~BAB 1~
Satu tahun yang lalu.
Namanya Faiz, tapi aku belum hafal nama lengkapnya karena baru dua hari kami bergabung di perusahaan ini dan belum saling berkenalan satu sama lain. Apalagi Faiz termasuk orang yang sedikit bicara. Jika diajak bicara duluan, barulah Faiz akan membalasnya.
Sampai suatu hari, aku mulai mencari tahu tentang Faiz. Ternyata nama lengkapnya adalah Faiz Dhiaurrahman. Tahukah kalian, aku sampai mencari arti namanya itu di google. Aku mulai memasang telinga, membuka mata, dan berusaha peka jika ada sesuatu yang berkaitan dengan Faiz. Semua itu karena kejadian malam ini.
Ada kegiatan buka puasa bersama di kantor. Usai menikmati menu buka puasa, aku bersama Indri menuju mushola untuk menunaikan shalat magrib. Ternyata mushola sudah penuh dan kami pun menunggu di kursi depan pintu mushola. Terdengar suara imam yang melantunkan Al Fatihah dengan merdu. Aku sempat tertegun hingga sang imam menyelesaikan surat pendek.
Aku berbisik pada Indri, “Siapa yang jadi imam ya?” tanyaku penasaran.
Indri menaikkan kedua bahunya dan menggeleng.
Aku beranjak dan pelan-pelan mengintip dari pintu samping yang sedikit terbuka.
“Faiz!” kataku dalam hati.
Hanya karena lantunan ayat-ayat itu. Ya hanya itu! Tapi dampaknya tak pernah kusangka. Aku seakan mengutuk diriku sendiri. Ah, kenapa bisa-bisanya hatiku berlabuh kepadanya secepat ini. Apalagi dengan seseorang yang tak pernah tersenyum, eh maksudnya tak pernah tersenyum padaku. Kalau dengan yang lainnya, Faiz bisa tersenyum bahkan saling menyapa.
***
***
Sebagai sesama pegawai baru, kami memang masih harus beradaptasi. Baik itu dengan lingkungan kantor, atasan, dan terpenting lagi dengan rekan kerja lainnya. Sedikit banyak aku mulai bisa berteman dengan mereka. Namun itu tadi, aku belum pernah sekali pun bertegur sapa dengan Faiz. Padahal ini sudah memasuki bulan ke empat dan meja kerja kami bersebelahan. Lucu bukan?
Terkadang aku iri saat Indri ditelepon Faiz untuk menanyakan sebuah berkas. Aku juga kesal saat makan siang di kantin, Faiz hanya menegur Alisha. Ah, rasanya tak adil! Tapi aku bisa apa, sementara aku belum ada nyali untuk menyapa Faiz duluan. Bahkan sekadar untuk meminjam pulpennya kemarin, mulutku rasanya terkunci. Aku ini kenapa sih?
Mungkin di suatu kesempatan nanti, saat aku dan Faiz bergabung menjadi satu tim, di saat itulah aku dan Faiz akan saling bicara. Mungkin.
WIN 8 KALI BERUNTUN TANPA PERSYARATAN YANG RUMIT HANYA BERSAMA KAMIhttp://www.murnioktarina.com/logout?d=https://www.blogger.com/logout-redirect.g?blogID%3D1173471365526929880%26postID%3D5552854946253029046 DISINI
ReplyDelete