Cerpenku

LAGU UNTUK MATAHARI

 “Ayolah, Fania! Coba dulu, lama-lama kamu akan terbiasa!” bujuk Anto padaku dengan setengah memaksa.
Aku menggeleng kuat-kuat. “Aku tak mau! Itu tidak halal, Anto!” seruku lalu pergi meninggalkannya.
“Ah, sok suci kamu. Anak jalanan seperti kita ini tidak usah lagi memikirkan halal atau haram!” jerit Anto keras dengan wajah kesal.
Dengan hati miris, kulangkahkan kaki menyusuri jalanan beraspal di pinggiran Pasar Cinde. Aku menyesali sikap Anto, temanku itu. Ya, dia kini menambah penghasilannya yang biasa mengamen menjadi tukang copet. Entah dari siapa dia belajar, yang pasti aku tak akan mau menjadi pencopet seperti dirinya. Biarlah aku tetap seperti ini, mengamen di bus kota dan mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Walau hasilnya terkadang tak cukup, aku lebih bahagia karena uang yang kudapat merupakan uang halal. Aku tak akan menambah kehinaan diriku yang sudah menjadi anak jalanan dengan predikat sebagai tukang copet.
Sesampainya di lampu merah simpang Rumah Sakit Charitas, langsung kuhampiri sebuah Avanza hitam. Dengan riang kunyanyikan sebuah lagu kesukaanku.
“…. Di sudut jalan ini
Di bawah lampu merah
Bermandi peluh, membasah tubuh
Demi sekolahku….”
(Selamat Tinggal Lampu Merah – Fadly)
 Ibu setengah baya di dalam mobil itu memberi selembar uang berwarna coklat. Aku tersenyum senang dan mengucapkan terima kasih. Lampu telah berganti hijau dan kuseret langkahku menuju pinggiran jalan dan duduk di bawah pohon besar. Baru beberapa menit aku bernyanyi tadi, panas matahari sangat terasa menusuk kulitku. Saat ini Kota Palembang memang sedang musim panas, wajar saja matahari tidak terlalu bersahabat.
Dua jam sudah aku berjuang di antara debu dan kebisingan kendaraan. Kini kuputuskan untuk beristirahat, duduk di pinggiran toko sambil memainkan alat musik sederhana yang kubuat dari beberapa tutup botol yang direkatkan pada kayu berukuran 25 cm. Tanpa sengaja, dari kejauhan kulihat Anto sedang menghitung isi dompet yang berada di tangannya. Ah, dia kembali berhasil melakukan perbuatan jahat itu. Aku pura-pura tak melihat Anto saat ia menoleh ke arahku.
Beberapa menit kunikmati istirahatku sambil memandang ke langit nan biru. Matahari memancarkan cahaya teriknya sembari seolah tersenyum padaku. Ya, satu-satunya teman yang paling setia padaku adalah sang matahari. Ketika aku mengamen untuk mencari sesuap nasi, hanya matahari yang masih memberikan perhatiannya untukku. Merasakan panasnya juga senyumannya membuatku bersemangat. Dan dengan riang, aku pun menendangkan lagu, bernyanyi untuk matahari.
Baru saja berdendang, seketika tubuhku gemetar dan jantungku seakan meloncat keluar. Laki-laki gendut dengan kepala botak dan kumis yang cukup tebal, sedang berjalan di pinggiran toko-toko dan sebentar lagi melintas ke arah tempat diriku yang sedang duduk melepas lelah. Aku berlari kencang ke kiri dan bersembunyi di balik pagar yang menurutku aman. Aku duduk berjongkok dan membenamkan wajahku di kaki. Airmata mengalir membasahi pipiku dengan tiba-tiba tanpa kuhendaki. Dalam tangis, kembali kuteringat kejadian buruk yang membawaku menjadi seorang anak jalanan.
***
            “Bu, Fania tidak mau berpisah dengan teman-teman di sini, juga berpisah dengan Ibu!” teriakku dengan airmata bercucuran.
            “Fania akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada di panti ini, jika ikut bersama Bapak itu,” bujuk Bu Amira padaku sambil menunjuk ke arah laki-laki yang berkumis dan kepalanya ditutupi sebuah topi yang kebesaran.
            Aku menggeleng dan langsung memeluk Bu Amira. Laki-laki yang ditunjukkan Bu Amira padaku tadi bernama Pak Arman. Dia hendak mengadopsiku menjadi anaknya. Dengan lembut Pak Arman berkata padaku, “Tenang saja, Bapak akan membiayai semua kebutuhan Fania. Bapak akan menyekolahkan Fania di SMP yang terbaik di Palembang,”
            Setengah jam kemudian, aku sudah berdiri di dekat pintu mobil Pak Arman. Teman-teman dan para pengurus panti memandangku dengan wajah sedih karena sebentar lagi kami akan berpisah. Bu Amira tersenyum padaku namun tangis sedihnya tak dapat ia sembunyikan. Di Panti Asuhan Suara Hati ini, aku adalah anak kesayangan Bu Amira. Aku tahu ia sangat berat melepasku, namun demi kebaikanku dia merelakan diriku untuk diadopsi Pak Arman.
            Mobil melaju dari Kota Kayuagung ke Kota Palembang dengan cukup cepat. Selama di perjalanan aku tertidur dan saat terbangun kami sudah sampai. Aku turun dari mobil dengan menggandeng tas biru berisi sedikit pakaianku. Tadi Pak Arman bilang tak perlu membawa banyak-banyak pakaian karena ia akan membelikan pakaian baru untukku.
            Di hadapanku kini berdiri sebuah rumah kecil nan kumuh, berdinding kayu dan berlantai semen. Rumah sederhana itu tak seperti di panti dan sangat jauh dari kesan bersih apalagi indah, Dalam hati aku bertanya-tanya, kenapa aku malah di bawah ke sini. Kulihat Pak Arman memberikan beberapa lembar uang pada sopir mobil yang membawa kami tadi. Setelah menerima uang dari Pak Arman, sopir itu langsung membawa mobil, pergi entah ke mana.
            “Ayo, masuk!” kata Pak Arman padaku yang hanya terpaku keheranan.
            “Iya, Pak.” jawabku sembari menganggukkan kepala.
            Lagi-lagi aku keheranan. Ternyata ada beberapa anak di dalam rumah ini yang sedang duduk berkeliling membentuk lingkaran. Mereka masih kecil-kecil dan ada dua orang yang sepertinya seusia denganku. Aku disuruh duduk di sebelah anak laki-laki berambut ikal dan berkulit hitam. Rata-rata semua anak di sini memang berkulit hitam dan dekil.
            “Perkenalkan teman baru kalian! Namanya Fania berusia 15 tahun. Ia baru saja tamat SMP dan berencana akan melanjutkan ke SMA. Lucu sekali, bukan? Hahaha…!” suara Pak Arman yang tertawa membahana, terdengar bergema di dalam rumah kecil yang amat kotor ini.
            Aku tersenyum pada sebelas anak yang memandangku dengan wajah sedih. Aku kebingungan dengan sikap mereka. Pak Arman keluar rumah setelah menyuruhku berganti pakaian yang diberikannya. Pakaian yang bau dan kotor.
            “Kamu akan menyesal karena sudah ditipu lelaki brengsek itu. Ayo, cepatlah berganti pakaian! Kita harus bekerja!” ujar anak perempuan yang seusia denganku.
            Dan di sinilah semua penderitaan menderaku. Ternyata aku diadopsi bukan untuk dirawat dengan baik. Akan tetapi, aku dijadikan sebagai budak pencari nafkah untuk Pak Arman. Aku harus mengamen, mengemis, bahkan bila perlu menjadi seorang pencopet. “Asalkan dapat uang, semua cara harus dilakukan!” kata Pak Arman dengan keras.
            “Jangan hanya menangis! Tak perlu lagi menyesal karena kamu sudah jauh dari panti. Sekarang cepat cari uang atau aku tak akan memberimu makan!” Pak Arman berteriak penuh emosi setiap kali aku hanya berdiri mematung di pinggiran jalan, dekat lampu merah Simpang Jakabaring.
            Setelah dua minggu hidup bersama teman-teman baruku dan Pak Arman, aku mulai terbiasa walau Pak Arman berkali-kali memarahiku dengan kata-kata kasarnya. Bahkan Pak Arman beberapa kali memukul tubuhku hingga meninggalkan bekas luka. Namun aku tetap bersyukur pada Tuhan yang masih memberikan kesempatan hidup untukku.
            Kini, aku bukan lagi anak yang bersih dan sehat, aku sudah menjadi dekil dan kurus seperti mereka, anak-anak malang yang nasibnya sama sepertiku saat ini. Ternyata Pak Arman sudah berkali-kali melakukan penipuan dengan berpura-pura akan menjadi orangtua asuh, tapi nyatanya malah menjadikan anak yang diadopsinya sebagai budak pencari nafkah demi kepentingan pribadinya dan kelakuan buruknya. Pak Arman adalah seorang penjudi, pemabuk dan seorang pencopet yang pernah masuk penjara. Tapi dirinya tak pernah sadar dari perbuatannya
            “Fania, sebenarnya kami sangat kasihan padamu. Kami selalu berdoa agar tak ada lagi anak malang yang dibawa Pak Arman ke sini. Tapi ternyata Pak Arman masih saja melakukan perbuatan jahatnya. Kamu harus berhati-hati pada Pak Arman, jangan sampai mengalami hal buruk seperti yang terjadi pada kami!” ujar Septi sungguh-sungguh di tengah malam saat aku belum bisa tidur.
            “Memangnya hal buruk apa itu, Sep?” tanyaku dengan bingung sambil memandang lekat pada wajah Septi.
            “Aku tak bisa mengatakannya, Fan.” jawab Septi yang kemudian mulai memejamkan matanya.
            Aku dan teman-temanku selalu tidur di lantai yang dingin karena tak memiliki alas apa-apa. Sedangkan Pak Arman sudah terlelap di kamarnya yang memiliki kasur dan selimut. Ah, beginilah nasibku sekarang. Mau tidak mau, aku harus menjalani sulitnya hidup dalam kekangan lelaki jahat yang tak memiliki belas kasihan pada anak-anak seperti kami.
            Hari ini, di bawah langit siang dengan cahaya matahari yang terasa sangat menyengat kulit, aku mendendangkan lagu yang kupelajari dari Septi. Lagu yang menjadi favoritku itu kunyanyikan dengan senang hati untuk mencari recehan dari tangan-tangan orang yang kasihan melihatku.
            Jika aku menyanyikan lagu ini di saat matahari bersinar terik, aku seakan bisa melihat senyuman matahari di atas langit sana. Di sudut lampu merah adalah tempat keseharianku mengais uang sedikit demi sedikit. Pekerjaanku hanyalah mengamen, karena menurutku mengamen adalah satu-satunya pekerjaan terbaik yang ditawarkan Pak Arman padaku daripada mengemis atau mencopet.
            Aku pulang ketika langit sudah sangat gelap dan kendaraan sudah mulai sedikit berlalu lalang. Jika pulang, kami belum diperbolehkan tidur oleh Pak Arman sebelum dia pulang ke rumah. Pak Arman pulang ke rumah di atas pukul satu malam. Jadi kami hanya memiliki waktu kurang lebih selama empat jam untuk tidur, karena pukul lima pagi kami sudah harus berada di jalanan untuk bekerja.
            Pak Arman masuk dengan mendobrak pintu dengan sangat keras. Kami yang sedang berguling-guling langsung bangun karena terkejut. “Hey, kamu ke kamar sekarang!” perintah Pak Arman beringas sambil menunjuk ke arahku
            Segera kuikuti Pak Arman menuju kamarnya. Tangan Septi sempat menarik tanganku untuk mencegah namun segera kulepaskan karena takut akan kemarahan Pak Arman jika aku terlambat sedikit saja menuruti perintahnya.
            Aku ditarik dengan kasar dan direbahkan di atas kasur usang tanpa seprai. Aku kebingungan atas perbuatan Pak Arman. Kupandangi wajahnya yang hitam dan kotor. Kepalanya yang botak makin menambah keburukan di wajahnya.
            Airmataku jatuh perlahan saat Pak Arman membuka celananya dengan tergesa dan memdekatiku. Ia menyibakkan rok yang kupakai.
            “Jangan, Pak!” jeritku histeris sembari berusaha melepaskan diri dari dekapan Pak Arman yang sangat kuat.
            “Diam!” perintah Pak Arman. Ia menciumi tubuhku dengan kesetanan.
            Aku menangis dan merintih ketakutan atas perbuatan bejat Pak Arman. Dengan penuh kesadaran, aku menendang tepat pada selangkangannya dan berhasil. Pak Arman melepaskanku dan terduduk sambil merintih karena merasakan sakit akibat tendanganku. Aku segera keluar dari kamar. Teman-teman memandang iba padaku. Aku mengambil tas yang berisi pakaianku dan segera melarikan diri dari rumah ini.
***
            Kuusap airmata yang terus berjatuhan dengan derasnya membasahi kedua belah pipiku. Napasku tak teratur karena begitu takutnya melihat Pak Arman tadi. Aku keluar dari persembunyian dan mengamati jalanan untuk memastikan laki-laki botak yang tadi kulihat sudah tak ada di sini. Aku menarik napas lega dan menuju ke tengah jalan untuk mengamen lagi.
            Masih jelas terbayang kejadian pahit yang kualami seminggu yang lalu saat masih di rumah Pak Arman. Aku sangat berharap tidak akan bertemu lagi dengan lelaki bejat itu. Aku sudah cukup puas hidup di jalanan sekarang, walau tanpa rumah aku bisa bebas dari kekejaman Pak Arman.
            Namun harapanku sepertinya tak dikabulkan, karena Pak Arman turun dari bus kota tepat di sampingku yang sedang bernyanyi. Dia mencengkeram tubuhku dan menusukkan pisau tajam ke bagian dadaku. Seketika darah mengucur deras dan aku terjatuh ke jalanan. Masih sempat kulihat Pak Arman melarikan diri karena beberapa orang berteriak ngeri melihat darah yang keluar dari tubuhku. Setelah itu, aku tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.
Tubuhku terasa ringan dan melayang. Aku mulai sadar jika aku tak mampu lagi menikmati kehidupan. Nyawaku harus berakhir di sudut lampu merah ini, di bawah guyuran air hujan yang deras dan dingin. “Matahari, maafkan aku karena tak bisa lagi menyanyikan sebuah lagu untukmu. Selamat tinggal!” kataku berbisik di antara napas terakhir.
SELESAI

 _______________________________________________________________________________

HARAPAN ITU MASIH ADA

Ibu, Nayla ingin berjualan pempek di tempat lain saja. Supaya kita mendapatkan uang lebih banyak, kataku membujuk ibuku yang sedang menuangkan air ke dalam baskom berisi ikan yang telah digiling halus.
            “Nayla di rumah saja! Masak, membereskan rumah, mencuci. Biarkan Ibu saja yang mencari uang.” Balasnya lembut sembari menatap wajahku. Ibu tersenyum dan mulai meratakan ikan dengan air lalu memasukkan sagu sedikit demi sedikit ke dalam baskom.
            Aku tersenyum dan beranjak untuk mendidihkan air guna merebus pempek yang dibuat oleh mak. Nayla ingin menjual pempek di Unsri, Bu. Kata Laysa, di kampus Unsri belum banyak yang menjual pempek.” kataku lagi sembari kembali duduk di hadapan ibuku yang terlihat sibuk membentuk adonan pempek.
            “Apa Nayla tidak malu dilihat teman-teman kalau Nayla berjualan pempek di Unsri?” tanya Ibu serius padaku.
            Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Ibu pun ikut tersenyum. Wajahnya tampak letih dan sudah ada kerut-kerut yang seharusnya belum muncul di usianya yang masih 40 tahun. Mungkin beban hidup yang berat membuat Ibu terlihat lebih tua dari usianya. Sejak Bapak meninggal dua tahun yang lalu, Ibu sendirian bersusah payah mencari uang untuk membiayai hidup kami. Awalnya Ibu berjualan sayur di Pasar 16 Ilir, namun sejak satu bulan yang lalu Ibu memutuskan untuk berjualan pempek saja di area Benteng Kuto Besak (BKB) karena tak sanggup lagi membayar uang sewa tempat.
            Kehidupan kami sangatlah sederhana, namun aku masih bersyukur karena sempat menuntaskan pendidikanku di bangku SMA. Sebenarnya aku sangat ingin menyambung pendidikanku di bangku kuliah. Sejak kelas dua SMA, Universitas Sriwijaya (Unsri) Inderalaya adalah kampus impianku. Setelah Bapak meninggalkan kami saat kenaikanku di kelas dua, impian untuk kuliah hanya menjadi kenangan semata. Walau kata guru di SMA-ku, aku pasti bisa menembus satu kursi di Unsri dan ada beasiswa bagi yang berprestasi, aku tetap saja meninggalkan impian itu karena memikirkan ongkos ke kampus dan keperluan lainnya. Aku tak ingin menambah beban Ibu.
            Dua jam kemudian, ibuku sudah siap dengan bakul pempeknya dan perlengkapan lain. Ia terlihat letih tapi wajahnya menggambarkan kekokohan dan semangat yang tak pernah padam.
            “Nayla, Ibu pergi berjualan dulu. Doakan hari ini pempek kita laku banyak ya!” pinta Ibu sambil menyunggingkan senyum.
            “Hati-hati di jalan, Bu! Nayla pasti mendoakan,” kataku ceria seraya mencium tangan Ibuku tersayang.
            “Assalamualaikum,” pamit Ibu. Lalu langkah kakinya keluar meninggalkan rumah kami yang sederhana.
            “Waalaikumsalam,” balasku yang kemudian mengunci pintu lalu mulai membereskan rumah dan masak dengan bahan seadanya.
            Sudah pukul 10.00, pekerjaan rumah sudah rampung. Segera kuambil air wudhu untuk menunaikan shalat Dhuha. Ah, seharusnya tadi aku shalat saja dulu baru kemudian menyelesaikan pekerjaanku, biar tidak sesiang ini baru menunaikan Dhuha. “Maafkan kekhilafanku, ya Allah.” kataku dalam hati memohon ampun.
***
            Kulirik jam usang yang menempel di  dinding kayu rumahku. Sudah pukul 14.00 dan biasanya setengah jam lagi Ibu akan pulang. Aku menyiapkan makan siang untuknya. Kasihan sekali dengan ibuku, setiap hari makan siangnya di atas jam dua apalagi dia harus berjalan kaki melintasi Jembatan Ampera untuk sampai ke BKB, tempatnya berjualan. Sambil menunggu Ibu pulang, kunyalakan televisi, satu-satunya barang berharga di rumah kami.
            Dari arah jendela, kulihat Laysa yang baru pulang kuliah. Segera kuberanjak dari dudukku dan mengenakan jilbab, kemudian keluar rumah untuk menyapa sahabat sekaligus tetangga terbaikku itu.
            “Laysa…!” panggilku cukup kuat karena Laysa sudah lewat dari rumahku.
            Laysa menoleh ke belakang dan tersenyum melihatku. Ia membalikkan langkahnya menghampiriku. “Kenapa, Nay? Kangen sama aku ya? Haha…!” kata Laysa bercanda lalu ia tertawa.
            “Hahaha, tidak tuh! Setiap hari bertemu sama kamu kok. Kenapa harus kangen,” jawabku yang ikut tertawa. Aku mengajak Laysa untuk mampir ke rumah sebentar.
            “Enak sekali jika setiap hari mendapat pempek gratis nih!” ujar Laysa sambil mengunyah pempek dengan semangat.
            Aku hanya tertawa. “Jadi bagaimana, Sa? Kira-kira bisa tidak aku berjualan pempek di tempat kuliah kamu?” tanyaku serius sambil memandangi Laysa yang kepedasan oleh cuka pempek.
            “Ssshhh…. Tenang saja! Itu aku yang urus semua,” Laysa menjawab pertanyaanku lalu tergesa-gesa meneguk air di dalam gelas hingga tak tersisa.
            “Ah, Laysa. Aku sangat berterima kasih! Kamu memang sahabatku yang paling baik. kataku bahagia.
            Sama-sama, Nayla. Biasa saja, ah!13 ujar Laysa sambil mengerlingkan mata indahnya.
            Beberapa menit berlalu dan Laysa minta izin untuk pulang. Baru saja kami keluar, ibuku sudah pulang dan tersenyum pada kami. Aku mencium tangan Ibu kemudian disusul oleh Laysa yang juga mencium tangan Ibu.
            Laysa pulang dulu, Bu! pamit Laysa pada Ibu. Ibu mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah.
            “Besok langsung saja bawa pempeknya. Bareng aku ke Unsri, jam 07.00 tepat, jangan telat!” pesan Laysa padaku. Aku mengangguk lalu melambaikan tangan pada Laysa yang berlalu pulang.
            Aku masuk ke dalam menemui Ibu yang sedang makan. Wajahnya terlihat  dirundung kesedihan. Namun saat ia melihatku, wajah itu dipasang seriang mungkin dan mengembangkan senyuman. Aku membalas senyum Ibu dan masuk ke kamar, merapikan jilbabku. Sekalian mempersiapkan diri ke rumah Mang Teguh. Setiap pukul 15.00, aku dan Ibu bekerja mengupas bawang di rumah Mang Teguh untuk menambah penghasilan kami.
            Aku terpaku di sisi jendela kamarku, memperhatikan keramaian daerah sekitar. Rumahku berada di Seberang Ulu, tepatnya di daerah 10 Ulu. Cukup dekat dengan Jembatan Ampera dan Sungai Musi, kebanggaan kotaku, Kota Palembang. Airmata jatuh perlahan membasahi pipiku. Ketika aku dilahirkan hingga berusia 18 tahun sekarang, kami sudah berkali-kali pindah rumah kontrakan. Hidup pas-pas’an dan aku sama sekali belum pernah merasakan masa remaja seperti remaja seusiaku lainnya yang bisa jalan-jalan, pergi nonton di bioskop, atau apapun itu. Bukan aku tidak bahagia dan tidak bersyukur atas nikmat hidupku, tapi aku hanya mengingat perbedaanku dengan mereka. Mereka yang hidupnya lebih beruntung dariku.
***
            Ada rasa bahagia terselip di hatiku, menyaksikan kehijauan kampus Unsri Inderalaya. Angin sejuk berembus dan memainkan ujung jilbab putihku. Gedung-gedung kokoh yang indah dan nyaman, bus-bus mahasiswa yang terparkir rapi di terminal kampus, mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing dan semuanya, semuanya menarik perhatianku. Inilah kampus impianku. Lebih tepatnya impianku dahulu. Sekarang? Tidak. Ah, sepertinya masih. Hanya saja aku berusaha untuk melupakannya.
            Ternyata Laysa menyuruhku berjualan di area Fakultas Ekonomi, fakultas tempatnya kuliah. Laysa beruntung sekali memiliki kesempatan belajar di sini. Aku teringat saat kami berdua tertawa bahagia sehabis membaca koran di halaman Masjid Agung. Namaku dan Laysa tertera di pengumuman, kami sama-sama lulus di jurusan Akuntansi. Ya, aku memang sempat ikut tes SNMPTN (Seleksi Nasonal Masuk Perguruan Tinggi Negeri) untuk menyenangkan hatiku. Tapi semua mesti dilupakan karena kulihat wajah Ibu bersedih saat kukabarkan kelulusanku tersebut.
            “Nayla, kamu jualan di sini? Jualan apa?” tanya Daira, teman satu SMA-ku. Ia membuka penutup bakul yang berisi pempek. Keningnya tiba-tiba berkerut, lalu menatapku tajam, tatapan merendahkan.
            “Oh, pempek buatan ibu kamu pastinya, bukan?” tebak laki-laki tampan dan kaya itu dengan benar.
            Aku hanya mengangguk dan berusaha untuk tersenyum. “Mau, Daira?” tanyaku basa-basi, aku tahu ia tak akan membelinya.
            “Tidak, ah! Aku takut tidak steril. Oh, ya, jangan berjualan di sini! Nanti kampus kita jadi bau ikan busuk dari pempek itu,” hina Daira memandang sinis padaku dan menunjuk ke arah tumpukan pempek, jualananku.
            “Sirik aja jadi orang! Tidak ada yang melarang Nayla jualan di sini, aku sudah minta izin pihak fakultas kita, kok!” tiba-tiba Laysa datang membelaku. Aku menarik napas lega karena Daira langsung pergi begitu saja.
            Laysa menepuk bahuku, menenangkanku. Dia tersenyum dan duduk menemaniku berjualan.
            Tepat pukul 15.00, aku sudah sampai di rumah. Kulihat ibuku sedang tertidur pulas di lantai menghadap televisi yang masih menyala. Aku mengecup kening ibuku tersayang lalu masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian. Hari pertama berjualan di Unsri sudah cukup lumayan. Aku sangat bersyukur atas rezeki yang diberikan Allah kepada kami, walau sempat kesal di kampus tadi karena Daira sangat menghinaku. Sejak SMA, ia memang tak menyukaiku. Ada-ada saja hal yang diperbuatnya untuk menghinaku habis-habisan. Namun, Laysa selalu membelaku. Daira akan segera diam jika ada Laysa, karena laki-laki sombong itu menyukai Laysa.
            Kulihat Ibu sudah bangun dari tidurnya. Ia tersenyum melihatku dan bertanya, “Bagaimana, Sayang? Laku pempeknya di Unsri?”
            Alhamdulillah, Bu. Pempek kita masih bersisa sedikit,” jawabku sumringah sambil menyerahkan lembaran uang padanya.
Ibu tersenyum bahagia menerima uang dariku. Ayo kita berangkat sekarang saja ke rumah Mang Teguh!” ajak  ibuku sambil membenarkan letak kerudungnya.
***
            Sudah dua minggu ini Ibu sakit. Sering terdengar ia batuk-batuk walau berusaha untuk dinahannya agar tak terdengar olehku. Tubuhnya pun semakin kurus dari hari ke hari. Sudah sering aku menyuruh Ibu untuk ke puskesmas dan istirahat dulu dari berjualan pempek., namun Ibu selalu menolaknya dengan alasan hanya demam biasa yang sebentar lagi akan sembuh. Aku sangat mengkhawatirkan ibuku dan takut terjadi apa-apa karena dua minggu ini belum sembuh-sembuh juga.
            Dan hari ini, Ibu sama sekali tak bisa duduk apalagi berdiri. Ia hanya tergolek di atas kasur tipis. Aku menjaganya dan memutuskan untuk tidak berjualan dan mengupas bawang dulu hari ini. Setelah menyuapi ibuku makan, aku memberikan obat yang kubeli di warung pada Ibu. Ibu meneguk obat itu perlahan dan memejamkan mata sesaat seperti menahan sakit.
            “Nayla, anak Ibu yang Ibu sayangi! Bisa bukan membuat pempek sendiri besok-besoknya? Uhuuuk…. Tetaplah berjualan pempek kalau belum mendapatkan pekerjaan. Ibu selalu mendoakan Nayla agar bisa menjadi orang sukses, bisa kuliah seperti cita-cita Nayla dulu. Mungkin Ibu tidak bisa lama-lama bersama Nayla. Jika nanti Ibu telah tiada, Nayla tinggal saja bersama Tante Sari yang di Kertapati itu. Dia pasti bersedia mengajak Nayla tinggal di rumahnya,” kata Ibu dengan lirih sambil terbatuk-batuk.
Hatiku berdesir dan cemas mendengar perkataan ibuku. Aku merasakan ada hal buruk yang akan terjadi. Ingin rasanya aku menangis namun tetap kutahan agar mak tidak melihatku bersedih. “Ibu pasti sembuh. Ibu bisa lama-lama bersama Nayla kok,” ujarku berusaha riang. Aku ingin tersenyum pada Ibu, tapi malah airmata yang bercucuran. Ibuku merentangkan tangannya dan kami berpelukan.
 “Ya, Allah. Semoga ini bukan hal buruk tentang ibuku. Aku memohon padamu, sembuhkanlaH ibuku. Aku sangat menyayanginya. Hanya dia yang kumiliki sekarang, ya Allah. Berikanlah yang terbaik buat dia, aamiin…,” doaku setelah selesai menunaikan shalat ashar.
Aku melepas mukena dan masuk ke dalam kamar untuk melihat ibuku Walau sakit, biasanya Ibu tetap ingin menjalankan shalat dalam posisi berbaringnya, jadi kubawakan air bersih dan mukena untuknya.
“Ibu, Nayla sudah shalat ashar. Ibu juga mau shalat, kan?” tanyaku lembut pada Ibuku yang hanya terdiam kaku dan matanya telah terpejam dalam damai.
***
            Satu tahun kemudian.
            Aku berdiri di pinggiran Sungai Musi yang berada tepat di depan BKB. Kupandangi aliran air yang cukup deras dan ombak yang bermain naik turun karena baru saja dilewati ketek-ketek (perahu bermesin khas Palembang). Sesekali aku mengamati  ibu-ibu yang menjual makanan dan minuman yang duduk di bebatuan menunggu pembeli. Pikiranku melayang mengenang ibuku yang sudah satu tahun meninggalkanku, menghadap Sang Ilahi. Aku mengikhlaskannya karena tak ada gunanya bila disesali. Semua adalah takdir yang telah ditentukan Allah. Aku pun yakin, jika sekarang Ibu telah bertemu Bapak dan berbahagia di surga-Nya.
            “Nayla, kita pulang yuk! Besok ada ujian di kampus, kan? Pulang ini kamu langsung belajar saja, Sayang. ujar Tante Sari sambil merangkul bahuku. Kini ia menggantikan ibuku untuk menjagaku. Tante Sari dan suaminya sudah menganggapku sebagai anak mereka dan membiayai hidupku, termasuk kuliahku di Unsri.
            Aku mengangguk lemah sambil menghapus bulir bening yang keluar dari pelupuk mataku. “Ibu…. Nayla berjanji, nanti Nayla akan menjadi orang sukses supaya Ibu dan Bapak bisa bangga punya anak seperti Nayla. Semoga Ibu dan Bapak bahagia di sana. Suatu saat nanti, kito bertiga pasti bisa berkumpul lagi. Oh iya, sekarang Nayla sudah bisa kuliah di Unsri sambil berjualan pempek, Bu. Nayla kangen sama Ibu juga sama Bapak!” teriakku cukup keras ke arah Sungai Musi di hadapanku. Riaknya kini kembali tenang setelah ketek-ketek sudah menjauh. Setenang hatiku sekarang.
            Tante Sari menuntunku sambil menghapus airmataku. Kami menuju ke area parkir. Om Usman, suami Tante Sari sudah berada di parkiran, menjemput kami dengan mobilnya.
            “Ya, Allah. Ya, Tuhanku. Aku sangat bersyukur atas semua karunia dan nikmat yang masih Engkau berikan untukku. Engkau telah memberikan dua orang yang amat baik, sebagai pengganti kedua orangtuaku yang telah tiada. Engkau telah memberikan kehidupan yang layak untukku. Engkau juga telah mengabulkan impianku untuk menuntut ilmu di Unsri. Semuanya telah Engkau berikan padaku, semua kenikmatan-Mu. Semoga dengan semua ini akan membuat diriku semakin beriman dan bertakwa kepada-Mu, ya Allah. Semoga kelak Engkau izinkan diri ini untuk bertemu kembali dengan Mak dan Bapakku, aamiin Ya Rabb….”
SELESAI
___________________________________________________________________________


SERPIHAN ASA DI SUNGAI MUSI

            Hasan, anak laki-laki berusia sembilan tahun, sedang termenung di pinggiran Sungai Musi. Matanya menyapu seluruh permukaan air yang bergelombang karena baru saja dilewati perahu motor dan ketek. Matanya juga tak luput pada jembatan tinggi kokoh di atas Sungai Musi. Jembatan Ampera, penghubung daerah Sebrang Ulu dan Sebrang Ilir, seringkali membuat kagum Hasan karena kuatnya jembatan itu menahan beban dari ribuan kendaraan yang berlalu lalang di atasnya.
Hasan baru menyadari jika hari mulai petang karena langit kebiruan sudah tergantikan langit jingga yang memancarkan kehangatan. Burung-burung beterbangan sehingga membentuk bayangan di atas permukaan air Sungai Musi yang sudah tenang kembali. Hasan berdiri lalu dihirupnya napas dalam-dalam.
            “Aku tahu jika ini mustahil, namun apakah salah jika aku bermimpi yang tinggi?” kata Hasan pelan sambil menengadah ke atas seakan berbisik pada langit senja.
            “Lihat saja, aku akan ke sana walau ayah dan ibuku miskin!” teriak Hasan namun suaranya dibawa angin yang bertiup cukup kencang.
            “Hasaaan…, baleklah ke rumah!” teriak ibu Hasan dari dalam rumah.
            Hasan pun berlarian menuju rumahnya. Rumah Hasan, sebuah gubuk kecil di dekat pinggiran Sungai Musi. Ibu Hasan bekerja sebagai tukang urut yang pelanggannya tak banyak. Sedangkan ayah Hasan bekerja sebagai pembawa ketek yang mengantarkan penumpang untuk menyeberangi sungai atau mengantarkan penumpang menuju salah satu tempat pariwisata yang bernama Pulau Kemaro.
            Kehidupan mereka bisa dibilang kurang mampu. Namun kedua orangtua Hasan masih tetap menginginkan Hasan, anak mereka satu-satunya tetap bersekolah. Kini Hasan duduk di kelas empat SD. Hasan termasuk anak yang penurut dan cukup pintar sehingga teman-teman dan gurunya banyak yang menyukai Hasan. Terkadang teman-teman dan guru Hasan memberikan seragam bekas atau sedikit uang untuk Hasan.
            “Mak…. Jembatan Ampera dulu dibangun oleh tenaga ahli Jepang, yo?” tanya Hasan sungguh-sungguh pada ibunya yang tengah menggoreng tempe.
            “Setahu Mak memang wong Jepang yang membangun jembatan itu, San. Ngapo?” ujar ibu Hasan yang masih sibuk membolak-balik tempe.
            “Di sekolah tadi Hasan membaca buku di perpustakaan tentang sejarah Palembang dan pembangunan Jembatan Ampera. Lalu Hasan nanyo Bu Henny, petugas perpustakaan, tentang Negara Jepang. Bu Henny menunjukkan pada Hasan gambar Jepang yang berciri khas bunga sakura. Indah nian, Mak! Ditambah lagi jika musim salju, Jepang jadi putih dan dingin. Hasan ingin ke sana, Mak!” cerita Hasan dengan wajah lugu dan mata yang berbinar-binar.
            Ibu Hasan menatap wajah anaknya sesaat lalu tertawa terbahak-bahak.
            “Hahaha…! Hasan, Hasan, ado-ado be anak Mak ini. Jepang itu jauuuh nian! Hasan tidak akan bisa ke sana karena ongkosnya mahal,”
            “Kalau Hasan bekerja membantu Bapak di ketek, terus Hasan dapat uang dan uangnya Hasan tabung. Bisa kan, Mak?”
            “Hasan, kalau begitu alangkah baiknya jika uangnya untuk melanjutkan sekolah Hasan atau untuk membantu membeli keperluan makan kita,” kata Ibu Hasan menasihati.
            Hasan meninggalkan ibunya. “Mak tidak mengerti keinginan Hasan,” keluhnya dalam hati.
***
            “Sudah berapa kali Mak bilang, buku tulis jangan digambar-gambar! Ini untuk menulis bukan menggambar aneh-aneh cak ini!” marah ibu pada Hasan yang tertunduk.
            “Ngapo ribut-ribut?” tanya bapak Hasan yang baru pulang.
            “Ini si Hasan menggambari buku tulisnya sampai habis. Cakmano untuk sekolah besok, uang katek lagi untuk beli buku tulis,” jawab ibu kesal.
            “Hasan, Bapak sudah membelikan Hasan buku gambar kan? Buku tulisnya jangan lagi digambari, yo!” kata bapak lembut sambil menatap wajah Hasan yang sedih.
            “Buku gambarnya sudah lama habis, Pak. Hasan tidak enak minta uang lagi dengan Bapak dan Mak,”
            Bapak tersenyum kecil, “Jika Bapak punya uang lebih pasti Bapak akan belikan Hasan buku gambar dan krayon yang baru,” janji bapak pada Hasan.
            “Hore! Terima kasih, Pak.” kata Hasan bahagia lalu memeluk bapaknya. Ibu Hasan hanya mengeleng-gelengkan kepala melihat Hasan kegirangan seperti itu, lalu ia menuju dapur. Sambil mencuci piring, airmata ibu Hasan berjatuhan. Ia menyesal karena sudah memarahi Hasan yang menghabiskan buku tulis untuk menggambar. Sesungguhnya ia marah bukan karena kelakuan Hasan, tapi ia takut Hasan tidak memiliki buku kosong lagi untuk sekolah.
Ibu Hasan sangat tahu jika putranya itu gemar menggambar. Gambar yang dilukis oleh Hasan rapi dan bagus. Warna yang ia sentuhkan pada gambarnya pun amat pas dan berani sehingga indah untuk dipandang. Sayangnya, di sekolah Hasan pelajaran menggambar tidak ada. Jadi tidak ada yang tahu jika Hasan pandai menggambar.
***
            Sebulan telah berlalu. Di siang yang terik ketika Hasan baru saja tiba di rumah sepulang sekolah. Rumahnya sepi karena bapak sedang mencari penumpang dan ibunya pasti mendapatkan pelanggan yang minta diurut. Senyum ceria jelas terukir di bibir anak berambut sedikit ikal dan berkulit sawo matang. Tak sabar ia menunggu kepulangan ibu dan bapaknya untuk mengabari sesuatu yang bahagia.
            Tiba-tiba didengarnya langkah kaki masuk ke dalam rumah.
            “Maaak…! Hasan akan pergi ke Jepang. Hasan akan melihat pohon sakura. Hasan akan naik pesawat ke Jepang, Mak!” teriak Hasan pada ibunya yang baru pulang.
            Ibu Hasan menatap Hasan dengan wajah bingung. Hasan mengulurkan map kuning berisi surat-surat. Membaca isi dari surat-surat tersebut membuat ibu Hasan terduduk lemas di lantai. Airmatanya pun berjatuhan dan langsung memeluk Hasan. Hasan ikut menangis dalam pelukan ibunya.
             
            Salah satu gambar Hasan dengan objek Jembatan Ampera terpilih menjadi pemenang tingkat nasional yang akan diikutsertakan pada perlombaan lukis di Jepang. Gambar itu dibawa bapak Hasan ke sekolah satu bulan yang lalu dan ditunjukkan kepada kepala sekolah Hasan. Kepala sekolah Hasan yang baik itu iseng mengirimkan gambar Hasan ke Jakarta. Tanpa disangka-sangka ternyata gambar Hasan tepilih menjadi salah satu dari lima gambar terbaik tingkat Sekolah Dasar seluruh Indonesia.
            Impian Hasan ingin menapaki tanah Jepang dan menikmati keindahan negara tersebut akhirnya terwujud. Siapa sangka, anak yang masih berusia Sembilan tahun dengan keadaan ekonomi yang kurang, ternyata mampu terbang ke Jepang lewat gambarnya yang dilukis dengan sepenuh jiwa. Hasan berdiri di pinggiran Sungai Musi sambil menatap Jembatan Ampera. Ia menunggu bapaknya pulang dan akan menceritakan tentang berita bahagia ini sekaligus Hasan ingin mengucapkan terima kasih karena ini semua atas usaha bapaknya juga.
TAMAT
ARTI KATA-KATA
·         Baleklah          : Pulanglah
·         Mak                 : Ibu
·         Yo                    : Ya
·         Wong               : Orang
·         Ngapo             : Kenapa
·         Nanyo              : Tanya
·         Nian                : Sangat
·         Ado-ado be      : Ada-ada saja
·         Cak                  : Seperti
·         Cakmano         : Bagaimana
·         Ketek               : Perahu bermesin khas Palembang
·         Katek               : Tidak ada

__________________________________________________________________________

DALAM DEKAPAN PERJUANGAN

Peluh membasahi kening dan perlahan kutarik napas yang tak teratur. Aku dan terduduk di kursi, di sebuah ruangan yang amat dingin karena udara dari air conditioner (AC) berembus menebarkan kesejukannya. Capek, sehabis berlari-lari menyebrangi jalan setelah turun dari bus kota yang membawaku dan teman-teman dari sekolah hingga ke tempat bimbingan belajar. Namun, rasa capek ini sebentar lagi pasti akan berangsur-angsur hilang dan tergantikan semangat membara yang mengaliri setiap aliran darah dalam tubuhku.
            “Untung kita tidak terlambat. Aku sudah khawatir ketinggalan materi pertama les kita hari ini,” ujar Kezia padaku sambil mengacak-acak isi tasnya seperti mencari sesuatu.
            “Iya, untung saja bus tadi jalannya lumayan cepat dan lampu merah tidak terlalu lama. Eh, cari apa?” kataku memperhatikan Kezia yang tampak kebingungan.
            “HP-ku. Di mana ya, Fania?”
            Aku mencuil ujung dagu Kezia, “Dasar pikun! Tadi kamu menitip HP di tasku, kan?” seruku seraya menyerahkan HP pada Kezia yang tertawa-tawa.
            “Hahaha! Iya, ya. Aduh, aku lupa.” keluh Kezia sambil cekikikan.
            Pukul setengah tiga tepat pelajaran pertama dimulai. Bahasa Inggris. Ah, aku paling tidak suka dengan pelajaran itu. Tapi, mau tak mau aku harus mengikutinya sampai selesai pukul empat sore nanti. Aku berusaha mendengarkan setiap penjelasan dari tentor. Jika tidak, maka nilai kuis (ujian setelah pemberian materi) akan menyedihkan sekaligus memalukan karena nilai tersebut akan ditempel di dinding.
            La la la la la la la….
            Nada lagu berbunyi sebagai tanda istirahat. Aku tersenyum pada Kezia di sampingku. Safira dan Amanda langsung berdiri mengajak kami menuju lantai bawah untuk membeli makanan dan minuman.
            “Ayo! Aku kehausan, nih.” keluh Safira dan Amanda berbarengan pada kami yang masih sibuk membereskan alat tulis.
            Aku memandangi wajah mereka dan menggeleng. “Aku dan Kezia mau shalat ashar dulu,” kataku yang diiyakan Kezia.
            “Oke, deh.” ujar Amanda yang langsung menarik tangan Safira untuk segera turun.
            Dalam mushola kecil, ternyata sudah ada Dafa dan Faisal teman satu SMA kami.
            “Fania, sepertinya mereka rajin shalat akhir-akhir ini ya,” kata Fania dengan wajah cukup heran.
            Aku menganggukkan kepala seraya berkata, “SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) sebentar lagi, mungkin itu salah satu alasan mereka, hehehe….”
            Aku dan Kezia tertawa kecil. Beberapa anak dari SMA lain sedang memperhatikan kami. Seketika kami berhenti tertawa dan segera mengambil air wudhu.
            Namaku Fania Aurora Delizta, siswi kelas 3 salah satu SMA negeri di kotaku, Palembang. Sudah hampir satu tahun aku belajar di Bimbingan Belajar Medica, salah satu bimbel ternama di Palembang. Alasanku memilih untuk menambah waktu belajar di luar sekolah karena keinginanku untuk dapat menembus salah satu kursi di Universitas Sriwijaya, universitas negeri favorit di Sumatera Selatan.
            Hari-hariku sekarang lebih banyak diisi dengan belajar untuk menambah ilmu sebagai bekal pada saat SNMPTN yang tinggal beberapa minggu lagi. Sebenarnya dari pihak sekolah telah menambah waktu belajar setelah pelajaran sekolah selesai, tiga kali dalam satu minggu. Namun, itu menurutku tidaklah cukup. Sehingga aku dan beberapa teman sekelasku memutuskan untuk mendaftar di Medica. Ternyata belajar di sana membuatku betah dan dapat menyerap ilmu dengan mudah. Apalagi pengajar-pengajarnya sangat baik dan ramah.
***
            “Fania pasti urutan pertama lagi!” seru Faisal sambil memandangi pengumuman nilai simulasi di majalah dinding.
            Aku hanya tersenyum melihat namaku tertera di urutan teratas dan lulus di jurusan akuntansi Universitas Sriwijaya (Unsri). Bukan mau sombong atau berbangga diri, memang namaku sering menduduki posisi teratas baik itu nilai simulasi, nilai kuis maupun nilai raport setiap bulannya. Bukan karena aku pintar, tapi karena aku lebih rajin dari teman-temanku. Kalau di sekolah, aku masih kalah dan belum pernah menempati posisi teratas di deretan rangking kelas.
            “Selamat, sahabatku! Aku masih di nomor dua setelah kamu, Fan.” kata Kezia tersenyum padaku. Lalu kami menjauhkan diri dari kerumunan anak-anak yang berebut untuk melihat nama mereka masing-masing.
            “Semoga Fania dan Kezia benar-benar lulus di Unsri nantinya ya!” kata Kak Nelly, tentor pelajaran ekonomi.
            “Terima kasih atas doanya, Kak. Kami selalu berusaha untuk itu,” kataku sambil tersenyum pada Kak Nelly.
            “Kak, kita diskusi lagi ya! Kezia belum mengerti tentang perhitungan elastisitas nih,” pinta Kezia langsung menggamit lengan Kak Nelly. Aku mengikuti mereka menuju meja panjang di hadapan kami. Tak berapa lama, aku dan Kezia tenggelam dalam soal-soal yang diberikan oleh Kak Nelly untuk kami selesaikan bersama.
            Pelajaran di bimbel hari ini telah usai. Dengan semangat para siswa berhamburan keluar. Ternyata keadaan di luar sudah terlihat mulai gelap. Aku menatap layar HP, sudah pukul 17.45, wajar saja, kataku dalam hati. Dengan berlari kecil kami menuju bus kota yang kebetulan sedang berhenti menunggu penumpang. Ah, penumpangnya sudah penuh, terpaksa harus berdiri.
***
            Sungguh aku merasa takjub, melihat hamparan rumput hijau dan pepohonan yang asri di sekitaran gedung-gedung tinggi tempat diriku akan melanjutkan pendidikan. Kalau lulus, sih. Ah, aku yakin lulus! kataku optimis. Hari ini aku dengan teman-teman sedang mengambil formulir pendaftaran untuk mengikuti SNMPTN. Unsri Inderalaya jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalku di Palembang. Kurang lebih satu jam lamanya untuk sampai di kampus yang indah ini. Untung saja Mario membawa mobil, jadinya kami bisa menumpang. Hitung-hitung sekalian menghemat ongkos, hehe….
            Sekembalinya ke tempat bimbel, para tentor menasihati kami agar belajar dengan lebih rajin. Harus benar-benar memilih jurusan sesuai minat dan bakat. Tentor sudah menyetujui jika aku mengambil jurusan akuntansi di pilihan pertamaku . Sedangkan Kezia, memilih jurusan manajemen. Dia berubah pikiran saat mengisi formulir tadi. Padahal awalnya kami berniat untuk masuk di jurusan yang sama.
            Tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Hati ini merasakan desiran kegugupan membayangkan soalnya seperti apa yang akan kuhadapi beberapa menit lagi. Tak lupa, kupanjatkan doa agar ujian ini dapat kuselesaikan dengan baik dan lancar sehingga dapat membawaku lolos menjadi mahasisiwi di Unsri. Hari pertama ini, mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Keesokan harinya, dilanjutkan ujiaan dengan mata pelajaran IPS yaitu Sejarah, Geografi, Ekonomi dan IPS Terpadu. Di hari kedua ini, aku dapat menjawab dengan lancar karena soal-soalnya cukup mudah bagiku.
            31 Juli 2008. Pukul 22.00, HP-ku bergetar. Mama yang mengangkat telepon dari seseorang karena aku sudah tidur. Mama menggoyangkan badanku untuk membangunkanku. Ternyata dari pihak Medica yang mengumumkan hasil SNMPTN.
            “Fania sayang, kamu lulus di akuntansi Unsri! Selamat, ya. Anak mama memang membanggakan!” teriak mama mengejutkanku.
            Aku langsung terbangun dan memeluk mama. Aku bahagia sekali. Terima kasih, ya Allah. Tuhanku yang tak henti-hentinya memberikan nikmat dan karunia-Nya untukku.
            Pesan masuk di HP cukup banyak tengah malam ini. Semuanya dari teman-teman bimbel. Kezia, Safira, Amanda, Dafa dan Faisal, teman satu SMA-ku semuanya lulus di Unsri. Alangkah bahagianya diriku saat ini karena aku akan bertemu kembali dengan teman-temanku itu di bangku kuliah nanti.
            Teman bimbel dari SMA lain juga sama, kebanyakan dari mereka pun lulus di Unsri. Namun ada hal yang membuatku sedih malam ini. Raffi dan Satria, temanku yang cukup rajin ternyata tidak lulus di Unsri. Mereka mengatakan akan mencoba ikut USM (Ujian Saringan Masuk). Semoga saat itu mereka mendapatkan hasil yang terbaik.
***
            Hingga detik ini, aku masih menikmati masa-masa kuliah dan menjadi seorang mahasiswi yang berhasil merebut satu kursi dari sekian ribu calon yang mendaftar. Ada rasa bahagia dan terharu karena Allah memberikan satu kesempatan besar padaku sebagai langkah awal untuk mencapai cita-citaku. Sungguh perjuangan yang tidaklah mudah. Pengorbanan demi sesuatu yang layak untuk dicapai adalah salah satu hal indah yang menghampiri jengkal kehidupan.
            Namun, bukan berarti perjuangan terhenti sampai di sini saja. Dalam suatu kehidupan masih diperlukan perjuangan-perjuangan lain yang tak henti-hentinya harus kita lakukan hingga pada saatnya perjuangan itu telah berada di ujung dan kita harus berhenti. Setelah sukses menembus salah satu kursi yang kudambakan, langkah selanjutnya aku harus tetap berjuang dan memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan ini untuk menggapai impianku, mencapai cita-citaku dan membahagiakan orang-orang tercinta.
            Di salah satu ruangan kuliah, di lingkungan Fakultas Ekonomi Unsri Inderalaya, aku duduk menyendiri dan tengah termenung. Mengenang perjuanganku selama di bangku sekolah dan perjuanganku dalam mempersiapkan ujian SNMPTN.
            “Kini aku menyadari, hikmah di balik SNMPTN adalah mengajarkanku apa itu arti dari pengorbanan, perjuangan dan kesabaran. Dengan SNMPTN, aku pun lebih menghargai statusku sebagai mahasiswi yang tak layak lagi berleha-leha seperti dahulu saat masih berstatus anak sekolah. Saat ini, diriku harus lebih serius demi menggapai masa depan yang cerah di hadapanku.”
______________________________________________________________________________

BELUM SAATNYA UNTUK BAHAGIA

Fhania duduk melamun di pinggiran Sungai Musi.Tak dihiraukannya gelak tawa para remaja di samping yang cukup mengganggu ketenangannya. Mata Fhania yang baru saja mengeluarkan airmata, menyapu luas hamparan air yang berarus sedang. Namun terkadang timbul debur ombak yang dapat memainkan air membentuk gelombang besar jika kapal-kapal kecil bermesin melintasi dengan kecepatan yang tinggi. Selang beberapa menit kemudian, pandangan mata Fhania beralih pada Jembatan Ampera yang menjulang kokoh. Kendaraan berlalu lalang di atasnya. Sesekali burung-burung kecil singgah sebentar di pinggiran jembatan. Lalu kembali terbang karena ada sekelompok burung lain yang seolah memanggil untuk terbang bersama.
Setelah puas menatap sang Ampera, mata indah Fhania kembali mengamati air sang Musi yang terhampar luas, berkilau terkena sinar matahari senja. Bibir Fhania tertarik seketika, melukis senyuman karena dilihatnya beberapa bocah laki-laki bertelanjang dada sedang bergelantungan di buritan ketek (kapal bermesin khas Palembang). Mereka tampak sangat berbahagia bermain-main air sambil diseret ketek. Mereka bercanda dan tertawa, tak ada sedikit pun rasa sedih di raut wajah mereka. Padahal Fhania tahu, bocah-bocah itu anak kurang mampu dengan kesulitan hidup pasti tak jarang melanda mereka.
Pemandangan bocah-bocah tadi sudah mulai menjauh. Kini Fhania membalikkan tubuhnya memandang ke arah bangunan kokoh peninggalan bersejarah dari Kesultanan Palembang Darussalam, Benteng Kuto Besak (BKB). Tiba-tiba ada pengamen kecil menghampirinya dan mendendangkan sebuah lagu. Fhania menatap gadis kecil itu iba. Tubuhnya kurus dan kulitnya kotor. Ia terus bernyanyi padahal suaranya sudah serak. Fhania mengambil lembaran ribuan dan memberikannya pada sang pengamen. Pengamen kecil itu terlihat bahagia menerima uang dari Fhania dan tak lupa mengucapkan terima kasih pada Fhania.
“Sebenarnya untuk menjadi bahagia itu dimulai dari hal yang amat sederhana. Dua jam di sini, aku telah belajar banyak tentang kebahagiaan hidup di sela-sela peliknya kehidupan. Ah, tapi kenapa aku masih saja tidak bersyukur padahal aku lebih beruntung dari mereka. Bukankah seharusnya aku bisa lebih bahagia dari mereka? Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini yang telah berlarut-larut dalam kesedihan karena kecewa pada seseorang yang belum tentu masih memikirkanku,” Fhania bergumam pada dirinya sendiri.
Fhania, gadis yang telah berusia lebih dari seperempat abad adalah gadis yang lincah dan cekatan. Ia adalah seorang guru yang masih muda. Wajahnya yang cantik makin cantik dalam balutan kerudung lengkap dengan kacamata yang bertengger manis di wajahnya. Walau bagaimana pun, Fhania masih tetap manusia biasa yang pernah merasakan cinta. Namun disayangkan, perjalanan cintanya tak semulus perjalanan karirnya. Hal inilah yang hampir membuat Fhania jatuh terpuruk dalam lubang kesedihan paling dalam. Fhania berjalan, mencari tempat duduk lain yang lebih sepi dan tenang. Tapi tidak didapatinya. Ia menuju tempat parkiran motor kemudian melaju menuju Masjid Agung. Ya, ia berniat shalat magrib di sana. Fhania mengambil tempat agak sudut dan kembali merenung karena masih ada waktu satu jam sebelum azan magrib berkumandang.
***
            “Honey, kapan kamu pulang ke Palembang?” tanya Fhania pada kekasihnya di telepon.
            “Setelah aku diperbolehkan cuti di awal bulan nanti, Honey. Sabar, ya. Aku pasti pulang,” jawab Rangga yang menenangkan hati Fhania.
            “Oke. Jangan lupa gelang yang aku pesan kemarin, Honey!” ucap Fhania mengingatkan.
            “Iya. I love you. Aku kerja dulu ya, Honey. Bye…,” ujar Rangga mesra pada Fhania.
            “Kerja yang rajin ya untuk pernikahan kita. I love you too, Honey,” kata Fhania mengakhiri pembicaraannya.
            Fhania tersenyum bahagia sambil memeluk guling. Ia membayangkan wajah Rangga, yang sudah empat tahun menjadi kekasihnya. Mereka berdua berencana akan menikah di tahun ini. Maka dari itu, Rangga bekerja dengan giat berusaha mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan mereka. Tanpa sepengetahuan Rangga ternyata secara diam-diam, Fhania juga ikut menabung demi persiapan hari bahagia mereka nanti.
            Layaknya bidadari, sifat dan kelakuan Fhania memang pantas diacungi jempol. Kesetiaannya pada Rangga juga tutur lembutnya. Fhania tidak pernah sekali pun marah atau merajuk pada Rangga yang lumayan sering membuatnya kesal. Fhania mencintai dan menyayangi Rangga apa adanya dan mau menunggu Rangga yang bekerja di Pulau Jawa sana. Kisah cinta yang mereka jalin memang kisah cinta yang terpisahkan oleh jarak. Dalam satu tahun, paling banyak enam kali Rangga pulang ke Palembang. Jika waktunya Rangga sudah di Palembang, maka mereka banyak menghabiskan waktu berdua untuk melepaskan rindu.
            “Sungguh, aku merindukanmu Rangga. Aku ingin kamu cepat pulang. Aku ingin kita segera menikah dan aku bisa segera menjadi istri kamu,” ucap Fhania lirih di dalam hati.
***
            Fhania menghapus pipinya yang basah. Sukses, lamunannya kini kembali mengantarkannya pada sosok laki-laki yang amat dicintainya, laki-laki yang dapat membuatnya menjadi gadis cengeng. Apakah Fhania menyesali keputusannya? Ah, Fhania bukan menyesal. Tapi hanya saja ia belum memiliki waktu yang cukup untuk melupakan Rangga. Walau ingatan tentang Rangga membuatnya bersedih, tapi ia masih saja tak mau melupakannya. Kini Fhania kembali tenggelam dalam cerita masa lalunya.
***
            Fhania tersenyum bahagia. Teramat bahagia menjumpai kekasihnya berdiri di depan pintu rumahnya. Rangga pun tersenyum bahagia menatap Fhania, kekasih tercintanya.
            Rangga menghampiri Fhania dan ingin memeluknya. Tapi Fhania tersadar dan melarang Rangga melakukannya. “Kita belum halal, Honey. Silahkan duduk dulu, aku buatkan es teh sebentar!” kata Fhania sambil berlalu ke dapur.
            Rangga duduk dengan gelisah. Ia bingung bagaimana mau menjelaskan pada Fhania nanti. Namun karena diingatnya Fhania yang ia cintai itu tak pernah marah apalagi oleh hal sepele, Rangga menjadi sedikit tenang.
            Fhania datang kembali dengan dua gelas es teh manis dalam waktu yang cepat. Ia dan Rangga memang sama-sama penggemar es teh manis. Jadi, sebelum Rangga datang, Fhania telah menyediakannya di dapur.
            “Kamu makin cantik, Honey. Aku jadi ngin cepat-cepat menikah denganmu,” puji Rangga yang membuat Fhania tersipu malu.
            “Keadaanmu bagaimana? Sepertinya lebih kurus dari sebelumnya,” kata Fhania yang memperhatikan perubahan tubuh Rangga.
            “Aku kurus karena sering memikirkanmu, hehehe….” canda Rangga pada Fhania yang ikut tertawa kecil.
            Mereka terdiam sesaat. Padahal ada rindu di hati masing-masing namun tak bisa terucap lewat kata-kata.
            “Oh, ya, Honey. Gelang pesananku ada, kan?” tanya Fhania sambil tesenyum manis setelah mereka berdiam diri selama kurang lebih lima menit.
            Rangga bingung mau berkata apa, “Maafkan aku, Honey! Gelangnya lupa kubeli. Kemarin aku terburu-buru jadinya benar-benar lupa. Maaf, ya!” sesal Rangga seraya melirik ke arah Fhania yang seketika kehilangan senyum.
            “Kenapa hal seperti itu saja kamu bisa lupa? Aku sudah berharap dapat memakai gelang itu hari ini. Kamu tidak mengerti keinginanku, Rangga!” seru Fhania sedikit emosi. Entah kenapa dia bisa marah untuk kesalahan Rangga yang tak terlalu besar.
            “Oh, jadi kamu mau marah. Silahkan! Bukannya mencoba untuk mengerti atas kelupaanku, malah marah untuk hal seperti ini! Kita putus saja!” Rangga berdiri dari duduknya dan berkata tanpa terkontrol. Sesungguhnya ia menyesali ucapan terakhirnya itu.
            “Putus? Gara-gara aku marah? Hebat! Sepertinya kamu memang mencari alasan untuk putus denganku. Ada apa sebenarnya? Jawab!” kata Fhania mencoba menahan tangisnya.
            Rangga duduk dan perlahan mulai menarik napas. Ia berusaha berkata jujur. “Sebenarnya aku sudah mengotori dan menyakiti tiga wanita tanpa sepengetahuanmu, Fhania. Aku tak bisa terus bersamamu. Kamu terlalu baik untukku,”
            Fhania terkejut atas pengakuan Rangga. “Astarghfirullah. Jika benar kamu melakukan itu, kamu harus bertanggung jawab. Kamu harus menikahi sekarang juga salah satu wanita yang paling kamu kotori, Rangga!” Kini tangis Fhania pecah tak mampu terbendung lagi.
            Ia masuk ke dalam kamar mengambil sesuatu.
            “Ini uang hasil tabunganku untuk pernikahan kita. Namun sekarang sudah tak ada guna lagi. Aku berikan untukmu, gunakan uang ini untuk menikahi wanita yang kamu pilih, Rangga! Pulanglah sekarang, aku baik-baik saja!” Fhania menyerahkan uang sebesar Rp 8.000.000,00 pada Rangga kemudian ia berlari masuk ke kamarnya meninggalkan Rangga yang diam mematung.
***
Fhania mendekap wajah di pangkuannya, menyembunyikan tangisnya dari beberapa pasang mata yang mulai melirik ke arahnya. Kejadian pahit yang menimpa  cintanya beberapa bulan yang lalu, masih meninggalkan kenangan yang sukar dilupakannya. Orangtua dan keluarga Fhania tidak ada yang tahu tentang kejadian pahit yang melanda Fhania. Fhania memberi alasan pada mereka, jika ia putus dengan Rangga karena ada hal yang membuat mereka tak cocok lagi. Ia ingin hanya dirinya dan Rangga yang tahu. Biarlah ia simpan sendiri kisah pahitnya sebagai pelajaran berharga untuk hidupnya. Fhania masih terus berusaha dan menyerahkan sepenuhnya pada Sang Pencipta atas hidup dan matinya, temasuk urusan jodohnya nanti. Ia yakin, Allah akan memberikan dia seseorang yang layak mencintai dan dicintainya atas ridho dari-Nya, pada waktu yang tepat. “Semua akan indah pada waktunya,” ucap Fhania di sela-sela tangisnya.
__________________________________________________________________________

KEHILANGAN MESTIKA

            Kutarik napas cukup dalam dan perlahan kuembuskan. Dengan sendu, kutatap sebuah kotak berisi bekal makan siang yang tergeletak di atas meja. Sudah lima belas menit lamanya hanya kupandangi tanpa berniat untuk menikmatinya. Bukan rasanya tak enak bukan pula karena perutku masih kenyang. Sebenarnya saat ini, aku merasa sudah lapar dan ingin memakan bekal itu. Namun egoku lebih besar dan aku memutuskan untuk keluar, mencari makan siang di restoran terdekat.
            “Selamat siang, Pak Rio. Bapak mau ke mana?” tanya Aji, salah satu karyawanku.
            “Mau ke Rumah Makan Pagi Sore. Kalau kamu belum makan, mari bareng saya saja!” ajakku menawarkan.
            “Bapak tidak dikirimi bekal makan siang hari ini?” tanya Aji dengan wajah penasaran.
            Aku menatap Aji tajam. Ia tertunduk seolah menyesali pertanyaannya barusan. Segera kulangkahkan kaki dan Aji menyusul, berjalan di belakangku. “Sudah, biasa saja! Saya hanya bosan makan bekal. Sesekali ingin merasakan makanan di luar,” kataku pada Aji karena dari tadi kulihat dia hanya terdiam.
            Aji tersenyum. “Maaf ya, Pak!” katanya.
            Aku membalas senyum Aji dan kami meneruskan makan siang dengan nikmat.
            HP-ku berbunyi dan kuangkat dengan senang hati ketika tertera nama Sabila di layar. Mendengar suara indahnya saja menumbuhkan semangat, apalagi melihat wajahnya. Ah, aku merindukannya lagi. Padahal tadi pagi sudah bertemu dengannya. Tepat ketika pembicaraanku dengan Sabila berakhir, seorang wanita masuk ke dalam ruanganku. Dia tersenyum dan duduk di hadapanku.
            “Honey, sudah shalat Zuhur?” tanyanya sembari tersenyum manis.
            Aku mengangguk dan pura-pura sedang menulis sesuatu di lembaran kertas.
            “Kenapa bekalnya belum dimakan? Sudah pukul satu siang, loh. Nanti kamu sakit,”
            “Maaf, Honey. Tadi aku makan bersama karyawan di luar. Tidak enak menolak ajakan mereka,” kataku berbohong.
            Dia hanya tersenyum dan memasukkan kotak bekal ke dalam tasnya. “Tidak apa-apa, Honey. Ya, sudah, aku pergi dulu. Selamat meneruskan kerjanya, ya!”
            Setelah ia pergi untuk kembali ke kantornya yang tak jauh dari sini, aku menarik napas lega. Kinanti, kekasihku, hampir setiap hari memasakkan dan mengantarkan bekal makan siangku. Dia, satu-satunya wanita yang menurutku sangat baik, perhatian dan hatinya yang seputih kapas. Empat tahun bersamanya memang menyenangkan dan kami berencana untuk segera menikah paling lambat tiga bulan lagi. Tapi, dua minggu yang lalu semuanya telah berubah. Cintaku pada Kinanti sudah amat berkurang karena kehadiran Sabila, mahasiswi cantik yang menarik hatiku, yang mampu membuat hatiku harus mendua.
            Sesungguhnya aku merasa bersalah, tapi aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri. Tiga hari yang lalu, Sabila telah menjadi kekasihku. Baik Sabila atau Kinanti, belum ada yang tahu tentang ini dan aku berharap ini akan aman sampai aku bisa memutuskan hubunganku dengan Kinanti. Tak mudah jika tiba-tiba harus putus begitu saja. Papi dan mami tentu akan marah denganku. Belum lagi ayah dan bunda Kinanti tentu sangat kecewa padaku. Dan Kinanti? Ah, aku tak tahu apa yang akan ia perbuat padaku jika tahu kekasihnya telah mendua di belakangnya.
            Kira-kira satu bulan yang lalu, saat penerimaan karyawan baru di kantorku. Aku mengamati para pelamar yang memenuhi aula. Aji dan belasan karyawan terlihat sibuk melayani pelamar yang mendaftar. Tentu aku tak membantu mereka karena posisiku sebagai wakil direktur tidak mengurusi hal-hal seperti itu. Papi menempatkanku sebagai wakil karena masih ingin menguji kinerjaku. Jika menurutnya bagus, ia akan memberikan perusahaannya ini padaku. Maka dari itu, dua tahun ini aku benar-benar berusaha menunjukkan kinerja terbaik agar papi percaya padaku.
            “Permisi! Benar di ruangan ini tempat pendaftaran untuk pelamar kerja di perusahaan ini?” tanya seorang gadis padaku.
Aku tertegun sejenak dan menatapnya. Gadis di depanku ini amat cantik dan menarik. Aku pun terpana memandangnya. Dia terlihat bingung dan salah tingkah.
“Maaf, Pak. Anda mendengar pertanyaan adik saya tadi?” Kini pria muda di samping sang gadis yang bertanya. Wajahnya sedikit kesal. Mungkin gara-gara tatapanku pada adiknya barusan.
“Iya, di sini. Siapa yang mau melamar?” jawabku berwibawa sembari membenarkan letak dasiku.
“Kakak saya, Pak!”
Aku tersenyum dan menunjuk ke arah antrian. Kakak si gadis langsung melangkahkan kakinya, bergabung pada antrian sedangkan adiknya kuajak duduk di ruang tunggu. Kami pun mengobrol. Ternyata nama gadis cantik ini Sabila, mahasiswi semester enam di Universitas Bina Darma.
“Oh, jadi Bapak wakil direkturnya. Aduh, maafkan jika saya dan kakak saya tadi kurang sopan dengan Bapak,” ujar Sabila dengan wajah khawatir.
“Tenang saja, jangan khawatir! Biasa, kok. Oh, ya, panggil saya dengan Rio atau Mas saja, kalau bapak itu sepertinya sudah tua. Saya masih berusia 24 tahun, Sabila! Hehe…,” kataku sambil tertawa kecil.
“Hehehe, iya. Sabila panggil Mas saja, deh.” katanya dengan tersenyum sembari menyatukan rambut indahnya ke kiri.
Sabila benar-benar cantik. Tubuhnya tinggi langsing, berkulit putih dan tutur katanya menyenangkan. Ditambah lagi suaranya yang merdu. Ah, bisa-bisa aku jatuh cinta padanya.
Selang seminggu perkenalanku dengan Sabila, kami semakin akrab saja. Meskipun kakaknya tidak diterima bekerja di perusahaanku, Sabila tidak kecewa dan tetap dekat denganku. Gadis yang benar-benar mendekati sempurna. Aku tergila-gila padanya hingga menutupi kesadaranku jika diriku ini sudah memiliki seorang kekasih.
“Mas Rio sudah punya pacar belum? Nanti pacarnya marah jika melihat kita sering pergi berdua,” Sabila berkata sambil menatap mataku lekat. Saat ini kami sedang dinner di Solaria, Palembang Indah Mall.
“Belum, Sabila. Mas sedang mencari pasangan, nih.” kataku tak jujur menjawab pertanyaan Sabila.
“Sabila heran, deh. Kenapa laki-laki seganteng dan sebaik Mas Rio belum ada pacar. Hehehe,” ujar Sabila memujiku. Lalu ia tertawa bercanda sehingga terlihatlah barisan giginya yang rapi dan  putih.
“Sabila mau jadi pacarku?” tanyaku iseng.
Sabila tertegun memandangku. Aku menatap matanya menunjukkan keseriusan.
“Jika Mas bersungguh-sungguh, Sabila mau.”
Aku tercengang tak percaya. Sabila menerimaku. Ah, bahagia sekali rasanya bisa memiliki gadis secantik Sabila. Aku tersenyum riang dan menggenggam jemari Sabila yang halus.
“Mas sungguh-sungguh,” ucapku meyakinkan Sabila.
“Iya, Mas.” Sabila tersenyum manis dan menganggukkan kepalanya.
***
            “Honey, bekalnya sudah satu minggu ini tidak dimakan. Masakanku tidak enak ya?” kata Kinanti sedih sembari menatap kotak bekalnya yang masih penuh.
            “Enak, tapi akhir-akhir ini sering makan di luar dengan rekan-rekan kerja, Honey. Menurutku, lebih baik tidak mengantarkan bekal lagi saja. Takutnya malah merepotkan kamu,” jawabku hati-hati takut menambah kesedihan pada gadis yang sedang tertunduk di hadapanku.
            Beberapa menit kami hanya terdiam di dalam ruang kerjaku yang dingin oleh AC. Kinanti mengangkat wajahnya perlahan. Raut wajahnya menyiratkan ada rasa curiga namun tetap ditahannya.
            “Aku tidak pernah merasa direpotkan, Honey. Tapi, kalau kamu maunya seperti itu, tidak apa-apa. Kapan-kapan, jika kangen dengan masakanku lagi, bilang saja! Nanti akan kubuatkan,” ujar Kinanti dengan senyum lebar. Jemarinya menyentuh tanganku dan menggenggamnya.
            “Siap, Sayangku!” aku mengusap pipi Kinanti yang dingin seraya merasakan genggaman tangannya yang hangat. Genggaman penuh cinta.
            “Halo, Mas! Aduh, kenapa baru dijawab sih telepon Sabila?” seru Sabila terdengar kesal.
            “Maafkan Mas, Sayang. Tadi lagi ada kerjaan,” aku terpaksa berbohong. Tak mungkin jika kukatakan tadi sedang bersama Kinanti, kekasih pertamaku.
            “Oh. Mas, Sabila sedang butuh uang lima juta untuk praktikum. Bisa tidak Sabila pinjam dulu dengan Mas?”
            “Bisa. Nanti setelah Mas pulang kerja, Mas jemput di kampus dan bawa uangnya untuk kamu,”
            “Iya, Mas. Sabila sayang deh sama kamu,”
            Srrr…. Jantungku berdebar mendengar Sabila berkata seperti itu.
            “Mas juga sayang sama Sabila,”
            Setelah menutup HP, aku termenung. Kubenamkan wajah di atas tumpukan buku di meja kerjaku. Wajah Sabila dan Kinanti bergantian menari-nari dalam benakku. Saat ini rasa cintaku untuk Sabila memang lebih besar. Namun, aku bingung bagaimana caranya untuk memberitahu hal yang sebenarnya pada Kinanti. Aku tak mau terus-terusan begini.
Sudah dua minggu aku menjalin hubungan dengan Sabila. Entah, apa yang kuharapkan dari hubungan ini. Sabila tidak sedewasa Kinanti, Sabila juga tak seperhatian Kinanti. Tapi, Sabila lebih menarik hatiku denga sikap manjanya. Sedangkan Kinanti tak pernah bermanja-manja. Malah mungkin aku yang dulu sering manja dengannya. Ah, aku ingin secepatnya memutuskan Kinanti saja. Biarlah kuhadapi resiko ini.
Pada suatu sore, saat baru saja sampai di rumah. Kulihat Kinanti sedang asyik mengobrol dengan mami. Aku mencium pipi dan tangan mami. Lalu tersenyum pada Kinanti.
“Rio, kenapa tidak pulang bareng Kinanti?” tanya mami yang tidak tahu jika sudah hampir satu bulan ini aku tak pernah lagi menjemput Kinanti di kantornya untuk pulang bersama.
“Biasanya Rio masih ada pekerjaan di kantor, Mi. Jadi Kinanti pulang duluan karena Bunda menyuruh Kinanti untuk pulang cepat,” jelas Kinanti pada mami.
Aku menarik napas lega lalu tersenyum, “Rio ganti baju dulu, Mi.”
Selesai mengganti baju, Kinanti mengetuk pintu kamarku.
“Masuk saja!” kataku.
“Eh, kamarnya masih berantakan juga. Perasaan baru dua hari yang lalu aku membereskannya,” seru Kinanti sambil merapikan letak buku-buku di rak.
Aku tertawa saja. “Hahaha, begitulah seorang Rio, Sayang!” ujarku sembari mengangkat pakaian kotor dan memasukkannya di keranjang.
Kinanti ikut tertawa. Aku memperhatikan wajahnya. Kinanti cukup cantik dan dewasa. Pasti bisa menjadi istri yang baik. Namun, saat ini hatiku sedang ditawan oleh wanita lain. Aku tak bisa mengelak akan hal itu.
“Sayang, malam ini mau tidak kalau kita nonton berdua?” tanya Kinanti.
“Bagaimana kalau besok malam saja. Malam ini masih ada yang harus kukerjakan, Sayang.”
“Iya. Tapi benar-benar jadi, ya. Janji?”
Aku mengangguk lalu mencium kening Kinanti. Kinanti tersenyum bahagia.
Saat kurasakan perasaanku memudar pada Kinanti, saat itu pula aku harus berpura-pura tetap mencintai dia seperti dulu. Saat hatiku mulai mendua, saat itu pula aku terus-terusan harus berbohong. Semenjak bersama Sabila, aku sudah tak memikirkan Kinanti sedikit pun. Aku juga tak pernah lagi pergi bersamanya dan seringkali tak menepati janji. Namun, Kinanti tak pernah sekali pun marah atau merajuk. Ia tetap dengan sikap lembutnya, tetap dengan senyum dan perhatiannya. Ya Tuhan, aku merasa sangat bersalah pada Kinanti.
***
            Aku terdiam di depan mobilku sambil menunggu Sabila selesai kuliah. Saat ini aku tengah dirundung rasa bingung dan heran. Sabila mengatakan padaku jika orangtuanya tak pernah memberi uang lagi padanya disebabkan nilai kuliahnya turun drastis. Maka dari itu Sabila meminjam uang padaku. Aku tak mungkin meminta untuk kembalikan uang yang dipinjam kekasih sendiri. Lama kelamaan, Sabila jadi sering minta uang padaku. Aku biasa-biasa saja. Tapi setelah hampir dua bulan terakhir ini, aku menjadi sadar dan menanyakan langsung pada orangtua Sabila. Ternyata semua yang Sabila katakan padaku hanyalah bohong belaka. Aku merasa sangat ditipu dan hanya dimanfaatkan saja oleh Sabila. Aku sungguh menyesal.
“Sayang, akhir-akhir ini kamu boros sekali, loh. Uang yang Mas beri tiap minggunya dikumpulkan untuk kuliah, bukan? Kenapa malah dibuat untuk ke salon dan belanja?” tanyaku heran karena Sabila kembali meminta uang padaku guna keperluan kuliahnya.
            “Ah, Mas. Salon dan belanja juga penting bagi Sabila. Uang yang diberikan papa dan mama tidak cukup!” jawab Sabila cuek sambil memencet tombol HP-nya.
            “Om dan tante pernah bilang ke Mas jika keperluan kuliah Sabila mereka kasih terus ke Sabila. Uang saku juga. Jujur saja! Sabila pakai untuk apa uang yang diberikan papa dan mama juga uang dari Mas?”
            “Mas tidak percaya sama Sabila? Mas lebih percaya sama mama papa? Kita putus saja!” Sabila berkata dengan emosi lalu pergi meninggalkanku sendirian di lapangan parkiran kampus. Aku tak berniat mengejarnya. Atas sikap dan perilakunya itu, rasa cintaku padanya seketika hilang. Baru kusadari, rasa cinta pada Sabila hanyalah rasa cinta sesaat.
            Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba kuterkenang pada Kinanti. Beberapa hari ini ia tak pernah lagi ke rumah. Ia juga tak lagi menghubungiku. Mami sampai heran karena tak lagi berjumpa pada Kinanti. Mungkin Kinanti marah padaku, karena aku kembali melanggar janji untuk nonton berdua bersamanya waktu itu. Maka kuputuskan untuk menemui Kinanti di rumahnya. Ada suatu hal yang mengganjal di hatiku. Aku merasakan ada hal yang tak beres, tapi aku tak tahu apa itu. Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah Kinanti. Rumah yang tak pernah lagi kupijak sejak hati ini mulai terbagi.
            “Kinanti tahu tentang Sabila, Rio. Dia bersedih, dia menangis. Akan tetapi, ia tetap diam saja sampai menunggu kamu sendiri yang akan bercerita. Kinanti tak pernah marah atau membenci kamu, Rio. Dia tetap mencintai kamu seperti dulu. Bunda tahu, ia menderita atas sikapmu. Namun Bunda yakin sekarang ia telah bahagia,” kata Bunda Kinanti bercerita dengan berurai airmata.
“Maafkan Rio, Bunda. Rio memang jahat sekali dengan Kinanti. Tapi Rio tak tahu jika sebenarnya Kinanti telah mengetahui semuanya,” kataku sedih sembari tertunduk menyesal.
            “Semua sudah terjadi, Rio. Jika ingin bertemu dengannya, ikut Bunda saja sekarang. Kinanti beristirahat di Bandung, tempat neneknya,”
            “Rio akan meminta maaf pada Kinanti, Bun. Kami akan kembali merajut kisah kasih seperti dulu. Rio sadar, selama ini hanya Kinanti yang benar-benar tulus mencintai Rio,” ucapku bersungguh-sungguh dan Bunda tersenyum dalam tangisnya.
            Selama di pesawat yang akan membawa kami ke Bandung, Bunda terlihat amat bersedih. Tatapan matanya kosong dan hanya terdiam. Aku pun ikut terdiam karena tak tahu mau bicara apa.
            Sesampainya di rumah nenek Kinanti, sebuah rumah yang asri dan sejuk, aku mencari-cari sosok Kinanti.
            “Di mana Kinanti, Bun?” bisikku pada Bunda.
            “Sebentar lagi kita akan berangkat bersama-sama menemui Kinanti. Tunggu yang lain dulu,” jawab Bunda masih dengan wajah murungnya. Sebenarnya aku masih ingin bertanya lagi. Tapi, kuurungkan karena bunda sedang terlihat sibuk dengan keluarganya.
***
            “Sudah berulangkali aku ke sini. Tak kupikirkan jarak yang cukup jauh antara Palembang ke Bandung. Aku hanya ingin kamu tahu, jika sampai sekarang aku masih mencintaimu. Aku tak bisa melupakanmu, Kinanti. Hingga sampai pada detik ini, penyesalan masih menghantuiku. Penyesalan karena sikapku dulu yang telah menduakan cintamu, Sayang. Kau adalah wanita paling sempurna. Kau adalah kekasih terhebat dan terkuat. Kau adalah mestikaku, namun kini aku telah kehilanganmu.”
            Airmataku jatuh perlahan. Kuusap batu nisan yang bertuliskan nama mestikaku, Kinanti Putri. Kini Kinanti telah pergi jauh meninggalkanku. Beberapa minggu yang lalu, saat Bunda dan keluarganya mengajakku bertemu Kinanti di suatu tempat, aku sangat terpukul ketika tahu ternyata tempat itu adalah pemakaman. Ya, Kinanti telah meninggalkan dunia. Nyawanya terenggut saat mobil Kinanti bertabrakan dengan sebuah truk. Padahal saat itu Kinanti hendak menjemput saudara sepupunya.

            “Kinanti sayang, kini aku mulai terbiasa, menemuimu di sini dan bercakap-cakap sendiri untuk mengobati rasa rindu. Hidupku sekarang memang terasa sepi dan hampa tanpa seseorang seperti dirimu. Namun dari kamulah, aku bisa belajar akan arti sebuah cinta dan kasih sayang. Terima kasih untuk cintamu selama ini, Sayang!”

______________________________________________________________________________

CHERRY BLOSSOM
(The Shortest Poetry For You)

            Kelopak-kelopak sakura berwarna putih, merah jambu…
            Kala berguguran akan tergantikan sang hijau…
            Angin membawakannya ke telapak tanganku…
            Kugenggam erat, lalu aku menangis mengingatmu…

***
Haru1, 2013….
The Osaka Mint Bureau.2

Aku berdiri di depan pohon sakura. Meresapi keindahannya. Meneguk keharumannya. Perlahan kupejamkan mata lalu membayangkan jika saat ini tengah dikelilingi kelopak-kelopak bunga sakura yang berguguran. Menerpa wajahku, membelai rambutku dan menyentuh kulitku. Bunga sakura! Ya, bunga sakura. Dialah hidupku.
            “Sakura! Kau seperti orang bodoh!” teriak seseorang di dekat telingaku.
            Mau tak mau mataku langsung terbuka dan lenyaplah khayalan indahku tentang bunga sakura. Aku menatap tajam pada cowok di sampingku. Ingin kutelan dia hidup-hidup. Tapi sayangnya itu tak mungkin kulakukan.
            “Ada yang salah?” tanyaku kesal.
            Kazuki hanya menggeleng dan tersenyum jenaka.
            “Tahu tidak jika kau itu sudah menggangguku?!!” kataku cukup keras. Dengan kecewa kuseret langkahku meninggalkan Kazuki.
            “Sakura…!” panggil Kazuki sembari mengikuti langkahku.
            Aku berhenti di tepian Sungai Okawa. Jejeran pedagang jajanan makanan tradisional Jepang terlihat meramaikan area The Osaka Mint Bureau yang memang hanya dibuka untuk umum sekali setahun saat haru seperti sekarang ini. Aku sangat menyukai hanamidi sini karena The Osaka Mint Bureau memiliki lebih dari 300 pohon sakura yang bermekaran dengan indahnya saat haru.
            “Gomen nasai4, Sakura! Aku tadi tidak berniat mengganggumu. Hanya saja aku terheran melihat kelakuanmu,” ujar Kazuki menjelaskan. Ia berdiri di sampingku sambil matanya melirik ke arahku.
            “Daijoubu desu5, Kazuki. Aku hanya ingin merasakan bunga sakura. Kamu tahu bukan jika aku sangat menyukainya?” Aku menjawab rasa keheranan sahabatku dengan suara kecil. Seharusnya Kazuki tahu tentangku!
            “Hai6, aku tahu! Kau sangat menyukai sakura sejak haru tahun lalu. Namamu saja Sakura, kan. Hehe….”
            Kazuki tertawa kecil dan aku hanya tersenyum menanggapi kata-katanya.

***     
“Jangan bilang gara-gara Hisashi kau jadi makin aneh sekarang!” cetus Kazuki sambil memegangi pergelangan tanganku.
            Kutatap wajahnya dan berkata, “Kalau iya, kenapa?”
            Setengah berlari aku meninggalkan Kazuki. Dengan cepat aku mendahuluinya keluar dari gerbang sekolah.
            Dan hari ini pun aku kembali mengunjungi The Osaka Mint Bureau. Ini hari ke dua bunga sakura sedang bermekaran. Biasanya bunga sakura hanya bisa bertahan tidak lebih dari sepuluh hari. Maka dari itu, sebisanya aku harus melihat sakura setiap harinya sebelum kelopak-kelopak indahnya akan berguguran berganti dengan daun berwarna hijau.
            Sama seperti hari kemarin, kini aku sedang tengadah di bawah pohon sakura yang bermekaran sempurna sambil memejamkan mata. Lalu kubayangkan kelopak-kelopaknya yang berguguran mengenai tubuhku disertai harumnya yang khas dan menyegarkan. Hingga beberapa menit aku dalam keadaan seperti ini. Tak kupikirkan lagi banyaknya orang yang berlalu lalang di sekitarku yang mungkin saja merasa sedikit aneh dengan kelakuanku.
            Ketika kubuka mataku, Kazuki sudah berada di hadapanku dengan senyumannya. Aku hanya membalas senyumannya dengan cengiran kecil.
            “Aku berharap kau akan menjelaskan hal ini padaku, Sakura. Agar aku tak lagi penasaran,” kata Kazuki sembari duduk di atas rerumputan. Tangannya dikibas-kibaskan pada rumput dan sesekali pandangan matanya diarahkan pada bunga-bunga sakura yang bermekaran indah.
            “Hal apa maksudmu, Kazuki?” tanyaku tak mengerti. Kini aku duduk di samping Kazuki dan memperhatikan dirinya. Ternyata Kazuki juga cukup manis, apalagi hidung dan dagunya itu, begitu mungil dan menggemaskan. Eh, mikir apa aku ini?!
            “Kemarin, hari pertama haru, kau minta temani ke sini. Lalu bertindak seperti orang aneh dan bodoh. Hari ini pun kau begitu!”
            “Bertindak seperti orang aneh dan bodoh?”
            “Sakura! Jangan pura-pura tidak mengerti maksudku! Kau memejamkan mata di bawah pohon sakura, sambil merentangkan tangan dan senyum-senyum sendiri. Apalagi kalau itu bukan hal aneh yang dilakukan oleh orang bodoh?”
            “Hahaha…. Berarti kau lebih aneh dan bodoh karena mau menemani orang aneh dan bodoh seperti aku!”
            Kazuki menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan keningnya berkerut. Aku tahu dia pasti memikirkan kata-katanya yang membuat ia terpojok sendiri. Aku masih tertawa melihat wajah Kazuki. Ia sendiri cemberut lalu mengacak rambutku.
            “Dasar, gadis aneh. Hahaha!” Dia kembali menyebutku aneh kemudian kami tertawa bersama.
            Ah, Kazuki memang selalu bisa membuatku tertawa. Selalu menemani kesepianku sejak ditinggal Hisashi. Dan karena dia juga aku bisa mendapatkan semangat lagi untuk melalui hari-hariku. Kazuki, memang sahabat terbaikku. Setidaknya itulah hubungan kami sekarang.

***     
Haru, 2012….
            The Osaka Mint Bureau.

            “Bunga sakura ini menjadi lambang cintaku. Aishiteru7, Sakura!” Hisashi mengambil tanganku lalu meletakkan sehelai kelopak sakura ke telapak tanganku. Ia tersenyum dengan begitu manisnya lalu mengecup punggung tanganku.
Jantungku berdebar dan tubuhku hanya dapat berdiri kaku. Ah, inikah rasanya jika ada seseorang yang menyatakan cintanya pada kita? Apalagi seseorang itu memang kita sukai. Aku merasakan kehidupan begitu indah. Udara begitu sejuk dan menenangkan. Dan kurasakan juga bumi seolah berputar dengan perlahan.
“Kau mau jadi pacarku, Sakura?” tanyanya lembut dan bibirnya tak pernah lepas dari senyuman manisnya untukku.
Hai, Hisashi! Aku mau,” jawabku menganggukkan kepala dan menarik kedua ujung bibirku membentuk senyuman, senyuman termanisku.
Arigatou gozaimasu8, Sakura. Aku sangat bahagia!”
Do itashimashite9, Hisashi. Aku juga bahagia!”
Lalu aku dan Hisashi berjalan menelusuri The Osaka Mint Bureau. Sepanjang jalan yang kami lalui, terhampar ratusan pohon sakura yang bermekaran. Memang ini sudah satu minggu haru, maka dari itu bunga-bunga sakura mulai terlihat berguguran dari batang-batangnya. Ya, sakura memang sangat indah. Namun sakura begitu mudah berguguran, apalagi jika ada angin. Itulah kenapa sakura sering menjadi pengingat bahwa tak ada yang kekal di dunia ini.
Seminggu kami jadian, Hisashi kembali mengajakku ke The Osaka Mint Bureau. Saat ini kami sedang berada di dekat penjual makanan tradisional Jepang. Sambil menunggu takoyaki10, aku dan Hisashi duduk sambil mengamati orang-orang Osaka yang sedang berbahagia bersama keluarga atau teman-teman mereka.
“Sakura… aku sangat menyukai namamu. Ya, sama seperti aku menyukai bunga sakura.” ucap Hisashi padaku.
“Kenapa Hisashi menyukai bunga sakura?” tanyaku seraya memandangi wajah manis dan lembut milik kekasihku.
Seharusnya aku tidak bertanya karena hampir kebanyakan orang memang menyukai bunga itu. Oleh karena itu saat-saat haru adalah saat-saat yang sangat dinantikan semua orang untuk menikmati keindahan bunga sakura yang menakjubkan.
“Mungkin sama seperti yang lain, aku menyukai bunga sakura karena sakura memang indah dan menakjubkan. Coba saja kau berdiri di bawah pohon sakura, lalu pejamkan mata. Maka kau akan merasakan kelopak-kelopak sakura yang berguguran akan membuatmu tenang dan nyaman. Namun, sekarang aku telah menemukan sakura yang lain. Sakura di hadapanku kini lebih indah dan menakjubkan dari sakura manapun,”
Aku tersipu dengan kata-kata yang diucapkan Hisashi. Mungkin wajahku memerah saat ini. “Hisashi bisa saja. Dasar gombal! Haha….” kataku sambil mencubit pinggang Hisashi.
Hisashi hanya tertawa dan setelah itu kami menikmati teriyaki bersama.
            Keesokannya di sekolah, Hisashi mengenalkanku pada teman satu kelasnya. Namanya Kazuki. Pertama kali melihat cowok itu, aku menilainya ia adalah cowok yang pendiam dan pemalu. Tapi karena aku sering bersama Hisashi dan Kazuki pun ikut, lama-kelamaan Kazuki bukan lagi cowok pendiam. Ia sering menjahiliku. Tidak jarang aku sering meminta pertolongan Hisashi jika Kazuki tengah mengusiliku.
            Cinta, aku hanya mampu merasa…
            Di setiap aku bernapas, ia akan selalu ada…
            Cinta, selembut kelopak sakura…
            Dan aku berharap, ia akan kekal selamanya…

***
Sudah memasuki bulan ke dua di musim yang penuh dengan bunga-bunga yang bermekaran indah.. Saat matahari masih bersinar dengan teriknya. Ya, beginilah keadaan Osaka jika masih haru. Meski sudah lebih dari jam tiga sore, matahari masih saja menyengat. Aku dan teman-teman klub tenis diberi waktu lima belas menit untuk istirahat. Sambil menyeka keringat, aku berjalan menuju ruangan klub tenis untuk mengambil botol berisi air minum yang tadi lupa kubawa ke lapangan.
“Aaarrghh!” Aku berteriak kencang sambil melemparkan tasku.
“Masa cuma kecoak saja teriakannya seperti melihat hantu? Hahaha!” Kazuki tertawa bahagia karena ia kembali berhasil menjahiliku hari ini.
Ternyata sepuluh kecoak telah ia masukkan ke dalam tas sekolahku saat aku latihan tenis tadi. Benar-benar manusia yang tak berperasaan. Aku begitu membenci hewan menjijikkan ini. Dan sekarang sedang menggerayangi isi tasku. Iiiihhh!
Rasanya aku ingin menangis dan sangat marah pada Kazuki. Kutinggalkan ia di ruang klub tenis dan aku berlari keluar dengan marah. Aku pergi ke kantin, hendak mencari Hisashi dan melaporkan kelakuan sahabatnya itu. Tapi apa yang kulihat sungguh membuatku muak. Dan sekarang mataku benar-benar telah basah.
Hisashi menoleh ke arahku dengan terkejut. Dengan refleks ia lepaskan tangan cewek manis berambut pendek kemerah-merahan yang tengah memeluknya. Aku segera berlari cukup kencang dan Hisashi mengejarku.
“Sakura… tunggu! Ini tidak seperti yang kaulihat!” teriak Hisashi sambil berlari menyusulku.
Tak kuhiraukan teriakan Hisashi. Aku hanya memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa segera sampai di gerbang sekolah dan segera naik bis untuk pulang.
“Sakura! Ada apa?” Kini kudengarkan teriakan Kazuki. Ia pun ikut mengejarku.
Dan sampailah aku di gerbang. Dengan begitu cepat aku melesat keluar dari sekolah. Suara Hisashi dan Kazuki bersahutan meneriakkan namaku. Aku segera menyebrangi jalan dan menaiki bis yang kebetulan telah ada di sana. Tapi baru saja kaki kananku naik ke bis, suara hentaman keras mengejutkanku. Tiba-tiba perasaanku menjadi tak enak.
Tapi semua telah terlambat.
“Hisashi…!” Suara Kazuki berteriak sangat keras.
Kuurungkan niatku masuk ke dalam bis. Lalu bis segera berangkat. Dan saat itulah, dengan sangat jelas aku melihat Kazuki memeluk tubuh Hisashi yang sudah bermandikan darah.
Tiada pernah kusangka, saat ini adalah saat terakhir aku bisa bertemu Hisashi. Mobil yang menabraknya ketika dia hendak menyebrang jalan untuk mengejarku, telah mengantarkan Hisashi ke surga.

***
Haru, 2013….
            The Osaka Mint Bureau.

            “Kau ingat dua musim tahun kemarin kulalui dengan kesedihan dan rasa penyesalan yang teramat dalam? Hingga pada awal fuyu11  menghampiri Osaka, aku baru bisa bangkit dan sadar dari keterpurukanku. Aku kembali bisa tersenyum dan mampu menerima kenyataan….”
            Aku memejamkan mata, dengan sekuat tenaga menahan airmata agar tidak membasahi wajahku. Kazuki menatapku sendu. Jelas tergambar di raut wajahnya jika ia mengkhawatirkanku. Aku ingin melanjutkan kata-kataku. Namun jari telunjuk Kazuki disentuhkannya ke bibirku.
            “Sakura… kau percaya adanya takdir, ‘kan? Takdir adalah rencana terbaik untuk manusia. Kepergian Hisashi adalah takdir. Dan itu berarti merupakan sebuah kebaikan. Kau sudah melakukan hal terbaik hingga saat ini untuk dirimu sendiri. Tentu dari sana pun Hisashi tersenyum bahagia melihatmu yang juga bisa bahagia. Jadi jangan menangis lagi ya!”
            Aku mengangguk dan perlahan menarik bibirku membentuk garis senyuman untuk Kazuki. Sejak kematian Hisashi, Kazuki yang selalu menemaniku dan memberikan semangat. Aku begitu terpukul atas kepergian Hisashi yang tiba-tiba. Aku menyalahkan diriku sendiri atas peristiwa kecelakaan itu. Apalagi setelah cewek berambut pendek kemerah-merahan yang memeluk Hisashi saat itu telah memberikan penjelasan jika Hisashi tidak mengkhianatiku. Cewek itu berkata jika ia adalah sepupu Hisashi dan saat itu ia memeluk Hisashi karena sedang bersedih. Aku merasa menjadi manusia paling jahat di dunia ini!
Namun adanya kehadiran Kazuki yang tak pernah lelah memberikan semangat dan menyadarkan diriku, akhirnya aku bisa menerima semuanya. Termasuk menerima kenyataan bahwa Hisashi telah pergi untuk selamanya. Kazuki tidak lagi jahil seperti dulu saat Hisashi masih ada. Kazuki telah berubah menjadi manis meski terkadang sifat jahilnya masih sedikit ada, itu pun karena ia ingin menghiburku.
“Eh, kenapa kau jadi bengong?” ujar Kazuki menyadarkan lamunanku. “Ayo dimakan! Entar ramen12 kau, aku yang habiskan, hehe….” lanjut Kazuki sambil tertawa kecil dan terlihatlah barisan gigi putihnya yang rapi. Wajahnya yang tengah tertawa membuatku merasakan sesuatu yang agak kutakutkan. Takut jika perasaanku padanya sama seperti perasaanku pada Hisashi.
“Cerewet! Iya, aku makan nih.” Aku berkata dengan wajah cemberut untuk menutupi perasaan aneh ini.
Selesai makan ramen, aku dan Kazuki mengelilingi The Osaka Mint Bureau. Ini adalah kunjungan kami yang ke tujuh di tahun ini dan itu berarti hari ini adalah hari ke tujuh haru. Pantas saja kelopak-kelopak bunga sakura sudah banyak yang meninggalkan pohonnya. Beterbangan ditiup angin lalu jatuh ke tanah.
“Sakura, berhenti sebentar!” kata Kazuki sembari tangannya menyentuh rambut di atas kepalaku.
“Eh, ada apa?” tanyaku penasaran.
“Ini!” Kazuki menyerahkan sehelai kelopak sakura yang menempel di rambutku.
Aku hanya tersenyum sambil menerima kelopak lembut itu dan menggenggamnya. Lalu kembali kukayuhkan langkah melanjutkan perjalanan.
“Kenapa kelopak sakuranya tidak dibuang saja?” tanya Kazuki keheranan. Dia berjalan di sampingku sambil menjajarkan langkah kakinya dengan langkah kakiku yang pelan.
“Tahun kemarin Hisashi pun memberikan kelopak sakura untukku dan kusimpan juga, Kazuki.” jawabku tenang.
“Kau masih mengingat Hisashi? Apa kau tak pernah mau menggantikannya denganku, Sakura?”
Aku terkejut mendengar kata-kata Kazuki. Di sebuah pohon sakura yang sebagian ranting-rantingnya sudah ada dedaunan hijau, kami menghentikan langkah. Kutatap wajah Kazuki dan ia tertunduk.
Gomen nasai, Sakura!” ucapnya lirih.
“Kazuki, seharusnya kau tahu kenapa aku bisa bangkit dari kesedihanku ditinggal Hisashi. Seharusnya kamu juga tahu kenapa aku tidak pernah melarangmu selalu berada di sampingku!”
Kazuki mengangkat wajahnya perlahan dan menatap mataku. Seakan mencari penjelasan atas kata-kataku barusan. Setelah beberapa detik berlalu dengan keadaan terdiam satu sama lain, akhirnya aku dan Kazuki tertawa serentak.
“Aku sudah menduga, kau pasti akan jatuh cinta padaku!” kata Kazuki dengan penuh keyakinan.
Mendengar kata-katanya itu, membuat tanganku refleks mencubit pinggang Kazuki. “Kata siapa aku jatuh cinta padamu? Bukannya kau yang jatuh cinta padaku sampai rela enam bulan lebih menemaniku yang selalu menangis!” ujarku membalas ucapan Kazuki yang berhasil membuat wajahku bersemu merah.
“Hahaha! Eh, aku pinjam pena dan kertas dong.” pinta Kazuki padaku.
“Untuk apa?” tanyaku sambil menyerahkan pena dan kertas yang kuambil dari tasku.
Kazuki tak menjawab pertanyaanku. Ia duduk di bawah pohon sakura dan menuliskan sesuatu. Aku hanya terheran-heran melihat tingkahnya. Tak berapa lama kemudian dia menyerahkan kertas itu padaku.

 Daisuki da yo.....



“Itu puisi untukmu, Sakura!” ujar Kazuki sambil tersenyum. Kali ini senyumannya terlihat sangat manis.
“Eh, mana ada puisi seperti ini! Cuma satu kalimat lagi. Atau jangan-jangan kau ini sedang menyatakan cinta padaku ya?!” kataku menggoda Kazuki sambil mengerjapkan mataku dengan lucu.
“Ada dong! Itu puisi terpendek untukmu, Sakura. Dan iya, puisi itu untuk menyatakan cinta padamu.” Kazuki mengelus kepalaku kemudian mengacak-acak rambutku. Ah, aku tahu dia seperti itu untuk menutupi kegugupannya.
Aku membalas dengan mengacak rambutnya pula. Dia berlari menghindar dan aku pun mengejarnya dengan tertawa bahagia. Dalam hati aku berteriak, “Daisuki da yo, Kazuki!”

THE END


Index :

1 Haru
            Musim Semi
2 The Osaka Mint Bureau
            Tempat yang dibuka untuk umum hanya satu kali setahun, saat musim semi. Lebih dari 300 pohon sakura bermekaran di sini.
Hanami
            Tradisi Jepang dalam menikmati bunga (melihat bunga), khususnya sakura
Gomen nasai
            Maafkan aku
5 Daijoubu desu
            Tidak apa-apa
Hai
            Ya
Aishiteru
            Aku cinta kamu
Arigatou gozaimasu
            Terima kasih
Do itashimashite
            Sama-sama
10 Takoyaki
            Makanan berbentuk bola-bola kecil dari adonan tepung terigu dengan potongan gurita di dalamnya.
11 Fuyu
            Musim dingin
12 Ramen
            Masakan mie kuah Jepang yang berasal dari Cina.
13 Daisuki da yo
            Aku suka kamu

_________________________________________________________________________________
ABOUT LOVE IN BAMBOO FOREST
Bruuk!
“Aduh!” Aku meringis kesakitan sambil berusaha mengangkat sepeda yang menimpa tubuhku. Sudah ditimpa sepeda, aku pun harus menikmati ‘manisnya’ lutut kaki kiriku tergores di jalanan depan Togaden1 ini.
“Dasar bodoh!” teriak keras seseorang di belakangku.
Aku menatap wajahnya, wajah laki-laki yang mengatakan aku bodoh. BODOH??! Aaargh! Aku tidak terima.
Setelah bisa berdiri dengan sempurna, aku merapikan pita di rambut gelombangku. Ternyata rok rimpel-rimpel yang kukenakan sedikit sobek tergores aspal. Pantas saja lututku ikut tergores. Lantas kutatap dalam-dalam wajah si laki-laki yang dingin itu. “Hei! Kamu bilang apa tadi?!” ujarku menahan emosi.
“Aku bilang kamu bodoh! Masih kurang jelas? Dasar cewek ceroboh!” ujarnya sengit sambil membuang muka dan tanpa berdosa dia mengayuh sepedanya meninggalkanku.
“Hei, kamu! Dasar cowok pengecut!” teriakku keras dengan emosi yang menggebu. Lantas kukayuh sepedaku mengejarnya. Enak saja dia kabur setelah sengaja menyenggol sepedaku tanpa meminta maaf terlebih dahulu. Huh!
Ternyata laki-laki menyebalkan tadi mengayuh sepedanya dengan amat kencang. Ah, sepertinya aku akan ketinggalan jejaknya. Ya, sekarang tak lagi kulihat punggung laki-laki tersebut. Dan aku menarik napas, kecewa. Semoga di lain waktu aku bisa bertemu dengannya lagi dan memaksa dia untuk minta maaf padaku.
Pelan-pelan kutelusuri jalanan wilayah Sanjo2 siang ini. Orang-orang terlihat berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Wajah mereka masih secerah mentari pagi dengan senyum yang menghiasinya. Inilah yang kubanggakan dari penduduk Kyoto. Semangat dan wajah cerah mereka. Apalagi saat ini Kyoto sedang haru3. Jadinya lengkap dan makin indah saja Kyoto-ku tercinta.
Sambil tetap mengayuh sepeda, kuganti lagu di walkman dan membenarkan posisi earphone di telingaku. Dan kini terdengarlah suara merdu Yui, penyanyi favoritku. Lagu yang berjudul ‘Stay with Me’, mampu membuatku melupakan kejadian yang menyebalkan tadi sekaligus melupakan rasa perih di lututku.
Setelah lima belas menit perjalanan, aku sudah sampai di depan rumah.
Tadaima!4” seruku sambil membuka pintu dan langsung berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarku di lantai dua. Aku tergesa-gesa menuju kamar karena ingin membersihkan luka di sekitar lutut kaki kiriku. Saat luka lecet itu bertemu obat cair yang kuteteskan, rasanya pedih sekali. Aduh, aku jadi mengingat kembali wajah laki-laki yang menyenggolku saat mengendarai sepeda tadi. Awas saja kalau aku bertemu dengan dia lagi!
***
            “Ohayou gozaimasu5, Miyuki!”
            “Ohayou gozaimasu!” jawabku membalas sapaan Yayoi, teman satu kelasku. Lalu aku tersenyum dan Yayoi pun membalas senyumanku dengan manisnya.
            Selesai aku mengganti sepatu dengan uwabaki6, kukunci kembali lokerku lalu menoleh ke arah Yayoi yang terlihat kebingungan sambil mengacak-acak isi tasnya.
            “Ada apa, Yayoi?” tanyaku bingung.
            “Miyuki, aku kehilangan kunci loker. Aduh!” jawabnya gusar sembari membongkar tasnya yang berwarna merah muda.
            “Mungkin terselip saja,” kataku berkomentar sambil membuka lembaran buku di dalam tas Yayoi. Kunci loker sekolah kami memang berukuran kecil. Jadi kupikir mungkin kunci itu terselip di antara lembaran buku. Apalagi kunci loker Yayoi tidak diberinya gantungan kunci, sehingga sulit untuk menemukannya di dalam tas yang penuh.
            “Setibanya di sekolah tadi aku sempat membuka tas untuk mengeluarkan komik. Mungkinkah kunci itu terjatuh ya?” Yayoi berucap dengan nada khawatir.
            Aku mengerti kenapa ia jadi khawatir. Lima menit lagi pelajaran akan dimulai. Jika Yayoi belum menemukan kunci lokernya, itu berarti ia tidak bisa membuka lokernya dan mengganti sepatunya dengan uwabaki. Kalau tidak segera mengganti uwabaki, Sensei7 Terumasa tidak akan mengizinkan muridnya mengikuti pelajaran.
            “Emm… mungkin juga kunci itu terselip di komik kamu, Yayoi. Sekarang komik itu ada di mana?” Aku bertanya setelah tak kutemukan kunci loker di antara buku-buku dalam tas Yayoi.
            “Miyuki, komik itu sudah dibawa Satoru. Aku meminjamkannya karena dia mau mengantarku pergi ke sekolah hari ini,” kata Yayoi menjawab pertanyaanku. Kini Yayoi hanya terduduk di depan lokernya dengan wajah menyerah.
            “Satoru?” ujarku mengulang nama yang disebutkan Yayoi.
            “Dia tetangga baruku, Miyuki. Pindahan dari Osaka. Dia seusia dengan kita tapi sayangnya tidak bersekolah di sini,” kata Yayoi menjelaskan.
            Aku mengangguk lalu tersenyum.
Tiba-tiba lantunan nada Fur Elise terdengar nyaring sebagai tanda waktu belajar akan dimulai. Beberapa anak terlihat sedang memakai uwabaki dan setelah itu mereka beranjak menuju kelasnya masing-masing untuk belajar. Aku masih terpaku di depan Yayoi yang menunduk. Beberapa detik kemudian dia mengangkat wajahnya.
            “Miyuki masuk saja ke kelas. Aku akan mencoba menghubungi Satoru dan menanyakan apakah kunci itu terselip di komik yang dipinjamnya,”
            Aku menggeleng. “Aku mau tunggu Yayoi saja,”
            Yayoi tersenyum. Baru saja ia hendak menekan tombol di handphone-nya, nama Satoru sudah tertera duluan di layar. “Iya, Satoru. Arigatou gozaimasu!8 Tunggu ya!” kata Yayoi gembira saat ia berbicara dengan si penelepon. Setelah menutup handphone-nya, Yayoi menarik lenganku.
            “Satoru ada di depan gerbang, Miyuki. Ayo temani aku! Nanti aku kenalkan kamu dengan dia.”
            Aku mangangguk dan berjalan mengikuti Yayoi.


            Sesampainya di depan gerbang sekolah, kulihat sosok yang sudah tak asing bagiku. Dia tersenyum manis pada Yayoi tanpa melihatku. Ah, rasanya ingin kutelan bulat-bulat orang itu!
            “Ohayou gozaimasu, Satoru! Arigatou gozaimasu. Aku sudah khawatir tidak bisa ikut pelajaran hari ini kalau kunci lokerku sampai tidak diketemukan,” ucap Yayoi lembut pada Satoru.
Ohayou gozaimasuDo itashimashite9, Yayoi!” ujar Satoru masih dengan senyuman manis yang  menghiasi wajahnya. Kuakui Satoru memang manis dan tampan, namun wajah itu menyebalkan bagiku.
Dan aku cukup terpesona dengan senyuman Satoru hari ini. Akan tetapi yang aku herankan ia bersikap manis pada Yayoi tapi tidak denganku. Apa karena kejadian kemarin? Eh, yang seharusnya marah itu ‘kan aku!
“Satoru, kenalkan ini Miyuki! Dia teman satu kelas yang paling dekat denganku, hehehe!” kata Yayoi mengenalkanku pada Satoru sambil mengerlingkan mata jenaka padaku.
Aku memasang senyum terpaksa. Tapi, Satoru sama sekali tidak membalas senyumanku. Ia hanya memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kakiku. Bagus deh! Jadi dia bisa melihat lutut kiriku yang diperban tipis gara-gara kelakuannya yang tidak bertanggung jawab kemarin di depan Togaden.
“Eh, aku harus kenalan sama cewek ceroboh ini? Kok bisa kau berteman akrab dengan dia, Yayoi? Lihat itu lututnya akibat dari kecerobohannya sendiri!” ujar Satoru pada Yayoi sambil membuang wajah padaku. Lalu ia melihat ke arah pohon sakura yang berbunga indah di depan kolam sekolah.
Aku hanya terdiam. Rasanya ingin kubalas kata-kata ejekan dari Satoru. Tapi aku masih ingat bahwa Yayoi ada di sampingku dan lagi pula ini masih di lingkungan sekolah.
“Kalian sudah saling mengenal ya, Satoru? Eh, Miyuki kenapa tidak cerita padaku kalau sudah mengenal Satoru? Kalian kenal di mana?” tanya Yayoi keheranan sambil menatap kami berdua bergantian.
“Emmh, aku pergi dulu ya! Yayoi, jangan sampai hilang lagi kunci lokernya! Sampai ketemu nanti,” pamit Satoru pada Yayoi dengan tiba-tiba. Lalu ia segera mengayuh sepedanya menjauh dan lama-lama tak terlihat lagi oleh pandangan mata kami.
Yayoi memandangiku dengan wajah penasaran. Aku pun berlari meninggalkannya sebab aku yakin ia akan memaksaku bercerita kenapa Satoru bisa berkata seperti tadi padaku.
“Miyuki… tunggu!” teriak Yayoi padaku. Tapi tak kuhiraukan dan aku terus berlari sambil tertawa karena berhasil membuat penasaran teman akrabku.
***
            Saat haru seperti ini, matahari akan terbenam cukup lama dan setelah itu langit mulai berubah warna. Lewat jendela kamar, aku duduk santai sambil membaca komik. Walau sedang membaca, mataku bisa saja mengedarkan pandangan ke arah lain termasuk ke atas langit. Kututup komikku dan meletakkannya kembali ke lemari buku. Kini aku lebih tertarik mengamati keindahan langit saat senja. Ditambah lagi saat ini bunga-bunga masih bermekaran dengan indahnya.
            “Tok tok tok….” Pintu kamarku diketuk seseorang. Pasti itu haha10.
            Aku beranjak dari dudukku dan membuka pintu kamar. Haha tersenyum padaku dan berkata, “Sayang, tolong belikan tofu karaagedon set 11 di Togaden ya!”
            “Oke, Haha sayang.”
            Setelah haha menyerahkan uang sejumlah 800 yen, aku langsung mengambil pita bermotif polkadot dan menyematkannya di sebelah kanan rambutku.
            “Ittekimasu!12” kataku pamit seraya menuruni tangga.
            “Iterasshai13, Miyuki!” pesan haha. Aku menoleh sejenak pada haha lalu mengangguk tersenyum.
            Kukayuh sepeda menembus jalanan. Sengaja kukendarai sepelan mungkin karena aku sangat suka suasana Kyoto di kala senja menjelang malam seperti ini. Di sepanjang perjalanan, kulihat pohon-pohon sakura berbunga dengan lebatnya. Cantik! Aku melebarkan senyumku sambil berdendang kecil
 Tak terasa aku sudah sampai di depan Togaden. Restoran ini memang baru dibuka pukul lima sore. Jadi sekarang lagi ramai-ramainya pelanggan yang berdatangan.
            Selesai membeli tofu karaagedon set  dan keluar dari area Togaden, angin bertiup cukup kencang hingga menerbangkan rambut panjangku yang bergelombang dan berombak. Pita polkadotku bergeser dari posisinya semula. Sejenak aku berhenti mengayuh sepeda dan membetulkan letak pita rambutku.
            Bruuk!
            Untuk ke dua kalinya, aku terjatuh karena ada yang menabrak dari belakang. Namun aku bersyukur kali ini sepedaku tidak menimpa tubuhku. Baru saja ingin memarahi orang yang seenaknya menabrakku, mulutku tak bisa berucap apa-apa.
Dia lagi! Tapi kali ini dia ikut terjatuh dan sepedanya menimpa tubuhnya sendiri. Syukurin! Ucapku dalam hati. Dia berusaha berdiri, tapi sepertinya kesulitan menyingkirkan sepeda sport-nya.
            Aku jadi tak tega karena melihat wajah Satoru yang meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya. Aku segera menghampiri Satoru dan membantunya berdiri.  “Kepala kamu berdarah, Satoru!” kataku hampir berteriak saat tak sengaja melirik ke arah kanan kening Satoru.
            “Biasa saja kali! Dasar cewek aneh!” cetus Satoru memasang wajah kesal. Lantas tangannya diusapkan ke keningnya untuk memastikan kata-kataku.
            Satoru mencari sesuatu dari dalam saku celana jinsnya. Tapi dia menelan ludah karena tidak menemukan apa yang ia cari. Aku mengambil saputangan dari dalam tas kecil di keranjang sepedaku dan menyerahkannya pada Satoru. Dia hanya menatapku lalu mengacuhkan uluran tanganku yang memberinya selembar saputangan berwarna biru muda.
            Entah keberanian dari mana, dengan cepat kuusapkan saputangan ke arah kening Satoru untuk membersihkan darahnya yang pelan-pelan mulai mengalir.
“Hei, siapa yang suruh kau membersihkan lukaku?!!” ujar Satoru dengan suara tertahan namun terkesan kesal dan membentak.
Aku hanya diam saja dan terus membersihkan darah di kening Satoru.
“Pelan-pelan! Sakit tahu!” bentak Satoru. Meski mulutnya berkata-kata membentakku, tapi tubuhnya berdiri kaku.
“Ada yang sakit lagi tidak, Satoru? Darah di keningmu sudah tidak keluar lagi. Sampai di rumah nanti langsung diobati ya,” kataku yang tiba-tiba berubah lembut. Padahal aku ingin membalas bentakannya padaku. Juga ingin menyuruhnya meminta maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu. Tapi nyatanya aku tak bisa marah pada laki-laki yang berada di hadapanku kini.
Satoru memandangku dalam-dalam. Matanya yang indah seketika terlihat lebih teduh dari biasanya. Poninya yang berkeringat terlihat basah dan diusapkannya ke sebelah kiri. Lalu ia menunduk. Aku merasa dia salah tingkah. Entah apa penyebabnya.
            “Arigatou gozaimasu, Miyuki! Kamu kok jadi baik begini… ada apa?” Suaranya terdengar parau.
            “Aku selalu baik pada semua orang termasuk pada orang yang menyebalkan seperti kamu,” jawabku jujur dan spontan.
            “Gomen nasai!14 Mungkin aku memang menyebalkan. Aku menyesali atas kejadian beberapa hari yang lalu. Lutut kaki kirimu sudah sembuh, kan?”
            “Eh?”
            “Dimaafkan tidak?”
            Aku mengangguk lalu tersenyum. Dan Satoru pun tersenyum padaku. Ah, senyumannya terlihat sangat manis. Hatiku berdesir bahagia dan seperti ada kupu-kupu yang mengelitik perutku saat memandangi senyuman Satoru.
Tiba-tiba aku baru tersadar jika kami sedang berada di jalanan depan Togaden dan telah menjadi pusat perhatian beberapa orang. Sepertinya Satoru pun baru tersadar. Beberapa detik kami saling berpandangan lalu tertawa bersama.
***
Di sabtu sore, udara terasa cukup gerah. Mungkin karena haru akan berakhir dua hari lagi dan akan digantikan natsu15. Berarti dengan segera pendingin ruangan harus disiapkan di rumah untuk menghalau udara panas yang akan datang berkunjung selama kurang lebih tiga bulan ke depan.
            Namun aku bukan memikirkan natsu yang akan segera datang, tapi pikiranku terfokus pada pakaian dan penampilanku sore ini. Pukul lima, aku dan Satoru janjian untuk bertemu. Satoru mengajakku ke daerah Arashiyama16. Tentu saja dengan senang hati aku terima ajakannya. Siapa yang bisa menolak jika diajak pergi oleh orang yang telah berhasil menarik hati kita?
            Baju terusan yang anggun berwarna hijau dan putih. Kaus kaki putih dengan sepatu hitam. Rambut dikepang dua di samping, lalu diikat menjadi satu ke belakang dengan pita berwarna hijau. Begitulah penampilanku dan saat ini aku sedang berdiri di depan rumah menunggu kedatangan Satoru.
            “Hai!” Satoru telah berdiri di hadapanku dan menyapaku. Matanya memperhatikanku lalu bibirnya membentuk sebuah senyuman.
            Aku membalas senyuman Satoru. “Kenapa, Satoru?” tanyaku bingung karena Satoru masih terus memandangiku.
            “Emmh… kau manis sekali,” puji Satoru yang membuatku jadi salah tingkah. Aduh, jantungku kenapa berdetak cepat seperti ini sih.
            “Eh, Satoru juga manis kok.” kataku memuji Satoru. Ia mengenakan jins hitam dan kemeja biru langit. Rambutnya yang tebal dan poninya yang menjuntai menutupi sebagian keningnya, makin terlihat manis dan aku tak bosan-bosannya mengagumi manusia di hadapanku ini.
            “Aku sih sudah manis dari lahir. Kau baru tahu ya?” candanya sambil mengedipkan mata jenaka padaku.
            Aku hanya tertawa.
Sesampainya di daerah Arashiyama, Satoru mengajakku memasuki The Sagano Bamboo Forest, sebuah taman bambu yang sangat indah dan menarik karena membentuk seperti tirai yang unik. Taman bambu seluas 16 kilometer persegi ini tidak hanya indah tapi suara anginnya dapat terdengar melalui rumpun bambu yang tebal. Sore ini banyak yang datang berkunjung dan menikmati lingkungan alam yang paling indah di Jepang ini.
Tiba-tiba Satoru memegang tanganku. Perlahan jemarinya mengisi sela-sela jemariku ketika kami mulai menelusuri area taman bambu yang sejuk, sesejuk hatiku saat ini. Aku yakin wajahku sudah bersemu merah. Apalagi jemari Satoru meremas lembut jemariku. Aku tidak memiliki cukup keberanian untuk menoleh ke arah Satoru di samping kananku. Jadi yang kulakukan hanya diam dan terus melangkah.
Sesampainya di belokan yang cukup sepi, Satoru menghentikan langkahnya. Ia menarik napas lalu dengan perlahan mengembuskannya. Kemudian aku memberanikan diri untuk menatap wajah Satoru. Ia terlihat gugup dan melepaskan jemarinya dari jemariku.
“Kenapa dilepas, Satoru?”
Satoru tersenyum dan ia berkata dengan wajah yang serius, “Apa aku boleh terus memegang tanganmu?”
Aku mengangguk dan kini mata Satoru menatap dalam-dalam ke mataku. Rasanya sinar mata teduh itu menembus sampai ke dalam aliran darah di tubuhku. Kembali kurasakan jemari Satoru memenuhi sela-sela jemariku.
“Miyuki, kau dan dia begitu mirip. Terutama sikap dan rambut gelombang kalian. Oleh sebab itu, saat pertama kali aku melihat dirimu, dengan sengaja kusenggol sepedamu dan tidak menolong kau yang terjatuh akibat ulahku. Itu karena aku membenci dia yang telah berkhianat,”
Kudengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Satoru dengan penasaran. Suara angin saat ini tak terdengar. Mungkinkah sang angin pun sedang mendengarkan kata-kata Satoru?
“Namun aku sadar, kalau kamu bukan dia. Sejak kau terjatuh saat itu, aku selalu memikirkanmu. Mungkin semua ini memang sudah menjadi takdir untuk kita, Miyuki. Aishiteru!17
Aku memandangi mata Satoru seolah bertanya apakah kata-katanya itu sungguh-sungguh benar. Satoru mengangguk dan ia membawa tubuhku ke dalam dekapan hangatnya. Tanpa sadar aku menitikkan bulir bening dari kedua pelupuk mataku. “Aku juga mencintaimu, Satoru!” bisikku lirih di dekat telinga Satoru.
Tiba-tiba suara angin kembali terdengar. Namun kali ini lebih lembut dan merdu. Seolah menembangkan kidung cinta nan indah yang mengiringi kisah kasih kami berdua.
Index:
__________________________________________________________________Restoran yang terletak di Wilayah Sanjo ini menyajikan menu dengan berbahan
  dasar tofu (tahu) dan sayuran, tanpa ada daging.
Wilayah Sanjo adalah "Shinjuku"-nya Kyoto, di mana daerah ini menjadi pusat
   perbelanjaan dan fashion di kota Kyoto.
3  Musim semi.
4 Aku pulang!
5 Selamat pagi
6 Sepatu khusus untuk di sekolah. Uwabaki adalah sebuah tradisi Jepang untuk
  Membedakan orang luar dan orang dalam. Dengan Uwabaki, kelas gedung
  sekolah jadi tidak terlalu kotor.
7 Panggilan hormat untuk guru.
8 Terima kasih!
Sama-sama.
10 Ibu
11 Salah satu menu yang berbahan dasar tahu di Restoran Togaden. Harganya 800
    yen.
12 Aku pergi!
13 Hati-hati!
14 Maafkan aku!
15 Musim panas
16 Salah satu tempat menarik di Kyoto dengan pemandangan yang indah dan
    terletak di kaki gunung.
17 Aku cinta kamu!
_________________________________________________________________________________
KUPU-KUPU KERTAS

            Aku sedang berjalan menikmati kehangatan udara siang saat musim semi. Kuakui Kyoto memang cantik dengan pesona Jepang kunonya, namun Philosopher's Path saat haru1 adalah salah satu tempat terindah dan teromantis menurutku. Ratusan pohon sakura berbaris di jalanan pinggir Kanal, membuat kuil-kuil yang berada di sekitar jalan tersebut terlihat makin indah. Ah, aku jadi ingin berlama-lama di Kyoto. Namun aku hanya memiliki waktu satu minggu di sini. Besok lusa aku akan kembali ke Indonesia.
            Tanpa disengaja mataku menangkap satu sosok yang membuat aku tertarik untuk memperhatikannya. Ya, dia berbeda karena aku yakin dia bukanlah orang Jepang, tapi Indonesia sama sepertiku. Namun ada satu hal lagi yang membuatku tertarik pada gadis cantik berambut lurus hitam itu.
Dia sedang disibukkan oleh lembaran kertas putih berbentuk persegi. Dia duduk di hamparan rumput, di bawah sebuah pohon sakura, bersama beberapa orang yang mungkin keluarga atau temannya. Akan tetapi si gadis yang menurutku berusia tak jauh dariku itu, sedang melipat-lipat kertas di hadapannya tanpa peduli dengan orang-orang di sekitarnya.
            Tiba-tiba dia berdiri dengan membawa tas berisi hasil karyanya, kupu-kupu yang terbuat dari kertas. Lalu dia menuju ke arahku dan menghampiriku.
            “Konnichiwa2. Apa kita saling kenal ya? Kenapa kamu memperhatikanku dari tadi?” Gadis itu berkata dengan suaranya yang lembut dan ramah. Namun jelas sekali kalau ia sedang bingung.
            “Konnichiwa. Gomen nasai3! Aku tertarik dengan kertas-kertas berbentuk kupu-kupu itu,” jawabku sambil menunjuk ke arah tas si gadis.
            “Oh…. Eh, kamu orang Indonesia juga?” tanyanya sembari memandangiku dengan mata indahnya.
            Aku mengangguk dan tersenyum. “Namaku Diaz. Kamu?”
            “Aku Dee....
            Dan beberapa menit setelah perkenalanku dengan Dee, si gadis kupu-kupu kertas, kami sudah berjalan bersama menyusuri Philosopher’s Path. Entah kenapa kami bisa dengan begitu cepat akrab dan saling berbagi cerita.
Diaz, setelah aku pulang ke Indonesia juga, kamu ke rumahku ya!” ujar Dee saat kami berhenti di depan kuil Eikan-do.
            “Aku boleh ke rumah kamu?” tanyaku bercanda.
            “Iya, bolehlah… dan harus! Hehe….” Dee menjawab riang disertai tawa kecilnya yang manis.
***
            Mencintaimu, laksana meminum air dari surga. Sangat istimewa dan kesejukannya tak tertandingi. Ya, meski aku belum tahu bagaimana rasanya air surga itu, tapi aku yakin air itu adalah air terbaik yang dianugerahkan Tuhan untuk hamba yang pantas mencicipinya kelak. Begitulah yang kurasakan saat mencintaimu, rasa teristimewa yang pernah menyentuh hatiku. Dan mengenalmu adalah kesempatan terindah yang pernah menghampiri catatan hidupku di dunia.
“Terima kasih, Dee. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untuk mengungkapkan rasa bahagiaku! Sekali lagi terima kasih ya,” kataku hampir berteriak karena terlalu bahagia.
            “Aku juga berterima kasih sama kamu, karena kamu telah menorehkan warna-warna indah dalam hidupku, Diaz. Sejak pertemuan kita di Kyoto tiga bulan yang lalu, sebenarnya aku sudah tertarik sama kamu. Dan sungguh aku bahagia saat tahu jika kamu berasal dari Palembang juga. Kebetulan yang menurutku suatu keajaiban. Dan akhirnya, saat-saat yang kutunggu telah tiba. Saat kamu menyatakan cinta padaku,” kata demi kata keluar dari mulut Dee, mengalir laksana alunan nada indah yang menyejukkanku.
            Sebagai jawaban atas pernyataan Dee, aku memandangi wajahnya lalu menggenggam jemari lembut gadis yang telah memperkenalkanku tentang sebuah perasaan cinta. Dee tersenyum manis dan menunduk malu. Ah, ekspresi malu-malu Dee malah membuatnya makin terlihat menggemaskan.
            “Aku mencintaimu, Dee!”
            “Aku juga mencintaimu, Diaz!”
            Dan semuanya menjadi indah. Hari-hari berikutnya kulalui dengan senyuman. Kini hidupku semakin berwarna, seperti yang selalu dikatakan Dee jika hidupnya pun seindah warna pelangi saat mengenalku. Emm, cinta memang membahagiakan.

 Setelah dua minggu aku dan Dee jadian, aku berkunjung ke rumahnya yang saat itu sedang sepi.
            “Papa dan Mama menghadiri pernikahan saudara di Jakarta, Honey. Aku tidak ikut karena tidak mau meninggalkan pekerjaanku dan …,” jelas Dee saat aku bertanya namun ia tak menyelesaikan kalimatnya yang membuatku sedikit penasaran.
            “Dan apa, Honey?
            ‘Dan… aku takut akan merindukanmu jika aku ke Jakarta.”
            Aku tertawa dan mengusap gemas kepala kekasihku tercinta. “Hahaha… kamu bisa saja!”
            Dee hanya tersenyum. Lalu ia menuju ke arah dapur. Aku baru tersadar, di atas meja dekat koleksi guci-guci antik milik papa Dee, ada banyak kupu-kupu kertas di dalam kotak yang cukup besar berwarna biru langit. Aku kembali teringat tentang hasil tangan Dee saat pertama kali aku bertemu dengannya di bawah pohon sakura area Philoshoper’s Path, Kyoto. Ternyata sekarang sudah banyak sekali. Aku berpikir dalam kebingungan, untuk apa kupu-kupu kertas itu dibuat oleh Dee?
            Dee sudah kembali dengan membawa dua gelas jus mangga yang menggoda. Dia tersenyum saat melihatku berdiri sambil mengamati sebuah kupu-kupu kertas yang kini ada di tanganku.
            “Minum dulu, Honey!” ujar Dee sambil memberikan satu gelas jus mangga padaku.
            “Terima kasih, Honey.” Dengan cepat kuteguk habis jus mangga di dalam gelas.
            “Jumlahnya sudah genap seratus. Setelah ini bantu aku nulis ya,” kata Dee sembari mengambil kotak berisi kupu-kupu kertas tersebut dan membawanya ke ruang tengah.
            Aku mengikuti Dee karena belum mengerti apa yang hendak dilakukannya terhadap seratus kupu-kupu kertas itu. Dee menyalakan DVD dan memutar lagu My Love-nya Westlife. Kemudian dia duduk di lantai dan mengeluarkan seratus kupu-kupu kertas dari dalam kotaknya.
            Aku pun ikut duduk menghadapnya dan mulai menghitung satu per satu kupu-kupu kertas yang tergeletak di depanku. Satu, dua, tiga… sebelas, dua belas… empat puluh dua….
            “Hihihi… kamu ngapain sih, Sayang? Kok dihitung?” tanya Dee geli karena melihatku yang dengan serius menghitung jumlah si kupu-kupu kertas.
            “Aku tidak yakin jumlahnya tepat seratus. Kekasihku ini ‘kan sudah pikun, haha...!” kataku bercanda mengejek DeeDee memonyongkan bibirnya dan melemparkan gumpalan kertas ke arahku.
            “Enak saja bilang aku pikun! Kamu yang pikun, kan kemarin kamu lupa pulang gara-gara kita asyik mengobrol,” ujar Dee sambil menjulurkan lidahnya dengan lucu.
            “Eh, itu bukan pikun kali! Itu namanya terpanah oleh kamu. Kamu membuatku lupa waktu, hehe….”
            Dee tertawa dan mencubit pinggangku. Aku meringis.
            “Ampun, Sayangku. Sakit, aduh!”
            Dee menghentikan cubitannya. “Jangan suka menggodaku dengan gombalan kamu! Aku tidak akan terpengaruhSekarang bantuin aku nulis sesuatu di sayap kupu-kupunya ya!”
            “Nulis apa, Dee sayang?” tanyaku sambil senyum-senyum.
            “Emm… kita tulis harapan-harapan yang ingin kita gapai. Kupu-kupunya ‘kan ada seratus, jadi lima puluh untuk aku dan lima puluhnya lagi untuk kamu. Aku ingin kupu-kupu ini jadi pengingat tentang sebuah harapan aku dan kamu, juga harapan kita. Dan jika sebuah harapan yang tertulis di salah satu sayap kupu-kupu kita telah berhasil dicapai, kupu-kupu kertas itu harus kita terbangkan. Bagaimana?” Dee berusaha menjelaskan padaku dengan panjang lebar.
            “Eh, memangnya kupu-kupu kertas ini bisa terbang?” tanyaku bercanda sambil menahan tawa.
            “Iih… Sayang, itu ‘kan perumpamaannya saja. Bukan terbang dalam arti sebenarnya, tapi kita lempar kupu-kupunya ke udara. Terserah nanti kupu-kupu kertas itu dibawa oleh angin ke mana.” Dee menjawab dengan mata melotot.
            “Hahaha, kasihan sama kamu. Dilempar pasti sakit ya, kupu-kupu. Hiks!” ujarku dengan ekspresi sedih seolah mengajak bicara si kupu-kupu kertas yang kini ada di telapak tanganku.
            “Diaz…!” teriak Dee kesal karena aku masih saja tidak serius.
            “Bercanda, Sayangku. Oh iya, ayo kita tulis harapannya!” ajakku sambil tersenyum lalu mencium kening Dee agar kekasihku itu tidak cemberut lagi.
            Dee ikut tersenyum lalu menyerahkan sebuah pena dan kami mulai asyik menulis harapan-harapan untuk hidup ini. Harapan yang akan memberikan motivasi agar bisa lebih baik. Dan tentu saja harapan terbesarku adalah menikah dengan Dee.

***
            Setengah tahun kemudian.
            Palembang masih tetap sama, macet di mana-mana. Ditambah lagi jalanan tergenang air karena sudah hampir seminggu hujan terus-terusan mengguyur Kota Pempek tercinta. Aku masih tetap bekerja di salah satu perusahaan swasta yang cukup terkenal. Namun bedanya, sekarang aku sudah mendapatkan jabatan yang lumayan dan tentu saja gajiku pun ikut naik. Ini salah satu harapanku yang tertulis di sayap kupu-kupu kertas.
            “Selamat ya, Honey! Aku bahagia mendengarnya,” ucap Dee dengan mata berbinar saat kuceritakan tentang kenaikan posisiku di perusahaan.
            Aku tersenyum dan membelai rambut kekasihku. “Honey, sekarang kita terbangkan kupu-kupunya ya!”
            Lalu kami pun berdiri di pinggiran Sungai Musi dan aku mengambil kupu-kupu kertas yang sayapnya bertuliskan ‘Aku ingin kenaikan posisi di perusahaan’. Kuulurkan kupu-kupu itu tinggi-tinggi. Sejenak kutatap Dee yang tersenyum manis dan ia mulai mengangguk. Kemudian kulepaskan dan kupu-kupu kertas itu pun tertiup angin yang membawanya pergi entah ke mana.
            “Semoga setelah ini satu per satu harapan kita akan kembali terwujud. Aamiin!” doaku dengan mata terpejam seraya tetap tak melepaskan jemari Dee dalam genggaman tanganku.
***
            Dan benar. Harapan-harapan berikutnya berhasil aku dapatkan. Begitu pun dengan Dee, dia sudah dipercaya menjadi pemimpin di sebuah bank swasta tempatnya bekerja. Hubungan kami pun masih tetap manis seperti sedia kala. Hingga kami mulai merencanakan pernikahan. Tapi….
            “Sayangku… percaya tentang jodoh dari Tuhan?” tanya Dee padaku. Wajahnya terlihat muram dan menampakkan raut wajah sedih.
            “Percaya, Sayang. Aku yakin kamu adalah jodohku. Kita akan menikah di bulan ini ya. Aku ingin memilikimu dengan sah, sesuai syariat agama.” Aku menjawab tegas demi meyakinkan Dee dan menghibur kesedihannya yang aku tak tahu disebabkan oleh apa.
            “Jika nanti kita tak berjodoh, bagaimana menurutmu?”
            Aku terdiam. Kutatap mata Dee dalam-dalam. Mata itu tiba-tiba berair dan seketika pecah menjadi sebuah tangisan. Kupeluk tubuh Dee untuk menenangkannya. Dee tidak biasanya seperti ini. Tentu ada hal yang teramat berat dan menyedihkan sehingga membuat airmatanya tumpah.
            Di kamar Dee, rasanya aku ingin berteriak marah. Kenapa harus di saat ini aku baru mengetahui sebuah kenyataan. Aku membencinya, aku membenci kenyataan ini. Ah, rasanya aku ingin mati. Kutinggalkan Dee yang menangis dan aku pulang karena tak ingin membuat suasana semakin panas.
***
            “Pa, air panasnya sudah mama siapkan.” Sebuah suara dari dalam rumah mengejutkanku yang tengah terpaku di dekat pagar karena membaca sebuah surat yang baru saja diantarkan Pak Pos.
            “Iya, ma!” kataku pada seorang wanita yang sudah tiga tahun menjadi istriku. Lalu cepat-cepat kusobek surat itu dan segera masuk ke dalam.
Wanita itu istriku. Namanya Alikha. Bukan Dee? Iya, Dee hanyalah masa lalu. Setelah penjelasannya tiga tahun yang lalu di dalam kamarnya, aku dan Dee sudah tak pernah berhubungan lagi, dengan kata lain kami putus. Meski kata putus itu sendiri tak pernah terucap di antara kami. Dan sekarang, aku dan Alikha telah memiliki seorang malaikat kecil berusia dua tahun, yang cantik dan menggemaskan.
Bukan hal yang mudah untuk melupakan Dee, tapi aku sangat bersyukur bisa hidup dengan Alikha, yang dengan kesabarannya mau menerimaku. Aku dan Alikha menikah karena perjodohan orangtua yang khawatir dengan keadaanku. Karena aku tak tahu harus berbuat apalagi, maka aku iyakan saja keinginan kedua orangtuaku. Aku bahagia bersama Alikha dan aku berharap Dee pun berbahagia dengan suaminya.

***

Kyoto, 10 Agustus 2012

Diaz, Philosopher’s Path sekarang tetap seindah saat kita bertemu beberapa tahun yang lalu.. Meski sekarang sedang natsu4, sakura-sakuranya masih saja bermekaran dengan indahnya. Kamu masih ingat bukan saat memperhatikanku yang sedang membuat kupu-kupu kertas di bawah pohon sakura bersama keluarga teman orangtuaku?
Ya, sekarang mereka telah benar-benar menjadi keluarga karena pernikahan kami. Aku masih tak percaya, kukira mereka hanya sahabat dekat Papa. Tapi janji mereka untuk menikahkan putra-putrinya malah membawaku dalam keterpurukan. Aku menyesali kenyataan ini namun aku telah menerimanya, yang penting Papa dan Mama berbahagia.
Oh iya Diaz, kupu-kupu kertas milikmu yang sayapnya bertuliskan ‘Dee menjadi istriku’, diterbangkan saja ya. Meski itu tak akan pernah terwujud namun anggap saja sudah terwujud. Karena aku pun begitu, telah menerbangkan kupu-kupu kertas bertuliskan ‘Diaz menjadi suamiku’. Aku di Kyoto baik-baik saja. Dan aku mulai belajar mencintai suamiku karena ia sangat sabar menghadapi sikap dinginku selama tiga tahun ini. Doakan aku ya, agar aku bisa berbahagia seperti kamu.
SELESAI

Musim semi
Selamat siang!
Maafkan aku!
Musim panas

____________________________________________________________________________
GOMEN NASAI, SATORU!
“Ohayou gozaimasu (Selamat pagi), Manami!” sapa Yumiko padaku yang baru saja selesai memarkir sepeda di parkiran depan.
Aku tersenyum pada Yumiko dan membalas sapaannya, “Ohayou gozaimasu, Yumiko!”
Sesaat Yumiko menatapku. Lalu ia berkata memujiku, “Hari ini Manami terlihat manis dengan bandana biru muda itu!”
“Ah Yumiko, bisa saja deh!” jawabku dengan wajah sedikit merah karena malu dipuji Yumiko, sahabat terdekatku yang berwajah amat cantik.
“Hahaha… begitu saja Manami sudah malu. Ayo, kita segera ke loker! Jika telat mengganti Uwabaki (sepatu khusus sekolah), kita tidak akan diizinkan Pak Daiki ikut pelajarannya,” seru Yumiko di sela-sela tawanya.
“Ayo! Kita lomba, ya. Siapa yang duluan sampai loker berarti menang dan boleh minta traktir Udon di Merogame Seimen, haha…!” teriakku yang langsung lari dengan kaki panjangku.
“Huuu…, itu sih pasti menang kamu, Manami! Tubuh tinggimu pasti bisa lari mendahuluiku. Aku tidak mau!” bantah Yumiko. Tapi, dia tetap lari juga menyusulku yang tertawa-tawa.
Aku dan Yumiko sudah bersahabat sejak satu tahun yang lalu. Kami berkenalan saat upacara penerimaan siswa baru di SMA-ku sekarang. Yumiko, gadis imut dengan wajah cantik, putih dan rambut lurus sebahu. Tubuhnya sedang dan langsing. Tubuh yang amat kuinginkan sejak dulu. Tahu kenapa? Aku, Manami Akane, gadis berusia hampir 16 tahun yang berbeda dari yang lain. Tinggi badanku melebihi anak-anak perempuan seusiaku. Rambut panjang yang kumiliki selalu dikucir dengan poni yang dijepit ke samping. Kulitku tidak putih karena sering bermain tenis di lapangan terbuka. Tak ada yang menarik dari penampilanku. Aku juga tak tahu apa kelebihanku. Ah, mungkin hanya di bidang tenis diriku ini cukup pandai dan bisa membanggakan.
Kembali pada Yumiko. Sebenarnya, jika bisa mengubah takdir aku ingin menjadi gadis secantik Yumiko. Dikagumi dan disukai banyak orang. Banyak orang? Setelah kupikir-pikir tidak juga, ya. Yumiko hanya disukai dan dikagumi oleh para kaum laki-laki saja. Kalau dari kaum perempuan sih, menurutku banyaklah yang tidak menyukai Yumiko. Mereka iri pada kecantikannya juga keanggunan dan kelembutan sifatnya. Itulah sebabnya, hanya aku yang mau bersahabat dekat dengan si cantik Yumiko.
Sekarang mulai memasuki minggu ke dua di bulan Agustus. Kyoto, masih dalam Natsu (musim panas). Beruntungnya aku bisa lahir dan besar di Kyoto karena di saat musim panas begini, masih ada bukit-bukit sejuk sebagai penawar musim panas. Di musim panas ini juga, sekolahku sering mengikuti perlombaan di bidang olahraga, terutama tenis. Aku, si gadis jangkung selalu dipilih guru untuk mewakili sekolah dalam turnamen tenis. Tak jarang, setiap habis pertandingan, aku selalu membawakan piala untuk sekolah. Para guru dan senpai (senior) bangga padaku. Aku bersyukur karena Tuhan masih memberikan satu kelebihan di balik banyaknya kekuranganku.
Keringat bercucuran membasahi kening dan leher. Kuletakkan raket di pinggir lapangan dan duduk di sana. Air mineral dalam botol kuteguk perlahan. Dari kejauhan, kulihat Kak Satoru bersama teman-temannya lagi berbicara dengan guru pelatih tenis yang baru. Kalau tidak salah dengar namanya Pak Arata. Senpai memang belum mengenalkan Pak Arata kepada kami. Wajar saja jika aku dan para kohai (junior) belum tahu nama pelatih baru itu
“Manami, kamu makin hebat, deh! Tadi aku hampir kewalahan menghadapi gerakanmu yang amat lincah,” puji Aika, lawan mainku beberapa menit yang lalu.
“Tidak juga, Aika. Aku mesti banyak belajar, nih. Biar bisa menembus pemain nasional sekalian go internasional, hehehe…” ujarku sambil tersenyum.
Aika membalas senyumku. “Pasti bisa. Manami kan jago di lapangan, tadi saja Aika kalah terus,”
Sudah sering kudengar pujian orang tentang permainan tenisku. Entah dari mana bakat bermain tenis ini ada padaku. Baru di kelas dua ini aku masuk klub tenis. Untung saja di awal tes masuk klub tenis, permainanku mengesankan sehingga bisa diterima. Kurang lebih dua bulan berlatih aku sudah pandai bermain tenis hingga pernah mengalahkan senpai.
Kak Satoru, cowok tinggi putih dengan rambut menutupi sebagian keningnya, telah berhasil mencuri hatiku saat kenaikan kelas dua kemarin. Setelah aku tahu pujaan hatiku itu adalah anggota inti dari klub tenis, tanpa pikir panjang aku langsung mendaftarkan diri di klub tersebut. Awal mulanya kenapa bisa jatuh hati pada Kak Satoru karena aku menabrak dirinya ketika berlarian menuju kelas fisika. Kak Satoru terjatuh, lalu aku berniat meminta maaf padanya. Namun saat Kak Satoru mengangkat wajahnya dan menatapku, dengan cepat kupalingkan wajah dan meninggalkannya tanpa sempat meminta maaf. Aku terlalu gugup berhadapan dengan cowok cakep dan manis seperti Kak Satoru. Setelah itu, kuikrarkan di dalam hati jika mulai detik ini aku telah jatuh cinta padanya.
“Daaarrr…, melamun saja! Melamunkan apa sih?” tanya Yumiko yang tiba-tiba sudah berada di belakangku dan menepuk pundakku cukup kuat hingga membuatku terkejut.
“Tidak melamun, kok. Yumiko sudah selesai dari klub tatacara perjamuan minum teh?” jawabku dan balik bertanya pada Yumiko yang wajahnya kini terlihat sangat bahagia.
“Hai (Iya), Manami. Oh ya, senpai kalian yang bernama Satoru itu yang mana, ya?”
Aku terdiam sesaat ketika Yumiko menanyakan Kak Satoru.
“Manami, kenapa diam?”
“Lie (Tidak), itu yang sedang berdiri tepat menghadap guru pelatih yang mengenakan topi merah,” jelasku sambil menunjuk ke arah Kak Satoru.
“Aduh, cakep juga!” decak Yumiko kagum sambil terus mengamati Kak Satoru.
Dalam hati aku berdoa semoga Yumiko tidak jatuh cinta pada Kak Satoru. Jika iya, tentu aku akan kalah dengan Yumiko. Dengan penuh kepercayaan kupastikan Kak Satoru akan lebih memilih gadis seperti Yumiko dibanding diriku.
Hari Minggu yang damai. Kubuka jendela kamarku dan kusaksikan suasana pagi dengan mentari yang masih tersenyum memancarkan sinarnya untuk Kyoto. Masih seperti pagi-pagi sebelumnya, Kyoto dibungkus kehangatan dan dilapisi sakura-sakura nan cantik. Dari jendela kamar, aku bisa memandangi Philosopher’s Path. Kuakui Kyoto memang cantik dengan pesona Jepang kunonya, namun Philosopher’s Path saat Haru (musim semi) adalah salah satu tempat terindah dan teromantis. Ratusan pohon sakura berbaris di jalanan pinggir Kanal, membuat kuil-kuil yang berada di sekitar jalan tersebut terlihat makin indah. Sekarang pun saat musim panas, kecantikan sakura masih mewarnai Philosopher’s Path.
Haha (Ibu) terlihat sibuk memanggang roti di dapur. Kucium pipi kanan orang yang amat kucintai ini dengan tubuh masih basah sehabis mandi. Haha cuma bisa geleng-geleng kepala. Lalu dengan segera, aku naik kembali ke kamarku untuk mengeringkan badan dan merapikan diri.
“Manami keluar dulu ya, Bu!” teriakku berpamitan pada haha seraya mengambil satu lembar roti panggang di meja.
“Iterasshai (Hati-hati di jalan), Manami! Lebih baik makan rotinya di rumah!” nasihat haha sambil memandangiku yang terburu-buru.
“Tidak sempat, Bu!” seruku lalu melangkahkan kaki menuju pintu.
Kukayuh sepedaku dengan cukup cepat. Semoga bisa sampai tepat waktu. Mataku menyapu jalanan wilayah Sanjo. Bersih dan rapi. Orang-orang berlalu lalang masih dengan kesibukan masing-masing walau hari ini hari libur. Sama seperti diriku yang entah kenapa pagi ini tergesa-gesa menuju Togaden, restoran tofu (tahu). Bukan berniat untuk makan tofu karena memang Togaden buka jam lima sore. Tapi demi menuntaskan rasa penasaranku atas cerita Yumiko tadi malam.
Yumiko menelponku dan mengatakan bahwa hari ini pukul 9 pagi, dia janjian bertemu dengan Kak Satoru di depan Togaden. Aku meringis mendengarnya dan berniat untuk tidak ambil pusing. Tapi nyatanya aku tak bisa. Aku terus memikirkan dan penasaran apakah pernyataan Yumiko benar.
Aku menghentikan sepedaku dan menatap dua manusia yang sedang berdiri di depan Togaden. Yumiko dengan rok merah muda dan atasan putihnya terlihat makin menarik, ia tertawa kecil sambil menatap Kak Satoru yang sedang berbicara sesuatu yang mungkin cukup lucu hingga menimbulkan tawa di antara mereka. Rasanya dada ini bergemuruh melihat keakraban mereka. Aku tak menyangka Yumiko bisa langsung akrab dengan Kak Satoru dalam waktu satu hari saja. Tapi tak bisa disalahkan, itulah Yumiko yang memang dari sananya memiliki daya tarik hingga mudah bergaul dengan semua laki-laki dalam waktu singkat.
Aku berniat mengayuh kembali sepedaku untuk pulang. Tapi Yumiko menyadari keberadaanku.
“Manami…!” panggil Yumiko sambil melambaikan tangannya menyuruhku menghampirinya. Mau tak mau aku pun menoleh dan menuju ke sana.
“Ohayou gozaimasu, Yumiko. Ohayou gozaimasu Kak Satoru…,” sapaku pada mereka.
“Ohayou gozaimasu, Manami.” balas Kak Satoru dan Yumiko berbarengan. Mereka berdua berpandangan lalu tertawa bersama.
“Aduh, kenapa kita bisa bareng membalas ucapan Manami ya, Satoru? Hehehe…,” ucap Yumiko kecil sambil tersenyum.
Aku ikut tersenyum, tepatnya pura-pura tersenyum menutupi kecemburuanku karena Yumiko dengan begitu cepatnya bisa dekat dengan laki-laki yang kusukai. Apalagi Yumiko telah memanggil Kak Satoru hanya dengan namanya. Ah, rasanya aku ingin cepat-cepat pergi dari sini.
“Manami dari mana dan mau ke mana?” tanya Kak Satoru padaku.
“Tadi dari minimarket. Habis itu keliling sebentar dan ternyata ketemu Kakak dan Yumiko, hehehe…” jawabku berbohong.
“Oh…,” kata Kak Satoru singkat.
“Manami, mau ikut kami tidak ke Fushimi Inari?” tawar Yumiko padaku.
Kami? Berarti Yumiko dan Kak Satoru akan ke Fushimi Inari. Aku terbayang ciri khas Fushimi Inari yaitu deretan kayu yang menjadi gapura-gapura bersusun berwarna orange dan hitam. Kontur tanah yang berbukit menjadi ciri khas jika semakin ke dalam area, semakin menanjak. Sudah lama diriku tidak ke sana sejak chici (ayah) meninggalkan haha dan aku demi wanita lain.
“Hei, kok malah melamun. Mau tidak, Manami?” tanya Yumiko lagi sambil mengibaskan tangannya di depan wajahku.
“Eh, tidak. Maaf Yumiko. Hari ini aku membantu haha membuat pesanan kue,” jawabku. “Aku duluan ya, semoga ke Fushimi Inari kalian menyenangkan,”
Yumiko tersenyum dan melambaikan tangannya ketika aku kembali mengayuhkan sepeda, sementara Kak Satoru hanya diam saat aku berpamitan.
Sesampainya di rumah, haha sudah sibuk menyusun kue-kue yang akan diantarkan kepada pemesan.
“Manami, siang nanti sekitar pukul 1 tolong antarkan kotak berwarna hijau itu ya!” kata haha yang melihatku sudah duduk di kursi sambil menuangkan minuman jeruk buatannya.
Aku mengangguk lalu tersenyum. Sebenarnya aku ingin bekerja paruh waktu untuk meringankan beban ibuku. Tapi haha tidak memperbolehkanku bekerja. Cukup belajar dengan rajin dan menjadi anak pandai sehingga bisa bekerja yang baik nantinya, itu pinta haha padaku. Aku pun berjanji, akan menjadi anak yang baik, bisa membanggakan dan membahagiakan haha.
Sambil meneguk minuman, aku membayangkan Yumiko yang kini tengah berjalan berdua dengan Kak Satoru. Apakah mereka sudah menjadi sepasang kekasih? Apakah Kak Satoru menyukai Yumiko dan Yumiko juga menyukai Kak Satoru, ya? Aku tidak tahu itu. Hanya yang kutahu jika saat ini aku merasakan kehampaan.
***
“Aku menyukai Satoru, Manami. Menurutmu bagaimana? Apakah Satoru akan menerima cintaku?” kata Yumiko saat istirahat pergantian palajaran.
“Yumiko gadis yang cantik, laki-laki manapun akan menyukai Yumiko termasuk Kak Satoru,” jawabku sekenanya.
Yumiko tersenyum sumringah. Lalu ia berkata lagi, “Pada Festival Gozan no Okuribi nanti, aku akan menyatakan cinta pada Satoru,”
Aku kaget. “Yumiko yang akan menyatakan duluan?” tanyaku pada Yumiko yang terlihat bahagia. Aku belum pernah melihat wajah Yumiko secerah itu. Apakah karena ia telah benar-benar jatuh cinta pada Kak Satoru hingga membuat dirinya seperti itu?
Yumiko menganggukkan kepala cepat. “Hai, Manami!” jawab Yumiko mantap.
“Ganbatte kudasai (Selamat berjuang), sahabatku! Semoga semuanya lancar. Jangan lupa mentraktirku makan udon jika berhasil!” kataku sambil mengerlingkan mata jenaka pada Manami.
“Oke, mudah itu! Hahaha…,” Manami tertawa dengan bahagia.
Munafik, aku benar-benar munafik. Bisa-bisanya aku mendoakan Yumiko berhasil dengan Kak Satoru. Padahal hatiku sedang dibakar api cemburu. Ya Tuhan, aku berharap Kak Satoru tidak menerima cinta Yumiko, doaku dalam hati. Tapi, alangkah jahatnya diriku pada sahabat sendiri.
Aku baru merasakan perasaan mereka, para gadis yang membenci Yumiko, karena Yumiko telah merebut perhatian cowok-cowok yang diincar mereka. Aku sudah menetapkan hati untuk tidak ikut membenci Yumiko, tapi saat ini kenapa rasa itu tiba-tiba ada. Rasa sedikit kesal karena Yumiko menyukai Kak Satoru. Jika aku mulai membenci Yumiko, aku merasa yang jahat itu aku.
Bukan kehendak Yumiko yang terlahir dengan kecantikan lebih dan memiliki daya tarik yang memikat. Jadi tak seharusnya mereka atau pun aku dengan seenaknya menyalahkan Yumiko. Yumiko tetap gadis yang berhak mendapatkan sahabat dan dapat diterima dengan baik olehku dan oleh mereka.
Selesai sekolah hari ini, seperti biasanya aku segera menuju klub tenis. Yumiko sendiri ke klub tatacara perjamuan minum teh. Dalam hati aku berucap, untung saja Yumiko bukan anggota klub tenis. Jika iya, tentu Yumiko akan terus bersama Kak Satoru. Aku yang hanya bisa menyukai diam-diam tentu akan sangat menderita menahan cemburu.
Setelah meletakkan tas di ruangan klub, aku segera menuju lapangan. Akan tetapi kohai kelas 1 belum menyiapkan dan membersihkan lapangan. Bisa-bisa senpai kelas 3 akan marah jika melihat lapangan dalam keadaan begini. Aku tak ingin itu terjadi. Lalu dengan cepat kubersihkan lapangan dan mengaturnya.
“Manami, kenapa kamu yang membersihkan lapangan? Mana kohai kelas 1?”
Aku menoleh ke belakang, ternyata Kak Satoru.
Dengan berdebar-debar aku menjawab, “Mungkin mereka masih belajar di kelas, Kak.”
Aku tersentak ketika Kak Satoru ikut membantuku menyiapkan lapangan.
“Kak… Emm, tidak usah, Kak. Nanti senpai yang lain melihat. Mereka marah jika Kakak ikut bekerja,” kataku yang tak dihiraukan Kak Satoru.
“Satoru…!” panggil Yumiko yang sudah berada di dekat kami.
Kenapa Yumiko datang sih, gerutuku dalam hati.
Kak Satoru memberikan senyuman yang indah untuk Yumiko. Aku baru sadar senyuman itu sangatlah spesial dan hanya untuk satu orang, Yumiko.
“Yumiko bawa kyogashi untuk Satoru. Dimakan, ya!” kata Yumiko pada Satoru sambil menyerahkan kotak berisi kue khas Kyoto.
“Arigatou gozaimasu (Terima kasih), Yumiko. Kamu membuat kyogashi sendiri?” tanya Kak Satoru sambil memandang lekat pada Yumiko.
Yumiko tersipu. “Hai, Satoru. Khusus untuk Satoru, hehehe…”
Yumiko dan Kak Satoru berbicara seolah tak ada aku. Mereka mengacuhkanku. Lebih baik pergi menjauh dari mereka. Aku berlari menuju ruangan klub. Airmata membasahi kedua belah pipiku. Kubenamkan wajah di atas tas. Menangis, menumpahkan kesedihanku.
***
“Itadakimasu (Selamat makan), Sayang. Makan yang banyak ya, biar makin tinggi dan pintar, hehe…,” ujar haha bercanda dengan mengucapkan doa biar makin tinggi.
Aku hanya tersenyum kecil. Tak biasanya sikapku begitu. Biasanya jika haha menggodaku, aku akan teriak-teriak lalu dilanjutkan dengan tertawa.
“Manami, kamu kenapa? Wajahmu menyiratkan kesedihan begitu,”
“Tidak apa-apa, Bu. Manami hanya kelelahan. Manami naik dulu, ya. Mau langsung tidur,”
“Makanannya dihabiskan dulu, Sayang!”
“Sudah kenyang, Bu.” jawabku yang langsung mempercepat langkah menaiki tangga.
Di dalam kamar, aku duduk memandangi langit malam yang bertabur bintang lewat jendela kamarku. aku termenung memikirkan perasaanku. Sungguh aku telah benar-benar merasakan minder karena berbeda dengan yang lain. Punya orangtua yang tidak lengkap, kehidupan ekonomi yang pas-pas an, tubuh tinggi menjulang namun kurus tidak berisi, wajah yang standar dan parahnya memiliki perasaan terpendam pada laki-laki yang hampir sempurna. Ah, pikiran apa ini? Bisa-bisanya aku mencela diri sendiri. Padahal Tuhan telah menciptakanku dengan sebaik-baiknya dan selalu memberikan nikmat-Nya yang cukup buatku.
Besok tanggal 16 Agustus, artinya Festival Gozan no Okuribi akan segera tiba. Festival yang diselenggarakan dari petang hingga malam ini akan menerangi Kyoto dengan aneka karakter Jepang dan simbol kebudayaan dari api, menyala di gunung-gunung yang mengelilingi Kyoto. Aku sudah membayangkan keindahan dan keramaian di festival tersebut. Bahkan aku pernah bermimpi keluar di malam hari berdua dengan Kak Satoru ketika Festival Gozan no Okuribi.
Angin malam membelai wajah sedihku. Sejak Yumiko mengenal Kak Satoru perasaan sedih selalu melanda hati ini. Aku tahu, beberapa gadis di sekolahku menyukai Kak Satoru, tapi aku biasa-biasa saja karena Kak Satoru tidak menanggapi mereka. Entah kenapa, saat Yumiko yang menyukai Kak Satoru aku tidak bisa biasa-biasa saja. Aku terlarut dalam kesedihan. Merasa takut Yumiko bisa merebut hati Kak Satoru.
“Angin, sampaikan salamku untuk Kak Satoru!” kataku lirih pada angin yang kembali membelai wajahku.
***
“Eh, sudah tahu belum jika Kak Satoru sekarang lagi dekat dengan anak kelas 2 bernama Yumiko. Aku sih menyerah saja, karena tak mungkin bersaing dengan Yumiko yang cantik itu,” kata salah satu anak kelas 1 pada temannya yang terlihat cemberut mendengar pernyataannya.
Ternyata berita tentang kedekatan Yumiko dan Kak Satoru sudah meluas. Aku hanya menelan ludah mendengarnya.
“Manami, benar ya jika Yumiko dekat dengan Kak Satoru? Yumiko jahat, deh! Masa semua cowok keren di sekolah kita ingin dimilikinya semua!” seru Aika yang menghampiriku. Sedikit tersedak aku mendengarnya karena sedang meneguk minuman.
“Emm… Hai, Aika.” jawabku pendek setelah itu kembali kuteguk habis air di dalam botol.
Aika meninggalkanku. Aku tahu ia kecewa, sama seperti diriku.
Aku berjalan meninggalkan lapangan tenis. Sudah hampir sore, jadi kuputuskan untuk segera pulang. Dengan berjalan gontai aku menuju ruangan klub tenis. Baru saja langkah kakiku akan menapaki ruangan itu dan tanganku akan membuka pintu, aku mendengar suara kecil. Kuurungkan niat untuk masuk mengambil tas. Dengan seksama aku mendengarkan percakapan dua orang di dalam.
“Gomen nasai (Maafkan aku), Yumiko! Saat ini aku tak bisa,”
Aku amat mengenal suara itu. Suara Kak Satoru.
“Kenapa? Apa ada gadis lain yang disukai Satoru? Jadi apa artinya selama ini Satoru mendekatiku?”
Ini suara Yumiko. Tiba-tiba pintu terbuka, Kak Satoru keluar dengan wajah marah dan kesal. Baru kali ini aku melihat wajah Kak Satoru seperti itu. Kak Satoru memandangiku sesaat lalu pergi.
Aku melangkah masuk dengan perlahan. Yumiko sedang duduk sambil menundukkan kepalanya, membenamkan wajahnya di meja.
“Yumiko…,” panggilku sambil membelai rambutnya.
Yumiko mengangkat kepalanya. Kini wajah cantiknya basah oleh airmata. Aku tak mengerti.
“Satoru menolakku, Manami! Aku sangat menyesal menyatakan cinta padanya. Benar-benar tidak tahu diri! Apa coba kekuranganku sampai ia tak menerima cintaku?” Satoru jahat, sok cakep dan munafik!” jerit Yumiko.
“Hentikan, Yumiko! Tasukete (Tolong)! Kak Satoru tidak begitu,” belaku yang membuat Yumiko terbelalak. Aduh, kenapa aku membela Kak Satoru. Bisa-bisa perasaanku dapat dibaca Yumiko.
“Kenapa Manami membela Satoru?” tanya Yumiko mulai menangis lagi.
Aku membawa tubuh Yumiko ke dalam pelukanku. Mencoba menenangkannya.
“Yumiko, bukankah katamu pada saat festival malam ini akan menyatakan cinta pada Kak Satoru. Lalu kenapa kamu lakukan sekarang?” tanyaku setelah Yumiko cukup tenang.
“Aku ingin Satoru segera jadi kekasihku. Jadi malam nanti tinggal merayakannya. Tapi keinginan itu tidak terwujud. Aku heran ada apa di pikiran Satoru sampai-sampai ia menolakku,” jelas Yumiko dengan sinis karena ia tak menerima penolakan Kak Satoru.
Aku terdiam. Yumiko terlihat begitu marah dan sedih. Wajar saja karena lelaki pilihannya menolak cintanya, padahal banyak lelaki lain yang menginginkan cintanya.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, aku memikirkan kejadian antara Kak Satoru dan Yumiko. Perasaanku sekarang tak menentu. Ada rasa bahagia karena ternyata Kak Satoru tidak memiliki perasaan apa-apa pada Yumiko. Tapi sebaliknya aku juga merasakan kesedihan karena sahabat yang kusayangi menangis. Hati kecilku mulai bereaksi. Lebih baik Kak Satoru menerima Yumiko saja, biar Yumiko tetap bahagia dengan senyumannya terukir indah di wajahnya yang cantik. Walaupun hati ini pedih namun bila Yumiko bisa bahagia, tak apalah.
***
Jam dinding kamarku menunjukkan pukul 8 malam. Surat berwarna jingga sedang kugenggam. Haha mengatakan jika sekitar pukul 4 sore tadi surat itu tergeletak di dekat pagar. Tertulis namaku di sana, maka haha mengambilnya. Aku ragu untuk membaca isi surat itu karena takut hanya akan berisi olokan atau ejekan untukku. Sebab dulu pernah dua kali aku mendapatkan surat dan isinya berupa cacian untukku dan haha.
Handphone-ku bergetar, ada pesan masuk dari Yumiko. Setelah membacanya, aku mengganti pakaian yang agak tebal dan merapikan rambutku lalu turun ke bawah untuk menemui haha.
“Bu, Manami izin keluar ya. Yumiko mengajak Manami untuk melihat Festival Gozan no Okuribi,” bujukku pada haha yang sedang asyik menonton televisi.
“Oke, tapi pulangnya jangan lewat pukul 12, Manami sayang. Iterasshai!”
Aku mengangguk lalu mencium pipi kanan haha. “Konbanwa dan Oyasumi nasai (Selamat malam dan selamat tidur), Bu!”
Dengan langkah ringan kutembus suasana malam di luar. Yumiko menyuruhku tidak usah membawa sepeda di pesannya tadi. Berjalan kaki lebih seru katanya. Kami janjian bertemu di restoran udon, Merogame Seimen, untuk makan udon bersama. Baru setelah itu kami akan berjalan keliling merasakan kemeriahan api yang dinyalakan penduduk Kyoto.
Aku memasuki Merogame Seimen yang ramai. Mataku berkeliling mencari Yumiko. Kutemukan Yumiko yang duduk berhadapan dengan Kak Satoru. Aku bingung kenapa bisa ada Kak Satoru di sini. Apakah Yumiko mengajak Kak Satoru juga. Atau Kak Satoru tidak jadi menolak Yumiko dan kini mereka telah jadian. Ah, berbagai macam pertanyaan berloncatan di benakku.
“Konbanwa (Selamat malam), Yumiko dan Kak Satoru!” sapaku pada mereka yang sedang terdiam.
Kak Satoru terkejut dengan kehadiran diriku. Yumiko memandangku dalam-dalam lalu pergi meninggalkan kami. Aku hendak menyusul Yumiko, tapi jemari Kak Satoru menggenggam lenganku. Aku menoleh ke arah Kak Satoru dan mata kami bertatapan. Matanya yang indah seolah menenggelamkan energi tubuhku. Aku terduduk di kursi tempat Yumiko duduk tadi.
“Manami sudah membaca suratku?” tanya Kak Satoru gugup sambil menatap mataku.
“Surat apa, Kak?” jawabku ikutan gugup. Ah, ada apa ini. Apa yang sebenarnya terjadi. Kok Kak Satoru terlihat gugup begitu. Kenapa matanya tak lepas untuk menatapku terus-terusan.
“Surat berwarna jingga. Sebenarnya ingin kuberikan langsung padamu di sekolah tadi, Manami. Tapi aku belum memiliki keberanian. Jadinya aku ke rumahmu saja dan menyelipkannya di dekat pagar,”
Aku mendengarkan penjelasan Kak Satoru. Berarti surat itu yang ditemukan haha dan belum kubaca. Kini aku tertunduk, tidak tahan ditatap terus oleh mata bening dan teduh milik lelaki pujaanku.
“Emm, suratnya sudah Manami terima. Tapi Manami belum membacanya, Kak. Gomen nasai (Maaf),”
“Daijobu desu (Tidak apa-apa), Manami. Seharusnya aku yang minta maaf karena tanpa seizinmu aku menyayangimu. Aishiteru (Aku cinta kamu), Manami…”
“Kak Satoru bilang apa sih? Salah tidak, Kak?” karena begitu gugupnya aku berkata sekenanya saja.
Kak Satoru menggelengkan kepala. Tangannya mengangkat kepalaku dan membelai daguku sambil menggenggam jemariku dengan tangannya yang hangat. Badanku rasanya lemas. Sesaat kemudian dikecupnya jemariku dengan bibir merahnya. Aku merasakan kehangatan mengalir pada seluruh tubuhku. Aku memberanikan diri menatap wajah Kak Satoru untuk mencari kesungguhan dalam sikapnya.
“Apakah ini mimpi, Kak?” tanyaku lirih, hampir menangis.
“Ini nyata, Manami. Aku sungguh menyukaimu bahkan mencintaimu.” jawab Kak Satoru. Kulihat matanya memerah dan sedikit keluar bulir bening dari sana.
Kini kami berdua tengah duduk di taman. Ditemani cahaya api dari beberapa gunung, kami berbicara panjang lebar dengan bahagia. Beberapa menit lalu, aku telah menerima cinta Kak Satoru di Merogame Seimen dan kini kami sudah menjadi sepasang kekasih. Surat jingga yang belum kubaca ternyata berisi tentang perasaan Kak Satoru padaku.
“Sejak Manami masuk klub tenis, aku mulai menyukai Manami yang gigih berlatih dan tidak segan-segan membantu kohai membersihkan lapangan. Itulah saat itu aku pernah berusaha mendekati Manami dengan membantu membersihkan lapangan tenis. Tapi Manami malah menjauh karena Yumiko datang. Asal Manami tahu, aku mendekati Yumiko hanya untuk dekat pada Manami. Tapi ternyata Yumiko salah mengartikan,”
Aku sangat bahagia mendengar penuturan dari Kak Satoru.
“Yumiko bagaimana, Kak? Apa dia membenciku setelah tahu ini?”
“Tenang saja, Sayangku. Yumiko sudah tahu semuanya jika aku mencintai Manami. Dia mau menerimanya dan tidak akan membenci Manami,”
Aku tak bisa menahan tangis lagi. Kini airmataku tumpah. Kak Satoru memelukku. “Mulai malam ini panggil aku dengan Satoru saja, Manami!” bisiknya di dekat telingaku.
“Iya, Sa… toru,” jawabku di sela-sela tangisku.
Aku tak tahu harus bersyukur seperti apa untuk semua keindahan yang kudapatkan malam ini. Sungguh ini seperti mimpi.
“Manami jangan lagi merasa kurang dengan apa yang ada pada diri Manami. Tubuh tinggi Manami, kulit dan wajah Manami atau mungkin keadaan keluarga Manami, itu semua bukan kekurangan. Itu jalan Tuhan agar Manami mensyukuri nikmat-Nya. Perbedaan Manami dari gadis yang lain telah membuat hatiku memilih Manami. Tetaplah seperti ini, Manami!”
Aku mengangguk-anggukkan kepala di dalam dekapan hangat Satoru. Suatu hari nanti, aku akan menceritakan pada Satoru jika sejak awal diri ini memang telah memilih dia. Aku yakin, Satoru akan bahagia mendengarnya. Di musim yang baru, Aki (Musim gugur) yang kira-kira tinggal dua minggu lagi, aku akan melihat pemandangan warna warni daun yang berguguran bersama kekasihku, Satoru. Aku berharap, Yumiko juga akan mendapatkan kekasih sesuai pilihannya sebelum memasuki musim gugur. Dengan begitu, kebahagiaanku akan lengkap karena bisa merayakan keindahan di saat musim berganti bersama seorang kekasih dan seorang sahabat.
SELESAI
_________________________________________________________________________

KOKYUU SHINAI MADE
            Taman Odori, Sapporo, Hokkaido1
                Fuyu2
                Aku memandang iri pada orang-orang di sekitar yang terlihat berbahagia dengan pasangannya. Ah, seandainya Yuki masih menjadi kekasihku. Tentu saja saat ini aku tak akan sendirian menyaksikan Festival Salju Sapporo3. Tapi ya sudahlah, Yuki telah berbahagia bersama lelaki pilihannya. Harus kuterima kenyataan pahit jika Yuki lebih memilih dia. No problem. Aku tetap bisa baik-baik saja!
            Angin berembus dingin dan mengenai leherku. Ternyata syal yang menggulung leherku ini sedikit tak rapat. Aku membenarkan letak syal dengan cepat setelah itu kugosokkan kedua telapak tanganku supaya terasa sedikit hangat. Dinginnya salju terasa sampai di telapak kakiku. Salju… mengingatkan lagi tentang Yuki. Ya, Yuki mantan kekasihku!
Yuki sangat menyukai salju. Sudah dua kali kami datang ke Taman Odori ini untuk menikmati ratusan ukiran es dan patung salju yang berderet di sepanjang Taman Odori. Dua tahun kami pacaran, ternyata sama sekali tidak berarti baginya. Yuki mengkhianatiku. Dan aku hanya bisa menerima, meski rasanya sakit dan pedih. Seharusnya tahun ini aku tak usah datang ke sini. Tapi gejolak batinku menyuarakan agar aku datang, meski tanpa Yuki.
Langkah kakiku terhenti pada sebuah patung besar berbentuk Hello Kitty. Bukan patung itu yang membuatku tertarik, namun seseorang yang tengah menatap patung Hello Kitty dari salju itu. Dia seorang perempuan dan sepertinya seusia denganku. Iseng kudekati dirinya dan berdiri di sampingnya. Tak kusangka, wajah cantiknya telah basah oleh air yang keluar dari kedua mata indahnya.
“Ini….” Aku menawarkan saputangan padanya.
Dia bergeming. Namun wajahnya telah ditundukkan, tidak lagi menatap patung di hadapan kami.
Gomen nasai!4 Bukannya mau apa-apa, aku hanya menawarkan saputangan ini. Kalau saja kau membutuhkannya,” ujarku pelan sembari tetap menatap lekat pada gadis di sampingku.
Tangannya terulur dan meraih saputangan yang kutawarkan. Dengan segera diusapkannya saputangan coklat milikku ke wajahnya yang basah.
Arigatou gozaimasu,5 Besok datanglah ke sini lagi! Saputangannya akan kucuci dahulu,”
Setelah mengucapkan kalimat itu, dia berlarian entah mau ke mana. Aku hendak mengejarnya untuk menanyakan namanya. Namun segera kuurungkan.
***
            Hari ini aku menunggunya. Tepat di hadapan patung salju berbentuk Hello Kitty seperti kemarin. Namun sudah lebih dari satu jam, gadis yang berhasil membuatku penasaran itu belum juga datang. Sudah berkali-kali kurapatkan mantel. Siang ini udara terasa sangat menusuk hingga ke tulang. Kalau saja bukan untuk bertemu gadis itu, siang ini aku enggan untuk ke luar dari rumah.
            “Konnichiwa6. Sudah lama kau menunggu? Gomen nasai!” ucap lembut si gadis dengan senyuman kecil namun terlihat sangat indah. Wajahnya lebih ceria dari kemarin, meski masih jelas tergambar jika wajah itu mengandung kesedihan.
            “Konnichiwa. Lumayan, hehe…. Daijobu desu7.” Aku memasang wajah seceria mungkin agar gadis ini ikut ceria sepertiku.
Dia tersenyum lagi. Lalu matanya memandangi patung Hello Kitty. Raut wajahnya berubah. Senyum yang tadi sempat ada di bibirnya, perlahan telah terhapus. Kini bibirnya beku dan dingin, seperti salju yang terhampar di sekelililng kami saat ini. 
Hampir sepuluh menit dia hanya terdiam murung. Aku bingung harus bagaimana. Dengan nekat kusentuh bahunya. Dia menoleh dan menatapku.
            “Eh, aku boleh tahu namamu? Aku Satoshi.”
            “Yuki.”
            Aku terbelalak kaget. Yuki? Nama itu…. Ah, kenapa harus nama itu lagi!
            “Pasti kamu sangat menyukai salju!” tebakku.
            “Emm, iya!”
            Aku tersenyum. “Yuki… artinya salju. Dan dugaanku benar, kalau kau menyukai salju.”
            Dia tersenyum. Dan kali ini terlihat lebih manis karena matanya menyipit.
            “Yuki, aku boleh bertanya sesuatu?”
            “Kau pasti ingin bertanya kenapa kemarin aku menangis?”
            Aku tertawa. “Iya, benar sekali! Hehehe!”
            “Besok kembalilah lagi ke sini, akan kujelaskan. Jika kau bersedia,”
            “Tentu saja!”
            “Aku pulang dulu, ya!” Pamit Yuki sambil menyerahkan saputangan berwarna coklat yang kemarin kupinjamkan.
            Belum sempat mengatakan sampai jumpa padanya, dia sudah berlari dengan cepat dan menghilang di antara ribuan orang yang menjejali area Taman Odori. Aku menarik napas pelan dan mengembuskannya di kedua telapak tanganku.
***
Hari ini Yuki telah tiba terlebih dahulu. Kukejutkan gadis itu dengan menepuk pundaknya pelan.
            “Eh, Satoshi!” katanya terkejut.
            “Konnichiwa, Yuki!” sapaku lembut dan semangat.
            “Konnichiwa!” balas Yuki dengan senyumnya yang kusukai. Senyum itulah yang selalu terbayang di benakku dari hari kemarin.
            Yuki… entah kenapa sejak bertemu dengannya, aku merasakan sesuatu di hatiku. Aku tahu aku menyukai gadis dengan rambut panjang hitam dan gelombang ini, tapi kenapa bisa?
            “Satoshi! Kenapa kau diam? Memikirkan sesuatu, ya?”
            “Eh, iya. Memikirkan kau, Yuki!”
            Dia hanya tertawa menanggapi kata-kataku.
            Saat ini kami berjalan menyusuri Taman Odori yang sangat ramai. Bukan hanya orang Sapporo yang berada di sini, bukan pula orang-orang Hokkaido saja. Tapi ada juga pengunjung dari luar negeri. Festival musim dingin terbesar di Jepang ini akan berlangsung selama tujuh hari di Bulan Februari. Ini hari ke tiga, dan masih ada empat hari lagi. Semoga saja empat hari ke depan, aku masih bisa selalu bertemu dengan gadis yang sedang berjalan di sampingku ini.
            “Satoshi, kau tidak bersama kekasihmu?” Tiba-tiba Yuki bertanya sejak keterdiamannya sedari kami meninggalkan patung Hello Kitty tadi.
            “Iie!Aku dan dia sudah putus sejak awal akikemarin.”
            “Gomen nasai!” ujar Yuki menyesal.
            “Daijobu desu. Aku sudah melupakannya sejak bertemu denganmu.”
            Aduh! Aku kelepasan bicara. Bagaimana ini kalau Yuki tidak menyukai kata-kataku.
“Kau mau karaage10, Satoshi? Atau mau takoyaki11?“ Yuki menawarkan makanan khas daerah-daerah Hokkaido, yang dijual di kios dan tenda di depan kami saat ini.
            Sepertinya Yuki sengaja mengalihkan arah pembicaraan yang tidak sengaja kuucapkan tadi. “Takoyaki saja, Yuki!” kataku pada Yuki.
            Kami menikmati takoyaki dari wadah kertas sambil duduk bersantai di kursi taman. Sambil mengunyah, kuamati Yuki dari dekat. Cantik dan lembut! Namun aku merasa ada hal yang teramat menyiksa batinnya. Seandainya aku tahu dan bisa membantunya, pasti akan kulakukan. Apapun itu!
            “Yuki, kau berjanji padaku untuk bercerita hari ini!” tagihku dengan mengedipkan mata jenaka.
            “Eh, itu… iya. Aku habiskan takoyaki ini dulu, ya!” jawabnya tersenyum dan aku menganggukkan kepala.
            Tiba-tiba angin kencang sekali dan salju turun cukup banyak. Udara seketika berubah menjadi semakin dingin. Kulihat wajah Yuki sangat ketakutan. Kedua telapak tangannya dikepalkan erat dan didekatkan rapat pada mantel birunya. Topi mantelnya yang biasanya tidak dikenakan, sekarang dengan cepat ditutupkan pada kepalanya. Dia terlihat menggigit bibir bawahnya. Benar-benar seperti orang ketakutan.
            Salju semakin banyak. Seolah beterbangan dan menempel di mana-mana, termasuk di mantelku dan mantel Yuki. Dingin memang, namun aku termasuk salah satu orang yang menyukai adanya salju. Jadi aku dan Yuki tetap duduk di kursi taman ini. Tapi ada juga beberapa orang yang kulihat menghindari salju. Mereka masuk ke dalam tenda dan kios yang menawarkan aneka macam kuliner khas Jepang.
            “Satoshi, kita ke tenda saja!” pinta Yuki dengan suara bergetar.
            “Kenapa, Yuki? Bukannya kau menyukai salju?” tanyaku heran.
“Aku…,” Bukannya menyelesaikan kata-katanya, Yuki malah menangis.
            Kekhawatiran menyergapku. Lalu kubawa tubuh Yuki ke dalam pelukanku untuk menenangkannya. Tak kuhiraukan berpuluh-puluh pasang mata menatap kami. Bagiku hanya Yuki yang penting saat ini.
***
            Hari ke empat, ke lima, ke enam dan sampai hari terakhir Festival Salju Sapporo, aku tak pernah lagi bertemu Yuki. Sungguh aku mengkhawatirkan gadis itu. Aku selalu menunggunya di depan patung salju Hello Kitty. Aku juga mengelilingi Taman Odori ini. Tapi aku tak menemukannya.
Penutupan festival ini sebenarnya sangat meriah meski dinginnya salju tak pernah lepas menyerang kulit. Namun aku merasakan kehampaan sekaligus kerinduan pada Yuki, gadis yang telah membuatku merasakan kembali sebuah perasaan yang menyegarkan hati. Sambil memandangi patung es Hello Kitty yang besar dan lucu di hadapanku, kembali kuingat cerita Yuki kenapa dia menangis ketika melihat patung es ini.
            “Hari itu… aku bersama adikku, Hanako. Kami hendak menyaksikan Festival Salju Sapporo. Hanako sangat menyukai patung es berbentuk Hello Kitty. Itu sebabnya Hanako memaksakan diri untuk pergi ke Taman Odori hari itu, meski kondisinya sangat lemah oleh penyakit asmanya. Adikku sudah menderita asma sejak usia sebelas tahun, Satoshi. Aku sangat menyayanginya. Aku tak mau kehilangan dia, sama seperti aku kehilangan kedua orangtuaku. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Hanako. Tapi takdir berkata lain, belum sempat melihat patung itu, Hanako ditabrak seseorang dan ia terjatuh. Ditambah lagi cuaca saat itu benar-benar bersalju dan amat dingin. Napas Hanako tersengal-sengal sambil memanggil namaku berulang kali. Aku mencari alat untuk membantu pernapasannya. Ternyata alat itu tertinggal di rumah. Beberapa menit kemudian napas Hanako sudah tidak ada lagi. Dan hari itu aku pun harus kehilangan adikku. Hiks….”
            Hatiku miris saat mendengar cerita yang dituturkan Yuki dengan berurai airmata. Wajar saja dia begitu. Siapa yang tidak bersedih saat kehilangan seseorang yang amat disayangi. Apalagi Yuki sudah tidak memiliki siapa-siapa. Gadis yang telah menarik hatiku itu telah benar-benar sendirian kini. Seandainya aku bisa, ingin sekali setiap saat aku menemani dirinya. Akan tetapi, aku tak tahu harus mencari dia ke mana. Aku tak pernah bertanya di mana tempat tinggalnya selama tiga kali pertemuan kami di taman ini.
            “Jika Yuki ditakdirkan untuk menjadi jodohku, aku percaya kami akan kembali bertemu….” Aku bergumam dan berharap di dalam hati.
Kutinggalkan Taman Odori ketika jarum pendek di jam tanganku menunjukkan angka delapan. Sengaja aku pulang saat langit sudah menjadi gelap seperti ini. Aku masih ingin menunggu Yuki, meski kutahu dia tidak ada di sini. Hari ini sudah lebih dari sepuluh kali aku bolak-balik ke tempat patung es Hello Kitty. Aku sangat berharap Yuki ada di sana menungguku di hari terakhir festival. Tapi sepertinya penantianku ini hanya berakhir sia-sia.
            Dengan langkah gontai, kutinggalkan salju-salju di Taman Odori. Saat langkah kakiku keluar dari area taman, kudengar sebuah suara memanggilku. Hatiku berdesir dan aku tak berani menoleh ke belakang. Aku pun tetap melangkah tanpa berniat untuk berhenti. Ya, itu karena aku takut ini hanyalah ilusiku saja. Namun, suara itu masih ada, masih meneriakkan namaku dengan sangat jelas dan indah. Seperti sebuah kidung yang menenangkan.
            “Satoshi! Satoshi…!”
            Kuhentikan langkah. Berdiri terpaku di atas salju yang sudah membeku. Dengan perlahan aku menoleh ke belakang, ingin membuktikan sebuah harapan yang tengah bermain di pikiranku. Dia… dengan rambut gelombangnya yang basah dan dihiasi putihnya salju yang menempel, berlarian menuju ke arahku.
            “Satoshi….” Dia kembali menyebut namaku dengan lirih sembari menatap lekat pada mataku.
 “Yu… Yuki, kau?” ucapku dengan suara bergetar. Ingin rasanya aku berteriak. Aku terlalu bahagia karena bisa bertemu kembali dengan gadis ini.
            Yuki tersenyum manis sekali. Aku memandangi wajahnya. Matanya memancarkan sebuah kerinduan untukku.
            “Gomen nasai, Satoshi! Tiga hari kemarin aku sengaja menghilang dan tak mau bertemu denganmu. Itu karena aku ingin melupakan perasaanku. Tapi ternyata aku tak bisa melupakan pertemuan kita begitu saja. Aku tak mampu menghapus bayang-bayang dirimu.”
            Kata-kata yang diucapkan Yuki seakan menjadi melodi terindah, juga sebagai jawaban atas keresahanku akhir-akhir ini. Segera kubawa tubuh Yuki ke dalam pelukanku.
            “Yuki, kau tak perlu melupakanku. Jangan kau lupakan aku! Kokyuu shinai made12, tetap jangan kaulupakan aku! Daisuki dayo13, Yuki!”
            “Benarkah itu, Satoshi?” Yuki melepaskan pelukanku dan menatapku dengan tatapan tak percaya.
            Aku mengangguk dan tersenyum. “Kau tak akan sendirian lagi, Yuki. Aku akan menemanimu selalu.”
            Dengan segera Yuki memelukku erat. “Ima made arigatou14, Satoshi!”
Salju-salju yang telah membeku di sekitar Taman Odori menjadi saksi kisah kami berdua. Kisah kasih yang baru saja akan dimulai. Dan kali ini aku merasakan bahwa gadis yang memelukku saat ini adalah sebuah takdir terindah untukku. Semoga saja!
SELESAI

Sebuah taman yang berada di Sapporo, Hokkaido. Tempat berlangsungnya pameran ukiran es dan salju berukuran sangat besar.
Musim dingin.
Festival salju terbesar di Jepang yang diadakan di kota Sapporo, Hokkaido. Berlangsung selama seminggu pada awal Februari.
Maafkan aku!
Terima kasih.
Selamat siang.
Tidak apa-apa
Tidak.
Musim gugur.
10 Jenis makanan gorengan yang digoreng dalam minyak panas.
11 Makanan berbentuk bola-bola kecil dari adonan tepung terigu dengapotongan gurita di dalamnya.
12 Hingga napas telah berhenti.
13 Aku benar-benar menyukaimu.
14 Terima kasih untuk segalanya
__________________________________________________________________________
CINTA PUTIH KAYLA

            Sebuah rasa yang terlahir dalam hatiku, sejak enam tahun yang lalu hingga kini masih tetap setia kujaga. Rasa yang kusebut cinta, rasa yang menumbuhkan bunga-bunga semangat dalam hidupku dan rasa yang mampu membuat diriku bertahan selama ini. Bukan waktu yang singkat untuk mendekam rasa ini di dalam hati. Aku pun tak tahu sampai di mana cinta ini sanggup berlabuh. Akankah sampai pada pelabuhan yang kutuju atau malah harus mengalah pada titik kelemahan hingga tak bisa melabuhkannya pada hati yang telah lama kudamba.
            Pagi ini masih seperti biasanya. Hanya aku sendirian yang sudah duduk manis di dalam ruangan A105, menunggu mata kuliah pertama di senin pagi yang cukup dingin. Kubuka lembaran buku tebal yang baru saja kukeluarkan dari tas, lalu membacanya perlahan untuk mengisi waktu. Setelah sepuluh menit berlalu, kulirik jam mungil berwarna kecoklatan di pergelangan tanganku. Tepat pukul delapan pagi, itu berarti aku harus menunggu setengah jam lagi, baru perkuliahan akan dimulai.
            “Satu, dua, tiga, empat, ….” kuhitung detik demi detik dan tepat pada detik ke sepuluh, sang pujaan hatiku dengan manisnya melangkah masuk ke dalam. Lagi-lagi hari ini ia bersama sang bidadari pilihan hatinya. Tentu saja bukan aku, tapi seorang gadis yang amat cantik, amat manis, amat anggun, amat menarik dan segala amat yang mewakili kesempurnaan dari seorang Cherry..
            Sudah menjadi kegiatan rutinku, memperhatikan kedatangan Andro. Ia bersama kekasihnya, Cherry, pasti datang pada pukul delapan pagi lewat beberapa detik saja. Kemarin lewat lima belas detik dan hari ini hanya sepuluh detik. Seminggu yang lalu Andro datang pada pukul delapan tepat, waktu tercepat ia datang. Kegiatan rutin ini sudah kulakukan sejak pertama kali menuntut ilmu di kampusku sampai sekarang, sudah hampir tiga tahun karena kami sudah semester enam saat ini. Sebenarnya aku tak tahu untuk apa melakukannya, namun ada rasa bahagia tersendiri jika kutahu Andro masuk kuliah dan terlihat baik-baik saja.
            Andro dan Cherry melewati tempat dudukku dan seperti biasanya mereka memilih di kursi paling belakang dan duduk berdekatan. Aku tersenyum getir melihat kemesraan mereka. Lalu kembali kubaca buku yang sejak tadi kudiamkan saja di atas meja.
            “Kayla!” teriak Mimi dekat pada telingaku.
            Aku kaget dan cemberut menatap Mimi yang tertawa. “Bisa tidak kalau memanggil orang itu tidak pakai teriak-teriak!” kataku kesal pada Mimi sambil mencubit lengannya.
            “Hahaha! Salah kamu, Kay. Aku datang tapi pura-pura tidak tahu, padahal hari ini aku memakai baju baru, loh!” Mimi berdiri di depanku lalu ia memutar badannya, menunjukkan baju berwarna merah muda yang dipakainya.
            “Cantik, Mi!” pujiku sungguh-sungguh.
            “Terima kasih, Kayla sayang! Akhirnya kamu mengakui juga kalau aku ini memang cantik, hehehe…,” ucap Mimi dengan mata berbinar.
            “Aduh, yang cantik bajunya, Sayang. Bukan kamu! Haha…!” Setelah mengejek Mimi, aku langsung melarikan diri keluar. Mimi cemberut dan mengejarku yang tertawa-tawa riang.
            Mimi berhasil menyusulku dan menarik lenganku. “Jika tidak mengatakan aku cantik, tak akan kulepaskan tanganmu!” seru Mimi mengancam dengan mimik muka dibuat garang.
            “Iya, iya. Aku bercanda. Mimi cantik, kok!” kataku menyerah.
            “Nah, begitu dong!”
            Lalu kami berdua duduk-duduk di kursi panjang depan ruangan kuliah, menanti kedatangan Pak Harata. Tepat pada pukul delapan lewat tiga puluh menit, Pak Harata terlihat berjalan menuju ruangan A105. Aku dan Mimi segera masuk.
            “Pak Harata sudah datang!” teriak Mimi pada teman-teman yang masih asyik mengobrol.
            “Selamat pagi!” sapa Pak Harata pada kami. Ia tersenyum dan duduk di kursinya.
            “Selamat Pagi, Pak!” jawab kami serentak.
***
            Bintang banyak sekali malam ini. Menghias langit di angkasa, seperti berlian yang berhamburan di atas permadani luas membentang. Aku sedang menggenggam buku harian saat masih di SMA. Buku dengan sampul hijau muda kini menjadi kenangan semata karena saat ini aku tak pernah lagi menggoreskan pena di buku tersebut.
            Kubuka salah satu lembar yang berwarna merah muda.
            Dia masih sama saja. Tetap cakep dan ramah pada siapapun. Andro, kamu nanti kuliah di mana? Aku harap kita bisa satu universtas lagi dan bisa belajar dalam satu ruangan denganmu… ^_^
Aku tersenyum membaca tulisanku sendiri. Dari tanggalnya, aku dapat mengingat saat itu kami sedang merayakan pesta kelulusan di SMA. Ketika kudengar dari salah seorang teman, Andro akan ikut tes masuk Universitas Sriwijaya, aku bertekad untuk belajar sungguh-sungguh agar bisa lulus tes dan satu kampus dengan Andro. Hasilnya sungguh memuaskan, selain satu kampus ternyata tiga tahun selama kuliah pun selalu satu ruangan dengannya.
            Kini aku membaca lembaran berwarna hijau muda.
            Ah, Andro keren sekali hari ini! Permainan basketnya memukau dan semua anak perempuan di sekolah ini berkumpul di lapangan untuk melihat Andro. Tapi, kenapa sampai detik ini Andro belum memiliki pacar, ya??? (Mengharapkan sesuatu yang kurang mungkin, hehe :D)
Sesaat aku tertegun sejenak membaca catatan di kelas dua SMA. Hari itu sedang diadakannya pertandingan basket antar SMA sekota Palembang dan SMA-ku menjadi tuan rumah. Andro salah satu tim basket andalan di SMA dan sering menjuarai perlombaan basket. Kabar-kabar yang kudengar, Andro belum pernah menyukai cewek sehingga ia belum pernah memiliki pacar. Aku pernah bermimpi suatu saat nanti bisa berjodoh dengan Andro walau kemungkinannya sangatlah kecil.
            Lembaran pertama kali dalam buku harianku, berwarna biru muda, dengan seksama aku membacanya.
Baik sekali cowok itu! Dia memberikanku topi bolanya saat MOS agar aku tidak dihukum senior. Untung saja Andro juga tak dihukum karena para senior cewek membelanya. Andro ganteng sih, jadi kakak-kakak senior mengurungkan niat untuk  menghukumnya. Sudah cakep, baik lagi! Aku menyukainya.<3
Kututup buku harian dan memandangi bintang lewat jendela kaca di kamarku. “Bintang, Andro kini sudah bisa jatuh cinta. Dia sudah memiliki dan dimiliki Cherry. Apakah aku masih boleh mencintainya?” aku berbisik pada bintang-bintang yang bercahaya terang. Mereka seolah tersenyum dan menatapku yang tengah merenung.
***
            “Jika memang tidak sanggup, tidak perlu dipaksa, Honey! Hanya saja Papi dan Mami menginginkan aku menikah secepatnya,” kata Cherry menahan kesal.
            “Bukan aku tidak sanggup memenuhi permintaan kamu, Honey. Tapi aku belum siap sama sekali jika kita harus menikah. Papa dan Mama tentu belum mengizinkan, mereka ingin kita jadi sarjana dulu,” jawab Andro dengan wajah pias. Dia menatap kekasihnya itu dengan sedih.
            “Oke, kamu bisa pilih! Mengikuti kata orangtuamu atau aku!” seru Cherry yang membuat Andro terdiam.
            Cherry meninggalkan Andro sendirian di kantin. Andro tidak menyusulnya. Ia hanya tertunduk dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Andro pasti kebingungan dan bersedih tidak bisa memenuhi keinginan Cherry yang mengajaknya untuk menikah dalam waktu cepat ini.
Aku duduk sendirian di sudut kantin. Tak sengaja kulihat Andro dan Cherry yang sedang makan tak jauh dariku. Aku mengamati dan mendengarkan percakapan mereka. Kini aku ikut merasakan kesedihan dan kebingungan Andro yang dihadapkan pada masalah rumit hingga membuat Andro tak mampu berkata-kata lagi.
Satu minggu kemudian.
Di pesta pernikahan Cherry. Tapi pengantin prianya bukanlah Andro melainkan laki-laki yang sudah sarjana, pilihan papi mami Cherry. Pesta super mewah di gedung Novotel, hotel berbintang terbaik di Palembang, yang menurut tebakanku menghabiskan biaya ratusan juta ini sangat ramai di hadiri para tamu undangan. Para pejabat dan artis ibukota turut merayakan resepsi pernikahan Cherry.
“Gila! Suami Cherry itu anak pejabat ya, Kay?” decak kagum Mimi sambil mencicipi hampir semua makanan dan minuman yang disediakan di beberapa stan.
Aku menggeleng. “Tidak tahu, Mi. Tapi mungkin juga, ya.”
Mimi sibuk mengunyah. Anak ini belum kenyang juga, padahal sudah berbagai jenis makanan masuk ke dalam perutnya.
“Mi, masih mau makan lagi?” tanyaku bercanda saat mata Mimi memperhatikan stan yang khusus menyediakan pempek, makanan khas Palembang.
Mimi mengangguk dan langsung menarik tanganku. Aku menggeleng-geleng heran memandangi Mimi yang sekarang sibuk mengambil beberapa pempek dan menaruhnya di atas piring. Aku mengajak Mimi makan bersama teman-teman yang lain. Andro? Apa aku tak salah melihat? Ah, benar-benar Andro. Ia sedang berkumpul bersama teman-teman cowok di dekat hiasan air mancur. Aku tersentak, Mimi pun begitu.
“An, kamu datang?” tanya Mimi dengan wajah heran bercampur kagum karena Andro terlihat sangat ganteng dengan pakaiannya yang amat rapi.
“Andro, pria sejati! Dia menghormati mantan kekasihnya, jadi datang walau hati teriris-iris. Sakit, uuuhh!” jawab Krisna asal sembari bertingkah lucu yang mengundang tawa kami semua.
Andro hanya tersenyum dan menjawab pertanyaan Mimi, “Datang dong, Mi.”
“Ah, Andro diputuskan Cherry karena tidak mampu memenuhi permintaan Cherry yang menginginkan pesta super mewah, hahaha…!” ujar Ricko seenaknya.
“Bukan tidak sanggup! Aku bisa saja membiayai pesta pernikahan lebih mewah dari ini kok!” seru Andro kesal atas kata-kata Ricko yang menghinanya.
“Padahal sudah pacaran satu tahun, kalian sudah amat serasi, dan kamu sanggup memenuhi permintaannya. Terus kenapa kamu melepaskan Cherry, Bro? Sayang sekali, gadis secantik dan seseksi Cherry itu susah mendapatkannya!” Kini giliran Nicky yang berceloteh.
Andro hanya terdiam menahan emosi atas hujatan teman-temannya yang kecewa karena Andro melepaskan Cherry, cewek nomor satu di kampus.
“Pasti ada hal lain yang membuat Andro mengambil keputusan ini, teman-teman. Jangan membuat Andro lebih bersedih lagi dong!” kata Safira menengahi karena suasana mulai memanas.
Andro melihatku sekilas namun langsung membuang wajah. Aku melihat ada luka di balik senyuman tegarnya. Aku mengerti perasaan Andro, pasti sakit dan ia berpura-pura sedang baik-baik saja. Aku tahu hatinya menangis, akan tetapi ia tetap berusaha bahagia atas pernikahan Cherry, satu-satunya perempuan yang ia cintai.
“Diharapkan teman-teman dari Universitas Sriwijaya naik ke atas pelaminan untuk berfoto bersama pengantin!” panggil pembawa acara.
Perempuan yang benar-benar mendekati sempurna menurutku saat memandangi Cherry yang berbalut pakaian pengantin. Suaminya pun tak kalah, sangat gagah dan ganteng walau masih lebih ganteng Andro. Selesai berfoto, kami semua menyalami sepasang pengantin yang sedang berbahagia. Andro menatap Cherry dan Cherry mengacuhkannya. “Kasihan sekali kamu, An.” gumamku di dalam hati.
***
            Selama kuliah, baru kali ini ada orang yang mendahului kedatanganku dan sudah berada di ruangan kuliah pagi hari ini. Aku tersentak kaget saat tahu jika orang itu adalah Andro. Dia sedang sibuk menulis. Apa karena ada tugas yang belum diselesaikannya jadi Andro datang pagi? Ah, sepertinya tidak. Biasanya walau ada tugas yang menumpuk pun dia tak akan datang di bawah jam delapan.
            Aku meletakkan tas di atas kursi dan bermaksud untuk keluar. Jantung ini kurasakan berdebar-debar saat berdua saja bersama Andro seperti sekarang. Baru mau melangkahkan kaki, Andro memanggil namaku. “Kayla…,”
            Aku menoleh dan tersenyum. “Ada apa, An?” kataku sambil berusaha tak terlihat gugup. Jarang-jarang Andro menegurku apalagi mengajak bicara.
            “Jika tidak ada kerjaan, di sini saja temani aku!” jawab Andro sambil menarik bibirnya membentuk senyuman terindah yang pernah kulihat. Dan senyum itu kali ini benar-benar untukku. Ah, ingin rasanya aku memotret senyuman Andro barusan.
            Aku mengangguk dan menuju ke arah tempat duduk Andro. “Lagi nulis apa? Tugas, ya?” tanyaku basa-basi.
            “Tugas sudah kukerjakan kemarin setelah pulang dari pesta pernikahan Cherry. Sekarang lagi nulis puisi patah hati saja, Kay. Hehehe,” Andro menjawab pertanyaanku dengan tertawa kecil.
            Aku terdiam. Membiarkan Andro terus menulis selama beberapa menit.
            “Kayla, aku masih sangat mencintai Cherry. Apa aku masih boleh mencintainya padahal ia sudah menjadi milik orang lain?” Andro bertanya serius padaku.
            “Cinta itu adalah anugerah. Boleh-boleh saja mencintai seseorang yang sudah dimiliki orang lain. Namun, tidak untuk memiliki, An!” jawabku yang seolah menjawab pertanyaanku sendiri.
            Andro menatapku dan aku menatapnya. Cukup lama kami saling bertatapan dan Andro yang terlebih dahulu sadar lalu memalingkan wajahnya. Aku menjadi malu. Wajahku biasa-biasa saja, tidak secantik dan semenarik Cherry. Mungkin itu yang membuat Andro tersadar dan segera memalingkan wajahnya.
            Sekarang tak lagi kudapati seorang Andro yang ceria. Keceriaannya seolah tertelan dukanya karena Cherry. Andro juga jarang sekali masuk kuliah dalam beberapa minggu ini. Aku benar-benar khawatir, takut terjadi apa-apa dengan orang yang kucintai itu. Untung aku masih mengingat jalan ke rumah Andro. Sepulang kuliah siang ini, aku akan ke rumahnya untuk mencari tahu penyebab Andro tidak masuk kuliah berhari-hari.
            Selama setengah jam aku terpaku di hadapan mama Andro. Dengan berurai airmata, mama Andro bercerita dalam dua minggu ini Andro ternyata mengkonsumsi obat tidur dosis tinggi dan yang mengerikan ternyata Andro mengkonsumsinya dalam jumlah yang sangat berlebihan sehingga membuatnya harus diopname di rumah sakit sejak kemarin.
            “Tante sangat menyesal, Kayla. Seandainya kami mengizinkan Andro menikah, tentu dia tak akan begini. Ini semua salah kami!” kata mama Andro menyesali diri.
            “Semua adalah takdir dari Tuhan, Tante. Tidak ada yang salah. Terpenting sekarang, bagaimana mengembalikan Andro seperti semula,” kataku lembut sambil mengusap pipi mama Andro pelan.
***
            Sudah satu minggu lamanya Andro dirawat di rumah sakit. Tubuhnya semakin kurus dan tidak mau berbicara banyak padaku dan pada orangtuanya. Dengan rasa cinta di dalam hatiku, setiap hari sepulang kuliah aku ke rumah sakit untuk menemani Andro. Bagaimanapun kondisinya sekarang, bagaimanapun keadaannya fisiknya sekarang, aku masih tetap cinta. Cinta yang tetap putih seputih pertama kali aku mencintai Andro di kelas satu SMA dahulu.
            Sore ini, kuajak Andro berjalan-jalan mengelilingi area rumah sakit. Andro disuruh suster menggunakan kursi roda saja karena badannya masih lemas. Aku mendorong kursi roda Andro perlahan dan mengajaknya ke sebuah taman kecil. Di taman ini terdapat pohon-pohon besar yang rindang dan rerumputan nan hijau yang menyejukkan mata, lengkap dengan bunga-bunganya yang dihinggapi kupu-kupu cantik.
            “Andro, lihat anak kucing itu! Dia hanya sendirian tanpa induk dan tanpa teman. Tapi coba perhatikan, ia tetap ceria bermain bersama rumput dan kupu-kupu di sana!” kataku sembari menunjuk ke arah anak kucing yang sedang melompat-lompat mengejar kupu-kupu dan memainkan rumput yang bergoyang tertiup angin.
            Andro memperhatikan anak kucing itu. Perlahan dia tersenyum. Aku bahagia sekali melihat senyuman Andro. “Kamu juga pasti bisa lebih bahagia dari anak kucing itu, An! Kamu masih memiliki orangtua yang amat menyayangimu dan masih memiliki teman. Pantaskah kamu larut dalam kesedihan dan hampir mencelakai dirimu sendiri?” kataku bertanya lembut pada Andro yang langsung tertunduk.
            “Aku tidak pantas untuk bersedih seperti ini, Kay. Aku sungguh menyesal!” jawab Andro dengan terbata.
            Aku tersenyum dan berbungkuk di hadapan Andro. “Mulai sekarang, kamu harus lupakan masa lalu yang hanya akan melukis kesedihan. Tataplah masa depan, Andro! Itu akan membuatmu lebih baik. Semangat!” Aku berkata sambil mengepalkan tangan dan mengangkatnya untuk memberikan semangat pada Andro yang kukasihi.
            “Oke, Kayla! Mulai saat ini aku akan kembali menjadi Andro yang dahulu. Aku akan melupakan Cherry dan memulai hidup dari awal lagi demi masa depan yang lebih cerah!” seru Andro semangat dengan sumringah sambil menatap mataku.
            Aku pun tersenyum. Ingin menangis rasanya.
            Terima kasih, ya Allah. Andro sudah kembali seperti dulu dengan senyuman manisnya. Aku berjanji akan tetap menjaga cinta putih ini untuknya namun tetap tidak akan mengalahkan cintaku pada-Mu, Sang Pemilik Hati dan Jiwa.
SELESAI

__________________________________________________________________________________

TUMBAL TELAPAK TANGAN

Bangunan berlantai tiga dengan warna biru yang terlihat telah memudar. Ada sedikit cat yang sudah mengelupas sehingga menampakkan warna asli bangunan itu, putih. Bangunan yang sebenarnya adalah tempat dijualnya obat herbal dan berbagai jenis jamu itu memang agak jauh dari bangunan-bangunan lain. Seorang gadis remaja memandangi bangunan tersebut dengan raut wajah ragu. “Toko Obat dan Jamu Laveindisc”. Tulisan nama toko itu cukup besar dan jelas sehingga dari jarak yang cukup jauh dapat dibaca oleh remaja berambut lurus panjang yang masih berdiri tanpa bergeming.
Tiba-tiba Alikha melangkahkan kakinya menuju toko itu dan masuk dengan perlahan seperti ada kekuatan yang menariknya untuk memasuki toko itu dengan segera.. Matanya menyapu seisi toko di lantai satu, mencari karyawan di sana untuk bertanya. Herannya tidak ada satu orang pun yang terlihat. Hanya ada sofa tua, deretan lemari yang berisi obat-obat dan jamu, meja kecil yang di atasnya ada sebuah buku kecil lengkap dengan pena hitam dan ada televisi kecil di atas salah satu lemari obat yag tepat menghadap jendela. Suasana sangat sepi hanya detak jarum jam yang terdengar. Gadis remaja bernama Alikha itu merasakan suatu keganjalan.
“Assalamu’alaikum… Permisi, apakah ada orang? Saya Alikha, calon pegawai yang akan bekerja di toko ini,” seru Alikha cukup keras berharap ada seseorang yang mendengar.
Belum ada juga tanda-tanda keberadaan seseorang di sini. Alikha memutuskan untuk duduk sebentar sambil menunggu. Sofa berwarna coklat gelap yang sekarang diduduki Alikha sudah dimakan usia. Kulitnya banyak yang sudah terkelupas dan sofa itu tidak cukup empuk lagi bagi Alikha. Alikha masih tetap menunggu. Ia berpikir mungkin pemilik toko ini sedang tidur siang di lantai dua atau lantai tiga karena di jam tangannya memang menunjukkan tepat pukul dua siang.
“Hoaaem…, jadi mengantuk juga,” keluh Alikha sambil melemaskan tubuhnya mencari posisi yang enak untuk duduk di sofa tua ini. “Kok, seperti tidak ada pembeli ya? Sepi sekali,” katanya dalam hati.
Alikha berdiri untuk melihat keadaan di luar toko. Dari kejauhan dilihatnya ada seorang gadis dengan selendang berwarna ungu. Alikha menduga usia gadis itu sekitar dua puluh satu seperti dirinya. Melihat ada orang lain selain dirinya di sini membuat Alikha cukup lega. Tiba-tiba gadis berselendang ungu tersebut sudah di depan pintu toko dan masuk menyapa Alikha.
“Permisi Mbak. Apakah di sini menjual telapak tangan?” tanya gadis itu serius dengan wajah dingin dan pucat.
“Maksudnya telapak tangan apa? Sarung tangan ya? Saya belum jadi pegawai di toko ini mbak, jadi belum tahu ada atau tidak. Pemilik tokonya entah ada di mana,” jawab Alikha yang tiba-tiba merasakan tubuhnya merinding dan keheranan dengan gadis yang sangat misterius di hadapannya kini.
“Bukan sarung tangan, tapi telapak tangan untuk tangan saya,” kata gadis misterius itu sambil mengangkat tangan kanannya dan ditunjukkannya tepat di depan wajah Alikha yang langsung pucat pasi memandangi tangan tanpa telapak tangan dan jari-jari. Tangan itu berlumuran darah dan menetes jatuh ke lantai. Tiba-tiba wajah gadis misterius yang pucat dan dingin tadi telah berubah menjadi wajah seram berwarna hitam dengan bola mata meloncat keluar. Rambutnya sudah sangat berantakan dan pakaian putihnya berlumur darah. Tangan kirinya dengan jari-jari berkuku tajam berusaha meraih wajah Alikha dan berusaha mencakarnya.
“Aaaaaarrrgghhh...,” jeritan Alikha memenuhi seisi toko.
Dia begitu ketakutan. Tubuhnya gemetaran sehingga tidak dapat menggerakkan kaki untuk berlari. Dengan jelas Alikha melihat wajah gadis itu yang sekarang berubah menjadi hantu menakutkan yang begitu dipenuhi kedendaman. Seolah-olah hantu itu ingin membalaskan dendamnya pada Alikha. Alikha tidak dapat melakukan perlawanan apa-apa. Matanya hanya terpejam. Membaca surat-surat pendek yang dia hafal dan memasrahkan semuanya pada Allah apa yang akan terjadi padanya.
“Keluarlah secepatnya…. Keluar!” jerit lirih hantu wanita itu terdengar oleh Alikha.
Beberapa detik berlalu namun Alikha tidak merasakan wajahnya dicakar atau dilukai hantu itu. Perlahan Alikha membuka matanya. Hantu itu tidak ada. Hilang. Alikha terduduk lemas di lantai. Merasakan kelegaan yang begitu besar. Alikha memikirkan suara hantu tadi yang menyuruhnya keluar. Apa hantu itu tidak menyukai keberadaannya di sini ya, pikir Alikha. Dari lantai atas terdengar ada langkah kaki seseorang menuruni tangga. Alikha terperanjat dan membayangkan jika itu adalah hantu tadi yang masih ingin membunuhnya. Langkah itu semakin jelas karena sudah berada di lantai dua. Keringat dingin dengan derasnya kembali membanjiri tubuh Alikha yang lemas. Rasanya ia ingin menangis. Tapi tak berapa kemudian Alikha lega karena itu benar-benar orang.
“Siapa kamu? Kenapa menjerit-jerit sehingga membangunkan saya?” tanya bapak berkumis penuh selidik pada Alikha yang masih terduduk di lantai.
“Sa…saya Alikha, Pak. Calon pegawai di toko ini. Bapak kemarin menghubungi saya kan kalau saya diterima bekerja di sini,” jelas Alikha gugup.
“Oh iya iya. Kenapa kamu menjerit dengan sangat keras?”
“Emm, tadi ada tikus yang menempel di sepatu saya, Pak.” jawab Alikha berbohong. Dia belum mau menceritakan kejadian bertemu hantu barusan. Takut itu hanya halusinasinya saja walau ia yakin itu benar-benar terjadi.
“Oh tikus ya,” Pak Amir dengan wajah yang terlihat sangar itu menanggapi pernyataan Alikha dengan nada seperti tahu sesuatu.
Setelah kurang lebih satu jam Pak Amir memberi penjelasan pada Alikha, dia lansung kembali ke lantai tiga untuk istirahat. Pak Amir menyuruh Alikha hari ini menginap saja. Mulai besok baru diperbolehkan untuk pulang pergi. Pak Amir berpesan agar Alikha bisa menempati kamar di lantai dua dan dilarang naik ke lantai tiga. Sebenarnya Alikha keberatan untuk menginap, karena dia sangat tak nyaman dengan kondisi di toko ini. Tapi mau bagaimana lagi, Alikha tidak mau kehilangan kesempatan untuk bekerja.
Pukul setengah enam sore sudah membuat langit cukup gelap. Alikha sedang duduk di dekat jendela kaca sambil memandangi langit di luar sana. Kamar ini cukup besar dan nyaman untuk Alikha. Tempat tidurnya empuk dan ada kamar mandi dengan keramik berwarna hijau, warna kesukaannya. Alikha belum memutuskan untuk tidur karena dirasanya tanggung, karena setengah jam lagi azan maghrib akan berkumandang. Sehabis shalat maghrib nanti dia baru akan memejamkan mata dan tidur di atas kasur empuk dengan seprai yang juga berwarna hijau.
Sehabis menunaikan kewajibannya shalat maghrib, Alikha ingin membaca Al Quran. Tapi ternyata Al Quran Alikha tidak ada di dalam tasnya. Mungkin tertinggal di rumah karena memang dia tadi pergi dengan terburu-buru. Alikha hanya berzikir dan berdoa meminta perlindungan pada Allah agar tidak terjadi apa-apa dengan dirinya di sini.
Tepat pukul dua belas malam, Alikha terbangun. Dia mendengar suara berisik di lantai tiga. Suara yang seperti tertahan. ”Toloooong…!” Samar-samar Alikha dapat mendengar suara jeritan menahan kesakitan itu. Dengan keheranan Alikha bangun dari tidurnya. Rasanya ia ingin ke lantai tiga untuk mengetahui ada apa sebenarnya. Belum habis kebingungan Alikha, ada suara hentakan keras seperti suara kayu yang mengenai sesuatu. Jeritan meminta tolong semakin jelas. Alikha tidak bisa hanya duduk dan mendengarkan. Dia ingin tahu apa yang terjadi di atas. Tak peduli larangan dari Pak Amir yang tidak memperbolehkan dirinya menuju ke lantai tiga.
“Pasti tidak ada yang beres dengan sesuatu di lantai tiga,” gumam Alikha.
Dengan langkah pelan Alikha menaiki tangga. Tubuhnya sedikit gemetar karena takut. Tapi niatnya untuk menolong orang yang berulang kali menjerit tadi membuat Alikha berani.  Ternyata di lantai tiga hanya ada satu pintu yang tertutup rapat. Pasti itu pintu kamar Pak Amir. Alikha mendekatkan telinganya pada pintu. Benar, suara meminta tolong itu berasal dari dalam kamar tersebut. Reflek, tangan Alikha mengetuk pintu dengan keras.
“Pak Amir… Tolong bukakan pintu, ada apa di dalam? Saya mendengar suara orang meminta tolong,” seru Alikha keras. Tiba-tiba suara itu berhenti. Sekarang hanyalah sunyi yang menguasai suasana.
“Dasar tidak sopan! Saya sudah melarang kamu naik ke sini. Masih saja dilakukan,” marah Pak Amir pada Alikha. Pak Amir berdiri di dekat pintu kamar yang hanya dibukakannya sedikit.
“Maaf, Pak. Saya hanya ingin tahu apakah suara jeritan meminta pertolongan tadi benar-benar ada,” ujar Alikha memandangi Pak Amir dari atas sampai bawah. Dia tercekat karena tangan Pak Amir berlumuran darah. Sadar kalau tangannya dilihat Alikha, cepat-cepat ditariknya ke belakang tubuhnya.
“Pak, saya ingin melihat isi kamar Bapak,” kata Alikha yang kemudian mendorong pintu kamar dengan keras sekali sehingga terbuka seluruhnya.
Pemandangan di dalam kamar Pak Amir membuat jantung Alikha seakan meloncat keluar. Seorang wanita muda telah mati terkapar di atas kasur yang berseprai putih. Namun warna putihnya sudah berubah menjadi merah karena darah yang mengalir dari tangan kanan wanita itu yang tidak ada lagi telapak tangan dengan jarinya. Tepat di atas bantal, telapak tangan yang terpisah itu sudah di bungkus plastik bening.yang kotor oleh darah yang masih keluar sedikit demi sedikit.
Seketika Pak Amir menarik tangan kanan Alikha dengan sangat kuat. Diambilnya pisau besar dan tajam yang masih berlumuran darah segar dari atas meja kemudian mengarahkannya ke tangan Alikha, berusaha memotong tangan Alikha dengan kesetanan.
“Biadab kau, rasakan apa yang telah terjadi pada wanita itu juga wanita-wanita lainnya!” jerit Pak Amir yang sekarang telah berubah menjadi pembunuh yang begitu keji.
Alikha menendang tepat di bawah perut Pak Amir dan ia bisa terlepas dari cengkraman tangan manusia tak berhati tersebut. Cepat-cepat Alikha berlari menuruni tangga sampai ke lantai paling bawah. Pintu keluar dikunci. Alikha ketakutan, ia ingin segera keluar dari toko ini. Tapi semua pintu terkunci. Jendela kaca sudah dipecahkanya namun terali besi menghalanginya untuk bisa keluar. Dia menjerit-jerit meminta pertolongan, berharap ada orang lewat dan mendengar jeritannya. Tapi keadaan di luar sangat gelap dan sunyi. Alikha menangis membayangkan sebentar lagi Pak Amir akan memotong tangannya yang pasti akan mengenai urat nadinya dan pada akhirnya nasibnya akan sama seperti wanita yang tadi dilihatnya. Mati dengan tak layak.
Terdengar langkah Pak Amir menuruni tangga sambil memanggil-manggil namanya, ”Alikha… Kamu tak akan bisa kabur dari sini. Tak ada yang bisa lolos dari saya. Telapak tanganmu yang halus dan cantik itu akan menjadi telapak tangan yang ke sepuluh untuk saya santap. Kemarikan tanganmu cantik, saya berjanji akan memotongnya dengan perlahan jika kamu tidak berontak.”
“Dasar orang gila, mana ada orang yang rela memberikan tangannya pada iblis seperti kamu!” teriak Alikha marah.
Kini Pak Amir berada di hadapannya dan siap-siap mengayunkan pisau tajam ke arah tangan Alikha. Alikha berhasil mengelak, hanya lengannya sedikit tergores dan mengeluarkan darah segar. Alikha berlari menghindar ke arah belakang sambil menahan darah yang keluar dari lengannya dengan sapu tangan. Dia terus berdoa dan berdoa. Hanya Allah yang dapat menolongnya. Ia yakin itu. Jika memang harus mati, itu berarti sudah menjadi takdirnya.
Terdengar jeritan keras. Alikha menoleh ke belakang dan perlahan menuju ke depan. Pandangan menakutkan menghiasi penglihatannya. Sungguh tak dapat dipercaya namun ini nyata dilihat Alikha. Hantu wanita yang menakutinya siang tadi kini mencakar-cakar tubuh Pak Amir. Beberapa saat kemudian mulai bermunculan hantu-hantu wanita lainnya yang kesemuanya berpakaian putih penuh darah dan tangan kanan tanpa telapak dan jari. Salah satu dari mereka memotong dengan sadis kedua tangan Pak Amir. Pak Amir menghembuskan nafasnya yang terakhir seiring melemahnya jeritan kesakitannya.
Hantu-hantu itu menghilang dan pintu tiba-tiba terbuka. Alikha keluar dari toko itu sambil menjerit dan berteriak. Entah sampai ke mana ia akan lari, Alikha tak tahu. Di tengah jalan Alikha pingsan tak sadarkan diri.
***
Perlahan mata Alikha terbuka. Dia berada di ruangan serba putih dan berbau obat-obatan. Seorang suster tersenyum padanya. Alikha membalas senyum itu dan meringis ketika dirasakannya sakit di lengan tangan kanannya yang sekarang telah diperban.
“Tenang dulu ya Alikha. Istirahat saja karena kamu baru sadar dari pingsan semalaman.” kata suster dengan lembut pada Alikha.
Papa dan mama Alikha yang juga berada di sana langsung memeluk anak mereka dengan tangis haru. Mereka sangat bersyukur karena Alikha berhasil selamat dari pembunuhan sadis oleh Pak Amir yang dulunya adalah dokter di rumah sakit ini. Ketika Pak Amir bertemu dengan seseorang yang mengajarkannya ilmu hitam Pak Amir berhenti menjadi dokter dan dia menghilang tanpa berita. Pak Amir membuka toko obat dan jamu yang tidak pernah mau melayani pembeli. Membangun toko itu hanyalah salah satu cara Pak Amir untuk mendapatkan tumbal tangan sepuluh orang wanita yang akan diambil sebatas pergelangan tangan saja guna membuatnya awet muda dan kaya tanpa usaha. Dia sengaja memasang iklan di koran tentang lowongan pekerjaan khusus wanita muda agar dengan mudah ia dapat menjebak para wanita itu.
Ajaran sesat yang di dapat Pak Amir dari seseorang yang sekarang entah ada di mana itu membuatnya kehilangan akal sehat dan berakhir tragis terhadap dirinya sendiri karena roh-roh sembilan wanita yang berhasil dibunuhnya itu ternyata membalas dendam. Saat Alikha pingsan di tengah jalan, ia ditemukan serombongan polisi yang baru pulang dari dinas. Polisi-polisi curiga karena lengan Alikha terluka cukup dalam dan masih mengeluarkan darah. Para polisi itu pun mengikuti jejak darah yang tercecer di jalanan dan sampailah di “Toko Obat dan Jamu Laveindisc”.
Alikha mendengarkan penjelasan kedua orang tuanya yang masih memeluk erat dirinya. “Pagi ini toko itu sudah diamankan polisi, Sayang. Mayat wanita-wanita muda yang dibunuh itu akan segera di makamkan, begitu juga dengan mayat Pak Amir,” kata ibu berbisik di telinga Alikha. Alikha menghela nafas lega.
“Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah Ya Tuhanku,” ucapan syukur tak henti-hentinya keluar dari mulut Alikha. Kini dia semakin mengerti dan meyakini keagungan Tuhan Sang Maha Pencipta. Segala sesuatu yang mustahil sekali pun dapat terjadi jika Tuhan telah menghendaki.
SELESAI
______________________________________________________________________________


ANATA NI AITAI

            Aku merapatkan mantel, mengembuskan napas pada kedua telapak tanganku. Seperti ada uap embun yang menempel dan kuusap-usapkan telapak tangan hingga menimbulkan rasa yang cukup hangat. Penutup kepala berbahan wol lembut yang kukenakan telah sedikit basah oleh salju. Benar-benar dingin namun aku harus tetap di sini, duduk menanti di sebuah kursi bercat seputih salju. Mataku menatap orang-orang yang berlalu lalang di Taman Istana Osaka ini. Kurang lebih sepuluh menit lamanya aku melamun, tiba-tiba mataku ditutup oleh seseorang dari belakang. Tangan yang hangat dan besar ini sangat kukenal. Aku pura-pura berontak dan berteriak kecil.
            “Satoshi, tanganmu membuat mataku sakit!”
            Satoshi hanya tertawa. Lalu dia melepaskan tangannya dari mataku dan duduk di sampingku. Tangan Satoshi meraih jemariku dan mengecupnya. Ada aliran kehangatan yang kurasakan memenuhi darah yang mengalir dalam jemari tanganku.
            “Konnichiwa, Asami. Maaf sudah membuatmu lama menungguku.”
            Aku tersenyum dan berkata, “KonnichiwaDaijobu desu, tapi kamu harus mentraktirku Takoyaki sesuai perjanjian kita, siapa yang datang terlambat harus mentraktir, hahaa….”
            “Oke, oke.” ujar Satoshi dengan senyumannya yang indah.
            Setelah itu kami berdua terdiam. Sesekali kulihat Satoshi membenarkan mantelnya, juga mengembuskan napas perlahan. Selain merasa dingin, aku yakin ia sedang gugup. Wajah manis Satoshi terlihat kemerahan dan mulut yang berhiaskan bibir indah itu terkesan ingin mengeluarkan suara namun masih tertahan.
            “Bicara saja, kita bertemu di sini bukannya untuk membicarakan sesuatu, kan?” kataku pada Satoshi yang sampai sekarang hanya mematung.
            “Iya, tapi aku bingung bagaimana menyampaikannya padamu,” jawab Satoshi. yang menatap wajahku. Lalu tertunduk dengan wajah sedih.
            Aku membelai wajah Satoshi yang tertunduk. Dia menaikkan wajahnya lalu kusentuh dagunya yang mungil. Itu membuat wajahnya makin sedih. Perlahan kulihat dari kedua pelupuk matanya telah mengeluarkan air bening yang jatuh membasahi pipinya.
            “Ada apa, Satoshi? Tasukete, jangan buatku khawatir!” seruku dengan suara cukup keras.
            “Aishiteru, Asami. Aishiteru. Aku takut kehilanganmu. Tapi, aku harus meninggalkanmu,”
            “Kenapa? Aku ada salah atau aku menyakitimu, Satoshi?”
            Lagi-lagi Satoshi hanya terdiam dalam tangisnya. Tiba-tiba air mataku pun berjatuhan karena mendengar pernyataan Satoshi tadi. Tak salah lagi, pasti benar yang telah dikatakan adik Satoshi, Reiko, kemarin di kampus.
            “Berarti apa yang dikatakan Reiko itu benar? Kamu dan Reiko akan pindah ke Indonesia bersama orang tuamu yang bertugas di sana?”
            Satoshi mengangguk. Anggukannya yang lemah itu membuat air mataku turun semakin deras.
            “Kapan kamu ke Indonesia dan berapa lama di sana, Satoshi?”
            “Awal musim semi nanti. Berapa lamanya aku belum tahu, Asami.”
Awal musim semi yang berarti satu minggu lagi. Satu minggu lagi aku dan Satoshi akan berpisah. Rasanya aku tak sanggup. Tangisku seakan tak mau berhenti dan Satoshi membawaku yang terisak ke dalam pelukannya.
Satoshi mengantarku pulang menggunakan sepedanya yang bermodel sport. Sepanjang perjalanan kupeluk pinggangnya erat. Sesampainya di rumah, kulihat chici dan haha sedang duduk di beranda rumah. Mereka bersikap agak dingin pada Satoshi jika Satoshi datang ke rumah untuk menjemput atau mengantarku. Kedua orangtuaku tidak pernah menawarkan kekasihku itu untuk singgah sebentar walau hanya sekadar basa-basi saja.
Arigato gozaimasu, Satoshi. Iterasshai!” kataku pada Satoshi.
Aku memandangi Satoshi hingga dia dan sepedanya telah menghilang di tikungan jalan. Aku menghampiri chici dan haha, lalu memberi mereka ciuman kecil di pipi.
            Di dalam kamar, aku merenungkan segala hal tentang Satoshi. Laki-laki teman kuliahku di Osaka Universitysudah tiga bulan ini menjadi kekasihku. Dia menyatakan cintanya di Taman Istana Osaka tempat kami bertemu barusan. Aku langsung menerimanya karena sudah jatuh cinta padanya sejak kami menjadi teman dekat. Menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih dengan Satoshi sangatlah indah dan membuat bahagia. Hanya saja, orangtua Satoshi tak begitu suka padaku. Orangtuaku pun tak menyukai Satoshi. Namun orangtua kami tidak melarang hubungan Satoshi dan diriku. Itu yang membuat kami masih bisa bertahan.
***
            Aku berjalan menyusuri jalan setapak di Osaka University sambil melamunTas jinjing berwarna pink yang kupegang hampir terlepas karena Hatsuko menepuk bahuku, mengejutkanku dari belakang.
            “Aduh, Hatsuko! Hampir saja aku mati mendadak karena jantungan,” seruku bercanda.
            “Gomen nasai, Asami. Kamu sih dipanggil-panggil tidak menoleh. Pasti lagi melamun,” tebak Hatsuko dengan matanya yang berkedip-kedip jenaka.
            “Benar sekali. Sahabatku ini memang pintar, deh.” kataku memuji.
            “Siapa dulu, Hatsuko!” katanya bangga sambil mengusap rambut panjangnya yang terkena sedikit salju.
            Kuliah sudah selesai hari ini. Hatsuko akan pergi dengan kekasihnya ke Kani Doraku Honten di Dotonbori. Dia mengajakku, tapi aku menolak karena tak enak dan takut mengganggu mereka. Aku berjalan menuju ruang kuliah Satoshi. Tak terasa sudah empat hari dari hari di mana Satoshi mengatakan padaku jika ia akan pindah ke Indonesia.
            Ruangan kuliah Satoshi ternyata sudah kosong. Aku membalik arah dan berjalan ke tempat biasa Satoshi berkumpul dengan teman-temannya. Di tengah jalan, kudengar suara Reiko memanggilku.
            “Konnichiwa, Asami. Reiko mau bicara sesuatu yang penting.” ujar Reiko setelah dia berhasil menghampiriku. Mantel berwarna biru muda yang dikenakan Reiko sangat manis dan pas ditubuhnya.
            Kami duduk di bawah pohon sakura terdekat. Udara terasa sejuk. Tidak terlalu dingin, meski salju masih berjatuhan. Tiga hari lagi musim dingin ini akan tergantikan oleh musim semi yang sudah lama kunantikan.
            “Asami, Reiko harap kamu tidak akan marah atau membenci Satoshi setelah mengetahui ini,” ujar Reiko pelan menyiratkan kesedihan.
            “Apa itu, Reiko?”
            “Emmm, Satoshi akan bertunangan setibanya di Indonesia nanti, dengan jodoh yang telah dipilihkan oleh orangtua kami. Satoshi sangat terpukul mendengar perkataan chici dan haha semalam, Asami. Semua bukan kehendak Satoshi. Tapi, Satoshi tidak bisa berbuat apa-apa. Semalaman dia menangis. Reiko mendengarnya saat melintas di depan kamarnya. Hari ini Satoshi tidak ke kampus, Asami.”
            Aku menutup mulutku sambil menahan air bening yang akan membanjiri kedua belah pipiku. Aku berlari meninggalkan Reiko yang terus memanggil namaku. Entah aku akan berlari ke mana, aku tak tahu. Aku benci keadaan ini. Aku benci orangtua Satoshi yang dengan teganya ingin memisahkan kami.
***
            Keesokan harinya, aku bertemu Satoshi. Wajahnya terlihat pucat. Namun ia tetap berusaha tersenyum padaku.
            “Ohayo gozaimasu, Asami.“ sapa Satoshi padaku.
            “Ohayo gozaimasu. Ogenki desu ka, Satoshi?”
            “Hai, okage desu. Gomen nasai, Asami. Kemarin aku tidak memberitahumu jika aku tidak masuk kuliah,”
            “Daijobu desu. Sebaiknya kamu ceritakan semuanya saja, Satoshi. Tentang kelanjutan hubungan kita. Aku juga yakin kamu pasti tahu kenapa orang tua kita tidak menyukai aku dan kamu. Aku ingin tahu semuanya, Satoshi. Tasukete!”
            “Ternyata orang tua kita pernah memiliki masalah di waktu dulu. Sampai sekarang mereka bermusuhan, Asami. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Tentu Reiko sudah mengatakan padamu jika aku akan dijodohkan dengan anak rekan kerja chici. Besok kami akan berangkat ke Indonesia, Asami.” jelas Satoshi terbata. Matanya yang indah terlihat memerah dan bengkak.
            “Besok? Bukannya belum masuk musim semi. Bagaimana dengan janjimu untuk kita jalan berdua ke Gunung Fuji di hari pertama musim semi, Satoshi? Apa kamu melupakannya?” teriakku emosi. Aku tak ingin menangis lagi saat ini.
            Satoshi menggeleng cepat. “Aku tak mungkin melupakannya, Asami. Aku sendiri sangat menunggu saat-saat itu di mana kita bisa berjalan berdua. Namun, orangtuaku ingin cepat-cepat ke Indonesia. Mereka tak lagi memikirkan aku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya seorang anak yang lemah.” Satoshi menangis. Dia memeluk dan menciumi rambutku. Aku tak ingin menangis lagi. Tapi aku tak bisa. Tangisku pecah di dalam pelukan hangat Satoshi.
            “Percayalah, Asami. Bukan karena aku tak mencintaimu lalu aku pergi meninggalkanmu. Tapi, semata-mata karena aku tak ingin kau menderita. Aku yakin, kamu akan mendapatkan yang lebih baik dari aku. Dan jika kita memang berjodoh, jalan untuk kita tentu akan dipertemukan meski kita telah berpisah. Aishiteru. Asami
            “Aishiteru, Satoshi. Aku percaya. Aku merelakanmu jika memang ini yang terbaik buat kita. Aku hanya minta satu, jangan lupakan aku, Satoshi karena aku juga tak kan melupakanmu!”
            “Pasti, Asami. Engkaulah yang selamanya akan kucintai. Walau mungkin aku akan bersama wanita lain tapi kamu tetap di hatiku. Tak akan ada yang bisa membunuh cintaku padamu.”
            Aku tersenyum disela-sela tangisku. Satoshi memandang wajahku lekat dan mencium keningku. Aku membalasnya dengan ciuman di kening Satoshi pula. Dia tersenyum dan kembali membawaku ke dalam pelukannya yang semakin erat.
***
            Pagi yang cukup cerah walau hawa dingin masih terasa menusuk. Besok sudah awal bulan Maret dan musim semi akan tiba. Aku begitu malas untuk mandi pagi ini. Ku bawa tubuhku untuk bangun dari tempat tidur. Pasti haha yang telah membuka jendela kamarku agar aku terbangun tanpa bersusah payah ia membangunkanku. Aku mematut diri di depan cermin. Wajahku yang putih dan cantik, kata Satoshi, sekarang terlihat muram dan agak sembab di bagian mataku. Bagaimana tidak, semalaman aku menangis karena perpisahanku dengan Satoshi.
Satoshi akan berangkat hari ini. Handphone-ku mendendangkan lagu I Remember You miliknya Yui. Aku menekan salah satu tombol setelah kulihat di layar jika Reiko yang menelpon. Dia mengingatkanku jam delapan pagi mereka akan segera berangkat dari Kansai International Airport.
Aku mandi dengan cepat. Berpakaian juga dengan cepat. Aku tak sarapan lagi, hanya minum segelas susu. Dengan tergesa aku keluar dan tak kuhiraukan panggilan haha. Jangan sampai pesawat yang membawa Satoshi sudah lepas landas. Aku masih ingin melihatnya dan mengucapkan salam perpisahan.
Setibanya di Kansai International Airport, aku berlari mencari sosok Satoshi di antara ribuan manusia.
“Asami…!”
Aku melihat Reiko melambaikan tangan. Aku menghampiri Reiko. Aku tersenyum pada Reiko dan kedua orang tuanya. Orang tua Reiko pura-pura tak melihatku. Aku menelan ludah atas sikap mereka.
“Mana Satoshi, Reiko?”
“Lagi menjemput Miyami di depan. Asami tak bertemu di depan tadi?”
“Tidak. Miyami itu siapa, Reiko?”
Belum sempat Reiko menjawab, Satoshi sudah berada di dekat kami. Dia terkejut melihatku. Aku juga terkejut melihat Satoshi bersama Miyami. Ternyata Miyami itu seorang gadis sebaya denganku. Sangat cantik dan imut. Lembut dan rambutnya yang hitam panjang, lurus terurai menambah keindahan tubuhnya yang tinggi semampai.
“Miyami, ini Asami. Asami, ini Mayami.” kata Satoshi dengan suara lirih tertahan memperkenalkan kami.
Hajimemashi, Miyami.” kataku sambil menyunggingkan senyuman.
Hajimemashi, Asami. Perkenalkan aku tunangan Satoshi. Kamu teman Satoshi?”
Seperti ada petir yang menyambarku ketika Miyami menyebutkan dirinya sebagai tunangan Satoshi. Ternyata dialah yang dijodohkan dengan Satoshi. Memang sangat cocok bersanding dengan Satoshi yang tampan.
“Iya, aku teman Satoshi.” kataku pada Miyami.
Reiko mengajak Miyami menjauh dari kami. Tentu dia tahu kalau kami hendak bicara berdua. Satoshi mengajakku duduk di kursi agak menyudut.
Gomen nasai. Aku tahu kamu terluka, Asami.”
Satoshi menggenggam tanganku. Aku tertunduk. Tak berani menatap mata Satoshi. Bisa-bisa mataku akan kembali mengeluarkan air bening yang sejak tadi sudah kutahan agar tidak sampai tumpah.
“Aku rela, Satoshi. Selamat ya, semoga kamu bahagia dengan Miyami. Dia sangat cocok untukmu. Cantik dan lembut.”
“Aku cuma bisa bahagia bersamamu. Cuma kamu yang tercantik bagiku, Asami. Jangan lagi bilang Miyami atau siapa pun cocok denganku! Cuma kamu yang cocok denganku. Sayangnya, kita dipisahkan oleh orangtuaku yang hanya memikirkan keegoisannya tanpa memikirkan hati anaknya.”
Aku terdiam.
“Semalam aku mencoba berontak, aku menentang kedua orangtuaku tentang perjodohan itu. Tapi yang kudapat malah tamparan chici. Aku merasa lebih baik mati daripada harus dipaksa untuk menikah dengan orang lain.”
“Jangan bicara seperti itu, Satoshi!” kataku yang akhirnya mau menatap wajah Satoshi yang sekarang sudah basah berurai air mata.
Dia terlihat begitu rapuh. Kasihan sekali laki-laki yang amat kucintai ini. Seandainya ada hal yang bisa mengurangi kepedihannya. Seandainya orangtua kami tak saling membenci. Tentu jalan cinta kami tak akan berliku dan berbatu seperti ini.
“Selamanya aku mencintaimu, Satoshi. Aku akan selalu menjaga cinta kita. Kamu harus bahagia demi aku!”
Satoshi mengangguk. Aku memeluknya lalu dia pun membalas pelukanku. “Aku juga mencintaimu selamanya, Asami. Kamu juga harus bahagia demi aku.” bisik Satoshi disela pelukannya.
Sayounara, Satoshi…!”
Pesawat yang membawa Satoshi sudah membumbung jauh ke udara. Mulai sekarang tak ada lagi Satoshi yang menjemput dan mengantarku ke kampus, tak ada lagi Satoshi yang menemaniku dan mengajakku jalan-jalan menelusuri Osaka. Tak ada lagi Satoshi yang kadang menjahiliku dan membuatku kesal. Tak akan pernah terjadi rencana jalan berdua ke Gunung Fuji yang pernah dijanjikan Satoshi. Aku harus kuat dengan kenyataan ini.
***
            Malam ini, keadaan di luar sangat benderang. Bulan dan bintang seakan mengeluarkan cahayanya yang paling terang. Aku duduk di beranda rumah ditemani secangkir coklat panas. Cuaca tidak terlalu dingin lagi sehingga mantel yang biasanya menempel di badanku jika malam tiba, tak lagi kukenakan. Banyak orang yang berjalan keluar merayakan akhir musim dingin dan menyambut musim semi yang akan segera tiba esok hari. Aku mengingat Satoshi. Kalau saja dia masih ada di Osaka, kami akan keluar berjalan berdua malam ini.
            Seperti mimpi, aku melihat Satoshi di depan pagar rumahku sambil melambaikan tangannya dan tersenyum manis. Aku mngucek mataku dan mencubit lenganku. Sakit, Berarti ini bukanlah mimpi. Setengah berlari kuhampiri Satoshi.
            “Ayo kita jalan, Asami. Aku ingin menepati janjiku mengajakmu jalan saat musim semi tiba. Walau tak mungkin kita ke Gunung Fuji malam-malam begini, kita masih bisa berjalan menyusuri Taman Istana Osaka saja dan makan ramen di Kinryu Ramen. Setuju, kan?” kata Satoshi dengan suara yang sangat merdu.
Wajah Satoshi sangatlah bersih dan bersinar, tak seperti wajahnya siang tadi yang begitu muram. Dia terlihat sangat rapi dengan baju lengan panjang berwarna putih. Pokoknya malam ini Satoshi terlihat begitu tenang seperti tak ada beban. Aku ingin menanyainya kenapa batal berangkat ke Indonesia. Padahal setahuku ia sudah di dalam pesawat tadi siang. Tapi nanti saja aku bertanya, yang penting kebahagiaan malam ini harus benar-benar dinikmati.
Sikap Satoshi begitu manis padaku. Sepanjang kami berjalan Satoshi menggenggam erat tanganku. Dia tertawa dengan renyah jika aku melucu. Bunga-bunga sakura di Taman Istana Osaka mulai sedikit-sedikit bermunculan di balik bekas-bekas salju. Masyarakat Osaka terlihat riang gembira menikmati suasana malam yang indah. Setelah lelah berjalan kurang lebih dua jam, kami mampir ke Kinryu Ramen untuk makan dan setelah itu Satoshi mengantarku pulang.
“Asami, jika nanti kita tak bisa bertemu kembali, kamu jangan bersedih. Tetaplah selalu mengenangku. Walau kita berjauhan, hati kita akan tetap dekat,”
“Iya Satoshi, tentu. Aku bahagia sekali malam ini karena kita bisa bersama,”
“Aku juga sangat berbahagia diberi kesempatan menemanimu. Besok aku akan pergi jauh, Asami. Semoga nanti kita akan bertemu di surga.”
“Kok di surga? Aku bisa menyusul ke Indonesia atau kamu bisa kembali ke Osaka, kan? Oh ya, tapi bagaimana dengan Miyami?”
Satoshi hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku lalu ia berkata dengan lembut, ”Cukup rasakan saja kebersamaan kita malam ini, Asami.”
Dia memelukku. Lama sekali, ada sekitar sepuluh menit. Aku hanya membiarkannya. Aku merasakan kenyamanan dan kehangatan mengaliri seluruh tubuhku. Setelah Satoshi melepas pelukannya, ia tersenyum lalu mengecup bibirku. Aku hanya tersenyum dan sedikit malu.
Sayounara, Asami. Jangan mencariku lagi karena aku sudah pergi jauh. Aishiteru.”
Aku mengangguk. Lalu masuk ke dalam rumah setelah Satoshi sudah menghilang di tikungan jalan. Aku masuk kamar dan tertidur nyenyak.
***
Keesokan paginya, di awal musim semi. Bunga-bunga bermekaran, burung-burung bernyanyi riang. Osaka menjadi lebih hidup, bangkit dari tidurnya. Aku menyambut pagi dengan senyuman secerah mentari, seindah lembayung senja. Selesai mandi dan berpakaian santai, aku menyapa kedua orangtuaku yang terpaku di depan televisi. Wajah mereka berduka.
Aku menatap layar televisi dan mendengarkan pembaca berita dengan seksama. Seketika tangisku pecah menghentak-hentak. Aku menangis dipeluk orang tuaku. Sungguh tak kupercaya. Pesawat yang membawa Satoshi dan keluarganya jatuh ke dalam lautan setelah terbang kurang lebih selama dua jam. Tak ada yang selamat dalam kecelakaan itu, termasuk sang pilot. Kemarin sore sebagian korban sudah dikumpulkan dan dibawa ke rumah sakit termasuk Satoshi, Reiko dan kedua orangtua mereka.
Aku bingung dengan semua ini. Jadi maksud Satoshi pergi jauh dan bertemu di surga adalah kenyataan yang aku saksikan pagi ini. Ya Tuhan, sekarang aku benar-benar kehilangan Satoshi. Aku berharap kamu di sana berbahagia, Satoshi. Anata ni aitai. Aku pasti sangat merindukanmu. Aku berbisik pelan lalu pingsan.
SELESAI
____________________________________________________________________________

ELEGI EMBUN PAGI

Di dalam kelas yang sepi.
“Yeta, dicoba aja dulu! Masa sih udah tujuh belas tahun belum punya pacar juga, malu tuh sama wajah cantik kamu! Hahaha…,” kata Mentari membujukku sambil bercanda. Ia tertawa saat melihat wajahku langsung cemberut.
            “Mentari, sahabatku tersayang… jika kamu masih aja nyuruh aku pacaran sama dia, gak akan kupinjami komik lagi loh!” kataku mengancam lalu memalingkan wajahku dari Mentari.
            Fenta dan Adinda yang baru saja dari kantin menghampiri kami sembari menyerahkan bungkusan burger pesananku dan Mentari.
            “Ada apa dengan kalian? Kok kayaknya lagi diam-diaman aja?” tanya Adinda heran sambil menatapku dan Mentari secara bergantian.
            “Yeta nih, masa Gilang yang udah jelas-jelas cakep dan kaya, masih aja ditolak. Heran deh! Cowok yang kayak gimana yang kamu mau, Ta?” Mentari berkata seolah ia sangat terheran dengan sikapku.
            “Gilang nembak kamu, Ta?” tanya Fenta ingin tahu.
            Aku hanya terdiam.
            “Benar Gilang udah nembak kamu? Lalu kamu tolak?” Kini Adinda yang bertanya padaku dengan tatapan mata yang menyiratkan kekaguman.
            Aku mengangguk lemah. Dan….
            “Fayeta! Cowok nomor satu di SMA kita aja bisa jatuh hati sama kamu dan seharusnya kamu terima,” teriak Adinda dan itu membuatku jadi risih.
            “Kalau kamu jadian sama Gilang, ‘kan pasti diajak jalan dengan BMW-nya, terus kami juga bisa ikut nebeng dong, haha…!” kata Fenta heboh dengan tawanya yang khas jika ia sedang gembira.
            “Fen, Din… sahabat kita ini udah nolak Gilang. Beberapa waktu yang lalu juga udah nolak dua cowok yang lumayanlah menurut kita. Kalian curiga gak sih?” Mentari berkata dengan nada menyelidik seraya menatap mataku tajam.
            “Jangan-jangan kamu gak suka cowok, sukanya sama cewek ya?” tebak Adinda bercanda lalu mengembungkan kedua pipinya lucu.
            “Huuh! Aku normal. Jangan mikir yang aneh-aneh deh!” jawabku merengut tidak suka. Mereka memang tidak pernah tahu jika aku sudah pernah jadian sama cowok yang amat spesial bagiku. Tapi cowok itu akan dipandang sebelah mata oleh mereka dan yang pasti oleh kedua orangtuaku juga.
            Adinda, Fenta dan Mentari hanya tertawa mendengar jawabanku. Lalu kutinggalkan mereka dan membawa langkahku menuju perpustakaan.

            Di perpustakaan.
Sedang asyik-asyiknya membaca kata-kata cinta karya Kahlil Gibran, seseorang yang sangat tak ingin kutemui saat ini telah duduk di hadapanku. Ia berusaha tersenyum dan dengan cekatan tangannya mengambil jemariku. Aku sama sekali tak bisa menghindar atau marah padanya, karena aku tak ingin membuat keributan di perpustakaan ini.
            “Tolong kali ini aja kamu dengerin aku, Yeta!” pintanya dengan wajah memelas seraya memandangi mataku.
            Ah, aku sangat lemah jika memandang kedua bola mata teduhnya. Dan aku menjadi tak tega melihat wajahnya yang memohon seperti itu. Tapi, aku harus tegas. Ini semua demi kebaikan. Terutama untuk kebaikanku.
            “Van, kayaknya gak ada lagi yang perlu aku dengerin dari kamu. Kita udah putus. Dan aku mohon lupakan janji itu! Lupakan juga kalau kita pernah jadian! Dengan begitu aku atau kamu gak akan merasa terbebani lagi atas janji bodoh yang pernah kita sepakati.”
            “Gak semudah itu untuk lupa, Yeta! Aku hanya ingin kamu menemaniku satu jam aja, sesuai janji kita dulu. Meski dengan terpaksa kutelan kenyataan ini, bahwa kamu bukan milikku lagi. Sampai saat ini pun aku belum mengerti kenapa kamu memutuskan hubungan kita dengan tiba-tiba. Padahal aku udah memenuhi syarat dari kamu, yang tak ingin orang lain tahu jika kita udah jadian.”
            Aku hanya terdiam dan menunduk. Jemariku dalam genggaman tangan Revan terasa lemas namun terasa hangat dan nyaman. Rasanya aku ingin menangis. Menangis mengingat sebuah kenyataan pahit yang mengharuskanku meninggalkan Revan dan membunuh cintaku padanya.
            “Jika kamu mengatakan alasannya, aku berjanji akan menjauh dari kamu. Aku gak akan ganggu kehidupan kamu lagi. Aku juga gak akan menuntut janji itu untuk kamu penuhi,”
            Dengan lidah kelu, aku berusaha berbicara. “Alasannya… karena aku udah gak cinta sama kamu. Tolong kamu bisa ngertiin perasaan aku!”
            Revan menatapku tak percaya. Beberapa detik kemudian matanya langsung berkaca-kaca. Genggaman tangannya yang semula amat erat kini mulai melemah dan akhirnya terlepas. Ia berdiri lalu tersenyum padaku.
            “Terima kasih, Yeta. Semoga kamu selalu berbahagia.” Revan meninggalkanku dan aku hanya bisa memandangi punggungnya. Aku tak pernah menyangka, ternyata genggaman tangannya tadi adalah genggaman tangan terakhirnya untukku.
                                                               ***                       
           
Satu bulan yang lalu, di sebuah taman belakang sekolah.
            “Apakah aku bermimpi, Yeta?” tanya Revan padaku dengan penuh kebahagiaan.
            Aku hanya menggeleng lalu tersenyum manis. Senyuman termanis yang pernah aku berikan untuk seorang cowok.
            Dengan refleks, Revan langsung memelukku. Beberapa detik kemudian, dia melepaskan pelukannya.
            “Emm… maaf, aku… aku… gak sengaja. Kamu gak marah, ‘kan?”
            “Gak apa-apa, Van.” kataku lembut dengan wajah memerah.
            Sumpah, aku gugup saat dipeluk Revan tadi. Jantungku berdetak kencang dan Revan pun begitu. Aku tahu karena tadi merasakan degupan jantungnya ketika memelukku.
            Kini kami duduk di kursi panjang bercat biru, di samping pohon cemara yang tidak terlalu tinggi. Sekarang masih pukul tujuh pagi tapi entah kenapa keningku berkeringat. Padahal aku tahu udara sekarang sangat sejuk. Angin pun berembus lembut membelai wajah dan rambutku. Ah, apakah karena sekarang aku terlalu gugup berdekatan dengan seseorang yang berhasil mencuri hatiku sejak beberapa bulan yang lalu.
            “Yeta…,” panggil Revan lembut padaku.
            Aku menoleh ke arah Revan dan berkata, “Iya, Van?”
            “Kamu lihat ke pohon cemara ini! Embunnya masih cukup banyak, ya?”
            “Eh, iya. Emangnya ada apa, Van?”
            “Aku suka banget sama embun. Embun itu rapuh karena jika kita sentuh sedikit aja, pasti ia akan hancur, gak berbentuk bulat lagi lalu menghilang. Tapi embun adalah noktah bening yang suci dan sejuk. Kamu tahu gak, jika dari embun kita bisa belajar tentang suatu ketegaran loh,
            “Ketegaran?” tanyaku bingung.
            Revan terdiam sesaat. Kemudian menarik napasnya dalam dan berkata dengan suara lirih namun penuh ketegasan. “Embun, meski dia rapuh, ia masih tetap tegar. Ia tahu keberadaannya gak lama, tapi ia tetap berusaha memberikan kesejukan pada dunia meski hanya sebentar. Lalu ia akan datang lagi pada hari-hari berikutnya untuk memberi kesejukan itu kembali,”
            “Benar katamu, Van! Embun penuh ketegaran dan dia juga percaya diri karena ia yakin jika ia akan kembali pada hari esok meski hari ini ia telah terpecah, ya.”
            Revan tersenyum sambil menatap mataku dalam. “Yeta, aku mencintaimu sejak kita satu kelas di kelas dua. Dan sekarang, aku baru memiliki keberanian untuk menyatakannya padamu, di saat waktu kita bersama di sekolah sudah hampir berakhir. Aku takut kehilangan kamu, padahal baru beberapa menit aku merasa memilikimu.”
            Aku terkejut mendengar kata-kata Revan. “Van, dari kelas dua? Dan kamu memendamnya udah hampir dua tahun?”
            Revan mengangguk. “Aku malu padamu, Yeta. Aku bukanlah anak orang kaya. Bukan pula cowok keren berwajah tampan. Aku merasa tak pantas untukmu. Tapi aku pikir, aku akan menyesal jika gak pernah menyatakan cintaku padamu. Sungguh merupakan karunia terindah ternyata kamu menerima cintaku. Terima kasih banyak, Yeta! Aku merasa ini seperti mimpi.”
            “Revan, aku gak pernah menilai cowok dari kekayaan atau ketampanannya. Kamu tentu tahu bukan jika aku belum pernah sekalipun berpacaran. Entah kenapa, aku bisa menerima kamu. Entah kenapa juga aku mulai merasa jatuh cinta sama kamu sejak kita mulai dekat kenaikan kelas tiga kemarin. Tapi aku bahagia, ternyata kamu pun memiliki rasa yang sama,”
            Kami berdua saling berpandangan lalu tertawa.
            “Oh iya, Van. Hubungan kita dirahasiain aja ya. Gak apa-apa, ‘kan?” pintaku pelan-pelan takut menyinggung Revan.
            “Oke, Sayang. Aku janji akan merahasiakan hubungan kita. Dan aku gak akan nanya alasannya apa. Aku yakin kamu punya pemikiran untuk kebaikan kita. Tapi, aku juga boleh minta sesuatu?”
            “Apa itu?”
            “Setelah pengumuman kelulusan, besoknya temeni aku mengumpulkan embun di taman ini ya! Kita datang ke sini pada pukul setengah enam aja. Aku yakin embun di dedaunan masih utuh pada jam segitu,”
            “Iya, Sayang.” Aku tersenyum bahagia dan seketika kurasakan jantungku makin berdegup kencang. Ya, karena Revan menggenggam jemariku dan mengecup keningku.
                                                               ***      
           
Hari ini. Hari pengumuman kelulusan.
            Lapangan sekolah yang biasa dipakai untuk upacara, sekarang penuh sesak oleh teriakan gembira siswa dan siswi yang sudah melihat namanya ada di daftar kelulusan tahun ini.
            “Akhirnya kita lulus, nih. Hore! Bentar lagi kita jadi mahasiswi dong, keren!” teriak Adinda heboh dengan wajah amat bahagia.
            “Iya, iya…. Kita bisa pakai baju bebas kalau kuliah, kan? Ah, seru!” timpal Fenta tak kalah hebohnya.
            “Eh, satu lagi. Kita gak harus bikin PR matematika lagi. Hahaha!” kata Mentari sembari tertawa senang. Tentu saja ia sangat senang karena matematika adalah pelajaran yang paling dibencinya.
            Aku hanya tersenyum. Bukan tak bahagia atas kelulusan ini, tapi aku hanya tak ingin terlalu heboh seperti mereka. Tiba-tiba HP-ku bergetar, ada pesan di inbox-ku. Setelah membacanya aku berniat mengacuhkannya. Namun hati kecilku berkata lain. Dengan alasan mau ke toilet, aku pamit sebentar dengan sahabat-sahabatku.
Dengan cepat kulangkahkan kaki menuju taman belakang sekolah. Di sebuah kursi, di samping pohon cemara yang tidak terlalu tinggi, Revan duduk dengan menundukkan wajahnya.
“Van….”
Dia mendongakkan wajah dan tersenyum. “Fayeta, terima kasih kamu mau menemuiku. Aku kira kamu udah gak mau lagi ketemu aku,”
Aku ikut tersenyum. Bagaimana mungkin aku tidak ingin bertemu dengan dia lagi. Sedangkan setiap malam, dia selalu hadir di mimpiku.
“Besok ya, setengah enam kutunggu di kursi ini. Aku telah menyiapkan sebuah cawan untuk tempat si embun pagi yang kita kumpulkan. Nanti embun itu akan menjadi saksi jika kita pernah memiliki kisah. Aku ingin menjadi embun untukmu, Yeta. Selalu memberikanmu kesejukan. Meski kutahu, aku gak bisa selalu ada untukmu layaknya sang embun.”
Aku terdiam jika Revan sudah berbicara dengan nada sedih seperti itu..
“Aku udah tahu alasan kamu memutuskan hubungan kita. Aku mengerti dan emang wajar jika orangtua kamu melarang. Namun sebenarnya, tanpa kita putus pun aku akan tetap harus meninggalkan kamu, Yeta. Suatu saat nanti kamu akan tahu sesuatu tentang aku.” kata Revan mengakhiri kata-katanya sambil beranjak dari duduknya dan berlalu pergi.
***
           
Keesokan paginya di taman belakang sekolah.
 Udara sangat sejuk. Dingin. Tercium aroma tanah yang lembap. Langit masih sedikit gelap karena jam mungil di pergelangan tanganku menunjukkan masih pukul setengah enam kurang lima menit. Aku tersenyum melihat sosok yang amat kukenal sedang duduk menanti di kursi tempat biasa kami bertemu. Tangannya memegang sebuah cawan.
            “Hai, Van! Udah lama?” sapaku sambil melihat ke wajah Revan yang terlihat sangat pucat.
            “Hai, Yeta! Eh, gak kok. Aku juga baru sampai,” jawabnya riang tapi dengan suara yang terdengar bergetar.
            “Kamu sedang sakit? Wajah kamu pucat banget, Van!” aku bertanya dengan khawatir.
            Revan hanya menggeleng lemah dan tiba-tiba tubuhnya ambruk. Cawan yang dipegangnya terjatuh dan pecah.
            “Revan!!!” Aku berteriak keras dan menangis menyaksikan Revan tergeletak tak berdaya dengan mulut yang mengeluarkan banyak darah. Samar-samar seakan aku mendengar lantunan elegi. Elegi embun pagi.
***
           
Berakhirnya kisahku.
Aku sudah menjadi mahasiswi sekarang. Dua tahun ini aku masih belum bisa melupakan Revan. Padahal aku tahu seharusnya aku tak memikirkan dia lagi karena ia telah berbahagia di surga. Namun kenangan tentang Revan, cinta pertama sekaligus pacar pertamaku, adalah kenangan yang akan selalu abadi di dalam memoriku.
            Setelah kematian Revan akibat kanker hati yang telah lama bersarang di tubuhnya, aku hanya mampu bercanda bersama sang embun di setiap pagi. Melihat dan merasakan kesejukan embun seperti merasakan kehadiran Revan yang memang selalu menyejukkan hatiku.
            Hingga kini, aku belum menemukan pengganti Revan. Ah, aku memang belum berniat mencari pengganti Revan untuk saat ini. Entah sampai kapan aku betah bersama kesendirianku. Kesendirian yang menyejukkan. Sesejuk embun pagi.

SELESAI
_____________________________________________________________________________

SEBENTUK HATI

            Jumat, 01 Februari 2013.
Cinta… kehadiranmu bagai bintang di hatiku. Meski hanya sesaat dapat kumiliki, kekuatanmu mampu mengajarkanku arti sebuah pengorbanan yang tulus dan kepedihan yang tak selayaknya dibalas dengan kepedihan. Cinta… kaudatang bersama angin, dan berlalu pun bersama angin. Aku tak tahu harus marah atau kesal dengan sebuah angin yang telah membuatku harus berpisah denganmu. Mungkin perpisahan kita adalah hal terpedih yang pernah kurasakan. Namun aku tahu, perpisahan kita adalah hal yang membahagiakan untukmu.
            Satu demi satu kata kugoreskan ke dalam lembaran buku kecil berwarna hijau, saat itu pula tetes demi tetes airmata berjatuhan membasahi lembaran buku itu. Ya, hari ini kisah antara aku dan pacarku telah berakhir. Baru saja, sekitar satu jam yang lalu!
            Sambil menyeka lelehan air bening hangat yang keluar dari kedua pelupuk mata ini, kembali kuingat bagaimana aku dan dia bisa menjadi sepasang kekasih. Ketika itu, tepatnya sebulan yang lalu, saat acara malam tahun baru bersama teman-teman kampus, tanpa sadar aku mengatakan suka padanya. Dia tersenyum lalu bertanya apakah aku bersungguh-sungguh. Dengan menahan malu, aku menganggukkan kepala. Dan dalam sekejap, kami jadian. Aku hampir menangis karena bahagia dan dia hanya tersenyum manis sembari menatap mataku.
            Hari-hari bersamanya terasa amat menyenangkan. Aku makin menyukainya, bahkan mulai menyayanginya. Namun setelah 28 hari kebersamaan kami, terjadilah suatu hal yang tak pernah kusangka sebelumnya. Dan hari ini, di awal bulan Februari yang kata orang-orang adalah bulan cinta dan kasih sayang, aku harus melepaskan dirinya, di saat aku mulai mencintainya. Menyakitkan memang, tapi aku lebih memilih mengalah demi kebahagiaan Satria. Ya, namanya Satria! Pacar pertama sekaligus cinta pertama di usiaku yang sudah memasuki 20 tahun.
***
Senin, 04 Februari 2013.
Cukup! Hari ini tidak akan kukeluarkan lagi airmataku. Sebisa mungkin aku akan menahannya meski kemesraan sepasang kekasih yang tak sengaja kulihat barusan, bisa saja membobol benteng pertahananku. Dengan terus menunduk, kuhabiskan isi piring makan siangku dengan super cepat.
“Kirana! Lapar atau doyan sih? Hihii…,” komentar Lala tertawa geli melihatku.
“Ada tugas yang belum kukerjakan, La. Sepuluh menit lagi Pak Rangga masuk nih, dan aku tidak ingin dosen killer itu menyuruhku belajar di luar ruangan. Aku duluan ya! Bye, La!”
Lala hanya terbengong melihat sikapku. Aku cukup yakin Lala tidak akan percaya kalau seorang Kirana belum mengerjakan tugas. Lala dan teman-teman satu jurusanku sudah sangat tahu jika aku adalah salah satu mahasiswi yang rajin dan pintar. Namun aku berharap agar Lala bisa mengerti keadaanku saat ini. Aku hanya tak ingin melihat Satria dan pacar barunya, Meisya. Kenapa? Karena aku belum cukup kuat untuk berdiri di atas luka ini.
Di dalam ruangan kuliah yang masih kosong, kubenamkan wajah di atas meja dan menangis. Hari ini, aku masih belum cukup kuat ternyata. Tapi aku masih bersyukur karena tidak menangis di kantin dan tidak juga di hadapan Lala. Beberapa menit kemudian, cepat-cepat kuhapus airmata di pipi karena sudah ada beberapa orang yang masuk ke ruangan ini.
“Nana, boleh pinjam tugas kamu? Aku belum buat nih, tolong ya!” kata sebuah suara yang masih terdengar merdu di telingaku, sekali pun dia telah membuat hatiku sakit.
Aku tersenyum. Berusaha tersenyum maksudnya. “Agak ngebut nulisnya, Sat! Bentar lagi Pak Rangga masuk,” pesanku pada Satria sambil menyodorkan lembaran kertas tugasku.
Satria mengangguk dan tersenyum. Masih dengan senyuman manisnya yang amat kusuka. Dengan tergesa, ia langsung menuju kursi paling belakang dan mulai sibuk mengerjakan tugas. Aku menatap cowok itu dengan sendu. Hati ini tak bisa membencinya, meski ia telah menimbulkan perih yang cukup dalam di hatiku.
“Ah, udah satu jam kita nunggu. Kenapa Pak Rangga belum datang juga?” keluh Lala yang terlihat mulai bosan memainkan game di HP-ku.
“Mungkin Pak Rangga gak bisa ngajar kali, ya? Gak biasanya ia terlambat seperti ini,” kataku menanggapi keluhan Lala tanpa melepas pandangan pada barisan kata di sebuah novel yang sedang kubaca sekarang.
Tepat pada saat itu, Radika berkoar-koar di depan kami dan mengatakan kalau Pak Rangga tidak bisa mengajar dikarenakan istrinya sedang sakit. Seketika terdengar sorak bahagia teman-temanku. Jelas saja bahagia, siang ini kami tidak akan dibuat tegang oleh pertanyaan Pak Rangga di mata kuliah Akuntansi Lanjutan, yang ‘amat sangat’ memusingkan kepala.
Satria menghampiri tempat dudukku lalu menyeret sebuah kursi. Kini sosok yang sangat kusayangi hingga detik ini pun, telah berada di hadapanku. Aku sangat gugup dan salah tingkah. Satria mau apa ya? Ah, buru-buru kutepis imajinasi indahku. Ingat, Na! Dia adalah mantanmu. Dia tidak mencintai kamu! Jerit hati kecilku.
“Nana…,” suara Satria terdengar lembut. Ya, Satria suka sekali memanggilku dengan sebutan ‘Nana’ setelah kami jadian satu bulan yang lalu. Tapi kenapa sampai saat ini dia masih memanggilku seperti itu, padahal kami telah berpisah.
“Iya, Sat?” ujarku singkat dan seolah-olah sibuk membereskan isi tasku.
“Setelah ini kamu ada kerjaan gak?”
“Gak ada. Aku langsung pulang, Sat.”
“Bisa temani aku?”
***
            “Meisya suka banget sama warna pink, Na! Di sini banyak boneka warna pink, aku jadi bingung nih. Kamu tahu Meisya suka boneka apa?” Satria bertanya padaku dengan semangat, sesemangat ia mencarikan boneka untuk Meisya.
Dan aku tahu sesuatu. Satria amat mencintai Meisya, sampai-sampai rela bersatu sama benda yang ‘cewek banget’ di galeri yang juga ‘cewek banget’. Dan aku? Ya, aku ikut terjebak di sini. Sedikit menyesal juga saat tadi kuiyakan untuk membantu Satria. Kalau aku tahu jika Satria minta bantuan memilih hadiah ultah untuk Meisya, tidak akan kuiyakan permintaan Satria di kampus tadi.
Tapi lumayan, aku bisa kembali merasakan dibonceng Satria meski status kami sekarang hanyalah seorang teman. Lagian aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tetap berteman dengan Satria, juga tidak membenci dan tidak memusuhi dirinya.. Bukan salah Satria, jika perasaan cintanya padaku telah memudar. Aku tahu, Meisya lebih segalanya dariku dan tentu jika aku jadi Satria, aku akan memilih Meisya juga.
“Sat, Meisya suka Hello Kitty. Ini aja deh!” tawarku pada Satria sambil memegang boneka Hello Kitty yang lucu dengan kedua tanganku. Boneka ini lucu dan lumayan besar. Aku pun menginginkannya. Ah, aku akan menabung dulu!
Satria mengamati boneka itu dan melihat tarif harganya. Dia tersenyum dan berkata, “Oke! Kita ambil yang ini!”
***
            Minggu, 10 Februari 2013.
            Pagi ini aku malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur nyamanku. Sudah pukul tujuh pagi, tapi aku masih berteman dengan bantal dan boneka Teddy Bear kesayanganku. Pikiranku menerawang seraya memandangi langit-langit kamarku yang diwarnai dengan cat hijau, warna kesukaanku. Dan pikiran memaksa otakku untuk memutar kembali ingatan tentang kejadian kira-kira dua minggu yang lalu, awal dari luka yang harus kuterima.
            Meisya datang ke rumah dan membawa brownies panggang pesanan mama. Mama Meisya dan mamaku sahabat lama, oleh karena itu mereka sering bertukar hasil masakan. Kebetulan Satria sedang main ke rumah dan kami mengobrol di ruang tamu. Setelah Meisya bertemu mama dan menyerahkan brownies tadi, aku meminta Meisya untuk gabung bersama kami dan mengenalkannya pada pacarku.
            “Sya, kenalin ini Satria!” kataku pada Meisya yang terlihat telah memasang senyum manis untuk Satria.
            “Hai, aku Meisya, teman sekaligus tetangga Kirana. Kamu teman kuliah Kirana, ya?” sapa Meisya riang sembari mengulurkan tangannya pada Satria. Ya, Meisya adalah cewek cantik dan manis, ditambah lagi ia sangat mudah bergaul dengan orang baru.
            Kulihat Satria agak salah tingkah menerima tangan Meisya. Setelah tangan mereka bersatu dengan cukup lama, dengan refleks aku berdehem. Seketika Satria menarik tangannya dan tertunduk. Meisya hanya tersenyum. Hampir satu jam kami mengobrol bersama. Sebenarnya hanya Meisya dan Satria saja yang mengobrol, aku hanya jadi pendengar yang baik. Dan kali ini aku baru merasakan bagaimana resahnya rasa cemburu itu.
            Keesokan harinya di kampus, aku begitu terkejut karena melihat Meisya sedang berdiri di samping taman Fakultas Ekonomi. Segera kuhampiri dia.
            “Hai, Na! Kamu ketemu Satria gak?” ujar Meisya bertanya padaku dengan suara lembut. Heran, sejak kapan Meisya bersuara lembut seperti ini?
            “Dia tadi bilang mau ke ruang dosen bentar untuk nyerahin tugas. Kok kamu ada di sini, Sya? Bukannya kamu males banget kalau kuminta datang ke fakultasku?” tanyaku sedikit curiga. Tiba-tiba perasaan tak enak mengalir di hati kecil ini.
            “Eh, ternyata jarak Fakultas Kedokteran ke Fakultas Ekonomi cukup dekat juga ya kalau udah dicoba gini? Hehe….”
            Aku menatap Meisya bingung dan masih curiga.
            “Kirana, jangan mandangin aku kayak tersangka gitu deh! Aku ke sini karena janjian sama Satria. Aku dan dia mau ke Gramedia bareng,”
            “Kok bisa janjian?”
            “Aduh, maafin aku ya, Na! Kemarin aku ambil nomor HP Satria di kontak HP kamu. Iseng aku sms dia dan dibalas. Terus kami ngebahas hobi masing-masing. Gak  nyangka dia hobi baca novel juga. Jadinya kami ngebahas novel-novel terbitan DIVA Press. Hari ini kami berdua mau ngeborong novel, Na.”
            Hatiku seperti tersayat ujung pisau ketika mendengar penjelasan Meisya. Aku terdiam sesaat sampai Meisya mengibaskan tangan kanannya ke depan wajahku.
            “Ehh, iya… gak apa-apa kok. Oh ya, aku duluan ya, Sya! Selamat ngeborong novel aja deh.” Dengan terburu-buru aku menjauh dari Meisya karena aku tak ingin ia melihat perubahan rona di wajahku.
            Besoknya aku pun meminta penjelasan pada Satria kenapa dia tidak cerita kalau sms-an dengan Meisya dan janjian dengannya untuk ke Gramedia. Tapi yang ada bukan Satria memberi penjelasan. Namun….
            “Semalam aku udah berpikir matang, Na. Kayaknya hubungan kita sampai di sini aja ya. Sepulang dari Gramedia kemarin, aku dan Meisya jadian. Dia duluan yang nyatain cinta dan aku gak punya alasan untuk menolak. Aku bahagia banget bisa jadian sama Meisya. Jujur dari awal kamu ngenalin dia ke aku, aku udah merasa tertarik sama Meisya. Maafin aku, Na!
            Aku menatap mata Satria dalam-dalam dengan nanar. Berusaha menemukan kebohongan di sana. Tapi aku melihat kebohongan itu tidak ada. Satria bersungguh-sungguh dengan perkataannya barusan.
            “Na, tolong jangan bilang ke Meisya ya kalau kita pernah pacaran. Dia tahunya kita hanya berteman. Kamu mau, kan?”
            Aku terdiam. Aku tertunduk. Dan aku mengangguk. Lalu mengangkat wajah dan tersenyum. “Oke, Sat. Kita sekarang kembali kayak dulu. Hanya berteman biasa.”
            “Tapi kamu baik-baik aja kan, Na? Jangan marah sama Meisya ya! Dia gak salah,”
            “Aku baik-baik aja, Sat. Tenang! Aku gak mungkin marah sama Meisya. Kalian berdua sama-sama temanku, kok. Jika kalian bahagia, aku ikut bahagia. Selamat ya! Semoga kalian langgeng. Kalian emang pasangan yang serasi. Sekali lagi selamat ya!”
            Sukses! Aku memang pintar berakting untuk jadi manusia yang pura-pura berbahagia saat itu. Aku baik-baik saja, tapi hatiku tidak baik-baik saja. Dan airmata kembali membasahi pipiku. Di pagi minggu yang cerah, aku masih saja berteman deraian airmata.
***
            Rabu, 13 Februari 2013.
            “Nana, Meisya gak suka sama cowok yang suka futsal ya?” tanya Satria saat aku dan Lala sedang menikmati semangkuk bakso panas.
            “Hei, cowok brengsek! Bisa gak berhenti ngebahas pacar kamu itu di depan Kirana! Gak berperasaan banget sih jadi orang!” bentak Lala marah.
            Satria terdiam dan aku cepat mengendalikan suasana tegang ini. “Sat, aku duluan ya!” kataku sambil menarik tangan Lala.
            “Kalau aku jadi kamu, aku gak akan mau lagi ngasih contekan tugas ke cowok brengsek itu! Aku juga gak akan mau menemaninya membeli hadiah untuk cewek yang telah merusak hubungan kalian! Aku juga gak akan mau bersikap manis lagi sama mantan yang gak tahu terima kasih!” Lala menggerutu kesal atas sikapku.
            “Aku hanya ingin Satria bahagia, La. Aku baik-baik aja kok,”
            “Iya, Satria bahagia! Tapi kamu menderita! Baik apa? Kamu nangis terus gitu, dibilang baik-baik aja?”
            Aku memeluk Lala. Aku tahu dia begini karena dia menyayangiku. “La, makasih ya! Tapi aku ngerasa baik-baik aja dengan semua ini. Lama kelamaan aku pasti bisa menata hatiku. Tapi biarkan aku tetap bersikap manis pada Satria dan Meisya ya. Aku gak ingin ngerusak hubungan pertemanan hanya oleh cinta.”
            Lala membalas pelukanku dan berkata pasrah, “Kalau kamu pengennya gitu, ya udah. Tapi ingat, jangan dipaksain bila kamu emang gak sanggup. Dan usahakan untuk membuka hati buat cinta yang baru ya, Say!”
            Aku tersenyum bahagia karena masih memiliki sahabat terbaik seperti Lala. Biarkan di saat ini, sebentuk hati di dalam tubuhku masih untuk Satria. Aku yakin suatu saat nanti aku pasti bisa memberikan sebentuk hatiku untuk nama yang baru, karena ’hidup akan terus berlanjut!’
SELESAI



_________________________________________________________________________________
JASON, AKU MENCINTAIMU

            Aku memandangi tubuh tinggi salah satu personil Jasuka Band yang sedang serius memukulkan dua buah stik pada drum besar di hadapannya. Dia Jason, cowok yang telah tiga bulan ini membuat diriku selalu penuh semangat untuk datang ke kampus. Jason lelaki pertama yang aku cintai. Namun, hubungan kami hanya sebatas teman. Mungkin Jason tak tahu tentang perasaanku ini.
            Jasuka Band beranggotakan anak-anak jurusan akuntansi  yang terdiri dari enam personil. Ando sebagai vokalis, Imam dan Randy sebagai gitaris, Dira memegang bass, Gilang memegang keyboard, dan terakhir Jason sebagai drummer. Aku sendiri sebagai manajer band mereka.
            “Kenapa akhir-akhir ini kamu tidak jalan dengan pacarmu lagi, Shil?” tanya Ando.
            “Maaf ya gara-gara sering mengurusi kami, kamu jadi tak punya waktu untuk pacarmu,hehe….” goda Gilang padaku.
            “Kalian tidak tahu ya, aku sudah putus dengan Harry satu bulan yang lalu,” kataku pada mereka yang langsung memasang wajah bingung.
            “Aku lagi malas untuk pacaran sekarang ini. Lebih enak jadi manajer kalian saja, bisa jalan-jalan dengan bebas dan bertemu banyak teman baru. Kan siapa tahu malahketemu sama cowok yang cakep dan bisa jadi jodohku, hahaa…”
            “Maunya tuh, tapi lebih baik kamu tidak ada cowok, Shila. Jadinya kan kita-kita bebas mengajak kamu kemana saja!” ujar Imam sambil memainkan gitarnya.
            Aku melirik Jason yang dari tadi hanya diam dan senyum saja mendengar ocehan kami. Aku beranjak berdiri dan menuju ke kamarku di atas, meninggalkan mereka di ruang tamu. Di depan kaca aku mematut diri. Teringat kisah cintaku dahulu bersama beberapa cowok yang tak pernah aku cintai. Hubungan yang hanya kujalani datar –datar saja. Aku pacaran dan menerima mereka karena aku hanya suka dan tak pernah sekalipun mencintai mereka. Ketika aku dekat dengan rombongan Gilang, aku pun mengenal Jason dan merasakan hal yang berbeda ketika melihat dia. Aku jatuh cinta setelah beberapa minggu aku mengenalnya. Saat menemukan cinta yang tak pernah aku rasakan sebelumnya itulah yang membuat aku sadar dan memutuskan Harry, cowokku yang terakhir. Sebenarnya Harry tak terima namun setelah aku jelaskan perasaanku yang sebenarnya, akhirnya ia mengerti dan menjauh.
Aku kembali ke ruang tamu. Ternyata mamaku telah menyediakan pisang goreng. Langsung saja tanganku meraih pisang goreng di atas meja. Aku terkejut karena disaat bersamaan Jason juga ingin mengambil pisang goreng, tangan kami pun bersentuhan. Dia memandangiku, segera kutarik tanganku dan agak menjauh darinya karena merasaka gugup dan wajahku menjadi sedikit merah.
***
            Siang seperti ini sangat terasa gerah, ingin sekali rasanya langsung pulang saja ke rumah. Sayangnya aku harus mengikuti satu mata kuliah lagi. Duduk manis di kelas yang full AC adalah pilihan terbaik karena bisa mendinginkan. Ku ayunkan langkahku menuju kelas dengan semangat.
            “Hey…Melamun saja! Ini aku bawakan jus mangga buatmu, Shila.” kata Tiara mengejutkanku.
            “Terimakasih, Tiara.” Aku tersenyum sambil mengambil botol yang berisi jus mangga.
            Tiara adalah teman satu fakultas namun beda jurusan denganku. Selain itu  Tiara juga tetanggaku. Walaupun tetangga kami hampir tak pernah pergi dan pulang kuliah bareng karena Tiara selalu bareng teman satu genknya atau dengan pacarnya. Namun beberapa hari ini aku tak melihat lagi Tiara bareng pacarnya yang bernama Rio, mahasiswa di kampus kami juga satu jurusan dengan Tiara.
            “Oh iya, Ra. Akhir-akhir ini aku melihatmu tak lagi bareng Rio. Kenapa?”
            “Aku sudah putus dengan Rio, Shil. Tapi aku tak akan bersedih. Cowok banyak yang antri untuk jadi pacarku, hehe….”
            Setuju sekali dengan ucapan Tiara. Benar, Tiara adalah cewek yang sangat cantik menurutku. Rambut panjang lurus, badan tinggi dan langsing seperti model, supel, dan semuanya deh. Dia sudah sering ganti-ganti pacar. Semua mantan pacarnya adalah cowok-cowok yang memang cakep dan punya banyak kelebihan. Hal yang wajar untuk seorang Tiara.
            Sedang asyik-asyiknya bercerita dengan Tiara, rombongan Jasuka Band masuk ke dalam kelas. Aku melontarkan senyumku pada mereka yang melambaikan tangannya padaku.
            “Cakep-cakep juga ya Jasuka Band kalau dilihat dari dekat begini. Kenalin dong, Shil!” bisik Tiara padaku.
            Aku menarik Tiara mendekati rombongan Jasuka Band.
            “Nih, ada temanku mau kenalan dengan kalian. Namanya Tiara, jurusan manajemen.” kataku pada mereka yang terlihat salah tingkah melihat kecantikan Tiara.
            Satu persatu Jasuka Band menyalami tangan Tiara yang putih dan lembut. Ketika salaman dengan Jason, Tiara menahan tangannya agak lama. Aku heran, jangan sampai Tiara terpikat oleh aura Jason. Aku tak mungkin bersaing dengan sosok Tiara. Pasti Jason akan lebih memilih Tiara dibanding aku.
***
            Beberapa minggu kemudian setelah perkenalan Tiara dengan para personil Jasuka Band, ternyata terungkaplah hal yang aku takutkan selama ini.
            “Aku resmi pacaran dengan Jason, Shila. Kemarin dia menembakku dan langsung saja aku terima. Jason kan keren dan imut. Tak mungkin aku menolaknya. Kamu setuju kan?” ungkap Tiara saat dia lagi main ke rumahku siang ini.
“Aku setuju dong, karena dia teman yang baik dan menurutku kalian sangat serasi. Selamat ya Tiara!” aku berusaha terlihat bahagia di depan Tiara. Padahal rasanya aku ingin menangis. Ternyata ini memang terjadi. Aku ingin bilang ke Tiara untuk  jangan  jadian dengan Jason karena aku menyayanginya. Tapi itu tak mungkin, Tiara tentu akan menertawakanku.
***
            “Maaf  ya, Shila. Tapi ini sudah menjadi keputusan Jason.” kata Ando dengan kepala tertunduk.
            Aku hanya mengangguk dan langsung berlari sambil menahan airmataku. Jason ingin Tiara yang menggantikanku sebagai manajer band mereka. Sebenarnya yang lain kurang setuju, tapi karena Jason mengancam dia akan berhenti dari Jasuka Band jika Tiara tidak diterima, dengan terpaksa yang lain hanya menurut karena tak ingin Jason keluar dari band mereka. Kata-kata Ando yang menjelaskan dengan wajah sedih tadi begitu membuatku terpukul. Aku terduduk di kursi halaman belakang kampusku. Menangis terisak menyesali sikap Jason yang tak adil bagiku. Aku juga menyesali kelemahanku sehingga Tiara yang berhasil memikat hati Jason dan sekarang dia juga berhasil mengambil posisi sebagai manajer Jasuka Band dariku.
            Beberapa hari ini, di rumah Tiara selalu ramai oleh Jasuka Band. Melihat mereka mengingatkan saat diriku masih menjadi manajer. Saat berpapasan dengan rombongan Jasuka Band kemarin  mereka masih menegurku. Kecuali Jason dan Tiara yang terlihat acuh. Mungkin mereka merasa tak enak denganku. Hari ini aku kembali mengamati rumah Tiara. Hanya ada motor Jason terparkir disana. Tak berapa lama kemudian, Jason keluar dan pamit pada Tiara untuk pulang.
            Aku masih mengamati rumah Tiara dari jendela kamarku. Beberapa menit setelah Jason pulang, Rio datang dan masuk ke rumah Tiara. Aku agak heran, kenapa Rio datang padahal mereka sudah putus. Kira-kira sekitar 15 menit kemudian Rio dan Tiara keluar, mereka terlihat seperti mau pergi. Aku hampir menjatuhkan gelas minumanku ketika kulihat mereka berangkulan sambil bercanda. Tiara mencubit pinggang Rio dan Rio membalas dengan mencium pipi Tiara. Mereka masuk ke dalam mobil Rio dan berlalu.
            Aku membaringkan tubuhku di atas tempat tidur. Mencoba mengerti tentang apa yang barusan dilihat oleh mataku. Aku tak sedang bermimpi saat ini. Ini nyata dan sangat nyata. Apa Tiara menduakan Jason? Tahukah Jason atau Rio tentang hal ini? Aku bingung sendiri. Aku sedang memikirkan Jason, kasihan sekali dia kalau memang  ternyata telah diduakan oleh Tiara.
***
            “Coba kamu jelaskan Tiara!” kataku yang berhasil menyeret Tiara ke dalam kelas yang sepi.
            “Oke, berhubung kamu sudah mengetahui semuanya, aku akan cerita. Aku sudah balikan lagi dengan Rio setelah dua hari pacaran dengan Jason. Aku tak bisa menolak Rio karena aku masih mencintainya. Aku menyukai Jason tapi tak mencintainya. Aku hanya ingin mengambil posisi sebagai manajer Jasuka Band. Rio sudah tahu tentang ini dan dia tak keberatan. Hahaha…”
            “Ini tidak lucu. Teganya kamu mempermainkan Jason yang serius cinta padamu, Tiara. Kalau kamu ingin posisi itu, aku tak masalah. Tapi kamu tak seharusnya bohongi Jason seperti ini.”
            “Kenapa kamu marah-marah gitu? Hey dengar ya, memang aku pikirin! Aku mengerti kalau kamu ternyata menyukai Jason kan? Sudah terlihat kok dari awal sikapmu yang terlihat cemburu denganku yang dekat dengan Jason. Sudahlah Shila, aku mau kuliah nih,”
            Tiara segera beranjak keluar. Aku masih tetap di dalam kelas sambil merenung. Tiba-tiba terlihat Jason melintas di depan kelas ini. Aku keluar untuk memanggilnya dan menjelaskan semua kenyataan ini. Tapi apa yang kudapat?
            “Kamu jahat sekali menuduh teman sendiri seperti itu. Kalau kamu iri karena posisi manajermu sekarang diambil alih oleh Tiara jangan sampai bersikap gitu dong! Kamu ingin menghancurkan hubungan kami kan. Kamu cemburu dengan Tiara karena dialah yang aku pilih dibanding dirimu? Jaga omonganmu! aku tak mungkin suka dengan cewek tukang fitnah sepertimu, Shila!” kata-kata kasar Jason menanggapi penjelasanku yang sebenarnya.
            Air mataku tak tertahan lagi untuk membanjiri pipiku. Percuma yang aku katakan tadi, Jason tak percaya dengan pernyataanku dan bilang akulah yang jahat. Teriris hati ini mendapat perlakuan seperti itu dari orang yang kucintai.
***
            Sudah lewat sebulan hubungan Jason dan Tiara baik-baik saja. Aku tak mengerti kenapa Rio bisa membiarkan Tiara bermesra-mesraan di kampus dengan Jason, padahal Rio sedang di dekat mereka. Mungkin Rio terlanjur mencintai Tiara jadi dia setuju atas hal apapun yag ingin dilakukan Tiara. Tiara, kamu memang wanita hebat yang bisa berbohong dan membuat lelaki tunduk padamu.
            Malam ini malam minggu. Langit terlihat gelap tanpa bintang dan hanya ada sedikit bagian bulan yang mengintip. Sepertinya akan turun hujan yang sangat deras. Aku melamun lagi di dekat jendela kamar sambil memandangi langit dan rumah Tiara bergantian. Seperti biasanya, malam minggu seperti ini, Jason pasti ke rumah Tiara sehabis waktu isya. Aku bisa melihat Jason yang aku cintai sepuas mungkin yang biasanya akan mengobrol dengan Tiara di teras. Andai suatu hari nanti, Jason bisa jadi pacarku. Akulah yang akan diajaknya mengobrol dengan akrab seperti dengan Tiara.
            Jason telah datang tapi tak terlihat tanda-tanda kalau pagar rumah Tiara akan terbuka. Baru kusadari kalau lampu rumah Tiara mati. Apa Tiara dan keluarganya sedang tak di rumah ya? Tapi kenapa Jason tak tahu soal itu dan dia tetap ke rumah Tiara?
            Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya mengguyur bumi. Disertai petir yang menyambar-nyambar. Aku masih melihat Jason yang duduk di depan pagar walau hujan membasahi seluruh tubuhnya. Aku meraih handphone dan menekan nomor Jason.
            “Halo Jason, sepertinya Tiara tidak ada di rumah karena lampu rumahnya saja tidak hidup. Hujan sangat deras, sebaiknya kamu pulang saja!”
            “Aku akan tetap menuggu di sini untuk meminta penjelasan dengan Tiara. Tiara berjanji akan membicarakannya malam ini,”
            Jason langsung memutuskan teleponku. Kasihan sekali membiarkan Jason sendirian hujan-hujanan di depan rumah Tiara. Aku ingin mengajaknya untuk menunggu di rumahku saja, tapi aku tak berani mengatakan itu. Satu jam kemudian selesainya aku menyalin catatan kuliah, kembali kulihat Jason di luar. Kali ini sangat mengejutkanku. Jason telah terbaring pingsan diguyur hujan.
            Aku berlarian keluar menuju rumah Tiara. Tak kuhiraukan hujan deras yang membasahiku. Aku bawa Jason ke dalam rumah dan meminta tolong satpam rumahku untuk membawa Jason ke dalam kamarku dan mengganti pakaian Jason. Tak berapa lama kemudian Jason sadar, dia masih terlihat lemah. Mama membuatkan teh hangat untuk Jason. Diminumnya teh itu dengan perlahan. Jason memandangiku dengan lemah.
“Shila, maafkan aku. Selama ini ternyata omongan kamu itu benar. Tiara memang pacaran lagi dengan Rio. Siang tadi aku melihat mereka pelukan di kampus. Aku meminta penjelasan pada Tiara. Tapi dia bilang malam ini saja aku ke rumahnya untuk penjelasan itu. Ternyata dia bohong lagi padaku, dia memang tidak ada di rumah karena sedang makan malam bersama keluarga Rio. Tiara mengakui itu semua saat aku meneleponnya tadi. Mendengar semua itu aku merasakan sakit dan langsung pingsan. Maaf aku pernah marah-marah padamu, maaf aku memecatmu jadi manajer Jasuka Band dan maaf sekarang aku merepotkan kamu dan keluargamu, Shila.”
Aku tersenyum menanggapi pernyataan yang keluar dari mulut Jason. “Tak apa-apa, Jason. Aku sudah memaafkanmu tanpa kamu minta kok,” Aku menyuruh Jason untuk minum obat. Dia mengangguk kemudian tertidur setelah meminum obat pereda panas.
            Aku memandangi wajah Jason yang tertidur. Sungguh polos tidak terlihat angkuh seperti kesehariannya. Kuusap rambut Jason dan menyelimutinya. Selamat tidur Jason, semoga kamu tidak sampai sakit gara-gara kehujanan malam ini.
***
            Dua minggu kemudian aku jadian dengan Jason. Betapa bahagianya diriku. Jason akan menjadi cinta pertama dan terakhir untukku. Setelah kejadian hujan-hujanan dua minggu yang lalu membuat hubungan kami kian dekat dan akhirnya Jason menyatakan cintanya padaku. Aku kembali menjadi manajer Jasuka Band dan akrab dengan para personilnya seperti sedia kala. Satu minggu lagi akan ada acara besar di rumahku, acara pertunangan aku dan Jason.
“Semakin cepat semakin baik untuk mengikat hubungan kita karena aku mencintaimu, Shila” kata Jason sambil menggenggam jemariku dengan mesra.
“Iya, Jason. Aku pun mencintaimu.” ujarku seraya menatap mata Jason.
SELESAI
___________________________________________________________________________
 CINTA SEORANG NINA

“Hebat! Berani sekali kamu membantah omongan Pak Haris tadi, Nina!” decak Riri kagum pada Nina yang sedang asyik makan bakso di hadapannya.
            “Harus dong, Ri. Kita-kita kan tidak salah ya jadi harus berani. Memangnya guru harus selalu benar? Tidak kan?” balas Nina sambil mengunyah dengan lahap.
            Sesaat mata Nina tertuju pada sosok cowok tinggi yang sedang bermain basket di lapangan dekat kantin. Putra, cowok yang dikagumi dan dicintai Nina tanpa Nina tahu kenapa dia bisa jatuh cinta dengan cowok hitam manis itu. Dulu hubungannya dengan Putra bisa dikatakan amat akrab karena mereka sahabat sejak masih SMP dan sama-sama ikut ekstrakurikuler basket. Namun karena ada sesuatu hal yang membuat Putra kecewa dan marah, sampai sekarang Putra selalu menghindari Nina. Sebenarnya Nina sangat terluka, tapi apa boleh buat semua itu memang salah dirinya.
            “Eh Nin, kenapa bengong begitu? Entar kesambet jin baru tahu rasa, haha..” canda Riri yang membuyarkan lamunan Nina.
            “Tidak apa-apa kok,” cengir Nina yang kemudian menyeruput jus jeruknya.
            Riri adalah sahabat Nina sekaligus teman sebangku sejak masuk SMA dan sekarang mereka sudah kelas XII yang berarti lebih kurang sudah tiga tahun Nina dan Riri bersahabat. Akhir-akhir ini Riri terlihat akrab dan dekat dengan Putra, membuat Nina merasakan sedikit kecemburuan. Tapi, Nina mengikhlaskan kedekatan mereka karena Riri adalah sahabatnya.
***
            Sudah enam hari Nina tidak masuk sekolah dikarenakan dirinya harus beristirahat di rumah sesuai anjuran dokter. Saat Nina kelas 2 SMA, dia sempat mengalami pingsan ketika bermain basket, setelah dibawa ke rumah sakit oleh mamanya, baru diketahui ternyata telah tumbuh tumor di otak Nina. Tumor itu belum bisa diangkat sampai sekarang karena belum ada dokter dan rumah sakit mana pun yang sanggup. Selama lebih kurang satu tahun Nina harus menjalani hidup dengan tumor di otaknya dan tak jarang Nina merasakan sakit yang teramat di kepalanya dan sesekali pingsan.
            Mama Nina bolak-balik dengan perasaan cemas di depan kamar Nina. Saat ini dokter sedang memeriksa Nina yang terbaring lemah di kamarnya setelah jatuh pingsan dua jam yang lalu.
            “Dok, bagaimana kondisi Nina sekarang? Nina masih bisa diselamatkan?” tanya mama Nina hampir menangis setelah dokter keluar dari kamar Nina.
            “Tumor di otak Nina sudah membesar. Saya sudah menghubungi salah satu rumah sakit di luar negeri dan tinggal menunggu jawabannya. Setelah itu kita siap untuk membawa Nina ke sana dan melakukan operasi pengangkatan tumor. Saat ini yang terpenting, Ibu harus tetap menjaga dan mengawasi kesehatan Nina. Jangan sampai Nina banyak pikiran karena dapat menyebabkan otaknya tertekan sehingga tumor akan semakin mengganas!” jelas dokter.
            Sepulangnya dokter, mama Nina langsung menuju ke kamar dan membelai anak semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang.
            “Ma, besok Nina sekolah ya. Nina ada ulangan matematika,”
            “Iya sayang, besok mama akan antar kamu ke sekolah asalkan kamu janji sepulang sekolah harus segera pulang ke rumah dan jangan main basket lagi!”
            Nina mengangguk dan tersenyum. Mamanya mencium kening Nina dan menyuruh Nina untuk segera tidur.
***
            Dengan senyuman manis, Nina menyapa mamanya yang lagi menyusun piring di meja makan. “Selamat pagi mamaku sayang,”
            “Pagi juga cantik,” balas mama sambil mencium kedua pipi Nina yang panas.
            Perasaan seorang ibu memang sangat peka dan ini dirasakan mama Nina saat mencium dan memeluk Nina barusan. Rasa khawatir terhadap seorang anak yang sudah dibesarkannya dengan kesendiriran karena papa Nina sudah meninggalkan mereka menghadap sang Ilahi saat Nina masih duduk di Sekolah Dasar.
            “Sayang, apa kamu yakin untuk sekolah hari ini?” tanya mama sembari menuangkan air putih ke dalam gelas.
            “Iya mama, Nina sudah merasa baikan. Lima hari di rumah saja cukup membuat jenuh, Ma.” jawab Nina serius meyakinkan mamanya.
            Sesampainya di sekolah Nina mencari Riri, tak ditemukannya Riri di dalam kelas. Tak mungkin jam segini Riri belum datang, biasanya Riri datang lebih cepat dari dirinya. Tiba-tiba Nina teringat taman belakang sekolah, Riri dan Nina sering duduk-duduk di sana sambil belajar atau hanya sekedar mengobrol. Nina pun mengayunkan kakinya menuju taman belakang.
            Namun, saat telah ditemukannya Riri. Diurungkannya niat untuk menghampiri Riri karena Riri sedang duduk berdua bersama Putra. Mereka sedang mengobrol dan saling berpandangan, Putra memegang jemari Riri dan mengecupnya. Melihat itu, Nina merasakan cemburu dan tanpa sadar matanya mengeluarkan air bening. Tetapi dengan cepat perasaan itu dia buang jauh-jauh dan berusaha untuk tenang. Nina kembali ke dalam kelas dengan langkah yang cepat setengah berlari.
            “Nin, kamu sakit apa? Lima hari kamu tak sekolah dan kata guru kita kami tidak perlu menjenguk kamu, padahal aku ingin sekali ke rumah dan melihat kamu,” kata Nina yang sudah kembali ke kelas.
            “Aku cuma demam, Ri. Tak perlu dijenguk kok. Sakitnya kan tidak parah, hehee….” Nina menjawab dengan nada riang.
            Nina memang merahasiakan penyakitnya kepada siapa pun. Hanya wali kelasnya yang diberitahu mama Nina mengenai penyakit Nina.
            “Tapi aku merasa aneh, kok bisa kamu tidak masuk sekolah beberapa hari hampir tiap bulan loh, Nin?” tanya Riri lagi dengan penasaran.
            “Riri yang cantik, beneran deh aku tidak apa-apa. Percaya padaku ya!” mohon Nina sambil mengembungkan pipinya bercanda.
            “Iya, iya. Percaya deh. Oh ya, aku ada kejutan buat kamu. Aku jadian dengan Putra teman SMP kamu dulu itu Nin, tadi dia menyatakan cinta di taman belakang!” jelas Riri yang matanya memancarkan kebahagiaan.
            “Waw, selamat ya Riri! Aku ikut bahagia, kalian memang cocok. Putra cakep, pintar main basket lagi dan kamu cantik juga baik hati. Traktir aku ya,” canda Nina untuk menutupi rasa kagetnya.
            “Mudahlah itu, selesai ulangan nanti siang kita bertiga makan bakso kesukaanmu di kantin ya,” ujar Riri seraya mencuil hidung mancung Nina yang hanya bisa nyengir lucu.
            Nina tahu, Riri dan Putra memang telah dekat sejak Riri menjadi anggota cheerleader tim basket Putra. Nina juga anggota basket namun dia berhenti saat diketahui ada tumor di otaknya yang mengharuskan Nina untuk mengurangi kegiatan. Nina tak menyangka Putra dan Riri akan jadian. Tepatnya bukan tak menyangka tapi tak ingin. ‘Alangkah egoisnya diriku jika merasa cemburu dan tak ingin mereka bersatu, aku harus rela. Riri dan Putra sama-sama sahabatku. Jika mereka bahagia seharusnya aku pun bahagia,’ batin Nina dalam hati.
***
            Nina dilanda kesepian, sahabat terdekatnya di sekolah, Riri, sudah tidak menemaninya seperti dulu. Tak lagi ke kantin, ke perpustakaan, pulang bareng dan sebagainya. Riri sekarang lebih banyak menghabiskan waktu bersama Putra.
            “Ri, temani aku beli komik ya hari ini!” pinta Nina sedikit ragu karena melihat Riri membereskan meja dengan cepat.
            “Maaf Nina, aku mau menemani Putra memesan kaos tim basket untuk anak kelas X sekarang. Lain kali saja aku temani. Aku duluan ya,” kata Riri menyunggingkan senyum dan buru-buru keluar kelas.
            Wajah Nina tertunduk. Riri seolah melupakannya dan lebih mementingkan Putra yang sudah jadi pacarnya. Dengan menghela nafas panjang Riri pun meninggalkan kelas yang masih cukup ramai.
            Nina memilih-milih komik yang berderet rapi di toko buku langganannya. Dia teringat biasanya Riri juga ikut memilihkan komik yang menarik untuk mereka beli. Nina menangis dan cepat-cepat memilih satu komik kemudian membayarnya. Nina mengusap airmatanya, menunggu mamanya yang akan menjemput di depan toko buku. Tiba-tiba Nina merasakan kepalanya berat dan sakit yang tak tertahankan, belum sempat berpegangan di tiang dekat tempatnya berdiri, Nina tak sadarkan diri. Mamanya yang baru tiba, berteriak histeris melihat putrinya tergeletak tak berdaya di depan toko buku.
***
            Riri dan Putra baru tiba di rumah Nina yang sangat ramai. Bukan acara pesta atau syukuran. Namun….
            “Nina… Bangun! Maafkan aku, aku tak tahu kamu punya tumor di otak, aku tak tahu kalau kamu menderita. Akhir-akhir ini aku seolah melupakanmu dan aku tak menemanimu ke toko buku kemarin. Aku sangat menyesal dengan sikapku, Nina. Aku terlambat! Sahabat seperti apa aku ini. Hiks…Hiks…” tangisan Riri memenuhi dan mengiringi suasana berkabung atas meninggalnya Nina.
            Mama Nina memeluk Riri yang histeris. Putra hanya terdiam, namun dia tak mampu menahan air yang terjatuh dari kedua pelupuk matanya. Setelah Riri agak tenang, mama Nina menyodorkan surat berwarna jingga kepada Putra.
            “Itu tante temukan di meja belajar Nina pagi tadi. Tante baca di amplopnya bertuliskan untuk Putra,” kata Mama Nina yang matanya sembab dengan wajah yang menyimpan berjuta kesedihan.
            “Terima kasih tante,” ujar Putra menerima surat tersebut dan membacanya.
            Dear Putra,
            Selamat ya karena kamu dan Riri sudah bersatu. Kalian memang serasi dan cocok sekali. Aku turut bahagia untuk kalian berdua. Kamu sudah menemukan orang yang tepat untuk kamu cintai, Putra.
            Aku menulis surat ini juga untuk memohon maaf sekali lagi atas kelancanganku setahun yang lalu. Kamu sangat marah saat aku menyatakan kalau aku menyayangimu lebih dari sayang seorang sahabat. Setelah itu kita tak lagi akrab dan bersahabat, bahkan kamu tak mau menegurku. Aku sangat menyesal Putra, menyesal atas sikapku dan perasaanku. Semoga sekarang kamu sudah memaafkan aku.
            Jaga Riri baik-baik ya, jangan kecewakan dia. Sekali lagi kukatakan aku bahagia melihat kalian bersama walau awalnya aku merasakan cemburu dan tak rela. Tapi, aku cukup sadar rasa cemburuku dan tak kerelaanku tidak ada gunanya. Apalagi tanpa kamu dan Riri ketahui, sebenarnya aku adalah gadis yang penyakitan. Ada tumor yang sudah satu tahun bersarang di otakku. Itulah sebabnya kenapa aku sering tidak masuk sekolah dan keluar dari tim basket. Maaf ya aku merahasiakan ini dari kalian.
            “Doakan aku dan ikut ke pemakamanku jika benar aku akan meninggalkan dunia ini ya Putra, aku ingin sekali saja kau memperhatikanku untuk yang terakhir kalinya. Terima kasih ^_^
                                                                                                    Sahabatmu, Nina
            Putra melipat surat itu dan matanya semakin dibanjiri air bening. Riri yang melihat Putra menangis menjadi heran. Keheranannya terjawab tatkala dia selesai membaca surat yang dia ambil dari tangan Putra. Riri pun menangis lagi dalam pelukan Putra.
SELESAI
_________________________________________________________________________________


BAHAGIA ITU SEDERHANA

            Perasaan hangat saat merasakan rasa istimewa, melambungkan angan-anganku sejauh-jauhnya hingga tak terjamah lagi oleh mata manusia manapun. Keberanian menyeruak dari hati yang terdalam menepiskan rasa ragu atas perasaan yang tengah kurasakan kini. Sejenak aku mencoba singgah dan saat itu juga aku tak mau pergi lagi. Masih tetap singgah walau mungkin tak terlihat. Hanya bisa menepi dan bersembunyi di balik dinding yang bernamakan kerahasiaan. Sungguh aku tahu hal ini tak mudah, namun aku sudah terlanjur terbawa arus atas sosoknya yang indah di pandanganku. Aku merasakan kebahagiaan. Bahagia yang sederhana ketika merasakan rasa istimewa.
            Tetapi terkadang ada perih yang kurasakan. Terkadang juga ada sedikit kebahagiaan yang kudapatkan. Tinggal bagaimana aku bisa memaknai dan sampai sejauh mana aku sanggup bertahan akan perasaan tak terbalas ini. Aku hanya manusia yang memiliki hati dan kebetulan merasakan rasa istimewa pada manusia yang juga memiliki hati. Bedanya denganku, manusia yang bernama Diraz tak memiliki rasa istimewa pada manusia yang bernama Mikha. Kini aku terdampar di tengah lautan hatinya. Aku tenggelam dalam lembah perasaanku. Tak akan ada yang bisa membawaku ke daratan karena besarnya ombak cinta yang tengah menggulungku. Tapi sungguh aku merasakan bahagia. Bahagia itu sederhana ketika kita jatuh cinta.
***
            “Aduh, sakit!” keluhku meringis saat kakiku bersenggolan dengan kursi di depanku.
            Perlahan aku duduk dan memulai mengurut-urut kakiku yang terkena benturan kursi tadi. Gara-gara terpana melihat Diraz, kakiku merasakan nikmatnya bersentuhan dengan kursi. Pedih terasa di bagian kakiku, tapi aku merasa bahagia, masih bisa melihat Diraz hari ini.
            “Nih kartu kuliahmu, Kha. Eh, kenapa kakimu diurut-urut seperti itu?” tanya Sonya mengamati tanganku yang menari-nari di atas kakiku.
            Aku tersenyum menahan sakit, “Terbentur di kursi itu, Son.” kataku sambil menunjuk kursi di depanku.
            “Kok bisa? Ada-ada saja kamu Mikha. Aku bantu mengurut kakimu ya.”
            Beberapa menit kemudian setelah aku merasa kaki ini sudah cukup baikan, kami melangkah keluar ruangan dan menuju ke kantin untuk mengisi perut yang berontak meminta asupan energi. Lagi-lagi, sosok Diraz lewat di hadapanku. Kali ini aku berusaha untuk tidak tersandung kursi atau hal lain yang dapat menimbulkan kerugian pada anggota tubuhku. Sedikit gugup aku mencoba tenang membawa mangkuk yang berisi bakso favoritku ke salah satu meja yang telah ditempati Sonya. Begitu tampak kebencian di wajah Diraz saat dia tak sengaja menoleh ke arahku tadi. Aku tak tahu harus bagaimana, mau minta maaf tapi aku takut malah akan membuatnya marah
***
            Hal rutin yang aku lakukan setiap pukul delapan malam adalah online lalu log in ke akun facebook. Kemudian membuka profil facebook Diraz. Hanya dengan melihat-lihatnya aku merasakan bahagia. Walau hampir setiap hari ketemu dan melihat Diraz karena kami selalu satu ruangan saat kuliah, aku tak pernah bosan mengamati facebook-nya sekedar ingin tahu keadaannya atau apa saja yang dia lakukan seharian ini dan tentu saja tak lupa melihat komentar-komentar dari setiap status yang dia tulis di sana. Sebenarnya sampai sekarang aku masih takut-takut untuk menjelajahi profil facebook Diraz, takut jika ketahuan oleh orang lain. Maka dari itu aku hanya membuka profilnya jika sudah berada di rumah  Sekarang aku tidak lagi menjadi teman akrab juga teman di akun facebook Diraz sejak kejadian dua minggu yang lalu. Diraz yang telah berhasil mencuri hatiku, dia juga yang berhasil membuatku merasakan malu yang cukup besar pada kejadian dua minggu yang lalu.
            Aku termenung membaca komentar dari statusnya 15 menit yang lalu.
            ‘Maafkan aku, aku lakukan ini demi kebaikanmu’
Komentar:
Clarabela Assyifa : ‘Dimaafkan yank, :D’
Diraz Pranata : ‘Hahaa Bela.’
Clarabela Assyifa: ‘Kenapa ketawa yank?’
            Bela memanggil Diraz “yank”? Apa benar gosip yang kudengar beberapa hari yang lalu kalau Bela menyatakan cinta ke Diraz dan Diraz menerimanya. Tapi kenapa masih berstatus lajang, belum ada perubahan status hubungan di facebook Diraz jika mereka telah resmi jadian. Setetes air bening keluar dari mataku. Tak sengaja dan tak kuinginkan. Aku menghapus air bening itu dari pelupuk mataku dan tersenyum. Mikha, kamu sudah terlanjur terdampar dan tenggelam di hatinya. Saat ini hanya ada satu yang bisa dilakukan. Ikhlas. Dengan begitu kamu akan merasa bahagia tanpa harus memiliki hati dan cintanya. Aku mengatakan kata-kata itu dalam hati guna menghibur diriku sendiri. Di depan laptopku yang masih menyala, aku melamun dan mengenang kembali kejadian dua minggu yang lalu. Kejadian yang tak bisa kulupakan.
             “Teman-teman, lihat nih. Si Mikha lagi membuka profil facebook Diraz loh!” teriak Bela sambil merebut laptopku.
            Aku cemas dan berusaha merebut kembali laptop itu dari tangan Bela. Tapi, kerumunan teman-teman yang penasaran membuat aku kesulitan. Aku hanya terdiam. Tak berapa lama kemudian Diraz datang dan langsung diseret Bela untuk melihat laptopku.
            “Mikha benar-benar menyukaimu Diraz. Coba cek saja di document, foto-fotomu yang di facebook hampir semuanya di-download. Dasar cewek tak tahu malu,” caci Bela sambil memandang sinis padaku yang hanya bisa tertunduk pasrah.
            Diraz melihat-lihat isi document di laptopku, wajahnya berubah ketika menemukan foto-fotonya ada di laptopku. Pandangannya beralih memperhatikan diriku yang berdiri kaku.
            Tiba-tiba, gubraakk…!
            Diraz memukul meja dengan keras hingga laptopku bergeser dan hampir terjatuh. “Hapus semua foto-fotoku! Jangan ganggu aku, aku tak sudi disukai oleh cewek sepertimu!” bentak Diraz emosi dan seketika melangkahkan kakinya menjauh. Bela tersenyum mengejek padaku kemudian menyusul Diraz yang sudah tak terlihat lagi.
            Begitu kusesali apa yang telah terjadi padaku waktu itu. Sungguh rasa malu sangat kurasakan saat itu hingga sampai sekarang aku masih dihantui rasa malu dan bersalah. Aku tak berani lagi menatap Diraz secara langsung ataupun bertemu dia. Memang benar apa yang dikatakan Bela jika aku tak pantas untuk menyukai apalagi mencintai Diraz, cowok yang memiliki banyak kelebihan dan idola para gadis di kampusku. Jadi aku harus melupakan perasaanku pada Diraz. Namun, Sonya bilang padaku kalau rasa suka atau cinta itu adalah hak masing-masing manusia. Jadi sah-sah saja dan tak ada yang bisa melarang. Aku lebih memilih apa yang dikatakan Sonya karena memang aku tak sanggup membunuh perasaan ini. Aku akan berusaha agar perasaan ini terjaga dengan baik sehingga tak ada lagi seorang pun yang tahu.
***
            Aku adalah makhluk biasa yang mempunyai rasa cinta pada seseorang. Sebenarnya memang tak salah jika kita mencintai seseorang. Tapi, kenapa Diraz sampai begitu benci padaku yang mencintainya. Sampai saat ini aku tak menemukan jawaban itu. Namun aku tak akan ambil pusing. Sudah cukup bagiku hanya merasakan cinta ini, mengagumi dari jauh dan yang terpenting Diraz bahagia dan baik-baik saja maka aku pun turut bahagia. Cinta tak bisa dipaksakan, cinta tak harus memiliki dan cinta tetaplah cinta yang hanya bisa dinilai oleh hati.
            “Mikha, kamu baik-baik saja, kan? Dari tadi aku perhatikan dirimu melamun terus. Ada masalah sahabatku? Cerita saja!” ujar Sonya dengan suara pelan karena kami sedang kuliah dan dosen lagi memberikan penjelasan di depan dengan suara lantang.
            Aku hanya menggeleng lalu tersenyum dan mengalihkan pandanganku ke sebelah kanan agak ke depan. Aku menatap sosok Diraz dari belakang.
            “Ooh, aku tahu. Tentang Diraz ya? Hehee…, cerita saja sehabis kuliah nanti, Kha!” kata Sonya sambil mencubit gemas pipiku.
            Hanya meringis yang bisa kulakukan akibat cubitan Sonya. Sudah menjadi kebiasaannya mencubiti pipiku yang katanya buat gemas. Biasanya aku akan membalas mencubit pipinya juga, tapi aku ingat kondisi jika saat ini kami sedang mengikuti perkuliahan. Satu jam kemudian sang dosen telah meninggalkan ruangan. Aku mengambil botol minum dari dalam tasku dan meneguknya sedikit demi sedikit.
            “Ayo dong cerita, cerita, cerita!” Sonya membalik kursi dan menghadapku. Wajahnya yang imut terlihat makin imut jika matanya memancarkan rasa penasaran.
            Setelah Diraz dan teman-teman yang lain sudah pada keluar, aku menceritakan semua yang aku rasakan, aku yang tak bisa menghilangkan rasa istimewaku pada Diraz, aku yang bingung kenapa Diraz terlihat membenciku dan sangat terganggu jika aku mempunyai rasa suka padanya.
            “Begitulah, Son. Aku hanya berharap saat ini Diraz, Bela dan teman-teman yang lain menyangka kalau aku sudah benar-benar melupakan Diraz dan tak lagi menyukainya,”
            “Aku doakan itu Mikha. Kagum deh pada dirimu yang sanggup menghadapi perasaan seperti ini. Menyimpannya dan menahannya hingga sekarang. Aku akan bantu mencari tahu kenapa Diraz bersikap seperti itu padamu. Sahabatku ini kan gadis yang cantik, lucu, baik hati dan pintar. Bila dibandingkan dengan si Bela yang jahat itu, kamu lebih segalanya dari dia. Yakinlah kalau Diraz lebih memilihmu daripada Bela. Sebelum kejadian yang gara-gara Bela itu, Diraz kan baik-baik saja padamu seperti biasanya, duduk berdekatan dengan kita, masih ngobrol dan dia masih sering jahilin kamu. Mungkin ada sesuatu hal yang membuat Diraz berubah seolah membencimu terus-terusan Mikha,”
            Pikiranku menerawang dan mencerna perkataan Sonya. Benar juga, sejak Diraz tahu kalau aku menyukainya itulah yang membuat sikapnya berubah dan membenciku. Sangat aku sesali tindakan Bela yang waktu itu membuatku malu dihadapan Diraz dan teman-teman kuliahku. Seandainya itu tak terjadi tentu sekarang aku masih bisa berteman dan dekat dengan Diraz. Aku merasa bangga bisa dekat dengan Diraz dibanding para cewek-cewek lainnya. Bela yang sudah lama menyukai Diraz saja tidak terlalu dekat. Malah Diraz pernah bilang jika dia agak risih dengan Bela yang agresif.
            “Hanya dengan kamu aku merasa nyaman Mikha,” kata Diraz kira-kira sebulan yang lalu saat kami masih sebagai teman dekat.
            Aku tersenyum mengingat kenangan yang kurang lebih sudah dua tahun kami lalui bersama, yang awalnya kenal karena masuk organisasi yang sama hingga menjalin pertemanan yang sangat akrab. Pada akhirnya aku merasakan jatuh cinta padanya sekitar enam bulan yang lalu. Rasa cinta itu hanya aku simpan dan berusaha tak ada yang tahu sekalipun pada Sonya, sahabatku dari SMA. Namun, tak kusangka akan ketahuan oleh Bela yang tak suka pada diriku karena dekat dengan Diraz. Terjadilah hal yang aku takutkan, kenyataan bahwa aku telah jauh dari Diraz, seseorang yang aku cintai.
            Selalu berusaha tak menangisi kenyataan ini karena aku tetap merasakan bahagia. Cinta yang suci tanpa syarat akan selalu menciptakan kebahagiaan. Walau Diraz telah jauh, aku masih bisa memandang sosoknya diam-diam, itu suatu kebahagiaan. Walau tak berkomunikasi dengannya lagi, aku masih tahu kegiatannya dari membaca status facebook-nya, itu juga suatu kebahagiaan. Walau dia tak tersenyum lagi untukku tapi aku masih bisa melihat senyumnya saat dia tersenyum pada Sonya, itu pun suatu kebahagiaan. Walau seakan sikapnya padaku menunjukkan kebencian, aku masih bahagia karena itu berarti dia masih menganggapku ada. Bahagia itu menurutku sangatlah sederhana ketika aku merasakan cinta pada seseorang. Cinta suci tanpa syarat dan tanpa mengharapkan apa-apa.
***
            Aku mencari sosok Sonya karena tak kulihat dirinya di ruang kuliah ini padahal tasnya sudah ada. Kulangkahkan kaki menuju halaman belakang kampus yang menjadi tempat bermain futsal. Ternyata Sonya ada di sana lagi duduk berdua dengan Diraz. Aku melangkah dengan diam-diam mendekati arah belakang mereka dan mendengarkan pembicaraan mereka.
 “Jadi begitulah sebabnya kenapa aku marah sekali saat tahu Mikha benar-benar jatuh cinta padaku juga, Sonya. Aku telah berusaha membunuh rasa cintaku padanya setelah tahu kenyataan pahit itu. Aku tak menyangka ternyata Mikha juga cinta padaku. Aku ingin marah, aku tak ingin takdir ini!” kata Diraz  terbata-terbata menjelaskan pada Sonya sambil menyeka matanya yang berair.
            “Aku mengerti Diraz jika kamu bertindak seolah membenci Mikha, agar Mikha juga membencimu dan melupakanmu. Tapi, caramu tak berhasil karena Mikha tetap menyayangimu. Menurutku sebaiknya kamu bilang yang sebenarnya jika kamu terkena HIV, aku yakin Mikha mengerti dan tak akan memandang negatif tentang dirimu,”
            Air mataku jatuh perlahan. Aku menangis mengetahui hal yang sebenarnya kenapa Diraz berubah sikap padaku. Ketahuilah Diraz, bagaimanapun kondisimu, aku akan tetap mencintaimu. Cukup hanya dengan mencintaimu aku bisa bahagia. Kapan pun dan bagaimana pun keadaannya, cinta yang tulus dan suci tanpa syarat hanyalah untukmu.

SELESAI
________________________________________________________________________________--

KARENA ADA CINTA

            Di sebuah rumah mewah, seorang gadis berusia 16 tahun sedang menyapu ruangan tamu yang sangat besar. Gadis itu bernama Dina, siswi kelas 2 SMA. Meski usianya yang masih belia, dia harus bekerja untuk membantu meringankan beban bibinya yang telah membesarkan dirinya. Orang tua Dina meninggal dunia karena kecelakaan ketika Dina masih berumur 4 tahun.
            Dengan tekun, setiap pulang sekolah Dina langsung menuju rumah mewah tempat dia bekerja sebagai pembantu. Rumah itu adalah rumah Dira, teman sekelasnya. Sebenarnya Dina telah menyukai Dira sejak mereka kelas 1. Oleh karena status sosial yang berbeda dan Dira sudah memiliki pacar, maka Dina memilih menyimpan rasa itu dalam hati. Apalagi sikap Dira ke Dina kurang ramah, membuat Dina agak takut mendekati Dira, yang sekarang menjadi anak majikannya.
            “Hei, setrika baju aku dengan rapi dan cepat! Aku mau pergi nih,” perintah Dira pada Dina yang sedang mencuci piring.
            “Iya, Dira mau kemana ya? Sebaiknya istirahat saja dulu kan baru pulang sekolah,” ujar Dina pelan.
            “Jangan banyak omong, bukan urusanmu!” bentak Dira.
            Dina hanya terdiam dan maklum akan sifat Dira karena sudah sering Dira membentak dirinya seperti itu.
***
            “Dina, bawa baju olahraga tidak?” tanya Mita pacar Dira.
            “Iya Mita, aku bawa baju olahraga. Kenapa ya?” jawab Dina tersenyum.
            “Berikan baju kamu ke Mita! Jangan sampai Mita dihukum Bu Amel karena tidak memakai baju olahraga,” kata Dira yang tiba-tiba sudah berada di dekat mereka.
            Dina memberikan bajunya ke Mita. Setelah, Mita dan Dira keluar kelas menuju lapangan untuk mengikuti pelajaran olahraga. Dina hanya termenung di dalam kelas. Tentu ia tak akan diizinkan ikut pelajaran olahraga oleh Bu Amel jika tidak memakai baju olahraga.
            Dina pernah dihukum karena tidak mengenakan topi saat upacara bendera. Bukan karena tidak membawa topi, tapi topi itu dia berikan pada Dira yang sering ketinggalan atau lebih tepatnya malas membawa topi untuk perlengkapan upacara bendera. Pernah juga Dina dimarahi gurunya karena tidak membuat PR. Bukan karena Dina anak pemalas yang tidak membuat PR, tapi kertas PR-nya dia berikan pada Dira. Dina memang anak baik dan dia selalu bersikap baik pada Dira, hanya saja Dira selalu memandang rendah Dina yang ia anggap hanyalah pembantu bukan sebagai seorang teman.
            Tak hanya sampai disitu, karena Dina menyukai dan menyayangi Dira, sampai-sampai Dina rela menolong Dira saat Dira hampir kecelakaan. Alhasil, kaki Dinalah yang terkena mobil dan sampai saat ini kaki Dina sedikit pincang. Dira tak sadar dan tak mau tahu tentang kebaikan Dina pada dirinya selama ini. Dira membenci Dina karena Dira mengetahui perasaan Dina pada dirinya dari Mita.
            “Dina! Kenapa baju kesayanganku bisa bercak-bercak merah begini?” teriak Dira marah.
            “Maafkan aku Dira, baju kamu terendam dengan baju lain yang warnanya luntur,” kata Dina lirih ketakutan.
            Dira mendorong tubuh Dina dan menghardiknya, “Dasar pembantu tak berguna!”
            Dina hanya bisa menangis, menyesali kecerobohannya yang sudah memancing amarah Dira. Beberapa menit setelah tangisannya reda, Dina melangkah tertatih menuju ruang tengah untuk menyapu. Akan tetapi diurungkannya niat untuk menyapu karena dia melihat Dira bersama Mita sedang berdua dan mesra. Dira mencium kening Mita, membuat Dina merasakan kecemburuan bercampur kaget sampai-sampai vas bunga di atas lemari dekat tempat dia berdiri tersenggol dan terjatuh. Diambilnya dan diletakkannya kembali dengan cepat kemudian berlalu ke belakang.
            Belum hilang bayangan akan apa yang dilihatnya barusan, tiba-tiba Mita telah berada di belakang Dina.
            “Cemburu ya? Makanya nyadar diri dong! Pembantu menyukai majikan, tidak tahu diri loh!” hina Mita dengan wajah sinisnya.
            Dina hanya tertunduk dan terdiam.
***
            Di hari Minggu pagi yang cerah, Dina mengetuk rumah Dira untuk bekerja. Namun, rumah itu ternyata tak terkunci. Dina masuk perlahan dan ditemukannya Dira sedang menangis meraung-raung di dekat meja telepon.
            “Mami… Jangan tinggalkan Dira! Dira ingin ikut Mami,” tangis Dira seraya memukul-mukul lantai dengan tangannya.
            Mami Dira yang berobat keluar negeri seminggu yang lalu ternyata meninggal dunia menyusul papi Dira yang telah pergi terlebih dahulu. Dina merasakan kepedihan yang dirasakan Dira sekarang karena dia telah merasakan bagaimana kehilangan kedua orang tua sekaligus. Dina hanya bisa terpaku tanpa tahu harus berbuat apa.
            Beberapa hari Dira hanya berdiam diri di rumah, dia tidak mau sekolah dan tidak mau makan. Hal ini membuat kondisinya menjadi buruk hingga jatuh sakit. Dina selalu menemani Dira dan menyemangatinya secara perlahan hingga Dira bisa sedikit mengobati rasa perih ditinggal maminya. Dira juga mulai bersekolah kembali seperti biasa.
            “Say, mana mobilmu?” tanya Mita pada Dira sesampainya mereka di parkiran sekolah.
            “Emm, mobil disita tanteku, aku disuruh naik angkot ke sekolah mulai sekarang,” kata Dira ragu-ragu takut Mita akan kecewa.
            “Apa? Naik angkot? Aduh, tidak mau! Aku mau pulang bareng Rio saja!” teriak Mita terkejut kemudian meninggalkan Dira yang tertunduk sedih.
            Tiba-tiba sebuah motor melaju kencang ke arah Mita yang sedang berjalan agak ke tengah, melihat itu Dira berlari menghampiri Mita dan dengan cepat mendorong Mita ke pinggir. Mita berhasil diselamatkan akan tetapi Dira yang tertabrak motor itu hingga tak sadarkan diri. Kepala Dira terbentur bebatuan, mata dan beberapa bagian tubuh Dira mengeluarkan banyak darah.
            “Dira… Kamu kenapa? Apa yang terjadi?” Dina meneriakkan nama Dira sambil menangis melihat kondisi orang yang disayanginya bersimbah darah.
            Melihat kerumunan banyak orang, Mita segera berlari dan masuk ke dalam taksi, dia takut jika disalahkan atas kecelakaan tersebut.
***
            Setelah dua minggu, Dira baru bisa pulang dari rumah sakit. Luka-lukanya sudah sembuh namun ia harus mengalami kebutaan akibat matanya terluka saat kecelakaan itu. Tidak sampai disitu, penderitaan Dira makin bertambah saat dirinya diusir dari rumahnya sendiri oleh tantenya yang jahat. Adik kandung maminya itu ingin menguasai kekayaan yang seharusnya jadi milik Dira. Apalah daya yang bisa dilakukan seorang Dira, dia tak bisa menang melawan tantenya. Dan kini pun, Dina sudah tak lagi bekerja di rumah Dira karena dipecat sang tante yang tak memiliki rasa kasih sayang pada keponakan sendiri.
            Atas permintaan Dina maka sekarang Dira tinggal di rumah bibi Dina. Dira tak lagi masuk sekolah karena dengan kondisinya yang buta tidak memungkinkan untuk belajar secara normal seperti dulu.
            “Dina, tolong temui Mita hari ini dan bilang padanya kalau aku rindu padanya dan ingin bertemu,” mohon Dira pada Dina yang telah siap untuk berangkat sekolah.
            “Iya Dira, akan kusampaikan. Aku pergi sekolah dulu ya,” ujar Dina yang kemudian menyalami tangan bibinya untuk berpamitan.
“Hati-hati di jalan ya, Sayang!” pesan bibi pada Dina.
Sebelum keluar pagar, Dina menoleh ke belakang dan memandangi sosok Dira yang sangat berbeda dari Dira yang dulu. Sosok yang memancarkan penderitaan mendalam. Dina sangat ingin menolong Dira, tapi dia belum tahu bagaimana caranya.
“Dira itu buta dan sudah miskin sekarang. Tentu dia tak akan bisa buatku bahagia lagi. Kalau kamu mau, ambil saja! Bukannya kamu suka sama Dira kan?” cerca Mita setelah Dina menjelaskan dan menyampaikan pesan Dira tadi.
“Kamu tega banget, Mit. Dira buta itu karena menolongmu. Aku mohon sekali saja kamu temui Dira, kasihan dia,” ujar Dina menahan air matanya yang ingin keluar.
Bukannya memperhatikan perkataan Dina, Mita malah pergi menghampiri Rio yang sekarang jadi pacarnya, pengganti Dira.
***
            Hari ini hari yang ditunggu-tunggu Dira, perban matanya akan dibuka. Bibi Dina yang mendampingi Dira ikut merasa tegang menunggu hasil operasi mata Dira.
            “Mataku bisa melihat lagi, Bi. Aku bisa melihat lagi, aku bisa melihat lagi!” teriak Dira bahagia.
            Bibi memeluk Dira sambil menangis terharu. Operasi itu berhasil dengan sukses. Tidak sia-sia Dira dan bibi Dina berangkat menuju rumah sakit di Singapura untuk melakukan operasi.
            “Oh ya, Dina tidak ikut kita ke sini ya, Bi?” tanya Dira yang baru menyadari tidak adanya kehadiran Dina bersama mereka.
            Bibi mengangguk dan menjawab, “Dina tidak ikut karena dia sekolah, Dira. Kita segera pulang sore ini saja ya, kasihan Dina sendirian.”
***
            Bibi melihat Dina sedang tidur di kamar, yang mengherankan karena wajah Dina terlihat pucat dan badannya lemah. Seakan ada pohon besar yang menimpanya, bibi Dina menangis dan merasakan kesedihan yang tak terlukiskan membaca selembar kertas di atas meja tentang pendonoran ginjal. Jelas tertera di kertas tersebut nama pendonornya adalah Dina Prameswara Putri. Apa yang telah dilakukan Dina ini sama sekali tak diketahui oleh dirinya.
            “Sayang, coba jelaskan pada bibi apa arti dari semua ini!” kata bibi pada Dina yang sudah terjaga dari tidurnya.
            “Maafkan Dina, Bi. Dina tidak cerita ke bibi terlebih dahulu. Dina mendonorkan ginjal kanan Dina pada seseorang dan dia menggantinya dengan uang yang Dina berikan pada bibi untuk operasi mata Dira. Dina bukan meminjam uang itu seperti yang Dina bilang pada bibi sebelumnya, maafkan Dina telah berbohong,”
            Bibi Dina langsung memeluk keponakannya itu. Dia tak menyangka Dina memiliki hati seputih kapas, rela berkorban apa pun demi Dira yang disayanginya. Tiba-tiba pintu kamar Dina terbuka dan muncul Dira yang langsung memeluk Dina. Dina terkejut dan merasakan badannya gemetar dalam pelukan Dira.
            “Aku tak tahu lagi harus berterima kasih seperti apa padamu, Din. Kamu terlalu baik padaku sampai-sampai merelakan ginjalmu untuk membiayai operasi mataku. Selama ini aku telah salah menilaimu. Maafkan aku Dina, kesalahanku sudah terlalu banyak padamu. Harusnya dari dulu aku sadar bahwa kamulah wanita yang benar-benar mencintaiku. Sekarang aku telah merasakan jika aku pun bisa mencintaimu, Dina.” kata Dira tanpa melepas pelukannya.
            Dina tersenyum. Dia merasakan rasa tenang dan nyaman saat ini. “Andai saja bisa, akan kuhentikan waktu saat ini agar aku selalu berada dalam pelukanmu, Dira,” ujarnya dalam hati.
SELESAI
______________________________________________________________________________
KENYATAAN BUAT TARIN

 “Sudah lama menungguku?“ tanyaku yang baru saja sampai di halte tempat bus yang akan membawa aku dan Dika ke kampus.
“Tidak kok, Tarin. Ayo naik, tuh bisnya sudah hampir penuh.” jawab Dika dengan senyuman.
Kami duduk di kursi paling depan yang masih kosong. Dika adalah teman sahabatku yang beberapa hari lalu kami bertemu di salah satu warnet dekat rumahku. Sari mengenalkan Dika padaku. Ternyata aku dan Dika satu kelas. Dari sanalah aku bisa langsung akrab dan mulai menjalin persahabatan. Meskipun baru bersahabat, aku dan Dika sudah seperti sahabat yang telah lama saling mengenal. Setiap hari kami pergi dan pulang kuliah bersama-sama. Belajar dan mengerjakan tugas  juga bersama. Sampai-sampai ada teman kami yang menyangka kalau kami pacaran. Padahal itu salah besar. Dika baik dan perhatian denganku hanya sebatas sahabat dan aku pun begitu.
“Rin, pulang nan taku tunggu di tempat biasa ya!” kata Dika kepadaku setelah bus sudah sampai di kampus.
“Oke, Ka.” jawabku singkat dengan anggukan kepala.
Sesampainya di depan pintu ruang kuliah, Dika langsung masuk dan aku masih tetap di depan karena dari kejauhan kulihat sahabatku Mimi melambaikan tangan.
“Ehem...ehem...Tetap kompak ya dengan sahabat spesial, hehe....” cerocos Mimi sambil mengedipkan sebelah matanya.
Pasti tadi dia melihat aku dengan Dika, “Eh… Apaan sih maksudnya, Mi?”  tanyaku pura-pura tidak mengerti.
“Sudah ah, tidak penting. Ayo kita segera masuk!” jawab Mimi yang langsung menyeret tanganku.
***
Aku baru saja keluar dari ruang kuliah. Kulihat jam di handphone pukul 3 sore. Hari ini memang ada mata kuliah umum sampai sore.
“Dika nunggu di mana, Rin?” tanya Sari.
“Di musholla, kita langsung kesana saja sekalian shalat ashar, Sari!” jawabku.
Aku dan Dika beda hari untuk mata kuliah umum. Namun, dia tetap mau menunggu diriku untuk pulang bersama. Dika memang sahabat yang baik.
Drrt… Handphone-ku bergetar, ada pesan masuk dari Dika.
‘Rin…udh shltnya? Aku tnggu di bwah ya...’
Langsung kuketik kalimat balasan.
‘Udh kok  Ka, Tnggu ya…’
Aku melambaikan tangan pada Sari dari jendela bus. Sari tidak pulang bersama karena memang tempat tinggalnya tidak satu arah dengan aku dan Dika.
***
Beberapa hari ini aku merasakan sesuatu hal yang cukup aneh. Perasaan yang selalu ingin dekat dengan Dika, selalu ingin SMS dan telpon dia. Bahkan aku ingin ia selalu menungguku pulang kuliah. Aku tidak mau kehilangan dia. Saat aku jelaskan ke Dika, ternyata dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Maka dari itu, kami menjadi makin dekat. Persahabatan kami sangat indah dan aku bahagia memiliki sahabat sebaik Dika. Tidak kalah baiknya dengan Sari dan Mimi sahabatku.
Setiap hari banyak cerita yang kami bicarakan, mulai dari mata kuliah sampai hal pribadi. Dika pernah menceritakan kalau saat ini dia punya pacar tapi mereka berjauhan. Pacarnya tinggal di kota lain. Aku khawatir suatu saat pacarnya Dika tahu kalau kami sangat dekat walau dekatnya kami hanya sebatas sahabat, Namun kekhawatiranku sirna saat Dika bilang kalau pacarnya tidak keberatan jika dirinya dekat denganku.
“Dia tidak marah kok Rin, dia mengerti kalau kita hanya sahabat saja.” ujar Dika serius.
“Syukur kalau begitu,” balasku dengan tersenyum.
“Kamu juga harus cari pacar dong Tarin! Biar kapan-kapan kita bisa saling mengenalkan pasangan masing-masing.” kata Dika sambil mengacak rambutku.
“Aku tidak mau punya pacar, kan sudah ada kamu, Ka.” candaku sambil membalas mengacak rambutnya juga dan aku langsung berlari menjauh.
“Tunggu dong, Tarin…!” teriak Dika.
***
Aq mnyesal shbtn dgn kmu Rin,gak da trma ksh.
Pesan singkat dari Dika satu menit yang lalu sangat meresahkan hatiku. Aku tidak menyangka dia akan bilang begitu. Padahal penyebabnya sangat sepele, Dika marah saat dia ketemu diriku yang sedang jalan dengan teman laki-laki. Sebenarnya aku pergi ramai-ramai dengan teman-teman SMA dulu. Namun kebetulan saat Dika melihatku, aku lagi ngobrol berdua dan akhirnya Dika jadi salah paham.
“Enak ya bisa jalan dengan cowok dan ganti ganti terus. Setelah aku dan cowok tadi siapa lagi yang akan jalan dengan kamu?” kata Dika dengan wajah dingin.
“Kamu kenapa sih ngomong ngelantur begini, Ka? Jaga omongan kamu!” balasku dengan emosi.
Dika langsung pergi begitu saja meninggalkanku yang kebingungan tanpa tahu harus berbuat apa.
Aku kesal dan sedih dengan perkataan Dika beberapa jam yang lalu. Sampai saat ini percakapan kami di jalan tadi terngiang-ngiang di telingaku. Aku berpikir lebih baik kukirimkan SMS untuk meminta maaf pada Dika karena aku tidak mau persahabatan kami hancur gara-gara hal yang kurang jelas seperti ini. Namun aku sangat tak menyangka Dika akan membalas SMS-ku seperti tadi.
***
Sudah dua minggu aku dan Dika tidak bertegur sapa, dia marah sekali denganku. Aku bingung dan menuruti saja keinginannya untuk tidak saling teguran. Teman-teman yang lain terheran-heran melihatku dan Dika seperti ini,
Seusai kuliah, aku, Nata dan Mimi langsung menuju ke kantin dan memesan minuman. Cuaca siang ini sangat terik sehingga membuat kami kehausan..Di kantin, kami bertemu dengan Sari dan mengajaknya untuk duduk di satu tempat. Aku tercengang karena dengan tiba-tiba Dika telah duduk di sampingku.
“Rin, aku minta maaf ya atas kejadian kemarin-kemarin. Kita baikan dan sahabatan lagi ya. Kamu mau kan?” kata Dika lembut sambil menatapku.
Sungguh aku tidak percaya degan sikap Dika yang tiba-tiba jadi begini. Dika yang kemarin begitu emosian dan marah eh malah sekarang minta maaf duluan.
“Iya Dika. Aku juga minta maaf ya.” balasku yang masih bingung, Namun aku bahagia.
“Cie…cie…Sudah baikan nih. Ayo traktir kami dong, Ka!” ujar Nata seraya mengerlingkan mata dan dibalas Dika dengan wajah cemberut.
“Hahaha…” aku, Sari dan Mimi tertawa.
***
Ujian semester sudah selesai. Aku dan teman-teman satu organisasi mengadakan liburan ke luar kota. Kami sangat menikmati liburan kali ini, apalagi Mimi dan Sari juga ikut, jadi tambah seru bisa pergi bersama sahabat dekatku. Satu minggu lamanya kami berada disana. Bukan hanya liburan namun kami juga mendapat banyak pengetahuan dan ilmu baru. Selain itu kami juga bisa lebih mengenal dan lebih dekat dengan teman-teman yang lain juga kakak tingkat yang sebelumnya dikenal cuek dan mau marah-marah saja ternyata mereka sangat baik dan bersahabat.
Satu kenangan yang membuat diriku bertambah bahagia adalah saat liburan, aku menjadi dekat dengan seorang cowok yang selama ini belum terlalu mengenalnya. Kami hanya bertemu jika ada rapat atau acara di organisasi saja. Namun entah kenapa liburan ini menjadikan kami begitu dekat dan akhirnya saat pulang dari liburan dia menyatakan cinta. Aku terima saja karena memang aku juga menyukainya. Raka adalah cowok pertama yang berhasil mencuri hatiku dan sekaligus pacar pertamaku. Akhirnya dengan dialah aku berani untuk pacaran. Tiga sahabatku, Sari, Mimi dan Nata pun sudah setuju dengan hubungan kami
Satu lagi sahabatku yang belum tahu kalau sekarang diriku sudah memiliki pacar. Dika, pasti dia akan terkejut karena aku belum cerita ke dia. Namun yang pasti dia juga akan turut bahagia karena dari dulu dia yang paling cerewet menyuruhku untuk mempunyai pacar.
“Ka, kamu setuju kan?” tanyaku dengan wajah ceria setelah panjang lebar kuceritakan tentang bagaimana aku bisa jadian dengan Raka.
“Terserah Rin.” jawab Dika singkat dan seperti tidak bersemangat. Padahal aku sudah semangat 45 menceritakan semuanya pada Dika.
“Ya sudah. Tapi kok kenapa kamu seperti lagi tak semangat, Dika?” tanyaku lagi.
“Tarin, aku pulang dulu ya. Sudah ada janji dengan temanku.” kata Dika tanpa menjawab pertanyaanku tadi. Dia langsung beranjak keluar . Aku jadi terheran-heran dengan sikap dia yang tak seperti biasanya. Dasar Dika suka aneh-aneh dan sering buat bingung.
***
Dika berubah 180 derajat. Tiba-tiba dia memutuskan persahabatannya denganku.
“Sekarang kamu sudah punya pacar Rin. Aku tidak mau nanti timbul salah paham kalau aku tetap dekat dan bersahabat denganmu. Kita jadi teman biasa saja ya mulai sekarang!”
Aku teringat kata-kata Dika kemarin. Aku mengerti dengan alasannya tapi apakah persahabatan harus putus? Tanyaku heran di dalam hati.
Ah…Masa bodoh deh. Jangan terlalu dipikirin, Dika memang selalu buat aku bingung. Lagian sahabatku bukan hanya dia. Sekarang aku sudah punya orang yang akan menggantikan untuk memberikan perhatian khusus ke aku, Raka.
***
Matahari sudah menyelinap dibalik awan. Mungkin sudah kelelahan menyinari seluruh bumi. Oleh karena itu, cuaca siang ini tidak panas seperti biasanya. Sepertinya sebentar lagi matahari akan benar-benar menghilang dan digantikan awan hitam yang sudah siap untuk menurunkan hujan ke bumi.
“Tarin, pulang yuk! Sepertinya mau hujan deras.” kata Raka yang tiba-tiba sudah ada di depanku dengan senyumannya yang paling kusukai.
“Mimi, Sari, aku duluan ya!” kataku pamit pada kedua sahabatku yang sedari tadi menemaniku menunggu Raka di depan ruangan kuliah.
“Tarin, hati-hati pulang dengan Raka ya, nanti diculiknya loh. Hahaha.…”seru Sari bercanda
“Jaga Tarin baik-baik ya Raka, awas kalau sampai sahabat kami kenapa-kenapa!” sambung Mimi dengan kerlingan mata jenaka.
“Iya iya! Tenang saja kalian semua. Aku siap menjaga putri Tarin.” balas Raka sambil memandangku. Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka.
Kami langsung menuju terminal kampus. Raka memegang tanganku setelah kami berada di dalam bus untuk pulang. Raka terus memandangiku.
“Kenapa?” tanyaku heran
“Aku sayang kamu, Tarin.” jawab Raka serius sambil tersenyum.
Aku amat menyukai senyuman Raka. Manis dan membuatku terus mengingatnya. Mungkin senyuman Rakalah yang membuat diriku bisa menerimanya untuk jadi pacarku.
“Aku juga Raka.” kataku menanggapi pernyataan Raka sambil membalas senyumannya.
***
Satu bulan kemudian, hubunganku dengan Raka berakhir . Mungkin sudah takdirnya kalau kisahku dengan Raka akan berakhir sesingkat ini sama halnya dengan kedekatanku pada Dika dulu. Raka  mengakhiri hubungan kami dengan alasan kalau sikap aku ke dia seperti tidak mencintai dan menyayangi dia. Aku bingung, hal yang sangat aneh untuk dijadikan sebagai alasan. Tapi aku hanya pasrah. Pasti ini jalan terbaik yang diberikan Allah untukku.
“Sabar ya, Rin! Walau kamu sudah kehilangan Raka, kan masih ada kami bertiga.yang akan selalu ada untuk kamu Tarin.” hibur Mimi yang diiyakan Sari dan Nata saat aku curhat dengan mereka.
“Terima kasih sahabatku.” balasku ke mereka dan kami berempat saling berpelukan.
Kupandangi langit malam ini. Bulan tidak terlihat namun bintang begitu banyak bertebaran di atas langit malam yang agak gelap. Bintang-bintang membuat langit sedikit terang dan menjadikannya sangat indah, seolah menari-nari dan tersenyum kepadaku.
Mulai besok aku akan menjalani hari-hari kuliahku sama seperti pertama kali diriku masuk kuliah. Tanpa seorang sahabat seperti Dika dan tanpa seorang pacar seperti Raka. Biarlah mereka berdua jauh dari hidupku dan hanya menjadi kenangan indah  yang sempat mewarnai hariku. Besok dan hari-hari selanjutnya akan kujalani hidupku bersama ketiga sahabatku yang benar-benar setia, baik dalam suka maupun duka. Aku harus tegar dan harus percaya bahwa kenyataan ini merupakan anugerah buatku. Suatu saat cinta sejati itu pasti akan datang, namun belum untuk saat ini.
“Aku berjumpa dengan Dika dan sekarang aku sudah tidak dekat lagi dengannya. Satu bulan yang lalu Raka hadir di hidupku dan hatiku. Akan tetapi kemarin dia sudah berlalu meninggalkanku. Cukuplah aku kehilangan mereka berdua ya Allah…Namun jangan kau pisahkan aku dari sahabatku, Sari, Mimi dan Nata. Aamiin…,” doaku dalam hati.
Kenyataan yang sebenarnya tidak kita harapkan sangatlah pahit rasanya. Namun bagaimanapun kenyataan pahit tersebut harus kita hadapi, karena di penghujung akhir kenyataan itu akan ada anugerah terindah buat kita yang mau bersabar… ^_^
SELESAI

1 comment:

Popular Posts