Novelet

SENYUMAN UNTUK SENJA

            Langit biru berhiaskan awan-awan putih ditambah dengan teriknya matahari sore yang bersinar untuk dunia. Ayunan dedaunan di atas pohon-pohon yang menjulang tinggi tertiup hembusan angin memberi sedikit kesejukan. Sesekali terdengar suara burung yang bercanda dan suara dengungan lebah yang bersarang di salah satu pohon yang berdiri dengan kokohnya. Aku menikmati suasana nyaman di bangku taman ini dengan ditemani diary berwarna pink kesayanganku. Sudah menjadi kebiasaanku selalu menuliskan apa saja yang aku lihat, aku dengar dan aku rasakan. Saat ini pun aku menuliskan perasaan dari hatiku yang terdalam. Tentang rasa cintaku yang telah berhasil ku pendam sejak satu tahun yang lalu.
            Cinta terpendam ternyata cukup menyakitkan, tapi indah. Menyimpan emosi dan rasa cemburu tapi menumbuhkan semangat. Bagai terbawa angin, melayang, melambung, terbang sampai ke tempat tertinggi melewati batas-batas andromeda nan jauh di sana. Begitulah yang aku rasakan ketika orang yang aku cintai sedang berdekatan denganku. Cinta terpendam memang aneh, aku merasakan begitu. Aneh karena membuat sakit tapi tak jarang juga membuat bahagia. Terkadang ingin menyerah dan melepaskan saja namun selalu mau bertahan. Ya, itulah namanya cinta. Memang aneh dan penuh misteri.
            “Dalfa, seandainya aku tak hanya menjadi seorang sahabat untukmu. Seandainya aku bisa menjadi lebih dari itu. Apakah boleh dan apakah bisa?” Aku tersenyum seusai menuliskan kata-kata itu di lembaran diary. Kepalaku tengadah ke atas memperhatikan awan-awan putih cerah yang bergerak dengan perlahan. Mataku terpejam dan membayangkan sosok Dalfa. Tubuhnya yang tinggi berisi dan berkulit cukup putih. Rambutnya yang tebal, hitam dan menutupi telinga. Dalfa memiliki senyuman termanis yang paling ku suka. Dialah salah satu teman terdekatku. Kami sudah akrab sejak SMA dan bersahabat hingga duduk di bangku kuliah sekarang.
            Lagi lagi aku bilang, cinta terpendam itu terasa amat berat apalagi cinta pada sahabat sendiri. Memang tak ada larangan untuk jatuh cinta pada sahabat namun ada kemungkinan cinta dapat merusak persahabatan. Oleh karena itu, aku memilih menyimpan rasa ini dari Dalfa. Aku takut dia akan kecewa. Hanya pada Mikha, sahabat yang paling ku percaya, aku dapat berkata jujur jika telah jatuh cinta pada Dalfa.
            “Kamu serius, Rana? Kok bisa jatuh cinta pada sahabat kita sendiri?” tanya  Mikha dengan wajah bingung namun serius saat aku mengutarakan perasaanku yang sebenarnya tentang Dalfa.
            “Serius. Entah Mikha, aku juga tidak tahu kenapa bisa. Apa mungkin karena Dalfa terlalu dekat denganku jadi aku merasakan perasaan yang berbeda?”
            “Aku juga dekat dengan Dalfa. Tapi tidak ada perasaan apa-apa ke dia, hehe….”
            “Hahaa… Itu sih karena Dalfa memang bukan tipe laki-laki impianmu. Apalagi kamu kan sudah ada si Mario, kekasih tercinta. Sedangkan aku, pacaran saja belum pernah,”
            “Rana, Rana. Makanya terima saja si Aldi atau si Reno. Masalah selesai. Pasti kamu bisa melupakan Dalfa jika sudah memiliki pacar,”
            Membayangkan obrolanku dengan Mikha kemarin membuat bibirku kembali menyunggingkan senyuman. Mikha belum mengerti jika penolakanku terhadap Aldi dan Reno karena hatiku memang sudah terpaut pada Dalfa. Andai Aldi atau Reno lebih dulu datang saat Dalfa belum singgah di relung hati ini, mungkin aku bisa menerima Aldi ataupun Reno. Semua telah terjadi dan tak ada guna disesali. Aku anggap ini adalah karunia Tuhan buatku. Cinta suci yang lahir dari hati terdalam akan menuntun pada lembah kebahagiaan meski tidak untuk saling memiliki. Aku sangat percaya itu.
            Satu jam setengah lamanya aku sudah berada di bangku taman ini. Hanya beberapa baris yang berhasil ku goreskan di diary. Ternyata waktu yang ku habiskan lebih banyak untuk melamun. Aku merentangkan tangan dan berdiri untuk melemaskan otot. Sudah hampir pukul setengah lima sore saat ku lirik jam mungil di pergelangan tanganku. Dengan langkah terayun aku mulai meninggalkan taman sambil bernyanyi kecil menuju rumahku yang letaknya tak begitu jauh dari taman.
***
            “Duaarrr… Dari tadi melamun terus, memikirkan apa, Rana? Aku ya?” canda Dalfa padaku yang masih terkaget karena kemunculannya yang tiba-tiba. Apalagi dengan kejahilannya yang sengaja memecahkan balon tepat di dekat telingaku.
            “Aduh, buat kaget saja kamu, Fa. Tidak memikirkan apa-apa kok, apalagi memikirkan kamu. It is impossible. Hahaa…,” jawabku sambil mengacak rambut Dalfa yang rapi.
            “Rana, rambutku jadi berantakan nih. Awas kamu!”
            Dengan cepat aku berlari menghindar karena Dalfa mengejarku. Aku mengelilingi pepohonan yang sengaja ditanam di halaman kampus agar kampus terlihat hijau dan indah. Aku masih tertawa mengejek pada Dalfa yang berlari kencang mengejarku. Akhirnya Dalfa berhasil memegang tanganku dan menariknya dengan cukup kuat.
            “Nah, ke… kena kamu. Makanya jangan main-main sama Dalfa, calon atlet lari yang paling ganteng,” teriak Dalfa dengan nafas tersengal sambil bercanda.
            “Hahaha, baru calon kan? Kamu itu bukan atlet lari yang ganteng tapi calon atlet lari yang gagal,” balasku juga dengan beranda.
            Tiba-tiba Dalfa melepaskan pegangannya di tanganku. Dia duduk di rerumputan bersandar pada pohon dan berkata dengan suara pelan tak bersemangat, “Kamu tega bilang aku atlet lari yang gagal. Bukannya mendoakan sahabat, malah mematahkan semangat sahabat.”
            Aku jadi merasa bersalah pada Dalfa yang sekarang wajahnya terlihat lesu, Aku ikut duduk bersila di rerumputan menghadap pada Dalfa. Sebenarnya aku hanya bercanda, tidak ada maksud untuk mematahkan semangatnya. Aku hanya tertunduk dan menjawab ucapan Dalfa. “Maaf Dalfa, aku tidak bermaksud seperti itu, tadi hanya bercanda. Habisnya kamu narsis sekali. Maaf ya,”
            “Iya aku maafkan. Tapi kamu duduk agak mendekat ke sini, aku mau bilang sesuatu,” seru Dalfa yang wajahnya perlahan kembali ceria.
            Aku mendekat pada Dalfa tapi ternyata….
            “Dalfa… Awas kamu ya!” aku berteriak kesal karena Dalfa meletakkan ulat daun di atas kakiku. Aku bergidik ngeri melihat ulat gemuk berwarna hijau yang menggeliat lemah di kakiku. Aku langsung berdiri dan ulat itu berhasil terjatuh. Dalfa sudah tak terlihat lagi. Dasar laki-laki jahil. Tapi herannya aku tetap suka dan cinta padanya.
            “Lihat Dalfa tidak, Kha?” tanyaku pada Mikha yang terlihat asyik lagi mengetik sms di handphone-nya.
            Mikha hanya menggeleng tanpa berkata. Aku pun duduk di kursi sebelah Mikha. Ternyata Dalfa belum kembali ke ruang kuliah. Kemana ya si jahil itu setelah berhasil membuatku kesal tadi. Mungkin dia bergabung bersama teman-teman basketnya di kantin seperti biasa. Jam dinding masih menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga pulut menit, masih ada waktu setengah jam lagi untuk memulai perkuliahan.
            “Mikha, ke kantin yuk. Aku haus nih,” ajakku pada Mikha yang masih sibuk ber-sms ria.
            Lagi-lagi Mikha menggeleng. Tanpa mau bersuara.
            “Halo, ada orang tidak? Kok dari tadi hanya menggeleng tanpa bersuara?” kataku sambil mengibas-ngibaskan tanganku di hadapan Mikha.
            “Hehe, maaf say. Tadi lagi sms-an sama yayang Mario.” Akhirnya Mikha mau bicara.
            “Sepertinya lagi bahagia nih, ada apa sih?” tanyaku penuh selidik karena melihat wajah Mikha memerah dan suaranya terdengar begitu riang.
            “Entar malam Mario mau mengajakku dinner, Rana sayang. Mau ikut? Boleh, tapi ajak pasangan ya,”
            “Idiih, tidak mau. Entar aku malah cuma ganggu kalian,” ujarku sambil merapikan ujung rambutku yang agak kusut.
            “Bohong deh, kamu itu tidak mau ikut karena tidak ada pasangan kan? Haha….”
            Aku ikut tertawa. Mikha memang benar. Aku tidak memiliki pasangan yang bisa ku ajak untuk dinner. Seandainya saja Dalfa itu pacarku. Pasti….
***
            Di kamarku, tempat tidur dengan seprai hijau muda. Boneka teddy bear coklat dengan setianya selalu menemani tidurku di sini. Di atas meja rias tergeletak diaryku bersama perlengkapan alat rias dan vas bunga. Meja tempat belajar dan mengerjakan tugas kuliah terletak agak sudut dekat jendela kaca. Agak ke samping lagi, berdiri meja tempat komputer. Susunan rak bercat hijau tempat buku kuliah dan koleksi novel beserta komik-komik kesukaanku. Lemari yang cukup tinggi berwarna coklat tua tempat menyimpan pakaian. Di atasnya berjejeran beraneka ragam koleksi bonekaku yang terbungkus plastik dengan rapi. Di kamarku tidak ada televisi, karena bunda tidak memperbolehkan. Sebagai gantinya, yang dulunya hanya ada kipas angin sebagai penyejuk kamarku, sekarang sudah berganti Air Conditioner(AC).
            Kamarku merupakan tempat ternyaman selain taman di dekat rumah, tempat diriku sering menghabiskan waktu kala senja. Dalfa dan beberapa orang temannya terkadang bermain ke rumahku saat selesai jam kuliah dan sorenya kami akan ke taman untuk sekadar mengobrol bahkan pernah mengerjakan tugas di sana dengan membawa tikar sebagai alas untuk duduk di rerumputan taman. Mikha dulunya juga ikut tapi akhir-akhir ini dia lebih sering bersama Mario sejak dua bulan yang lalu mereka jadian. Sampai sekarang kami jadi lebih jarang ke taman, tepatnya hanya Dalfa dan teman-temannya yang jarang. Kalau aku masih saja rajin ke sana meski harus sendirian.
            “… Hello… Hello… Hello… Hello
            How many koishiteru no
            I can see sugu ni wakaru wa
            Makka na jerashi kakaete… “
            Malam-malam begini, handphone ku mendendangkan lagu “Hello” dari Yui, penyanyi cantik asal Jepang. Dia salah satu penyanyi luar yang aku suka karena suaranya bagus dan lagu-lagunya keren. Aku menekan tombol berwarna hijau dan mulai berbicara dengan Mikha yang menelponku.
            Dengan lemas dan sedih aku terduduk di tempat tidur sambil memeluk si teddy bear. Mikha menelponku sambil menangis. Dia baru saja putus dengan Mario. Mario ketahuan selingkuh saat cewek selingkuhan Mario mendatangi mereka yang sedang dinner. Aku tak percaya kalau Mario selingkuh padahal jelas terlihat jika dia begitu mencintai Mikha. Mikha pun begitu, sangat mencintai dan menyayangi Mario. Ternyata cinta Mario untuk Mikha palsu, Mario benar-benar tega membohongi Mikha yang mencintainya dengan tulus.
            Lama mataku belum bisa terpejam. Aku membayangkan Mikha yang saat ini pasti lagi sangat sedih dan masih menangis. Rasanya aku ingin mendampinginya dan memberikan semangat untuknya yang saat ini sedang rapuh. Namun tidak memungkinkan karena sekarang sudah sangat malam. Ayah dan bunda pasti tidak akan mengizinkan jika aku keluar rumah malam-malam seperti ini. Aku putuskan untuk berdoa saja memohon kebaikan dan ketabahan untuk Mikha,  sahabatku. Pukul satu lewat baru mataku bisa terpejam dan menjelajahi dunia mimpi. Tersenyum menyambut esok hari, menjemput warna-warni kehidupan untuk hari-hari selanjutnya.
***
            Keesokan harinya di kampus.
“…Sabar ya, Mikha. Aku yakin kamu akan mendapatkan pengganti yang lebih segalanya dari Mario,” hiburku pada Mikha yang hanya tertunduk sedih mendengar perkataanku.
            Aku tak tahu lagi harus bicara apa pada Mikha yang hari ini hanya terdiam dan murung. Aku sangat tahu jika ia sedang patah hati. Tapi aku ingin sekali menghiburnya dan membuat dia ceria seperti kemarin-kemarin. Tapi bagaimana caranya, aku sudah bercerita hal yang lucu namun hanya ditanggapi Mikha dengan wajah bengong. Aku memberi dia semangat tapi Mikha hanya tertunduk tanpa merespon kata-kataku. Ah, aku jadi merasa kesal dengan Mario yang telah membuat Mikha seperti ini.
            “Hai cewek-cewek, lagi pada kenapa nih? Kok murung begini?”
            Tiba-tiba di belakang kami ada Dalfa. Aku melirik kearah Dalfa dan kembali menatap kearah Mikha. Seakan mengerti, Dalfa langsung membawa tubuhnya duduk di kursi dan diarahkannya menghadap Mikha yang masih tertunduk sedih.
            “Mikha, kamu kenapa? Wajah cantikmu hilang kalau lagi murung begini,” canda Dalfa pada Mikha. Mikha mengangkat wajahnya dan memberikan Dalfa sedikit senyuman.
            Dalfa memulai jurusnya untuk membujuk Mikha dan berhasil membuat Mikha mau merespon. Begitulah seorang Dalfa, terkadang bisa menjadi pintar dalam hal bujuk membujuk dan membuang kesedihan karena perkataan atau sikapnya yang dapat menghibur.
            Mikha menceritakan dengan lebih jelas apa yang membuatnya sampai bersedih dan menangis. Aku dan Dalfa mendengarkan dengan seksama dan sekali-sekali kami mengangguk berbarengan menyetujui pendapat Mikha. Ketika Mikha mulai menangis lagi, Dalfa duduk di samping Mikha dan menghapus airmatanya dengan selembar sapu tangan biru. Jemari Dalfa membelai rambut panjang Mikha dan menenangkannya.
            Melihat hal tersebut membuat hatiku berdesir. Ada rasa cemburu keluar dari relung hatiku. Aku tak pernah diperlakukan Dalfa seperti itu. Tapi, wajar saja tidak pernah karena memang aku tak pernah menangis di depan Dalfa atau Mikha. Saat ini Mikha sudah ada dalam pelukan Dalfa sambil menangis. Aku semakin cemburu dan rasanya perih di dalam hati.
Beruntungnya kamu, Mikha. Bisa diperlakukan dengan begitu manis oleh pujaan hatiku. Aku menuliskan kata-kata itu dalam diary setibanya di kamarku. Aku merangkai kata-kata untuk mengungkapkan kecemburuanku. Air mata perlahan menetes dari kedua pelupuk mata ini. Tak seharusnya aku cemburu karena mereka berdua sama-sama sahabatku. Memang sudah seharusnya Dalfa bersikap lembut pada Mikha yang sedang menangis. Apa aku juga harus menangis agar mendapatkan perhatian dari Dalfa? Bukan Rana kalau begitu. Aku sangat pantang untuk bersedih apalagi menangis di hadapan orang lain.
***
            Beberapa hari dari kejadian Mikha putus dengan Mario sekaligus peristiwa yang tak terlupakan saat  Dalfa memeluk Mikha yang menangis, aku agak menjaga jarak dengan Dalfa. Entah apa yang sebenarnya ku rasakan, tapi feeling berkata akan ada sesuatu yang berawal dari sini dan mulai saat ini.
Sepulangnya dari kampus aku kebingungan. Sudah ku cari keliling seisi rumah. Kamarku saja sudah sangat berantakan karena hampir satu jam mencari diary pink-ku yang tiba-tiba lenyap dan menghilang tanpa berpamitan. Aku kalang kabut karena takut buku berisi catatan rahasiaku itu dibaca orang lain. Apalagi kalau sampai tertinggal di kampus. Benar-benar gawat, akan membuat geger seisi kampus. Rana mencintai Dalfa. Sedangkan Dalfa itu sahabatnya sendiri. Pasti itu yang akan dikatakan orang-orang di kampus. Wah, aku tak mau itu terjadi.
            “Bunda lihat buku berwarna pink punya Rana tidak?” tanyaku yang mendapati bunda sudah keluar dari kamarnya.
            Bunda menggeleng dan menatapku. “Sebelumnya kamu letakkan di mana sayang?” tanya bunda.
            “Itulah, Bun. Rana lupa di mana. Seingat Rana buku itu ada dalam tas dan Rana bawa ke kampus,” jawabku menjelaskan pada bunda.
            “Bunda rasa bukumu itu tertinggal atau terjatuh di kampus,”
            Benar juga apa yang dikatakan bunda. Aku pun berpamitan pada bunda lalu berlarian keluar rumah. Aku akan menuju ke kampus sebelum langit menunjukkan warna jingganya. Aku mempercepat laju motor karena sangat khawatir jika diary itu diketemukan dan dibaca orang lain. Kurang lebih dalam waktu dua puluh menit, aku sudah sampai di halaman parkir kampus. Merupakan sebuah rekor, karena biasanya aku membutuhkan waktu paling cepat dua puluh lima menit perjalanan untuk ke kampus. Dengan tergesa, ku percepat langkah menuju ruang kuliah tadi siang.
            “Rana!”
            Aku menoleh ke belakang. Ternyata Dalfa.
            “Ada apa, Fa?” tanyaku sambil mengatur nafas karena capek sehabis ngebut-ngebut di jalan tadi.
            “Ada apa sore-sore begini ke kampus lagi? Mau melihat aku latihan basket atau mau ikut rapat BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa)? Haha….”
            Aku mengeleng cepat, “Aku mencari sesuatu nih, sepertinya tertinggal di kampus,”
            “Oh… Cari ini ya?” ujar Dalfa sambil mengacungkan diary pink yang ku cari-cari.
            Aaarghhhh… Aku berteriak dalam hati. Bagaimana ini, kenapa bisa ada pada Dalfa? Apa dia sudah membaca isinya ya? Aku harus berbuat apa? Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk dalam benakku.
            “Jadi benar ini punyamu, Rana?”
            “Iy… Iya…” jawabku gugup dan perlahan mengangguk.
            Dalfa terbengong. “Ikut dulu denganku!” pinta Dalfa padaku dengan suara serius yang sangat jarang ku dengar.
            Aku mengikuti Dalfa dari belakang. Langkahnya terhenti di halaman belakang salah satu ruang kuliah. Sepi dan sunyi, hanya ada kami berdua.
            “Emm… Aku baca isi buku itu, Ra. Maaf sebelumnya karena membacanya tanpa seizin kamu. Aku menemukannya di parkiran,” kata Dalfa sambil memandang lekat mataku.
            Aku terdiam.
            “Aku mau tanya, apa benar isi buku itu?”
            Aku masih terdiam. Tak tahu harus berkata apa.
            “Jawab, Rana!”
            “Iya, maafkan aku, Dalfa.”
            Dalfa sekarang yang terdiam mendengar jawabanku. Kepalanya diangkat keatas, menatap langit-langit ruangan yang terasa begitu dingin.
            Tiba-tiba Dalfa berkata yang mengejutkanku. “Kalau memang benar itu dari hati kamu, Ra. Aku bersedia.”
            Aku tercengang dan sekaligus bingung akan arti kata bersedia. “Maksudnya bersedia, Fa?”
            “Ya, aku bersedia mengganti status kita menjadi lebih dari sahabat,”
            “Lebih dari sahabat maksudnya?” tanyaku karena belum mengerti tepatnya pura-pura belum mengerti.
            Aku tak bisa menghindar karena Dalfa langsung mencubit pipiku yang cukup tembam dan berkata, “Bodoh, masa itu saja tidak mengerti!”
            “Enak saja bilang aku bodoh!” jawabku pura-pura marah padahal jantung ini berdetak dengan lebih cepat. Aku tak mampu menatap mata Dalfa secara langsung.
            “Kita sekarang adalah sepasang kekasih, Rana.”
            Seakan ada yang mengganjal di tenggorokanku saat mau berteriak karena bahagia. Tapi untung saja begitu, kalau tidak, bisa-bisa orang-orang pada menuju ke sini karena mendengar teriakanku.
            Aku berbaring dengan wajah sumringah sambil memeluk diary tersayangku.           Malam ini aku tak bisa tidur cepat seperti biasanya. Masih segar dalam ingatanku peristiwa bersejarah di kampus sore tadi. Seperti mimpi, aku bisa jadian sama Dalfa, sahabat yang sudah lama ku cintai secara diam-diam. Tak disangka, ternyata ia juga menyukaiku dan mengubah status hubungan kami menjadi sepasang kekasih.
Namun ada satu hal yang buatku sedikit ragu. Dalfa menyuruhku untuk menyembunyikan hubungan kami dari siapa pun termasuk pada Mikha sahabat kami sendiri. Saat aku menanyakan alasannya. Dalfa hanya tak ingin orang lain mengganggu kami dengan kata-kata sahabat menjadi cinta. Aku hanya menurut karena aku merasa sudah sangat bahagia akan karunia ini. Goresan tinta ku titipkan di lembaran diary.
Dear Diary…
Sekarang aku merasakan hati ini begitu sempurna, dunia ini makin berwarna, dan aku merasakan begitu banyak bintang dalam setiap kerlip cahaya malam. Rasa cinta yang telah lama ku pendam, telah diketahuinya. Puji syukur, ternyata yang aku dapatkan bukanlah kemarahan darinya seperti yang ku bayangkan selama ini atau bukan juga permusuhan yang aku dapatkan seperti yang ku takutkan selama ini. Dia memiliki rasa yang sama terhadapku, dia juga menyukaiku. Kini, kami telah memulai kidung kasih dan akan memupuknya hingga bermekaran setiap saat. Thank you My God. ^_^
***
            Sudah satu minggu sejak aku jadian dengan Dalfa. Tidak ada hal istimewa yang terjadi seperti yang kubayangkan. Dalfa tidak menelponku untuk sekadar memberikan perhatiannya, bahkan sms pun tidak. Pergi ke kampus juga sendiri-sendiri. Apalagi ke kantin, dia lebih memilih makan bersama teman-teman basketnya. Jauh jika aku membayangkan Dalfa mengajakku jalan-jalan atau nonton di bioskop berdua. Bahkan untuk ke rumahku saja dia tak melakukannya. Hubungan kami yang terbilang baru ini, membuat kaku dan rasanya lebih baik jika masih sahabat seperti dulu.
            “Fa, kenapa kita tak melakukan hal-hal layaknya sepasang kekasih? Jalan bareng, makan bareng atau kamu main ke rumahku. Tidak harus setiap hari, kadang-kadang juga tidak apa-apa,” kataku saat kami berdua duduk di taman kala senja menghiasi langit dengan warna jingganya ditemani desiran angin lembut yang sangatlah sejuk.
            Kening Dalfa berkerut, mungkin ia sedang berpikir. Aku memandangi wajah Dalfa yang putih dan bersih. Wajahnya yang manis itu tak pernah membuatku bosan. Apalagi matanya yang indah itu seakan-akan memberikan keteduhan saat memandanginya. Butuh alasan ekstra mengajak Dalfa mau ikut bersamaku ke taman ini. Jadi tak akan ku sia-siakan kesempatan untuk berdua bersamanya dan mengutarakan semua yang mengganjal dalam pikiranku.
            “Maaf ya, Ra. Kita tak bisa ke mana-mana jika hanya berdua. Takutnya hubungan kita diketahui orang lain. Kalau memang ingin bersamaku, kita bisa ajak yang lain. Misalnya ajak Mikha atau teman-teman basketku,” jelas Dalfa yang membuatku semakin bingung.
Dia berbicara dengan wajah yang tertunduk tanpa mau melihat ke arahku. Aku terdiam dan memandangi langit di atas sana. Matahari yang sebentar lagi akan terbenam, melukiskan suatu keindahan dengan lembayung senja yang menyimpan berjuta pesona. Aku sangat suka dengan langit di waktu senja. Memberikan ketenangan dan rasa tentram jika memandangnya.
“Oh, jadi begitu. Oke deh Dalfa, aku mengerti.”
Dalfa menyunggingkan senyumnya dan tampaklah barisan giginya yang rapi dan putih. Cowok di sampingku ini diciptakan dengan begitu sempurna. Seolah tak ada hal buruk pada fisiknya. Apakah aku merupakan pasangan yang pas buat Dalfa. Diriku yang biasa-biasa saja ini jadi merasa sedikit minder untuk bersanding dengan Dalfa. Namun, masalah jodoh siapa tahu. Jika aku berjodoh dengan Dalfa atas seizin Allah, pasti akan dimudahkan jalannya.
***
            Sepulang dari kuliah aku mampir dulu ke suatu mall yang terkenal di kotaku. Tadinya mau mengajak Mikha, tapi Mikhanya sudah ada janji dengan temannya yang lain. Mau minta temani Dalfa, Dalfanya juga ada janji untuk menjemput mamanya. Lalu ku putuskan untuk pergi sendiri saja berkeliling mall, mencari beberapa kaset film drama Jepang dan sebuah novel yang sangat ku inginkan. Kaset dan novelnya sudah ku dapat, aku akan pulang sekarang. Saat melewati Studio 21, Aku terkaget dengan apa yang dilihat oleh mataku. Seakan tak percaya, aku bergeser semakin dekat ke arah pintu masuk bioskop  dan ternyata benar. Itu Mikha sedang mengantri tiket. Tiba-tiba datang seseorang yang sangat ku kenal, Dalfa. Aku mengucek-ngucek mata untuk memperjelas, siapa tahu aku salah orang. Tapi ternyata memang benar. Itu Mikha dan Dalfa.
            Kakiku bergetar, berdiri dengan kaku. Mereka berdua terlihat sangat dekat melebihi kedekatan yang selama ini aku ketahui. Kekasihku sedang berdua dan akan menonton bersama cewek lain. Apakah aku boleh cemburu? Apakah aku berhak untuk marah? Mereka hanya bersahabat, tapi kenapa mereka tidak mengajakku atau hanya bilang padaku jika akan menonton di sini. Ah, aku tak mengerti sebenarnya ada apa ini. Apa yang sesungguhnya terjadi.
            Sampai mereka berdua masuk ke dalam studio, air mataku sudah berjatuhan tanpa bisa ditahan. Sudahlah, lebih baik aku pulang dan akan menanyakan ini pada Mikha dan Dalfa. Lagian aku malu karena ada beberapa orang yang memperhatikanku menangis. Ternyata begini rasanya sakit hati karena dibohongi pacar sendiri. Pedih dan sakit sekali.
            Sesampainya di rumah yang ku temukan hanyalah kesunyian. Ternyata ayah dan bunda belum pulang. Jam dinding menunjukkan pukul setengah empat sore. Waktu yang tepat untuk bersantai di taman, pikirku. Setelah mandi dan berpakaian santai, aku melangkahkan kaki menuju taman. Kursi taman berwarna hijau tepat di samping pohon dengan dedaunan yang rimbun adalah tempat favoritku. Untung belum ada yang menempati. Terbayang kejadian yang ku lihat di bioskop tadi siang, aku mencoba untuk mengirim sms pada Dalfa.
Lg apa, Fa? Udah pulang dari jemput mama?
            Beberapa menit kemudian baru ada balasan dari Dalfa. Aku kesal ternyata Dalfa benar-benar membohongiku.
Lg di mobil sm mama, barusan mau pulang…
            Aku tak mau membalasnya lagi. Tega sekali Dalfa berbohong. Aku harus bertemu langsung dan menanyakan hal ini pada Dalfa. Ku harap ia mau menjelaskan yang sebenarnya. Senja, kapankah aku dapat tersenyum menatapmu bersama seseorang yang aku cintai dan juga mencintaiku? Aku menuliskan beberapa kata dalam diary sambil menatap nanar guratan wajah langit yang masih tetap dengan jingganya.
            Matahari sudah hampir tenggelam, dengan segera aku meninggalkan taman untuk pulang. Entah kemauan ini muncul dari mana, kakiku malah melangkah berlawanan arah. Sepuluh menit kemudian aku berhenti di depan rumah megah berwarna kehijau-hijauan. Kenapa aku ke rumah Dalfa? Batinku dalam hati.
            “Non Zahra mau cari Den Dalfa ya? Belum pulang, Non. Kalau mau menunggu, silahkan masuk saja dulu,” kata satpam penjaga rumah Dalfa menyapaku dengan akrab.
            “Tidak usah, Pak. Rana pulang saja dulu karena hari sudah mau malam nih,”
            Memang hari sudah hampir malam, azan maghrib pun sudah berkumandang. Aku terheran sendiri atas kelakuanku ini. Bukannya pulang, aku masih terpaku di dekat pagar rumah Dalfa yang sudah ditutup kembali oleh Pak Satpam. Aku menunggu menuruti kemauan hati kecilku. Selang tak berapa lama kemudian, mobil yang biasa di pakai Dalfa berhenti dan membunyikan klakson. Pagar kembali terbuka agar mobil bisa masuk. Aku melangkah mendekat.
            “Dalfa…!”
            Aku berteriak memanggil Dalfa saat ku lihat dia sudah keluar dari mobilnya. Dalfa kebingungan melihatku. Aku dan Dalfa duduk di ruang tamunya yang masih tertata dengan rapi seperti dulu saat aku masih rajin main ke rumahnya.
            “Tadi mama minta turun di rumah saudara kami, jadinya aku pulang sendiri…,”
            Belum selesai Dalfa melanjutkan cerita bohongnya. Tiba-tiba muncul mama Dalfa yang memakai daster sepertinya baru selesai mandi. Wajah Dalfa langsung pucat.
            “Apa kabar, Rana? Sudah cukup lama tante tak melihat Rana,” kata mama Dalfa yang kemudian mencium kedua belah pipiku.
Aku dan mama Dalfa memang sangat akrab sewaktu masih di SMA dulu. Hampir setiap hari aku bermain di rumah Dalfa dan sebaliknya Dalfa pun sering main ke rumahku dan akrab dengan bunda. Hanya saja saat mulai menjadi mahasiswa sudah sangat jarang karena sibuk dengan urusan dan tugas kuliah masing-masing.
            “Baik, Tante sendiri apa kabarnya?” tanyaku sambil tersenyum pada mama Dalfa.
            “Tante juga baik. Oh ya, tante tinggal dulu ya. Kalian berdua ngobrol-ngorol saja. Entar Rana makan malam di sini saja,”
            Aku tersenyum lagi pada mama Dalfa. Setelah mama Dalfa sudah tak terlihat, aku melirik ke arah Dalfa dan berkata, “Bukan aku mau marah, Fa. Aku lebih suka kamu jujur saja jika tadi siang nonton bersama Mikha. Kebetulan aku melihat kalian berdua di sana. Sebenarnya kalian ada apa? Jujur, aku merasa cemburu karena sekarang kamu adalah kekasihku, Dalfa.”
            Dalfa menghela nafas. “Aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana, Rana. Dua hari yang lalu, Mikha menyatakan perasaannya padaku jika dia menyayangiku. Aku tak bisa menolak karena Mikha baru saja patah hati oleh Mario, aku tak mau dia lebih patah hati lagi karena aku,”
            Kata-kata Dalfa membuatku sangat terkejut. Tak ku sangka Mikha bisa sayang dengan Dalfa. Padahal Mikha pernah bilang padaku jika dia tak akan pernah menyukai sahabat sendiri. Tapi kenyataannya sekarang malah seperti ini. Aku benar-benar tak habis pikir bisa muncul masalah serumit ini atas kisah cintaku yang baru satu minggu terjalin.
            “Jadi kamu menerima Mikha dan jadian dengannya?”
            Dalfa mengangguk lemah. Matanya menatap langit-langit rumah berwarna coklat muda dengan tatapan kosong.
            “Jadi intinya sekarang kamu dan Mikha statusnya sama seperti aku dan kamu?”
            Lagi-lagi Dalfa mengangguk.
            “Kamu tak mungkin berpacaran dengan dua wanita sekaligus, Dalfa.”
            “Aku tahu itu, Rana.”
            Aku tak mau berdebat dengan keadaanku yang sekarang lagi rapuh. Aku pulang saja dulu dan berpikir di rumah bagaimana tindakan yang lebih baik untuk ku lakukan.
            “Aku pulang saja dulu, Fa. Permisi!”
            “Rana…! Tunggu!”
            Tak ku hiraukan panggilan Dalfa. Kakiku melangkah dengan cepat setengah berlari. Aku berharap Dalfa menyusulku dan berkata dia akan memilihku dan memutuskan hubungan dengan Mikha. Tapi nyatanya Dalfa tak menyusulku. Di tengah perjalanan, hujan turun dengan derasnya. Aku menangis di antara air hujan yang berjatuhan. Kenapa harus sesulit ini yang ku rasakan, padahal baru saja aku merasakan kebahagiaan.
***
            “Sayang, di depan Dalfa menunggumu. Katanya kalian akan pergi ke kampus bareng,” seru bunda sambil mengetuk pintu kamarku.
            “Iya, Bunda sayang. Rana pergi dulu ya,” aku berkata sambil menyalami tangan bunda lalu mencium pipi kanannya.
            Aku terpaku sesaat melihat mobil Dalfa menunggu di depan pagar rumahku. Tumben dia mau menjemputku. Hal yang sebelumnya tak pernah ia lakukan.
            “Rana, ayo cepat naik!” seru Dalfa melongokkan kepalanya dari pintu mobil.
            Aku tersentak ketika ku lihat ada Mikha duduk di samping Dalfa.
            “Pagi, Rana! Yuk, kita pergi bareng. Hari ini aku yang mengusulkan pada Dalfa untuk menjemput kamu juga,” kata Mikha dengan wajah ceria.
            Aku tersenyum dan membuka pintu mobil. Aku duduk di tengah dengan perasaan pedih. Kenyataan apa pun yang akan ku hadapi hari ini, aku harus siap.
            “Aku lupa memberitahu kamu, Ra. Tiga hari yang lalu aku jadian dengan Dalfa. Habisnya dia perhatian sekali di saat aku lagi terluka oleh Mario. Tapi hadirnya Dalfa dapat membuat aku melupakan Mario, Ra. Kamu merestui hubungan kami , kan?”
            “Tentu itu, Kha. Selamat ya!” kataku berpura-pura bahagia padahal hati ini menangis.
            Melihat kemanjaan Mikha pada Dalfa, membuatku tak betah berada dalam mobil ini. Perjalanan sampai ke kampus terasa begitu lama. Apalagi melihat mereka berdua yang memang serasi sekali jika menjadi sepasang kekasih. Dalfa sekali-kali membenarkan letak duduknya sambil menyetir perlahan. Aku tahu dia pasti merasa sangat bersalah padaku.
            Aku kesepian hari ini. Biasanya aku selalu bersama Mikha di kampus. Tapi setelah kuliah jam pertama selesai, aku tak tahu dia ke mana. Mau gabung dengan teman-teman yang lain, aku sedikit enggan. Jadi ku putuskan untuk tetap berada di dalam kelas saja sampai menunggu pukul sebelas untuk kuliah jam kedua.
Dalam dua hari ini, aku seperti mendapatkan ujian berat. Antara perasaan cinta dan persahabatan. Sepertinya aku harus merelakan Dalfa untuk Mikha. Dengan begitu, aku bisa tetap bersahabat dengan mereka berdua. Masalah perasaanku ini biarlah jadi urusan belakangan. Perlahan air mataku meleleh. Aku menjadi sangat cengeng akhir-akhir ini karena masalah hati yang rumit yang beradu masalah logika yang menguat.
“Hey, Rana! Melamun saja, sendirian lagi.”
Mikha tiba-tiba sudah ada di dekatku dan mengejutkanku. Buru-buru ku hapus sisa air mata yang masih berada di pipi.
“Kamu menangis?”
Aku mengeleng. “Tadi sempat kemasukan debu nih, Mikha. Mataku jadi pedih,” kataku berbohong pada Mikha.
“Oh…, tadi aku dengan Dalfa ngobrol berdua di taman kampus belakang. Belum lama, temannya memanggil. Jadinya aku ditinggal dulu oleh Dalfa,” Mikha bercerita seraya mengetik sms di HP-nya. Dia melanjutkan, ”Benar katamu, Ra. Dalfa memang sangat baik dan perhatian. Pantas kamu sangat menyukai dia. Padahal dulu aku suka mengejekmu karena bisa-bisanya mencintai Dalfa. Eh, tak tahunya aku sendiri juga ikut mencintainya. Untung saja dia memiliki rasa yang sama seperti aku. Maaf ya Rana aku duluan merebut hati Dalfa. Kamu tidak marah, kan?”
No problem, Mikha. Masalah hati siapa yang tahu. Dalfa sukanya sama kamu, berarti kesempatan untukku otomatis tak ada lagi, hehe….” Aku menjadi manusia naïf yang pura-pura berbahagia untuk mereka. Untuk Mikha sahabatku yang telah merebut seseorang yang sangat aku cintai. Untuk Dalfa, kekasih yang telah berbohong dan mengkhianatiku.
***
            Satu bulan lamanya Dalfa dan Mikha sudah menjadi sepasang kekasih. Status hubunganku dengan Dalfa mengambang, karena Dalfa tidak pernah berkata putus untuk hubungan kami. Aku juga tak ingin mengatakan putus pada Dalfa. Rasa cintaku pada Dalfa begitu besar sehingga aku rela dikhianati dan membiarkan Dalfa berbagi cinta pada wanita lain. Dalfa sudah tak pernah lagi dekat denganku. Aku bisa melihat dia jika pergi kuliah saja karena memang Mikha selalu meminta Dalfa untuk mengajakku pergi bareng.
Selama dalam mobil itulah aku harus menyiapkan hati agar bisa menahan rasa sakit melihat kemesraan Dalfa pada Mikha yang tak pernah ku dapatkan dari Dalfa. Sebenarnya aku ingin pergi sendiri saja ke kampus tapi Mikha selalu memaksaku untuk ikut dengan mereka. Setelah berpikir memang lebih baik aku ikut mobil Dalfa agar setiap hari aku bisa melihatnya. Aku cukup bahagia hanya dengan melihat Dalfa baik-baik saja.
Hari ini aku agak terheran karena Dalfa sendirian di dalam mobil.
            “Mana Mikha, Fa?”
            “Sekali-sekali aku ingin menjemput kamu duluan, Ra. Agar kamu bisa duduk di depan, di sampingku. Aku kangen sama kamu.”
            Aku terpana mendengar perkataan Dalfa. Benarkah yang dia katakana bahwa dia kangen pada diriku. Aku duduk di sampingnya karena Dalfa segera membukakan pintu mobilnya. Perasaan senang bercampur gugup karena baru hari ini aku bisa begitu dekat dengan Dalfa.
            “Rana, aku minta maaf sekali padamu. Selama satu bulan ini pasti aku sudah terlalu menyakitimu. Sejujurnya, aku masih mencintaimu. Bodohnya dulu aku memutuskan agar hubungan kita tak diketahui orang lain. Jadinya Mikha tak tahu kalau kita sudah jadian. Kalau dia tahu, tentu dia tak akan menyatakan cinta padaku dan aku tak akan pacaran dengan dia,” sesal Dalfa dengan raut wajah yang gundah.
            Aku terdiam sambil memegang tasku kuat-kuat karena gugup. Aku sangat bersyukur karena Dalfa masih mencintaiku.
            “Status kita masih pacaran kan, Ra? Belum pernah ada kata putus di antara kita, kan?”
            “Iy… Iya, Dalfa.”
            Sesampainya di depan rumah Mikha, Dalfa membunyikan klakson. Mikha muncul dengan baju pink ketat dan jeans coklat. Dia selalu terlihat cantik setiap hari. Rambutnya yang lurus panjang sengaja diurai dan dikasih jepit mungil warna pink senada dengan bajunya.
            “Kok kamu duduk di depan? Ayo pindah, Ra!” seru Mikha padaku.
            Aku hendak keluar dari mobil untuk pindah ke tengah. Tapi Dalfa berkata, “Biarlah sekali-sekali Rana di depan, Kha. Aku sudah lama tidak ngobrol-ngobrol dengan Rana,”
            “Aku kan pacar kamu, Fa. Masa kamu lebih membela Rana?” Mikha menjawab dengan nada yang mulai kesal.
            “Aku pindah ke tengah saja, Dalfa.” kataku menengahi mereka yang berdebat.
            “Biarlah di sini. Hari ini saja, Ra. Boleh ya, Mikha. Please!
            “Ya sudah, aku naik taksi saja.”
            Dengan cepat Mikha naik taksi yang sedang melintas. Aku kebingungan. Selama dalam perjalanan, aku dan Dalfa hanya berdiam.
            “Aku bahagia bisa berdua sama kamu pergi ke kampus, Ra.” ujar Dalfa lembut setibanya kami di parkiran kampus.
            Aku langsung meninggalkan Dalfa tanpa menghiraukan kata-katanya yang membuat aku seakan melayang. Ku tepis rasa itu sementara karena aku teringat Mikha yang marah tadi. Aku harus mencarinya dan meminta maaf.
            “Maaf? Aku tak menyangka ternyata kamu ini sahabat yang jahat. Pagar makan tanaman. Teganya kamu mau merebut Dalfa dari aku,.” teriak Mikha marah padaku sesaat setelah aku meminta maaf dan menyatakan rasa menyesal atas kejadian tadi pagi.
            Aku kebingungan menghadapi sikap Mikha yang tiba-tiba sangat kasar karena kemarahannya. “Aku tak bermaksud begitu, Mikha.”
            “Sudahlah! Kamu itu memang suka sama Dalfa dari dulu, kan. Kini saat Dalfa jadi milikku kamu cemburu dan berusaha merebut Dalfa. Lihat saja tadi, Dalfa bisa-bisanya memilih kamu dibanding aku. Kamu pakai ilmu pelet atau ilmu apa, ha?”
            Aku menangis mendengar fitnah Mikha. Teman-teman dalam ruangan ini terbengong mendengarkan kemarahan Mikha. Mereka sangat keheranan karena aku dan Mikha adalah sahabat yang sangat dekat tapi sekarang seperti dua kubu yang saling berlawanan.
            Aku keluar sebelum Mikha mengeluarkan kata-kata kasarnya yang lebih pedas lagi untuk menghinaku. Di depan pintu, aku berpapasan dengan Dalfa yang akan masuk menemui Mikha. Dalfa menatap wajahku yang basah oleh air mata. Segera aku berlari menjauh darinya dan sekarang duduk di kantin yang masih cukup sepi untuk menenangkan diri. Mikha, tahukah kamu jika selama ini akulah yang tersakiti. Aku lebih memilih kebahagiaan kamu dan merelakan perasaanku. Tapi kenapa kamu malah tega menuduhku seperti itu. Dengan berurai air mata aku menuliskan rasa sedihku dalam diary pink, teman setiaku.
“Barusan Dalfa memutuskanku karena dia lebih mencintaimu. Puas Kamu sekarang! Dasar perempuan penggoda kekasih orang!” caci Mikha yang tiba-tiba sudah ada di dekatku.
Rambutku dijambak dengan kuat sekali oleh Mikha dari belakang. Aku berusaha melepaskan cengkraman tangan Mikha dari rambutku. Namun setelah terlepas, tangan Mikha pindah ke pipiku. Kuku-kukunya yang tajam mencakar-cakar pipiku hingga berdarah.
“Mikha, sadarlah! Apa yang kamu lakukan padaku?” teriakku keras karena ketakutan. Aku tak mau membalas Mikha dengan cakaran atau mau membalas menyakitinya juga. Aku masih sadar jika dia adalah sahabatku.
Para mahasiswa dan mahasiswi berkumpul menyaksikan kami. Ibu-ibu penjaga kantin pun ikut melihat. Tapi tidak ada di antara mereka yang berani memisahkan kami. Badanku merasa lemas tak kuat lagi untuk menghindari perlakuan Mikha yang seperti kesetanan itu. Dari kejauhan ku lihat Dalfa berlarian ke arah kami.  Setelah itu aku terduduk lemas dan pingsan.
            Perlahan ku buka mata dan melihat sekelilingku. Ada bunda dan ayah di sampingku. Mereka tersenyum bahagia melihatku yang telah sadar. Aku mebalas senyum mereka, tapi ku rasakan begitu pedih di kedua belah pipiku saat tersenyum. Bunda membelai rambutku dan ayah memberikan segelas air putih menyuruhku minum.
            Dalfa tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarku. Dia tersenyum mendekatiku lalu memeluk tubuhku erat. Aku merasakan tulangku seakan remuk karena begitu kuatnya Dalfa memelukku. Namun aku sangat bahagia bisa berada dalam pelukan Dalfa yang hangat.
            “Rana, semuanya sudah berlalu. Mikha sekarang sedang dalam pemeriksaan polisi. Dia bersalah karena telah melukaimu dan ternyata dia adalah pemakai narkoba. Ada salah satu teman kita yang melaporkannya ke polisi,” kata Dalfa sambil melepas pelukannya perlahan dan menatapku dengan  matanya yang teduh.
            “Aku menerima Mikha dulu, murni karena aku hanya kasihan padanya dan ingin membuat dia kembali ceria. Tapi ternyata malah begini, membuat orang yang aku cintai menjadi menderita. Sungguh aku menyesal, Ra. Aku benar-benar minta maaf padamu, sayangku”
            “Aku juga minta maaf, Fa.” jawabku tersenyum bahagia.
            “Minta maaf untuk apa?” tanya Dalfa yang kemudian kembali merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya.
            “Maaf karena aku tak bisa melupakanmu,” kataku berbisik.
            “Aku juga tak bisa melupakanmu. Aku mencintaimu, Rana.” kata Dalfa tepat di telingaku.
            “Ehem… Ehem… Tidak baik bermesraan di depan orang tua,” kata ayah dan bunda dengan bercanda.
            Aku dan Dalfa melepas pelukan kami dan tertawa.
***
            Beberapa hari setelah kejadian itu. Aku dan Dalfa duduk di kursi taman sambil menatap langit sore. Warna jingga langit memang yang paling indah. Apalagi ditemani oleh orang terkasih. Kini aku dapat tersenyum pada senja. Tersenyum dengan tulus sambil menatap ke atas pada lembayung senja bersama  Dalfa, lelaki yang kini akan menjadi calon suamiku.

SELESAI




No comments:

Post a Comment

Popular Posts