatmu masih di tempat tidur seperti pagi tadi. Kau berkata lirih, "Sayang...kau sudah pulang? Mana orang yang akan mengurus rumah kita, kok gak datang-datang?" Dengan malas aku menjawab, "Aku lupa mancari orangnya, Mas."

Kulihat wajahmu pucat. Pucat sekali. Aku merasa sedikit khawatir. Ternyata kau belum makan apa-apa sejak pagi. Kau sulit berdiri karena merasakan pusing yang hebat jika kaupaksakan untuk berdiri. Ya Allah, mendengar itu aku jadi merasa seperti orang yang jahat sekali. Biarlah kali ini aku sedikit mengalah. Aku akan memasak sedikit untuk makan malammu.

Selesai memasak ala kadarnya, aku kembali ke kamar dengan membawa hasil masakanku. Akan tetapi, kau tidak membuka matamu saat kupanggil. Kau tidak bergerak saat kusentuh tubuhmu. Kau pingsan, Suamiku.

Di rumah sakit, dokter mengatakan kau harus diopname satu sampai dua hari karena kau terserang gejala tifus. Kata dokter, tubuhmu dalam keadaan lemah sehingga penyakit mudah menyerang. Apakah kau makan teratur dan hidup bersih, dokter menanyakan itu padaku. Aku tidak menjawab pertanyaan tersebut melainkan langsung masuk ke dalam untuk melihat keadaanmu. Kenapa perasaanku bisa seperti ini? Aku sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Padahal aku tidak mencintaimu sama sekali. Ah, sudahlah! Mungkin aku hanya terbawa oleh perasaan bersalahku karena meninggalkanmu seharian tadi.

Ketika kau sudah sadar, kau langsung meminta maaf padaku karena telah menyusahkanku. Aku merasakan ada sebuah bahagia menyelinap di hatiku ketika mendengar suaramu. Mungkin ini pertama kalinya aku tersenyum dengan tulus melihatmu. "Aku yang minta maaf sama kamu, Mas."
Kau seperti terheran mendengar ucapanku. "Sayang...kau tidak bersalah," katamu sambil meraih jemariku. Lagi-lagi kau tetap memperlakukanku dengan lembut.
Seketika airmataku keluar dengan sendirinya. Ah, untuk pertama kalinya aku menangis di hadapanmu.

Dear Suamiku....
Kasihmu laksana matahari. Selalu memberi kehangatan tanpa pamrih. Terima kasih atas semua kasih sayangmu selama ini. Terima kasih atas cinta yang kauberikan sepenuhnya untukku. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan berubah. Aku akan menyayangi dan mencintaimu setulus hati. Aku akan menjadi istri yang baik untukmu. Sejak saat ini, esok, dan selamanya.

Palembang, 07 Juni 2017

#FLPPalembang
#MenulisUntukMencerahkan
#30HariFLPMenulis
#Flpoke
_______________________________________

Semoga cerita di atas dapat memberikan pencerahan.

Monday, 5 June 2017

CURHATAN HP DAN AL QUR'AN

Semalam-entah jam berapa, aku terbangun oleh suara bisik-bisik di belakangku. Saat itu aku tidur menghadap sebelah kanan, seperti yang disunnahkan Rasulullah SAW.

“Apabila kamu hendak tidur maka berwudhulah (dengan sempurna) seperti kamu berwudhu untuk sholat, kemudian berbaringlah di atas sisi tubuhmu yang kanan.” (HR. Bukhari)

Sayup-sayup aku mendengar seperti suara dua orang yang sedang berbicara, namun dengan suara yang pelan sekali. Sebenarnya aku hendak segera membalikkan badan ke sebelah kiri, tapi hatiku mengatakan jangan.

Ah, ini suara apa? Aku berusaha mempertajam pendengaranku. Sembari berusaha meraba-raba ke sisi tempat tidurku untuk mencari HP, aku baru teringat kalau HP-ku sedang di-charge. Letaknya di atas meja, di sebelah kiriku. Tak mungkin aku membalikkan badan, jadi niat memainkan HP aku urungkan.

"Aku capek, An. Setiap saat aku dipaksa untuk beroperasi. Disentuh-sentuh, ditekan-tekan, hingga tenagaku habis. Giliran tenagaku habis, aku diomelin. Bahkan ketika ia marah, aku pernah dilempar hingga tubuhku berantakan. Aku gak pernah dibiarkan beristirahat, kecuali ia tertidur seperti saat ini. Rasanya nyawaku tidak lama lagi."

Teman yang dipanggilnya An, hanya diam mendengarkan. Wajahnya terlihat murung.

"Kenapa kamu yang terlihat bersedih, An?"

An menatap temannya sejenak lalu berkata, "Saudaraku pernah bercerita bahwa di masa-masa dulu, ia dan teman-temannya pernah merasakan begitu dekat dengan manusia, seperti kamu. Setiap saat dibawa manusia ke mana-mana, dipeluk, dijaga, dibaca, dipelajari, bahkan manusia-manusia dulu selalu menerapkan apa yang dikatakan saudaraku."

An menghela napas sebentar, lalu ia melanjutkan. "Kamu tau gak manusia saat ini sudah banyak sekali yang melupakanku dan saudaraku. Mereka lebih memilih dekat denganmu. Hanya kamu yang diingat. Hanya kamu yang ditanyakan. Hanya kamu yang dicari."

Al-Qur'an sudah tak mampu membendung airmatanya. Sementara HP memandangnya bingung.

"Setiap malam, sehabis maghrib atau isya aku selalu menunggu di atas meja ini. Aku maklum dari pagi sampai sore mungkin ia tak sempat bersamaku, aku hanya berharap di malam hari ia memiliki waktu bersamaku. Aku juga berharap akan dibawa kepangkuannya, dibacanya meski hanya beberapa menit. Tapi apa, sehabis shalat ia hanya mencari kamu, HP. Sambil tidur-tiduran, ia memegangmu, menyentuhmu, dengan wajah sumringah. Aku iri melihat keakraban kalian. Aku sedih karena sudah terlupakan. Padahal di akhirat nanti, aku bisa menjadi penolongnya, menjadi pembelanya. Apakah ia masih belum menyadarinya?"

"Maafkan aku, An. Aku telah merusak hubunganmu dengan dia. Akan tetapi aku juga tak menginginkan itu. Aku juga sedih melihat keadaan dunia seperti saat ini. Kebanyakan manusia telah salah memilih jalan. Perkembangan zaman telah membutakan sebagian besar kehidupan. Aku kadang berpikir, seandainya aku tidak pernah ada, mungkin keadaan menjadi lebih baik. Kecanggihanku malah berdampak buruk bagi sebagian manusia yang kurang keimanannya. Aku sangat menyesali itu."

Al-Qur'an dan HP saling berpelukan di dalam tangis mereka.

Diam-diam aku yang telah jelas mendengar percakapan mereka, turut berurai airmata. Kuberanikan diri membalikkan badan, namun aku tidak melihat Al Qur'an dan HP sedang bercakap-cakap. Mereka hanya tergeletak diam.

Kudekati mereka, kuusap Al Qur'an-ku dengan rasa penyesalan. Ya Allah, Al Qur'an-ku terasa seperti basah. Apakah ini airmata kesedihannya?

Dan kupegang HP-ku juga, ia terasa begitu panas namun seperti ada uap embun di layarnya. Apa mereka berdua benar-benar menangis?

Palembang, 05 Juni 2017

__________________________________________________

Cerita di atas adalah fiktif belaka. Semoga dapat bermanfaat untuk kita semua. 😊😊😊

#FLPPalembang
#MenulisUntukMencerahkan
#30HariFLPMenulis
#Flpoke

AKU (TAK) INGIN MENULIS, TAPI....


Aku ingin menulis tentang apa saja yang ada dalam pikiranku, yang ada dalam jiwaku, yang ada dalam perasaanku. Ah, tapi aku takut jadi terkenal. Takut diundang oleh presiden. Takut diajak ke sana ke sini. Takut menangis karena "dituduh" plagiat. Takut diajak foto oleh para pejabat. Takut diwawancara wartawan. Takut masuk koran. Takut masuk televisi. Takut "dibela" para fans.

Aku ingin menulis tentang apa saja yang ada dalam pikiranku, yang ada dalam jiwaku, yang ada dalam perasaanku. Ah, tapi aku belum siap menjadi terkenal. Belum siap ketemu presiden yang telah membawa banyak "perubahan". Belum siap diundang ke sana ke sini. Belum siap "dituduh" seorang plagiat. Belum siap diajak foto oleh para pejabat. Belum siap diwawancara. Belum siap masuk koran. Belum siap masuk televisi. Belum siap "dibela" para fans.

Aku ingin menulis tentang apa saja yang ada dalam pikiranku, yang ada dalam jiwaku, yang ada dalam perasaanku. Ah, tapi aku ingin menulis yang tidak menambah kemelut bangsa. Tulisan yang mencerahkan, dan mengajak pada kebaikan. Bukan sebuah tulisan yang memancing permusuhan atau hanya karena sebuah ketenaran.

Maafkan aku yang hingga saat ini belum sama sekali melakukan sebuah pergerakan untuk bangsa ini. Meski itu hanya lewat sebuah tulisan. Mungkin karena sebuah ketertakutan dan kebelumsiapanku, aku hanya mampu menjadi penonton, pembaca, pengamat. Hanya saja, aku berpegang teguh pada agamaku dan aku mengimani keyakinanku. Berbekal itu, aku selalu berdoa, meminta petunjuk dan cahaya kebenaran pada Tuhanku-Allah SWT. Semua itu tak akan lari dari hatiku.

"Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Rabb-mu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. Katakanlah (Muhammad), ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.' " (Q.S. Yunus: 57-58)

Palembang, 04 Juni 2017



#FLPPalembang
#Flpoke
#MenulisUntukMencerahkan
#30HariFLPMenulis



Popular Posts