Tuesday, 14 September 2021

Puisi: Suatu Hari di Stasiun Cikini

 

heritage.kai.id

Aku berlari. Entah harapan seperti apa yang tengah kukejar.

Yang kutahu, kau telah mengubah pusaran duniaku: terlempar

hingga lanskapnya melindap dan memudar.

Aku hampa. Asaku berdistilasi, bertebaran ke sudut-sudut ingar.


Tak kuhiraukan teriakan penjual parsel dan bising klakson kendaraan.

Tak juga kupedulikan tawaran tukang ojek yang sembari menatapku heran.

Waktu memang tak bisa menunggu, apalagi ikrarku terpatri pada akanan;

kau yang kikir akan kata-sekadar ucapan selamat jalan.


Apa harus aku membenci?

Sementara kau berkelindan dengan langit dan kelepak merpati.

Padahal kau seindah diksi cinta dalam puisi,

memanah dari segala penjuru menuju relung hati.


Apa harus aku menenangkan pendar?

Biar kau percaya bahwa kelip dapat digusah oleh debar.

Persis cahaya Capella di Rasi Auriga yang gencar,

memberi cahaya paling terang dengan sabar.


Kini aku hanya dapat berdiri kaku, menatap punggungmu dalam khayalan.

Lalu kau berbalik arah; memandangku dengan senyuman.

Dengan cepat kuangkat kaki, kembali berlarian.

Namun kau sudah menghilang, tinggalkanku dalam kesendirian.


Di sini. Di antara riuh suara panggilan dari dalam gerbong kereta api,

adalah saksi sepotong takdir yang telah kaurelakan tanpa kata tapi.

Ah, aku lupa itu berapa tahun yang lalu! Hanya saja hari ini

aku merindui tempat terakhir kita berjumpa, di Stasiun Cikini.


Palembang, 30 Oktober 2020

Popular Posts