Saturday, 7 September 2019

ANANTA - BAB 5




~BAB 5~

Demi apa coba, pagi ini aku menyemprotkan parfum lebih dari tiga semprotan. Belum lagi sudah tiga warna lipstik yang kucoba, kemudian kuhapus, dan kucoba lagi. Jilbab, ya jilbabku. Apakah masih ada yang kusut? Kulirik jam tangan dan aku tersentak. Sekarang sudah pukul 7 pagi. Aduh, aku belum memesan ojek. Kaos kakiku di mana? Eh tadi aku sudah sarapan belum ya?

Aku tiba di kantor dan duduk manis di kursi saat jarum jam dinding menunjukkan pukul 7 lewat 25 menit. Kutarik napas cukup dalam, lalu berbisik kecil mengucap syukur karena aku datang tepat waktu.

“Seluruhnya diminta kumpul di ruang rapat!” teriak Pak Antoni dari luar pintu.

Deg!

Pemandangan di hadapanku hampir saja membuat jantungku lepas dari tempatnya. Aduh! Perasaan macam apa ini?

Aku pindah tempat duduk agar tidak menatap langsung ke arah Faiz yang kuakui kalau penampilannya saat ini beda dengan penampilannya dulu. Sekarang terlihat lebih rapi dan ehm ... menawan.

“Jadi seperti itulah tugas yang akan kita kerjakan bersama. Dikarenakan ini proyek yang cukup besar, jadi sangat diharapkan kita semua bisa berhasil.”

“Untuk mendukung keberhasilan proyek ini, saya sengaja mendatangkan Bapak Faiz untuk membantu kita.”

Hampir semua orang di ruangan ini bertepuk tangan, kecuali aku. Bukan tak mau, tapi aku tadi sempat melamun dan tidak mendengarkan kata-kata Pak Rendra. Ah, untung saja Pak Rendra, pimpinan tertinggi di kantorku ini tidak memperhatikanku yang sejak tadi tidak konsentrasi menyimak kata-katanya.

“Bagaimana Pak Faiz, apa ada yang ingin ditambahkan?”

Faiz berdiri lalu menundukkan kepala ke arah Pak Rendra sebagai tanda hormat.

“Boleh jika saya sendiri yang memilih anggota untuk melaksanakan tugas ini, Pak?”

“Tentu boleh. Silakan Pak Faiz sebutkan saja nama-namanya,”

Faiz mengangguk. Matanya menyapu satu per satu di antara peserta rapat pagi ini.

Indri menyenggol pergelangan tanganku lalu berbisik, “Sstt! Ra, sepertinya Alisha yang akan dipilih Faiz,”

Aku tak mengacuhkan perkataan Indri sampai kudengar Faiz menyebutkan nama Alisha.

“Satu lagi, siapa?” tanya Pak Antoni pada Faiz.

“Dia saja, Pak!” Faiz menunjuk ke arahku yang sempat kaku. “Maira!”

Rasanya aku ingin berlonjak girang.

Faiz menyebut namaku. Dia tahu namaku!

Jantungku kok berdebar-debar? Aduh, jangan sampai kedengaran oleh Indri yang duduk sangat denganku saat ini.

***

Kedua jempol tanganku menekan tombol huruf handphone-ku. Setelah beberapa kalimat tertulis, kubaca ulang. Lalu kuhapus dan aku mencoba menyusun kalimat baru lagi. Ah, tapi rasanya masih kurang. Harusnya seperti ini, tapi terlalu bertele-tele. Kemudian kalimat cukup panjang yang sudah hampir sepuluh menit kurangkai itu, pada akhirnya kuhapus lagi.

Aduh, kalau begini kapan aku bisa mengirimkan pesan ke Faiz. Padahal ini kesempatan bagus untuk memulai percakapan dengannya meski hanya lewat pesan WhatsApp (WA). Sebagai anggota tim, aku berhak untuk bertanya padanya, bukan? Kucoba menulis lagi, lalu mengucap basmallah dan klik, akhirnya terkirim.

Kuletakkan handphone di bawah bantal dengan tangan masih gemetar. Kupejamkan mata beberapa detik. Kutarik pelan handphone-ku dan kubuka sebelah mataku untuk mengintip status pesanku. Sudah centang dua, tapi belum berwarna biru.

Kenudian kumasukkan lagi handphone ke bawah bantal. Kali ini aku harus ke toilet dulu.

Saat kembali ke kamar, kudengar suara handphone-ku berbunyi. Ah, itu 'kan pesan WA. Dengan cepat kuambil handphone dan mengecek WA.

Hore, dibalas!

Aku tersenyum setelah kubaca balasan Faiz yang cukup panjang. Ya meski dia hanya menjelaskan tentang pertanyaanku terkait proyek yang akan kami kerjakan, tapi entah kenapa hatiku sudah sangat gembira. 

ANANTA - BAB 4




~BAB 4~


“Ra, minta penjepit kertas dong!”

Aku membuka laci dan mencari kotak kecil berisi kertas. Setelah menemukannya, kuulurkan ke Indri.

Tanpa sengaja aku menemukan lipatan selembar kertas di dalam laci. Aku tertegun melihat isi kertas itu. Ah, kenapa surat perintah tugas yang berisi namaku dan Faiz ini masih ada di sini! Faiz Dhiaurrahman, nama yang beberapa kali sempat kurapalkan dalam doa setelah shalat, kini wajahnya kembali terlintas dalam bayanganku.

“Tahukah kamu, sekeras apapun aku bertahan untuk tak memikirkanmu, nyatanya aku tak pernah berhasil.” Aku berkata lirih sembari memandangi nama Faiz. Ya, hanya surat perintah tugas ini yang menjadi satu-satunya kenangan. Kenangan yang seharusnya bisa menjadi manis, andaikan saja Faiz diberi waktu beberapa hari untuk menuntaskan tugasnya bersamaku. Eh, bukan. Maksudku bersama aku dan yang lain.

“Semuanya, ayo kumpul di ruang rapat!” teriak Anjani, sekretaris Pak Antoni.

Dan Tuhan memiliki skenario-Nya sendiri. Sebuah rasa bernama kecewa yang dulu kurasa dan aku berharap dapat menepiskan perasaanku sendiri, kini seolah menjadi terik sesaat yang kemudian menjelma tunai hujan yang menjadi penyejuknya.

Seusai mengikuti rapat, jantungku terus-terusan berdetak lebih cepat. Entah aku harus bahagia atau ini akan membuatku makin sulit menghilangkan Faiz dari sudut hatiku yang paling dalam. Ya, lagi-lagi Faiz. Karena Faiz akan kembali ke kantor ini untuk beberapa waktu. Jadi seharusnya aku berbahagia, 'kan?!

Keluar dari ruang rapat, aku mendengar bisik-bisik tetangga. Mereka membicarakan Faiz. Mereka terlihat gembira dan bersemangat mendapat kabar bahwa Faiz akan bertugas di sini.

“Kira-kira Faiz berubah tidak ya? Apakah masih pendiam seperti dulu?” tanya Mbak Dhea kepada Vanya yang duduk di sebelahku.

“Kurang tau, ah. Pastinya kalau dilihat di akun instagramnya itu, Faiz nampak makin gagah, Mbak.” 

“Bener banget, aku lihat foto-fotonya itu Faiz makin menawan.”

“Eits tunggu! Mbak suka sama Faiz?”

“Kalau iya kenapa? Ada yang salah?”

“Usia Mbak dan Faiz 'kan jauh!”

Aku berdiri lalu erjalan dengan cepat kembali ke ruangan. Aku malas mendengarkan percakapan-percakapan mereka tentang Faiz seperti ini.

Sebelum aku mendorong pintu, kudengar lagi percakapan yang membawa nama Faiz. Dua wanita cantik ini adalah pegawai bagian personalia lantai 1, kenapa masih nongkrong di sini sih?

“Aku jadi bersemangat kalau ada Faiz,”

“Lo suka sama dia? Eh, jangan dong! Gue 'kan udah suka duluan.”

Rasanya aku ingin berteriak stop pada wanita-wanita yang membicarakan Faiz. Tapi mana berani aku seperti itu. Kudorong pintu sekuat tenaga dan aku masuk dengan lega.

Kelegaanku ternyata tidak lama. Saat Indri kembali, dia mengajakku berbicara tentang Faiz.

“Udah tau belum gosip tentang Faiz, Ra?” tanya Indri padaku. Dia mendorong kursinya dan duduk mendekatiku.

“Faiz akan bertugas di sini selama dua mingguan?” jawabku balik bertanya.

“Kalau itu bukan gosip, Maira Sayang!” jawab Indri gemas.

“Lalu?”

“Kabar yang beredar mengatakan kalau Faiz lagi dekat dengan Alisha. Itu gosipnya,”
Aku mengerutkan kening. “Maksudnya lagi dekat?”

 “Kemarin Alisha pergi berdua dengan Faiz. Lo tau gak, Faiz udah sampai di Palembang kemarin sore. Dan Alisha yang jemput Faiz di bandara, terus mereka berdua jalan deh,”

Aku hanya bisa mengerutkan kening mendengar penjelasan Indri.

“Gak usah heran gitu, Ra! Siapa tau mereka jodoh.”

Rasanya aku ingin mengatakan pada Indri kalau Faiz bisa juga berjodoh denganku. Ah, ngomong apa aku ini!

ANANTA - BAB 3




~BAB 3~


Tepat di awal September, aku semringah membaca namaku berada di bawah nama Faiz. Hore! Akhirnya aku berada di tim yang sama dengan lelaki yang berhasil mengetuk hatiku hanya lewat suaranya yang melantunkan Al Fatihah. Seperti lagu milik Vina Panduwinata yang berjudul September Ceria, ternyata septemberku memang ceria. Terima kasih, Tuhan.

“Hei, Lo keliatan lagi bahagia banget. Kenapa sih?”

Indri menatapku heran. Aku hanya tertawa.

“Tuh kan, elo kenapa, Ra? Kesambet jin? Perasaan sobat gue satu ini termasuk wanita yang taat ibadah, gak mungkin dong bisa kerasukan,”

“Ngomong apa sih, In? Aku biasa aja kok. Gak kenapa-kenapa,” balasku sambil senyum-senyum.

Kutinggalkan Indri yang terheran melihatku. Indri mengejarku sembari memanggil namaku dengan kesal.

Sore harinya, tiba-tiba hatiku diselimuti mendung atas berita yang kudengar dari Edho. Setelah aku bertanya ke teman-teman lainnya, mereka semua mengiyakan pernyataan Edho. Ternyata septemberku urung menjadi September Ceria.

Faiz dipromosikan oleh Pak Antoni untuk pindah ke kantor pusat di luar kota Palembang. Faiz akan pindah tiga hari lagi. Harusnya Faiz pindah setelah menyelesaikan tugas saja, biar harapanku bisa terwujud untuk yang pertama kalinya sekaligus menjadi yang terakhir.

Tapi kenyataan memang tidak sesuai harapan. Faiz dikeluarkan dari tim dan digantikan Edho. Pak Antoni memintaku untuk menjadi ketua tim menggantikan Faiz. Ini tugas pertamaku menjadi ketua tim. Seharusnya aku bersemangat tapi aku tetap tak bisa memendam kekecewaan dan kesedihanku. Kekecewaan karena tidak jadi bekerja sama dengan Faiz dan sedih karena sebentar lagi akan berpisah dengan lelaki yang secara tak langsung telah menjadi penyemangatku.

***

Kukira melupakan akan menjadi sederhana jika sudah tak lagi berjumpa. Tapi nyatanya aku salah.

Sekarang sudah memasuki penghujung tahun. Kurang lebih sudah tiga bulan Faiz meninggalkan kantor ini. Hari-hariku terasa sepi. Sudah tak ada lagi seseorang yang kutunggu usai dia melaksanakan dhuhanya.

Meja di sebelah kananku sudah diisi oleh Indri. Aku senang sih ada Indri di dekatku seperti saat ini. Jika kami mulai jenuh bekerja,  kami berdua akan mengisinya dengan candaan dan cerita lucu. Apalagi jika teman lainnya sudah ikut bergabung, ruangan ini akan ramai dipenuhi suara tawa kami semua.

Tapi aku rindu suasana seperti saat Faiz masih di sini. Aku tak masalah Faiz tidak mengajakku berbicara. Aku tak masalah Faiz tidak mau satu tim denganku. Asalkan Faiz tetap ada di sini. Duduk di meja sebelah kananku. Aku cukup meliriknya sesaat, menikmati wajah seriusnya menatap layar laptop di hadapannya.

Faiz, lelaki yang tidak banyak bicara itu memang lelaki cerdas. Hanya dia pegawai baru yang telah dipercaya menjadi ketua tim. Kalau aku kemarin hanya menggantikan Faiz menjadi ketua tim karena Faiz pindah kantor, jadi bukan dari awal diminta untuk menjadi ketua tim. Selain cerdas, Faiz memiliki kepribadian yang tenang dan sopan, juga dilengkapi dengan fisik yang menarik lawan jenis. Jadi wajar saja dia disukai banyak orang.

Lalu aku? Aku wanita biasa. Apalagi aku termasuk seseorang yang bisa dikatakan agak sulit berteman dengan orang baru, karena sungkan untuk menegur orang lain duluan. Kalau berbicara denganku, kemungkinan lawan bicaramu akan bosan. Sebab aku akan membalasnya dengan jawaban pendek saja dan tidak berniat untuk balik bertanya atau sekadar merespon dengan kalimat yang agak panjang. Ah, aku memang payah.

ANANTA - BAB 2



~BAB 2~


“Ra, Pak Antoni minta lo ke ruangannya sekarang.” ujar Edho kepadaku.

Jemariku berhenti menekan tombol laptopku. “Eh kenapa ya?”

“Tadi gue dengar ada tugas baru. Siap-siap aja, bisa jadi lo terpilih masuk dalam tim.”
“Oke. Makasih, Dho.”

Edho mengangguk dan membawa langkahnya keluar ruangan. Aku segera beranjak menuju ruangan atasanku.

 “Tugas kali ini hanya dikerjakan oleh dua tim yang sengaja saya pilih. Saya menganggap nama-nama ini adalah orang-orang terbaik yang saya harap dapat menyelesaikan tugas ini tepat waktu.”

“Siap, Pak.” Aku menanggapi kata-kata Pak Antoni dengan semangat.

Pak Antoni tersenyum lalu ia melanjutkan ucapannya, “Awalnya saya memasukkan namamu di Tim 1 yang diketuai Faiz. Tapi tadi Faiz meminta namamu diganti dengan Alisha. Kamu tidak ada masalah dengan Faiz?”

Kulihat wajah atasanku itu seperti tengah penasaran.

Aku menggeleng. “Tidak ada, Pak.”

“Baiklah. Tolong berikan surat tugas Tim 1 ke Faiz. Untuk surat tugas Tim 2, simpan saja dulu karena Rusdi hari ini izin ke saya tidak masuk kerja.”

Beberapa saat kemudian aku keluar dari ruangan Pak Antoni dengan  tak bersemangat. Saat sampai di meja kerjaku, kuamati dua lembar kertas berisi surat perintah tugas yang kupegang saat ini. Sebenarnya aku bersyukur bisa terpilih, tapi lagi-lagi harapan untuk bisa satu tim dengan Faiz masih tetap menjadi harapan. Tuhan, kenapa Engkau belum memberikan kesempatan yang telah lama kunanti?

Dan tadi, kenapa Faiz meminta namaku diganti? Hatiku terasa pedih setelah tahu kenyataan ini. Ternyata bukan hanya tak mau menegurku, tapi Faiz juga tidak bersedia satu tim denganku. Kuambil tisu dengan cepat karena kurasakan ujung mataku mulai panas dan berair.

Meja sebelah kananku masih kosong. Faiz belum kembali. Biasanya tak selama ini dia mengerjakan shalat dhuha. Apa aku letakkan saja surat perintah tugas ini di mejanya ya? Aku menimbang-nimbang, bingung karena aku harus berkata seperti apa saat memberikan surat ini dengannya.

Akhirnya memang kuletakkan saja surat berisi nama Faiz, Alisha, dan tiga nama lainnya tersebut. Aku mau ke ruangan sebelah untuk menemui Indri karena ada hal yang ingin kudiskusikan dengan rekan kerja yang paling dekat denganku itu.

ANANTA - BAB 1



~BAB 1~


Satu tahun yang lalu.

Namanya Faiz, tapi aku belum hafal nama lengkapnya karena baru dua hari kami bergabung di perusahaan ini dan belum saling berkenalan satu sama lain. Apalagi Faiz termasuk orang yang sedikit bicara. Jika diajak bicara duluan, barulah Faiz akan membalasnya.

Sampai suatu hari, aku mulai mencari tahu tentang Faiz. Ternyata nama lengkapnya adalah Faiz Dhiaurrahman. Tahukah kalian, aku sampai mencari arti namanya itu di google. Aku mulai memasang telinga, membuka mata, dan berusaha peka jika ada sesuatu yang berkaitan dengan Faiz. Semua itu karena kejadian malam ini.

Ada kegiatan buka puasa bersama di kantor. Usai menikmati menu buka puasa, aku bersama Indri menuju mushola untuk menunaikan shalat magrib. Ternyata mushola sudah penuh dan kami pun menunggu di kursi depan pintu mushola. Terdengar suara imam yang melantunkan Al Fatihah dengan merdu. Aku sempat tertegun hingga sang imam menyelesaikan surat pendek.

Aku berbisik pada Indri, “Siapa yang jadi imam ya?” tanyaku penasaran.

Indri menaikkan kedua bahunya dan menggeleng.

Aku beranjak dan pelan-pelan mengintip dari pintu samping yang sedikit terbuka.

“Faiz!” kataku dalam hati.

Hanya karena lantunan ayat-ayat itu. Ya hanya itu! Tapi dampaknya tak pernah kusangka. Aku seakan mengutuk diriku sendiri. Ah, kenapa bisa-bisanya hatiku berlabuh kepadanya secepat ini. Apalagi dengan seseorang yang tak pernah tersenyum, eh maksudnya tak pernah tersenyum padaku. Kalau dengan yang lainnya, Faiz bisa tersenyum bahkan saling menyapa.

***

Sebagai sesama pegawai baru, kami memang masih harus beradaptasi. Baik itu dengan lingkungan kantor, atasan, dan terpenting lagi dengan rekan kerja lainnya. Sedikit banyak aku mulai bisa berteman dengan mereka. Namun itu tadi, aku belum pernah sekali pun bertegur sapa dengan Faiz. Padahal ini sudah memasuki bulan ke empat dan meja kerja kami bersebelahan. Lucu bukan?

Terkadang aku iri saat Indri ditelepon Faiz untuk menanyakan sebuah berkas. Aku juga kesal saat makan siang di kantin, Faiz hanya menegur Alisha. Ah, rasanya tak adil! Tapi aku bisa apa, sementara aku belum ada nyali untuk menyapa Faiz duluan. Bahkan sekadar untuk meminjam pulpennya kemarin, mulutku rasanya terkunci. Aku ini kenapa sih?

Mungkin di suatu kesempatan nanti, saat aku dan Faiz bergabung menjadi satu tim, di saat itulah aku dan Faiz akan saling bicara. Mungkin.

ANANTA (PROLOG)



~PROLOG~


Juni 2018.

Aku baru tahu tentang pedihnya sebuah harapan, tepat di usiaku yang ke 26 lebih beberapa jam. Di kota ini, di tempat ini, di mana aku seorang diri hanya mampu memerintahkan jemariku untuk bergantian menyapu air mata yang tak lagi terbendung.

“Tuhan, mengapa ini harus terjadi? Kumohon bunuhlah cinta ini, saat ini juga! Aku ... aku sudah menyerah.”

Aku ingin berteriak tapi yang keluar hanya suara lirihku di antara berisiknya suara hujan yang deras, sederas air mataku saat ini.

Kubiarkan hujan memandikanku. Tak kupedulikan tatapan heran beberapa mata yang mengarah padaku. Aku hanya peduli bagaimana caranya agar aku tidak kembali ke sana, ke sebuah kota yang menjadi tempat tinggal lelaki bernama Faiz.

Bab 1 

Bab 2

Bab 3

Bab 4

Bab 5

Popular Posts